Tuesday, February 18, 2014

Sucikan Diri Benahi Hati



Sucikan Diri Benahi Hati



Sejak dahulu kala semua orang yang berakal, berpendidikan dan berbudaya mendambakan pensucian jiwa dan perbaikan hati. Mereka menempuh berbagai cara, menerapkan metode-metode dan meniti banyak jalan untuk menggapai cita-cita tersebut. Namun ada diantara mereka yang justru menyiksa diri sendiri dengan melakukan perkara-perkara yang melelahkan dan menyakitkan karena tidak sesuai syariat. Akibatnya, perbuatan-perbuatan ini menyeret dan menenggelamkan mereka ke dalam syahwat, kelezatan dunia, menzalimi jiwa, dan menyibukkan diri dengan metode-metode, pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan tidak sejalan dengan akal sehat.

Namun, orang yang bisa bersikap adil, dan bisa menilai perkara-perkara dengan bijak, dia tidak akan segan untuk menyatakan bahwa kebahagiaan hakiki yang menjadikan kehidupan semakin bermakna, yang bisa menenangkan hati, dan mensucikan diri telah dijelaskan cara dan metodenya oleh al-Qur’an dan Sunnah dengan sangat jelas, terperinci namun tetap simpel dan padat serta dijamin mampu menghantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki.

Allâh Azza wa Jalla mengutus para rasul dan mewahyukan kitab-kitab untuk menunjukkan kepada manusia bagaimana metode menyucikan jiwa dan memperbaiki hati. Realisasi hasil ini adalah dengan mentauhidkan Allâh, yaitu beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan ini merupakan hikmah penciptaan makhluk, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” [adz-Dzâriyât /51:56]

Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah telah dijelaskan bagaimana cara menyucikan jiwa yang menjadi penentu, apakah seseorang akan hidup bahagia di dunia dan akhirat ataukah sebaliknya ? Dengan jelas dan gamblang, al-Qur’an menjelaskan bahwa pondasi, ruh, sandaran, dan poros pensucian jiwa yang tidak lain adalah mentauhidkan Allâh.

Tauhid mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam menyucikan jiwa dan membenahi hati seorang Muslim. Tauhid mampu menyatukan tujuan dan maksud, serta menyelaraskan antara ilmu dengan amal. Sehingga pemahaman, akidah, amalan, kehendak, kecenderungan, dan kegiatan seorang Muslim berjalan menuju satu arah dan serasi, tidak ada kontradiksi. Dengan demikian, beban kehidupan dapat hilang dari pundak seseorang, akibat dari kontradiksi antara tujuan dan perbuatan.

Diantara yang bisa menyucikan jiwa dan memperbaiki hati adalah perbaharuan terhadap keimanan secara berkesinambungan.

Iman itu perlu diperbarui karena dia dapat lusuh seperti pakaian. Oleh karena itu, para sahabat Rasûlullâh mengandeng tangan saudaranya yang lain seraya mengatakan, “Marilah kita memperbarui iman kita meskipun sesaat” kemudian mereka duduk di suatu majlis, lalu berdzikir kepada Allâh.

Dzikrullâh, membaca al-Qur’an, melakukan ketaatan adalah cara ampuh untuk memperbarui iman yang bersemayam dalam jiwa seorang Mukmin. Karena iman itu bisa bertambah dengan sebab perbuatan taat dan berkurang dengan sebab kemaksiatan. Dalam usaha meningkatkan keimanan seorang Mukmin mestinya benar-benar bersandar kepada Allâh sehingga akan menghasil buah yang penuh barakah yaitu kesucian jiwa, sebagaimana di sabdakan oleh Nabi yang mulia dalam do’anya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا

Ya Allâh ! Berikanlah ketaqwaan kepada jiwaku dan sucikanlah jiwaku, sesungguh Engkau Pembersih jiwa terbaik

Termasuk jalan untuk mensucikan jiwa dan memperbaiki hati adalah selalu mengingat-ingat nikmat-nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada kita. Nikmat-nikmat itu terlampau banyak sehingga terhitung. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

"Dan jika engkau menghitung nikmat Allâh kamu tidak akan mampu menghitungnya" [an-Nahl/16:18]

Orang yang senantiasa mengingat nikmat-nikmat ini akan menyadari ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla , sehingga dia akan memfokuskan diri dalam beribadah dengan khusyu'. Bagaimana tidak ?! Semua yang dia rasakan saat ini seperti hidup, sehat, harta, anak, terhormat dan lain-lainnya adalah pemberian dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh memberikannya dengan cara dan dalam waktu yang Allâh Azza wa Jalla pilih, bisa saja pemberiaan ini diambil setiap saat, tanpa ada yang mampu menghalangi-Nya.

Kesadaran akan pemberian Allâh Azza wa Jalla yang melimpah ini bisa mendorong seorang hamba untuk menyadari kelemahan dirinya dan menyadari betapa ia sangat butuh kepada Rabbnya dalam semua urusan. Namun, mengingat nikmat mesti diiringi dengan amalan yang diridhai dan dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla sehingga bernilai pada hari Kiamat. Realisasinya yaitu dengan mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, dengan tetap mengutamakan amalan-amalan fardhu, karena amalan fardhu merupakan amalan yang paling bisa mendekatkan seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla.

Diantara yang dapat menyucikan jiwa adalah melakukan amalan-amalan hati.

Hati ibarat raja bagi anggota badan, jika hati itu baik maka semua anggota badan akan baik dan apabila hati rusak maka semua anggota badan ikut rusak.

Termasuk perbuatan hati yang paling penting dan paling agung adalah niat dan tujuan seseorang dalam beramal. Niat ini memiliki peran penting dalam masalah diterima atau tertolaknya amal seorang Muslim. Oleh karena itu hendaknya kita senantiasa bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar kita dijadikan termasuk orang-orang yang ikhlas dalam beramal.

Sarana berikutnya yang bisa menyucikan jiwa dan membenahi hati seorang Muslim adalah bertaubat dari semua dosa. Karena tidak seorang manusiapun yang luput dari dosa. Ibnu Qayyim t mengatakan bahwa taubat adalah ibadah yang paling dicintai dan dimuliakan oleh Allâh. Sungguh Allâh mencintai orang-orang yang bertaubat. Seandainya taubat itu bukan amalan yang paling dicintai oleh Allâh, tentu Allâh tidak menguji manusia yang paling mulia dengan dosa. (Namun) karena Allâh mencintai taubat hamba-Nya maka Allâh menguji hamba tersebut dengan dosa.

Taubat mempunyai kedudukan yang tidak dimiliki ketaatan-ketaatan lain. Oleh karena itu Allâh sangat senang dengan taubat hamba-Nya. Sebagaimana digambarkan oleh Rasûlullâh n seperti senangnya orang saat menemukan kembali hewan tunggangannya yang hilang padahal berisi semua bekal perjalanannya, ketika dia sedang safar di tanah yang sangat gersang sekali.

Kegembiraan Allâh Azza wa Jalla tentu memiliki pengaruh besar pada hati orang yang bertaubat. Orang yang bertaubat yang menyadari ini akan merasakan kegembiraan yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata. Ini termasuk rahasia kenapa seorang hamba ditakdirkan berdosa lalu bertaubat. Karena saat bertaubat, seseorang akan menyadari dengan hati dan mengakui dengan jujur betapa hina dan rendah dirinya dihadapan Allâh Azza wa Jalla . Kesadaran dan pengakuan seperti lebih dicintai oleh Allâh daripada perbuatan-perbuatan dzahir dalam jumlah yang banyak. Inilah inti penghambaan seseorang kepada Allâh Azza wa Jalla

Memang semua ibadah yang dilakukan seseorang akan memunculkan rasa tunduk dan patuh kepada Allâh, namun ketundukan yang muncul dari taubat lebih kuat daripada yang lainnya. Perbuatan dosa yang dilakukan seseorang lalu disesali dan bertaubat darinya akan mendorong dia untuk melakukan berbagai perbuatan taat, baik yang bersifat fisik maupun bersifat amalan hati seperti muncul rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla , malu kepada Allâh Azza wa Jalla, bersimpuh dihadapan Rabbnya mengakui, menangisi kesalahannya serta sangat berharap magfirah dari Allâh Azza wa Jalla . Ini jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan perbuatan taat namun menimbulkan rasa ujub pada diri pelakunya.

Taubat yang dilakukan oleh seseorang wajib memenuhi syarat-syaratnya yaitu bertekad untuk berhenti dari perbuatan dosanya dan bertekad untuk tidak akan mengulanginya, menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan, dan apabilaa dosa itu berhubungan dengan manusia maka harus ada syarat keempat, yaitu meminta maaf kepadanya. Disamping hal-hal di atas, taubat seharusnya juga mendorong seseorang untuk tetap istiqamah melakukan berbagai perbuatan taat. Karena inti taubat itu adalah kembali kepada Allâh dengan cara mengerjakan apa yang Allâh cintai dan meninggalkan apa yang Allâh benci atau haramkan.

Taubat adalah kembali dari hal-hal yang dibenci menuju hal-hal yang dicintai. Jadi menuju hal-hal yang dicintai adalah bagian dari taubat, begitu juga meninggalkan hal-hal yang dibenci adalah bagian dari taubat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allâh agar kalian beruntung. [an-Nûr/24:31]

Semua yang bertaubat adalah orang yang beruntung, namun seseorang tidak dikatakan beruntung kecuali jika dia menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Allâh berfirman :

وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan barangsiapa yang belum bertaubat, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” [al-Hujurat/49:11]

Orang yang meninggalkan perintah adalah orang zhalim, sebagaimana orang yang mengerjakan larangan juga zhalim. Seseorang akan disebut tidak zhalim jika dia menjalankan kedua-duanya yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Itulah beberapa hal yang bisa membersihkan dan menyucikan jiwa seorang Mukmin. Dan masih banyak lagi sarana-sarana yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk menggapai kesucian jiwa. Intinya semua yang perintah dan larangan dari Allâh dan Rasul-Nya menjadi sarana untuk membersihkan diri manusia dari noda dosa.

Akhirnya, jika kita hendak menjaga dan ingin menggapai kebersihan jiwa maka hendaklah kita senantiasa mengambil metode dan sarananya dari Kitabullah dan Sunnah Nabi, dengan tujuan mencari ridha Allâh, dan meniru jejak-jejak orang-orang yang dipilih oleh Allâh.

Allâh Azza wa Jalla berfirman.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allâh dan mereka itulah orang-orang yang berakal.” [az-Zumar/39:18]

(Diangkat oleh Adi M Abu Aisyah dari khutbah yang disampaikan Dr. Usamah Khayyat di Masjidil Haram, pada tanggal 7 Sya'ban 1432 H, dengan tema “Tazkiyatun Nufûs Wa Islâhul Qulûb” dengan sedikit perubahan dan ringkasan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Beruntunglah Orang-Orang Yang Beriman



Oleh
Ustadz Nur Kholis bin Kurdian


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shâbi’un, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allâh dan hari akhir serta beramal shaleh mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka; tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. [al-Baqarah/2:62]

SABAB NUZUL AYAT
as-Suddy rahimahullah mengatakan, “Ayat ini turun membahas tentang kawan-kawan Salmân al-Fârisy Radhiyallahu anhu, waktu itu Salman menceritakan keadaan kawan-kawannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan, bahwa mereka dulu melaksanakan puasa, melaksanakan shalat, beriman kepadamu dan mereka juga bersaksi bahwa kamu akan diutus sebagai Nabi. Setelah Salman memuji mereka tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Wahai Salman mereka termasuk penduduk neraka”. Jawaban tersebut sangat menyedihkan hatinya, maka Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat tersebut sebagai jawabannya, yang pada intinya bahwa keimanan orang-orang Yahudi adalah dengan berpegang teguh terhadap Taurat dan tuntunan Nabi Musa sampai datang Isa. Ketika Nabi Isa datang, mereka yang berpegang teguh dengan Injil dan syariat Isa telah berada diatas keimanan yang sah sampai datang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Barangsiapa tidak mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah kedatangannya dan tidak meninggalkan syariat Nabi Isa dan Injil maka dia akan celaka. Dan diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jubair[1].

KORELASI AYAT DENGAN AYAT SEBELUMNYA
Dalam ayat sebelumnya, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang-orang Yahudi dan prilaku nenek moyang mereka, serta balasan yang mereka dapatkan sebagai pelajaran bagi generasi setelah mereka [2] . Allâh berfirman dalam ayat ke-61,

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نَصْبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا ۖ قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَىٰ بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ ۚ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ ۗ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۗ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja, oleh sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya." Musa berkata, "Maukah kamu mengambil yang lebih rendah sebagai ganti dari yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta !" Lalu ditimpahkanlah kepada mereka kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat murka dari Allâh. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allâh dan membunuh para nabi tanpa sebab yang benar. Yang demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas." [al-Baqarah/2:61]

Lalu dalam selanjutnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa nasab (keturunan, seperti Bani Israil maupun yang lainnya) tidak ada harganya dihadapan Allâh Azza wa Jalla . Yang berharga adalah keimanan dan amal shalih yang mensucikan ruh manusia. Oleh karena itu kaum Muslimin dan kaum Yahudi, Nasrani, Sabi’un maupun yang lainnya seperti kaum Majusi, barang siapa yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir dengan keimanan yang sebenarnya serta melakukan amal shalih yang disyariatkan maka tidak ada rasa takut baginya setelah mereka bertaubat dan tidak ada kesedihan yang menimpa mereka disaat mereka mati.[3]

PENJELASAN AYAT
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa para pemeluk agama itu tidak akan mendapatkan suatu keutamaan dan kebaikan kecuali jika mereka beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada hari akhir serta melakukan amal shalih yang diridhai Allâh Azza wa Jalla . Dan termasuk amal shalih adalah beriman kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam karena iman seseorang tidak dianggap sah kecuali dengannya.[4]

Jika demikian keadaannya, maka baginya pahala yang besar, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun orang yang inkar dan kufur terhadap itu semua maka mereka akan ditimpa kekhawatiran dan kesedihan [5].

Ada satu permasalahan yang berhubungan dengan ayat di atas, yaitu di awal ayat Allâh Azza wa Jalla berfirman إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا dan di akhirnya Allâh berfirman مَنْ آمَنَ بِاللهِ apa maksud dari pengulangan kata iman disini ? Dalam menjawab pertanyaan ini para Ulama berbeda pendapat, setidaknya ada dua pendapat secara garis besarnya:

Pendapat pertama, yang dimaksud إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا adalah orang-orang yang beriman dengan keimanan yang sebenarnya.[6] Kemudian mereka berselisih pendapat dalam menentukan siapa mereka itu ?

1. Ada yang mengatakan, “Mereka adalah orang yang beriman di zaman fathrah (masa kekosongan rasul) dan mereka adalah para pencari agama. Pada saat yang sama mereka juga berlepas diri dari kebatilan agama Yahudi dan Nasrani, seperti Habîb al-Najjâr, Quss bin Sâ’idah, Zaid bin ‘Amr bin Nufail, Waraqah bin Naufal, Bahira Sang Pendeta, Salmân al-Farisy, Abu Dzar al-Ghifary, dan utusan al-Najâsyi.[7] Sebagian diantara mereka ada yang sempat bertemu dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengikutinya sementara sebagian yang lainnya tidak bertemu. Maka seakan-akan Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman sebelum diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang dahulunya para pemeluk agama yang batil dan yang telah dirubah seperti Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un, barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhir dan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka baginya pahala di sisi Rabbnya.[8]

2. Ada pula yang mengatakan, “Mereka adalah orang yang beriman dari umat ini.[9]

3. Ada pula yang mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]

Pendapat kedua, keimanan yang disebutkan pada permulaan ayat tersebut adalah keimanan yang tidak sebenarnya iman. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam menentukan subtansinya :

1. Ada yang mengatakan mereka yang beriman kepada Para Nabi terdahulu dan tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam [11].

2. Ada yang mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang munafik yang beriman dengan lisan mereka, akan tetapi hati mereka tidak beriman,[12] oleh sebab itu mereka di kelompokkan dengan kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi’un.[13] Seakan-akan Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Mereka semuanya jika beriman dengan iman yang sebenarnya maka mereka mendapatkan predikat Mukmin di sisi Allâh Azza wa Jalla ."[14]

Diantara sekian banyak pendapat tersebut, menurut penulis jika hal itu dilihat dari keumuman lafadz ayat, maka semuanya dapat saling melengkapi, dan yang demikian itu menunjukkan betapa cakupan makna ayat tersebut sangat luas. Dan jika dilihat dari kekhususan sabab nuzul (sebab turun)nya, maka yang selaras dengan sabab nuzûl ayat tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang beriman di awal ayat tersebut adalah “Mereka yang beriman kepada Para Nabi terdahulu dan tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau diutus. Karena ayat tersebut turun sebagai jawaban atas pertanyaan Salman al-Fârisy tentang kawan-kawannya yang dulunya beriman kepada para rasul dan kepada Rasûlullâh sebelum beliau diutus, akan tetapi setelah beliau diutus mereka mengingkarinya, oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka masuk Neraka”, wallahua’lam bishshawab.

APAKAH SEMUA AGAMA SAMA ?
Sebagian orang memahami ayat diatas dengan pemahaman yang tidak benar, mereka menganggap bahwa ayat diatas telah melegitimasikan (membenarkan) agama-agama selain Islam, artinya menurut mereka semua agama adalah sama, sehingga muncul suatu kesimpulan bahwa boleh bagi seseorang untuk memeluk Islam, esok hari masuk agama Yahudi, lusa masuk Nasrani dan seterusnya.

Pemahaman tersebut tidaklah benar, karena tidak didasarkan pada dasar pijakan yang kuat. Ayat tersebut jika dipahami secara mendalam, sama sekali tidak menunjukkan hal itu, bahkan pemahaman tersebut bertentangan dengan ayat itu sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis diatas. Meskipun banyak penafsiran para Ulama tentang إن الذين آمنوا akan tetapi tidak satupun diantara mereka yang menafsirkan bahwa Islam, Yahudi, Nasrani dan yang lainnya adalah sama. Apakah para Ulama’ tafsir kurang memahami bahasa arab dengan baik dan benar ? Atau kurang mengetahui sabab nuzulnya ? Atau kurang mengetahui ayat-ayat yang lainnya yang mendukung penafsiran mereka? Atau kurang mengetahui kaidah-kaidah penafsiran ? Sehingga tidak satupun penafsiran mereka mendukung pemahaman yang dianggap benar tersebut. Semua pertanyaan itu cukup dijawab dengan jawaban singkat “tidak”!, Bahkan sebaliknya, tidak adanya penafsiran para Ulama yang sesuai dengan pemahaman tersebut adalah bukti dangkalnya pemahaman tersebut. Adapun salah satu penafsiran Ulama yang mengatakan orang yang beriman di awal ayat tersebut adalah mereka yang beriman dari umat ini atau mereka yang beriman kepada Rasûlullâh, maka hal itu sama sekali tidaklah menyamakan antara mereka dengan para pemeluk agama lainnya. Karena perintah untuk beriman bagi mereka diakhir ayat adalah perintah agar mereka tetap dalam keadaan beriman sampai akhir hayat.

Di sisi lain pemahaman tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat yang lainnya, diantaranya :

1. Ayat yang menunjukkan bahwa agama yang benar disisi Allâh Azza wa Jalla adalah Islam, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama yang benar disisi Allâh adalah Islam [Ali Imran/3:19]

Ibn Juraij mengatakan, “Tidak ada agama milik Allâh Azza wa Jalla kecuali Islam.”[15]

Dari Ibn Sirin dari Abi al-Rabab al-Qusyairy dalam menafsiri ayat di atas ia mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada manusia untuk memeluk agama Islam dan melarang mereka memeluk agama yang lain.”[16]

Dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. [Ali ‘Imrân/3:85]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satu agama pun yang diterima disisi Allâh Azza wa Jalla dari seseorang kecuali Islam.[17]

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa semua agama tidaklah sama, dan Islamlah agama yang benar disisi Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa memeluk agama selain Islam setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka agamanya itu tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla .

2. Bertentangan dengan ayat yang menunjukkan bahwa pemeluk agama Yahudi, Nasrani maupun kaum musyrikin adalah kafir.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya, mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [al-Bayyinah/98:6]

Abu Ja’far al-Thabary rahimahullah mengatakan, “sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengingkari kenabiannya dari orang-orang Yahudi, Nasrani maupun orang-orang musyrik, mereka semuanya akan masuk neraka dan tinggal di dalamnya selama-lamanya.[18]

Di ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla berfirman.

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwasanya Allâh salah satu dari tiga tuhan”, padahal sekali-kali tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) selain Allâh Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih." [al-Maidah/5:73]

Kedua ayat diatas menunjukkan bahwa tidaklah sama antara Muslim dengan kafir.

3. Bertentangan pula dengan ayat yang menunjukkan keumuman risalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus kamu kecuali kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Saba/34:28]

Fakhruddin al-Razi mengatakan ayat ini menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan agama Islam sebagai penghapus atas agama-agama sebelumnya.[19]

Jika suatu agama telah dihapus dan dibatalkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam dengan Islam, maka tidaklah pantas sebagai makhluk Allâh Azza wa Jalla mengesahkan dan membenarkan agama tersebut setelah di naskh (dibatalkan) oleh Allâh .

Pemahaman di atas juga bertolak belakang dengan fakta sejarah dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajak ahlu kitab untuk masuk Islam dengan cara mengirim surat kepada mereka. Diantaranya beliau mengutus Dihyah bin Khalifah al-Kalby untuk mengirim surat kepada raja Romawi, dan juga mengutus ‘Abdullah bin Hudzafah al-Sahmi kepada raja Persia, dan mengutus ‘Amr bin ‘Umaiyyah al-Dhamry kepada Najasyi (sebutan raja) Habasyah, dan mengutus Hathib bin Abi Balta’ah kepada al-Muqaiqis raja Mesir, dan juga mengutus Sulaith bin ‘Amr al-‘Amury kepada Haudzah bin ‘Ali al-Hanafy di Yamamah.[20]

Ini menunjukkan bahwa pemeluk agama Nasrani dan lainnya adalah bagian dari obyek dakwah yang harus diajak masuk Islam dan meninggalkan agama lama yang ia yakini sebelumnya. Karena agama mereka jika dianggap benar dan sah atau sama dengan Islam setelah diutusnya Rasûlullâh, maka untuk apa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersusah-payah mengajak mereka masuk Islam?

PELAJARAN DARI AYAT
Dari keterangan diatas dapat diambil pelajaran, diantaranya:
1. Para pemeluk agama samawi sebelum datangnya Islam, mereka yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, dan tidak berbuat syirik, atau mereka yang beriman kepada Rasûlullâh setelah beliau diutus, maka mereka akan mendapatkan keberuntungan. Adapun mereka yang berbuat syirik atau beriman kepada Allâh dan hari akhir akan tetapi setelah diutusnya Rasûlullâh mereka inkar dan tidak beriman kepadanya maka mereka akan celaka.

2. Islam adalah agama terakhir yang menghapus agama sebelumnya.

3. Agama yang benar di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah agama Islam.

4. Rasûlullâh diutus oleh Allâh Azza wa Jalla keseluruh lapisan umat, berbeda dengan Nabi Musa dan Isa, mereka diutus hanya kepada Bani Israil saja sebelum datanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan Nabi Isa nanti ketika turun ke bumi ia akan mengikuti syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

5. Paham pluralisme agama yang menyatakan bahwa semua agama sama adalah paham yang bathil dan tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Washallallahu alaa Nabiyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi washahbihi wasallam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Kecintaan Dan Kedekatan Sesama Mukmin


Oleh
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalu Syaikh


Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan walâyah (kedekatan dan kecintaan) di antara kaum Mukminin. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus mencintai saudaranya sesama Mukmin dengan tulus dari dalam hatinya. Karena hati-hati mereka sama-sama mencintai Allâh, mencintai Rasul-Nya, dan tunduk pasrah kepada-Nya dengan mengikuti agama Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain. [at-Taubah/9:71]

Karena seorang Mukmin mencintai saudaranya sesama Mukmin, maka dia akan menolongnya dan membela kehormatannya. Dia tidak rela saudaranya dihinakan atau direndahkan. Jika saudaranya dihinakan, dia akan tampil membelanya, karena ini merupakan konsekwensi kecintaan.

Seorang Mukmin tidak akan menuduh Mukmin lainnya dengan tuduhan palsu, apalagi tuduhan itu dengan sebab kekeliruan saudaranya. Karena walâyah (kedekatan dan kecintaan) itu akan mendorongnya untuk memberikan nasehat kepada saudaranya, dia ingin saudaranya mendapatkan kebaikan sebagaimana dia menginginkan kebaikan itu untuk dirinya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri [HR. Bukhâri dan Muslim]

Semua orang itu sering atau pernah melakukan kesalahan. Disebutkan dalam sebuah hadits :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Semua anak cucu Adam sering berbuat salah dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah mereka yang banyak bertaubat." [HR. Ahmad; Tirmidzi; Ibnu Mâjah; Dârimi]

Jika seorang Mukmin terjatuh dalam kesalahan, maka sepantasnya Mukmin lainnya berusaha memberinya nasehat, karena sesungguhnya hati manusia itu suka dan mudah menerima nasehat yang tulus dari hati. Tidak sebaliknya, membeberkan kesalahan tersebut di kalangan umum atau menumpahkan kekesalan. Di saat itulah keimanan yang ada di kalangan kaum Mukmin menjadi pengikat yang kuat, mereka akan saling melindungi dan menolong.

Namun sangat disayangkan, lemahnya semangat melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan perintah Rasul-Nya telah tersebar dan merata di tengah masyarakat, sehingga sebagian majlis-majlis mereka berisi celaan dan gangguan terhadap saudara-saudara mereka sesama Mukmin.

Sebagian orang yang lemah imannya, jika mendengar saudaranya terjatuh dalam kebatilan atau kesalahan, mereka menyebarkannya dan menyangka itu merupakan bentuk nasehat (ketulusan; pembelaan). Padahal, sejatinya itu bertentangan dengan konsekwensi keimanan dan konsekwensi kecintaan sesama kaum Mukminin. Ini jika yang mereka sebutkan itu benar. Lalu bagaimana jika yang dia sebutkan itu tidak benar? Bagaimana jika yang dia sebutkan itu dusta lalu disebarkan oleh banyak orang tanpa memperdulikan kehormatan saudara-saudara mereka sesama Mukmin ?! Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [al-Ahzâb/33: 58]

Dalam ayat yang mulia ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa orang-orang yang menyakiti kaum Mukminin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. Termasuk dalam hal ini adalah menuduh dan menyebarkan berita dusta. Karena mereka hanya mendengar berita buruk, lalu disebar dan diulang-ulang. Mereka tidak memiliki bukti kongkrit. Oleh karena itu, mereka memikul dosa yang nyata, perbuatan maksiat yang nyata. Pelakunya tidak mendapatkan pahala, bahkan dia memikul dosa dan keburukan di dunia dan akhirat.

Sifat yang buruk ini, maksudnya menuduh dengan tuduhan palsu terhadap orang-orang beriman, yang yang diancam dalam ayat yang agung ini, sering dilakukan manusia semenjak zaman dahulu.

Ada sekelompok orang Rafidhah atau Syi’ah di zaman dahulu dan berikutnya telah menuduh kaum Mukminin dan Mukminat yang paling tinggi keimanan mereka, yaitu para sahabat Rasûlullâh n , dengan tuduhan yang tidak pernah mereka lakukan. Ini adalah dusta dan dosa nyata, sebagaimana dinyatakan oleh Allâh Azza wa Jalla. Tuduhan ini telah tersebar di kalangan manusia di zaman dahulu dan zaman sekarang.

Ada juga sekelompok orang dari umat ini yang menuduh para Ulama mereka, padahal para Ulama ini mengiringi para sahabat dalam keimanan dan pengamalan Islam. Mereka mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla , meniti jalan Sunnah, dan mengajak kepada aqidah tauhid, aqidah as-salafus shalih.

Tuduhan batil terhadap Ulama ini tersebar di masyarakat di zaman dahulu dan sekarang yang lemah imannya. Diantara mereka ada yang mengatakan berdasarkan dugaan, bukan berdasarkan suatu yang meyakinkan, “Aku sangka demikian.” Kemudian ada orang lain di majlis itu yang mendengarnya lalu menyampaikan ke orang lain. Dia mengatakan, “Diceritakan bahwa si A demikian dan demikian”, lalu datang orang ketiga dan mengatakan, “Aku telah mendengar demikian”, kemudian datang orang yang ke empat dan mengatakan, “Seorang yang tsiqah (terpercaya) telah memberitahuku demikian”. Lalu datang orang kelima dan menjadikannya sebagai berita yang benar, dianggap sebuah kebenaran yang tidak bisa didiskusikan lagi. Lalu berita itu tersebar di tengah masyarakat, padahal itu adalah tuduhan dusta terhadap Ulama.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ghibah:

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci.

Lalu beliau ditanya:

أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ

“Bagaimana pendapatmu, jika apa yang aku katakan itu benar-benar ada pada saudaraku ?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Jika apa yang engkau katakan itu benar adanya, berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak ada padanya, berarti engkau telah membuat kedustaan atasnya. [HR. Muslim, no. 2589; Tirmidzi, no. 1935; Abu Dâwud, no. 4874]

Ini fakta dalam banyak majlis. Mereka membicarakan orang-orang baik, orang-orang pilihan, para Ulama yang mengajak kepada petunjuk, mengajarkan umat aqidah Salaf, mengajak agar umat berpegang teguh dengan Islam. Mereka menuduhkan kepada para Ulama sesuatu yang tidak ada pada mereka atau tidak mereka lakukan. Dasar perkataan mereka hanyalah persangkaan semata, padahal Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan) [Al-Hujurat/49: 12]

Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kaum Mukminin menjauhi persangkaan diantara mereka. Allâh juga mewajibkan kaum Mukminin menjauhi sikap saling mencela. Kalau saling mencela sesama saja terlarang, lalu bagaimana jika celaan diarahkan kepada Ulama yang merupakan pewaris para Nabi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Dan sesungguhnya para Ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. [HR. Abu Dâwud no:3641; Tirmidzi no:3641; Ibnu Mâjah no: 223; Ahmad 4/196; Dârimi no: 1/98. haditn ini dinilai hasan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun Nâzhirin 2/470, hadits no: 1388]

Ini sebuah fakta yang menyedihkan. Seharusnya majlis-majlis kaum Mukminin bersih dari kedustaan dan dari hal-hal yang bisa mendatangkan dosa yang nyata dan dosa besar.

Kewajiban orang-orang yang beriman adalah saling menolong dan saling mencintai. Dan diantara buah kecintaan itu adalah saling menjaga kehormatan. Dan kehormatan paling tinggi yang berhak untuk dijaga adalah kehormatan Ulama umat ini. Persangkaan buruk kepada Ulama, hanya merugikan pelakunya sendiri, karena dampak buruknya akan kembali kepada pelaku.

Demikian juga halnya mencela orang-orang beriman dengan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Perilaku buruk ini juga sudah tersebar di sebagian majlis-majlis. Mereka menuduh orang lain hanya dengan dasar persangkaan. Perilaku buruk ini harus dihentikan ! Karena mencela orang lain dan menyebarkannya berarti mencela dirinya sendiri. Tidakkah kita dengar firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri [al-Hujurat/49:11]

Jika seorang Mukmin mencela saudaranya yang beriman, itu sebenarnya dia mencela dirinya sendiri, karena seorang Mukmin adalah saudara bagi Mukmin yang lain. Seharusnya, dia berusaha menjaga dan membela kehormatannya. Jika seseorang melihat atau mendengar keburukan orang lain, lalu dia menyebarkannya, berarti dia tidak peduli dosa dan akibat buruknya, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz Radhiyallahu anhu sambil memberikan isyarat kearah lidah :

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا

Tahan ini !

Mu’adz Radhiyallahu anhu bertanya :

يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟

Wahai Nabi Allâh, apakah kita akan disiksa dengan sebab ucapan yang kita katakan ?

Beliau menjawab :

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

Kasihan engkau hai Mu’adz ! Adakah yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka pada wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka selain hasil-hasil (akibat-akibat buruk) lidah mereka ?”.[Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, no: 2616; Ibnu Mâjah, no: 3872; Ahmad 5/230, 236, 237, 245; dll; Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no: 5126 dan Irwâ'ul Ghalîl, no. 413]

Oleh karena itu barangsiapa mendengar tentang sesuatu, tetapi dia belum memastikan kebenarannya, maka jangan sekali-kali dia membicarakannya. Karena menjaga kehormatan seorang Mukmin hukumnya wajib. Jika dia mendengar tentang sesuatu dan sudah memastikan kebenarannya, maka dia tidak boleh menyebarkannya dan menyampaikan kepada orang lain. Dia berkewajiban memberi nasehat secara rahasia. Karena jika dosa-dosa itu disebarkan di tengah masyarakat, maka mereka akan meremehkannya. Sehingga menyebarkan beritanya akan lebih mempermudah tersebarnya perbuatan dosa tersebut setelah sebelumnya disebarkan dengan perbuatan.

Hendaklah kita memperhatikan masalah besar ini. Yaitu masalah memberikan nasehat kepada kaum Mukminin. Memberikan nasehat dengan tetap menjaga kehormatan mereka, membimbing dan mengarahkannya untuk melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan kebaikan.

Hendaklah kita menjaga kehormatan para Ulama. Karena jika para Ulama dicela, maka perkataan mereka tidak akan didengar. Kedudukan mereka yang mulia sebagai pembimbing, pemberi fatwa dan juru dakwah akan hilang. Karena tabi'at umumnya orang, jika ada orang lain yang memiliki reputasi buruk, maka mereka tidak akan mendengar perkataannya.

Oleh karena itu, kita berkewajiban menjaga kehormatan para Ulama kita dari hal-hal buruk yang mereka sebarkan. Bukan hanya para Ulama, bahkan kita juga wajib menjaga kehormatan seluruh kaum Mukminin sesuai dengan kedudukannya di dalam keimanan, sesuai dengan kedudukannya di dalam melaksanakan perintah Allâh dan perintah RasulNya. Ini merupakan perkara penting. Janganlah kita isi majlis kita dengan desas-desus, “Fulan telah berkata”, “Orang lain berkata”, yang jika kita perhatikan, perkataan itu menyakiti kaum Mukminin dengan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan.

Kita memohon kepada Allâh Yang Maha Agung agar mensucikan lidah kita dan pendengaran kita. Dan agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengucapkan perkataan yang haq dan termasuk orang-orang berhati bersih yang selalu husnuz zhan (berbaik sangka) terhadap seluruh kaum Muslimin. Aku mohon petunjuk, ketaqwaan, ‘afaf (kehormatan; kemuliaan), dan kecukupan kepada Allâh untukku dan untuk kalian semua. Wallahu a'lam

(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari, dari khutbah jum’at Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalu Syaikh yang berjudul “Walayatul Mukmin”)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sumber:   http://almanhaj.or.id/

2 comments: