Saturday, February 22, 2014

Nama Allâh Al-Ahad Dan Al-Wahid (Yang Maha Esa)




Nama Allâh Al-Ahad Dan Al-Wahid (Yang Maha Esa)



Nama al-Ahad ini hanya disebutkan dalam satu surat saja, yaitu di dalam Surat al-Ikhlash.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah, "Dia-lah Allâh, Yang Maha Esa. Allâh adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." [al-Ikhlash/112:1-4]

Surat al-Ikhlâsh ini merupakan surat yang sangat mulia, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa surat al-Ikhlâsh sama dengan sepertiga al-Qur'ân karena di dalamnya terdapat penjelasan khusus tentang nama-nama Allâh yang maha Mulia dan sifat-sifat-Nya yang maha Agung.

Adapun nama al-Wahid, nama ini telah Allâh sebutkan berulang-kali di beberapa tempat dalam al-Qur'ân, diantaranya :

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dan ilahmu adalah ilah Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? [Yusuf/12:39]

قُلْ إِنَّمَا أَنَا مُنْذِرٌ ۖ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allâh Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan. [Shad/38:65]

قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Katakanlah, "Allâh adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Rabb Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” [ar-Ra'd/13:16]

Dua nama Allâh Azza wa Jalla diatas sama-sama menunjukkan ke-Esaan-Nya. Maksudnya hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang memiliki sifat mulia, agung , besar dan bagus. Tidak ada dzat yang mirip dengan dzat-Nya dan tidak ada sifat yang menyerupai sifat-Nya. Tidak ada sekutu dan pembantu dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Allâh Azza wa Jalla satu-satunya sesembahan yang berhak untuk diibadahi, tidak boleh dipersekutukan dalam hal cinta dan pengagungan. Sikap merendahkan diri dan tunduk hanya kepada-Nya saja. Dialah Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang agung sifat-Nya, sehingga hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang layak untuk menyandang segala kesempurnaan. Tidak ada satu maklukpun yang mengetahui sifat Allâh Azza wa Jalla atau sebagian dari sifat-Nya dengan sempurna. Dengan demikian bagaimana mungkin seseorang akan dapat menyerupai sebagian dari sifat-Nya.

Lafadz (al-Wahid) disebut berulang-ulang dalam al-Qur'ân berkaitan dengan pembahasan dan penjelasan tentang tauhid serta pembatalan syirik. Allâh Azza wa Jalla berfirman ketika menjelaskan tentang keMaha-Eesaan-Nya dan tentang kewajiban Ikhlas kepada-Nya:

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dan ilahmu adalah ilah Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]

قُلْ إِنَّمَا أَنَا مُنْذِرٌ ۖ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Katakanlah Hai Muhammad, "Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan, dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allâh Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan." [Shad/38:65]

إِنَّ إِلَٰهَكُمْ لَوَاحِدٌ﴿٤﴾رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَرَبُّ الْمَشَارِقِ

Sesungguhnya ilahmu benar-benar Esa, Rabbnya langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dan Rabbnya tempat-tempat terbit matahari [ash-Shâffât/37:4-5]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menggunakan nama al-Wahid ketika menjelaskan bahwa keMaha-Esaan-Nya adalah inti dakwah dan inti risalah semua Rasul. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Katakanlah, "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah, 'Bahwasanya ilahmu adalah Ilah Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya). [al-Anbiyâ'/21:108]

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ ۗ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ

Katakanlah, "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Ilah kamu adalah Ilah yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya,” [Fushshilat/41:6]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menggunakan nama al-Wahid dalam kontek dakwah agar orang tunduk dan patuh kepada Allâh Azza wa Jalla serta berserah diri dibawah keagungan-Nya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Maka Sesembahanmu ialah Sesembahan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allâh). [al-Hajj/22:34]

قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Katakanlah, "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah, "Bahwasanya Ilahmu adalah Ilah Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya). [al-Anbiyâ'/21:108]

وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya berserah diri kepada-Nya. [al-'Ankabut/29:46]

Nama tersebut juga disebut ketika Allâh mensucikan diri-Nya dari anggapan-anggapan dan tuduhan bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah salah satu dari yang tiga dan menjadikan seseorang sebagai anak. Sungguh Maha suci Allâh dari tuduhan itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا لَاصْطَفَىٰ مِمَّا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ سُبْحَانَهُ ۖ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Kalau sekiranya Allâh hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allâh. Dialah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. [az-Zumar/39:4]

وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ

Dan janganlah kamu mengatakan, "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allâh adalah Ilah Yang Maha Esa. [an-Nisâ/4:171]

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, "Bahwasanya Allâh salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada sesembahan yang benar selain dari Ilah Yang Esa.” [al-Mâidah/5:73]

Dengan nama itu pula Allâh Azza wa Jalla menjelaskan aqidah orang-orang musyrik yang batil. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ ۚ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَىٰ ۚ قُلْ لَا أَشْهَدُ ۚ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ

Katakanlah, "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah, "Allâh" Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan al-Qur'ân ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai (atau mendengar) al-Qur'ân. Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allâh ?" Katakanlah, "Aku tidak mengakui." Katakanlah, "Sesungguhnya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allâh).” [al-An'âm/6:19]

وَقَالَ اللَّهُ لَا تَتَّخِذُوا إِلَٰهَيْنِ اثْنَيْنِ ۖ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

Allâh berfirman, "Janganlah kamu mengibadahi dua tuhan; sesungguhnya Dialah Ilah Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut". [an-Nahl/16:51]

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? [Yusuf/12:39]

Juga ketika Allâh menjelaskan keagungan, kekuasaan dan tunduknya semua makhluq kepadaNya pada hari kiaamat, Allâh berfirman:

يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ ۖ لَا يَخْفَىٰ عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ ۚ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ ۖ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allâh. (Lalu Allâh berfirman), "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.[al-Mu'min/40:16]

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ ۖ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allâh yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. [Ibrâhîm/14:48]

Kesimpulan dari dua nama Allâh yaitu al-Ahad dan al-Wahid adalah Maha Esanya Rabb l dalam semua kesempurnaan-Nya, tidak ada yang menandingi-Nya. Dengan demikian, kewajiban setiap hamba yang mengetahui semua itu adalah mentauhidkan Allâh, baik dengan keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Hendaknya mengakui pula keutamaan dan ke-Esaan Allâh yang mutlak serta mentauhidkan-Nya dalam semua bentuk peribadatan.

Beberapa pelajaran atau petunjuk yang dapat kita ringkas dari dua nama ini, antara lain:
1. Tidak ada yang menyamai dan menandingi Allâh, serta tidak ada yang setara dengan-Nya dalam segala segi. Allâh Maha Suci dan Maha Tinggi, tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak ada pula yang manandingi-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? [Maryam/19:65]

Juga berfirman dalam Surat al-Ikhlas/112 : 4

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.

Begitu pula dalam Surat asy-Syûra/42 :11

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat."

2. Batilnya pemahaman takyîf yaitu, usaha seseorang dengan akalnya yang lemah untuk mengetahui bagaimana sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Usaha semacam itu tidak mungkin bisa terwujud, hanya sia-sia belaka. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satu-Nya yang memiliki sifat sempurna, agung dan mulia, maka tidak ada satu dzatpun yang bisa menjadi serikat-Nya, tidak ada yang dapat menyerupai-Nya. Tidak ada satu akalpun yang dapat mengetahui hakikat Allâh Azza wa Jalla , bahkan kesempurnaan apapun yang terlintas dalam benak makhluk, maka Allâh Subhanahu wa Ta’alaebih besar dan lebih agung dari itu semua.

3. Penetapan seluruh sifat Allâh yang sempurna,tidak ada satu sifat yang menunjukkan kemuliaan dan keindahan melainkan sifat tersebut telah dimiliki Allâh Azza wa Jalla , karna hanya Allâhlah yang memiliki sifat sempurna secara mutlaq dan tidak ada kekurangan sedikitpun pada-Nya.

4. Bahwa semua sifat yang Allâh Azza wa Jalla miliki, merupakan sifat-sifat paling agung yang berada pada puncak keagungan. Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam surah an-Najm/53 : 42

وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ

"Dan bahwasanya kepada Rabbmulah kesudahan (segala sesuatu)."

Maka bagi-Nyalah pendengaran paling sempurna dan penglihatan paling sempurna. Semua sifat-Nya adalah sifat paling sempurna. Sebagaimana Allâh berfirman :

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ

Dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi. [an-Nahl/16:60]

5. Mahasucinya Allâh dari segala kekurangan dan aib. Karena itu merupakan sifat para makhluk, sementara Allâh adalah Dzat yang memiliki sifat sempurna, agung dan mulia tanpa ada satu makhlukpun yang semisal dengan-Nya, sebagaimana firman Allâh ketika menyatakan kesucian diri-Nya dari sifat memperanak dalam surat az-Zumar/39 :4

سُبْحَانَهُ ۖ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

"Maha Suci Allâh. Dialah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan."

6. Wajibnya berikrar ( menyatakan) bahwa Allâh Azza wa Jalla memiliki kesempurnaan sifat yang mutlak, baik dalam Dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dan keyakinan itu hendaknya tertanam dalam hati. Ini disebut Tauhid Ilmi (berkaitan dengan pemahaman).

7. Wajibnya meng-Esakan Allâh dan ikhlas dalam beribadah, serta meyakini bahwa Allâh Azza wa Jalla satu-satunya Pencipta dan Pemberi rizki yang dapat memberi maupun menahannya, dapat merendahkan serta mengangkat derajat hamba-Nya, dan dapat menghidupkan serta mematikan. Oleh karna itu wajib meng-Esakan Allâh Azza wa Jalla dalam semua sisi peribadatan. Ini di sebut Tauhid 'Amali (berkaitan dengan pengamalan).

8. Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik dan semua aliran sesat yang sama sekali tidak menghormati dan mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dengan penghormatan dan pengagungan yang semestinya. Tidak pula mengakui ke-Esaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sehingga mereka membuat sekutu-sekutu bagi Allâh Azza wa Jalla , membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan berburuk sangka kepada Allâh, mencela serta meremehkan Rububiyah Allâh dan melakukan pelanggaran terhadap tujuan diciptakannya manusia yaitu mentauhidkan (mengesakan) Allâh, tunduk dan patuh dengan melaksanakan semua peribadatan kepada Allâh. Mereka kesal dan mendongkol bila disebut kalimat TAUHID, jiwa mereka jauh dari kebenaran dan petunjuk Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ ۖ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

Dan apabila hanya nama Allâh saja disebut, kesAllâh hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allâh yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati. [ az-Zumar/39:45]

Juga berfirman dalam surat al-Isra' :

وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَىٰ أَدْبَارِهِمْ

Dan apabila kamu menyebut Rabbmu saja dalam al-Qur'ân, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya. [al-Isrâ'/17:46]

Juga dalam surat Ghâfir atau al-Mu'min :

ذَٰلِكُمْ بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْ ۖ وَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ تُؤْمِنُوا ۚ فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

Yang demikian itu karena kamu kafir apabila hanya Allâh saja yang diibadahi. Tetapi kamu percaya apabila Allâh dipersekutukan. Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allâh Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Ghâfir/40:12]

Demikianlah, semoga Allâh memberi taufiq kepada kita semua untuk benar-benar mampu mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan beriman dengan baik dalam meng-Esakan-Nya. Sesungguhnya hanya Allâh yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan do'a.

(Diterjemahkan secara bebas dari kitab: Fiqhu al-Asmâ' al-Husnâ, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Badr, cet. I, 1429 H/2008 M)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Shalat Sunnat Dua Rakaat Sesudah Shalat ‘Ashar



Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari


MUKADDIMAH
Berkenaan dengan permasalahan shalat sunnat dua rakaat sesudah shalat Ashar yang banyak pertanyakan oleh para pembaca dari makalah yang telah kami tulis sebelumnya dan juga yang tercantum dalam buku kami yang berjudul ‘Panduan Amal Sehari Semalam’, maka berikut ini kami menyantumkan sekilas pembahasan masalah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena apa yang tercantum dalam naskah kami tersebut berbeda dengan ma’lumat yang sudah lama beredar atau mungkin sudah mendarah daging. Ma’lumat yang menyatakan bahwa tidak ada shalat sunat setelah shalat ‘Ashar. Kesimpulan ini berdasarkan beberapa riwayat atau hadits shahih yang zhahirnya berisi larangan mengerjakan shalat sunnat sesudah shalat ‘Ashar. Diantaranya hadits marfu’ :

لاَ صَلاَة َبَعْدَ العَصْرِ حَتىَّ تَغْرُبَ الشَّمْسُ

Tidak ada shalat (sunat) sesudah shalat ‘Ashar hingga matahari terbenam[1]

Dan beberapa hadits lain yang semakna. Kesimpulan terlarangnya shalat sunat setelah shalat ‘Ashar juga berdasarkan riwayat yang menjelaskan bahwa Umar Radhiyallahu anhu melarang shalat sunat dua raka’at setelah ‘Ashar, bahkan tidak cukup hanya melarang, bahkan beliau Radhiyallahu anhu memukuli orang yang melakukannya.

SHALAT SUNNAT DUA RAKA’AT SETELAH SHALAT ‘ASHAR
Hadits pertama yang zhahirnya berisi larangan dari shalat sunat setelah ‘Ashar itu tidak diragukan lagi keshahihannya. Namun larangan dalam hadits tersebut masih bersifat mutlak (umum). Keumuman makna suatu hadits masih mungkin ditakhshish (dibatasi maknanya) oleh hadits atau dalil yang lain, termasuk keumuman makna yang terkandung dalam hadits di atas. Keumuman makna tersebut telah dibatasi dan dikhususkan oleh hadits yang mengisyaratkan bahwa larangan itu berlaku apabila matahari sudah menguning. Artinya, bila matahari masih putih atau belum menguning, maka shalat sunat sesudah ‘Ashar masih boleh dilakukan.

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Hadits (larangan) ini (berlaku) khusus apabila matahari sudah menguning. Adapun bila matahari masih putih dan terang, maka shalat pada saat itu tidak termasuk yang dilarang. Berdasarkan hadits Ali Radhiyallahu anhu secara marfu’ dengan lafazh :

نهَىَ عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ العَصْرِ إِلاَّ وَ الشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat sesudah Ashar kecuali matahari ketika masih tinggi.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud[2] , an-Nasâ'i[3] dan Ahmad[4] dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu secara marfu’

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Hajar al-Asqalâni [6] .”[7]
al-Baihaqi rahimahullah mempertentangkan kedua hadits tersebut, yakni hadits-hadits yang melarang shalat sesudah shalat ‘Ashar dan hadits Ali Radhiyallahu anhu di atas. Beliau rahimahullah memandang hadits yang melarang lebih kuat daripada hadits yang membolehkan (hadits Ali Radhiyallahu anhu).

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengomentari pendapat ini dengan mengatakan, "Sebenarnya, kedua hadits tersebut shahih, walaupun hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi lebih kuat, akan tetapi bukan jalan (metode) ahli ilmu, menolak hadits yang kuat karena secara zhahir bertentangan dengan hadits yang lebih kuat, apalagi keduanya masih memungkinkan untuk dipadukan atau dikonpromikan. Demikian juga dalam masalah ini. Karena hadits tersebut (hadits yang membolehkan) mengkhususkan hadits-hadits (larangan) yang telah diisyaratkan oleh al-Baihaqi. Seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (yang artinya), “Tidak ada shalat sesudah 'Ashar hingga matahari terbenam.” Muttafaqun ‘alaihi.

Hadits ini mutlak, dibatasi maknanya oleh hadits Ali Radhiyallahu anhu di atas. Inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam perkataannya, “Ini adalah tambahan (riwayat) dari seorang perawi tsiqah yang tidak boleh ditinggalkan.”

Kemudian al-Baihaqi rahimahullah juga mengatakan, “Ada riwayat dari Ali Radhiyallahu anhu yang menyelisihi riwayat (tentang keberadaan shalat sunat setelah Ashar-red) ini dan ada pula riwayat dari beliau Radhiyallahu anhu yang sejalan dengannya.”

Al-Baihaqi rahimahullah dan adh-Dhiyâ’ rahimahullah dalam kitab al-Mukhtârah (I/185) membawakan riwayat dari jalur Sufyan, ia berkata, “Abu Ishaq telah menyampaikan kepadaku dari ‘Ashim bin Dhamrah dari Ali Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu mengatakan :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ ؛ إِلاَّ الْفَجْرَ وَالْعَصْرَ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat dua rakaat setiap kali selesai shalat fardhu, kecuali shalat Subuh dan shalat ‘Ashar.” [8]

(Riwayat ini bertentangan dengan keberadaan shalat sunat setelah 'Ashar-red).

Menegnai hal ini, Syaikh al-Albâni rahimahullah berkomentar, “Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits pertama secara mutlak. Karena hadits ini hanya menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar. Sementara hadits yang pertama tidak menetapkannya secara mutlak (dalam semua waktu-red), hingga bisa dipertentangakan dengannya. Minimal hadits (pertama) ini menjelaskan bolehnya shalat sesudah ‘Ashar sampai matahari belum menguning. Dan tidak mesti semua perkara yang dibolehkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dalil syar’i, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan."[9]

SHALAT ITU ADALAH SHALAT BA’DIYAH ZHUHUR
Yang menolak keberadaan shalat sunat dua raka'at setelah Ashar juga mengakui keshahihan riwayat yang menyatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat sunat setelah 'Ashar. Namun mereka mengatakan bahwa itu adalah shalat sunat rawatib setelah Zhuhur. Pada suatu waktu dan karena suatu hal, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa mengerjakannya pada waktunya, oleh karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya setelah shalat 'Ashar. Dan setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam rutin melakukannya.

Mengenai hal ini Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, "Memang ada riwayat shahih dari Ummu Salamah dan 'Aisyah Radhiyallahu anhuma (yang menerangkan-red) bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah dua raka'at ba’diyah (setelah) Zhuhur sesudah shalat ‘Ashar. 'Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkannya sesudah itu." (Zhahirnya, riwayat -red) ini bertentangan dengan hadits Ali Radhiyallahu anhu yang kedua di atas."

Syaikh al-Albani rahimahullah melanjutkan, "Mengkompromikan kedua hadits di atas mudah sekali. (Yaitu) Setiap perawi meriwayatkan ilmu yang diketahui. Dan orang yang mengetahui merupakan hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Nampaknya, setelah beberapa lama, akhirnya Ali Radhiyallahu anhu mengetahui dari beberapa shahabat Ali Radhiyallahu anhu apa yang telah beliau Radhiyallahu anhu nafikan pada hadits ini[10] . Dan dalam sebuah riwayat yang shahih darinya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar. Dan riwayat itulah yang disebutkan dalam lanjutan perkataan al-Baihaqi, “Adapun riwayat Ali Radhiyallahu anhu yang sejalan dengan hadits Ali (di atas) adalah hadits yang disampaikan kepada kami…” Lalu beliau rahimahullah menyebutkan dari jalur Syu’bah dari Abu Ishaq dari ‘Ashim bin Dhamrah, ia berkata, “Kami pernah bersama Ali Radhiyallahu anhu dalam sebuah safar. Ia mengimami kami shalat ‘Ashar dua rakaat. Sesudah itu ia masuk ke dalam kemahnya, sementara aku melihat ia mengerjakan shalat dua rakaat.

Dalam riwayat ini disebutkan bahwa Ali Radhiyallahu anhu mengamalkan kandungan haditsnya yang pertama, yaitu bolehnya shalat sesudah ‘Ashar.

Ibnu Hazm telah meriwayatkan (IV/3) dari Bilal Radhiyallahu anhu , muadzin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata, “Tidak dilarang mengerjakan shalat kecuali ketika matahari sedang terbenam.”

al-Albani rahimahullah berkata, “Sanadnya shahih, dan ini merupakan bukti yang kuat bagi hadits Ali Radhiyallahu anhu . Tentang dua rakaat sesudah ‘Ashar, Ibnu Hazm menukil pendapat yang membolehkannya dari sejumlah shahabat, bagi yang ingin mengetahuinya silakan melihat kitab beliau (yakni al-Muhalla).

Kesimpulan yang ditunjukkan oleh hadits ini yaitu pendapat yang menyatakan bolehnya mengerjakan shalat sunnat sesudah shalat ‘Ashar sebelum matahari menguning adalah pendapat yang patut dipegang dalam masalah yang masih diperselisihkan ini. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm rahimahullah , yang mengikuti pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , sebagaimana disebutkan al-hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah dan lainnya. Maka janganlah engkau terpedaya dengan jumlah yang banyak apabila ternyata menyelisihi sunnah.”

Syaikh al-Albâni rahimahullah melanjutkan penjelasannya, “Kemudian saya menemukan jalur lain dari hadits ini yaitu dari jalur Ali Radhiyallahu anhu dengan lafazh,

لاَ تُصَلُُّّوا بَعْدَ العَصْرِ ، إِلاَّ أَنْ تُصَلُّوا وَ الشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ

Janganlah kalian shalat sesudah ‘Ashar, kecuali bila kalian mengerjakannya sementara matahari masih tinggi.

Hadits ini semakin menguatkan hadits Ali Radhiyallahu anhu sebelumnya. Apalagi riwayat ini berasal dari jalur ‘Ashim Radhiyallahu anhu yang juga meriwayatkan dari Ali bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar.”[11]

Kemudian ada hadits marfu’ lain dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang mendukung hadits tersebut. Lafazh hadits marfu' itu adalah :

لاَ تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ ، وَ لاَ عِنْدَ غُرُوْبِهَا فَإِنَّهَا تَطْلُعُ وَ تَغْرُبُ عَلَى قَرْنِ شَيْطَانٍ وَ صَلُّوا بَيْنَ ذلِكَ مَا شِئْتُمْ

Janganlah kalian shalat ketika matahari sedang terbit dan ketika sedang terbenam, karena ia terbit dan terbenam di atas tanduk setan. Dan shalatlah di selain waktu itu sesuka kalian.”

Setelah menjelaskan keshahihan hadits ini, syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Kedua hadits ini (hadits Ali sebelumnya dan hadits Anas ini) merupakan dalil bahwa pendapat yang masyhur dalam kitab-kitab fiqh berupa larangan shalat sesudah ‘Ashar secara mutlak, walaupun matahari masih putih cahayanya dan masih tinggi, adalah pendapat yang bertentangan dengan kedua hadits yang sudah jelas di atas. Hujjah mereka dalam hal ini hanyalah hadits-hadits yang ma’ruf tentang larangan shalat sesudah ‘Ashar secara mutlak. Sementara kedua hadits di atas mengkhususkan hadits-hadits larangan tersebut, mohon dimaklumi."[12]

Hadits lain dalam masalah ini adalah hadits riwayat Muhammad bin al-Muntatsir yang menerangkan bahwa ia mengerjakan shalat dua rakaat sesudah ‘Ashar, lalu ada yang bertanya kepadanya tentang hal itu, ia menjawab, “Seandainya alasanku mengerjakannya hanyalah karena aku melihat Masruq[13] telah mengerjakannya niscaya sudah bisa dipercaya, akan tetapi aku (juga) bertanya kepada 'Aisyah, lalu ia menjawab.

كَانَ لاَ يَدَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الفَجْرِ ، وَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العَصْرِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan dua rakaat sebelum fajar dan dua rakaat sesudah ‘Ashar.

Hadits ini dishahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah, VI/1010 (no. 2920)

Beliau rahimahullah juga menyantumkan hadits lain dengan lafazh, “Tidak lewat satu haripun melainkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan dua rakaat sesudah ‘Ashar.”[14]

Dalam lafazh lain disebutkan, “Dua rakaat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dua raka'at sebelum shalat Shubuh dan dua raka'at sesudah shalat ‘Ashar.”

Kemudian syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari sejumlah Ulama salaf bahwa mereka mengerjakan dua rakaat sesudah ‘Ashar ini, diantaranya Abu Burdah bin Abu Musa, Abu ats-Tsa’syaa’, Amru bin Maimun, al-Aswad bin Yazid dan Abu Waail. Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih dari mereka. Diantaranya juga adalah Muhammad bin al-Muntatsir dan Masruq seperti yang telah disebutkan di atas."[15]

UMAR RADHIYALLAHU ANHU MEMUKULI ORANG YANG SHALAT SETELAH SHALAT ASHAR
Diantara yang menjadi argumen orang yang menolak dan melarang shalat sunat setelah shalat 'Ashar adalah pemukulan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu terhadap orang yang melakukannya.

Syaikh al-Albâni rahimahullah menjelaskan masalah ini, “Hukuman Umar Radhiyallahu anhu terhadap orang yang mengerjakannya itu dianggap sebagai salah satu ijtihad Umar Radhiyallahu anhu yang dibangun di atas dasar kaidah sadduz dzara'i (menutup celah yang berpotensi menjerumuskan pelakunya kepada yang terlarang). Sebagaimana diisyaratkan dalam dua riwayat yang disebutkan oleh al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri (II/65).

1. Riwayat pertama terdapat dalam kitab Mushannaf Abdurrazzaq (II/431-432), Musnad Ahmad (IV/155), ath-Thabrâni (V/260), dan dihasankan oleh al-Haitsami (II/223).
2. Riwayat kedua, yang diriwayatkan oleh Ahmad (IV/102), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/58-59) dan al-Ausath (8848).

Dan aku telah menemukan riwayat yang ketiga yang memperkuat dua riwayat sebelumnya. Yaitu dari riwayat Isrâil dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bagaimana beliau mengerjakannya ?' Lalu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menjawab, “Beliau mengerjakan shalat Zhuhur lalu mengerjakan shalat dua rakaat sesudahnya, kemudian mengerjakan shalat ‘Ashar dan mengerjakan dua rakaat sesudahnya.” Maka aku berkata, “Bukankah dahulu Umar Radhiyallahu anhu memukuli orang yang mengerjakan dua raka'at sesudah ‘Ashar dan melarangnya ?" Maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menimpali, “Umar Radhiyallahu anhu pernah mengerjakannya, dan ia tahu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya. Akan tetapi kaummu ini adalah orang-orang orang-orang yang semangat beragama namun bodoh. Mereka mengerjakan shalat Zhuhur, kemudian (terus –red) mengerjakan shalat antara Zhuhur dan ‘Ashar. Lalu mereka mengerjakan shalat ‘Ashar kemudian mereka (terus –red) mengerjakan shalat antara Ashar dan Maghrib. Karena itulah Umar Radhiyallahu anhu memukul mereka. Dan apa yang beliau lakukan itu benar.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Abbâs as-Sarâj dalam Musnadnya (I/132). Dan sanadnya shahih.”

Syaikh al-Albani rahimahullah melanjutkan, “Ini merupakan bukti kuat bagi dua atsar yang diisyaratkan sebelumnya. Dan merupakan nash yang sangat jelas bahwa larangan Umar Radhiyallahu anhu terhadap dua rakaat ini bukan karena shalat itu tidak disyari'atkan sebagaimana perkiraan banyak orang. Akan tetapi karena beliau Radhiyallahu anhu khawatir akan ‘keterusan’ mengerjakan shalat sesudah dua rakaat ini, atau menundanya sampai masuk waktu yang dimakruhkan, yaitu ketika matahari telah menguning. Dan itulah waktu terlarang untuk melaksanakan shalat (sunat) setelah shalat 'Ashar yang dimaksudkan dalam banyak hadits shahih, sebagaimana telah dijelaskan di bawah penjelasan dua hadits yang terdahulu (yakni hadits Ali Radhiyallahu anhu dan hadits Anas Radhiyallahu anhu).”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dua raka'at sesudah shalat ‘Ashar merupakan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila dikerjakan sesudah shalat ‘Ashar sebelum matahari menguning. Dan hukuman yang dijatuhkan oleh Umar Radhiyallahu anhu atas pelakunya merupakan hasil ijtihad beliau Radhiyallahu anhu dan disetujui oleh sebagian sahabat, namun tidak disetujui oleh sahabat yang lain. Diantaranya adalah Ummul Mukminin Radhiyallahu anhuma. Masing-masing dari kedua belah pihak ada yang menyetujuinya. Maka wajib merujuk kepada sunnah, yang shahih dari riwayat Ummul Mukminin Radhiyallahu anhuma, tanpa ada dalil yang menyelisihinya, kecuali hadits umum yang telah dikhususkan dengan hadits Ali Radhiyallahu anhu dan Anas Radhiyallahu anhu yang telah diisyaratkan nomornya tadi. Dan kelihatannya ini juga merupakan madzhab Ibnu Umar Radhiyallahu anhu. Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan (no. 589) dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :

أُصَلِّي كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يُصَلُّونَ لَا أَنْهَى أَحَدًا يُصَلِّي بِلَيْلٍ وَلَا نَهَارٍ مَا شَاءَ غَيْرَ أَنْ لَا تَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا

Aku akan mengerjakan shalat seperti aku lihat sahabat-sahabatku mengerjakannya. Aku tidak melarang seorangpun mengerjakan shalat pada malam atau siang hari selama ia mau, hanya saja janganlah ia menyengaja shalat ketika matahari terbit dan matahari terbenam.

Ini juga merupakan pendapat Abu Ayyub al-Anshâri Radhiyallahu anhu. Abdurrazzaq rahimahullah telah meriwayatkan darinya (II/433) dengan sanad yang shahih dari Ibnu Thawus dari ayahnya, bahwa Abu Ayyub al-Anshâri Radhiyallahu anhu mengerjakan shalat dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar sebelum masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu anhu . Ketika Umar menjabat khalifah Abu Ayyub zRadhiyallahu anhu tidak lagi mengerjakannya. Ketika Umar Radhiyallahu anhu telah wafat, Abu Ayyub Radhiyallahu anhu kembali mengerjakannya. Ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa begitu ?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Umar Radhiyallahu anhu menghukum orang-orang yang mengerjakannya.” Ibnu Thawus berkata, “Ayahku tidak pernah meninggalkan dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar itu.”

Syaikh al-Albâni melanjutkan, “Di sini perlu kami ingatkan Ahlus Sunnah yang bersemangat untuk menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah agar mengerjakan dua raka'at ini sesudah shalat ‘Ashar pada waktu yang telah disyari'atkan. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ سَنَّ فِي الإسْلاَمِ سُنَّة ًحَسَنَةً

Barangsiapa mencontohkan sunnah yang baik dalam Islam...[16]

Dalam riwayat yang lain pula masih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang shalat yang dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia menjawab.

كَانَ يُصَلِِّّي الهََجِِيرَ ثُُمَّ يُصَلِِّّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِِ، ثُمَّ يُصَلِِّّي العَصْرَ، ثُمَّ يُصَلِِّّي بَعْدَهَا رَكْْْعَتَيْنِِ

Beliau mengerjakan shalat Zhuhur lalu mengerjakan shalat dua rakaat sesudahnya. Kemudian beliau mengerjakan shalat ‘Ashar kemudian mengerjakan shalat dua raka'at sesudahnya.”

Hadits ini juga dishahihkan oleh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah, VII/1426, no. 3488.

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ahmad diriwayatkan dari al-Miqdam, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat sesudah ‘Ashar ?, ia menjawab, “Kerjakanlah, sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaummu dari penduduk Yaman mengerjakan shalat apabila matahari sedang terbit.”

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Pada perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang mauqûf ini terdapat beberapa faidah yang tidak disebutkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, yaitu, Umar Radhiyallahu anhu tidak melarang dua raka'at sesudah shalat ‘Ashar karena mengingkari pensyariatannya. Namun beliau melarangnya semata-mata untuk menutup celah kepada sesuatu yang dilarang, yaitu beliau Radhiyallahu anhu khawatir mereka akan mengerjakannya pada waktu yang diharamkan shalat, yaitu ketika matahari akan terbenam. Ada beberapa bukti yang menguatkannya dari riwayat Tamîm ad-Dâri dan Zaid bin Khalid al-Juhani. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tidak mengomentari sanad kedua riwayat ini dalam Fathul Bâri (II/65). Sedangkan sanad riwayat Zaid dihasankan oleh al-Haitsami.

Hadits Tamiim diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata, “Umar Radhiyallahu anhu keluar menemui manusia dan memukul mereka karena mengerjakan dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar. Hingga beliau Radhiyallahu anhu bertemu dengan Tamîm ad-Dâri Radhiyallahu anhu. Tamîm Radhiyallahu anhu berkata, “Aku tidak akan meninggalkan dua raka'at ini. Sungguh aku telah mengerjakannya bersama orang yang lebih baik darimu ! Yakni Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Maka Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh, seandainya semua orang seperti dirimu niscaya aku tidak ambil peduli.”

Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/101) dengan sanad yang perawinya tsiqah, perawi al-Bukhâri dan Muslim, akan tetapi al-Haitsami berkata (II/222), “Urwah belum mendengar dari Umar Radhiyallahu anhu .”

Akan tetapi Abdullah bin Shalih telah meriwayatkannya, ia berkata, al-Laits telah menceritakan kepadaku dari Abul Aswad dari ‘Urwah bin az-Zubeir, ia berkata, “Tamim ad-Dâri telah mengabarkan kepadaku bahwa Tamîm ad-Dâri mengerjakan dua raka'at tersebut setelah Umar Radhiyallahu anhu melarang shalat sesudah ‘Ashar. Lalu Umar Radhiyallahu anhu mendatanginya dan hendak memukulnya dengan cambuk. Akan tetapi Tamim berisyarat kepadanya agar duduk, karena saat itu ia sedang shalat. Maka Umar Radhiyallahu anhu duduk hingga Tamîm selesai shalat. Tamîm berkata kepada Umar Radhiyallahu anhu , “Mengapa engkau hendak memukulku ?” Umar Radhiyallahu anhu menjawab, “Karena engkau mengerjakan dua raka'at yang telah aku larang ini.”

Lalu Tamîm Radhiyallahu anhu mengatakan seperti yang telah disebutkan di atas tadi, kemudian ditambahkan, “Umar berkata, “Sesungguhnya sasaranku bukanlah kalian wahai kaum ! Akan tetapi aku khawatir akan datang sesudah kalian satu kaum yang mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar sampai waktu Maghrib. Hingga mereka melewati atau memasuki waktu yang terlarang bagi mereka untuk mengerjakan shalat, sebagaimana mereka mengerjakannya antara shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar. Kemudian mereka beralasan, 'Kami telah melihat si Fulan dan si Fulan mengerjakan shalat sesudah shalat ‘Ashar.” Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/48/1281) dan dalam al-Ausath (VIII/296/8684)[18].

Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Adapun hadits Zaid bin Khalid al-Juhani, diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-A’mâ dari seorang lelaki yang bernama as-Sâib Maula al-Farisiyyin dari Zaid, bahwa Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu -saat itu beliau menjadi khalifah- melihatnya mengerjakan dua rakaat sesudah ‘Ashar. Maka Umar Radhiyallahu anhu mendekatinya dan memukulnya dengan cambuk, sementara Zaid Radhiyallahu anhu terus melanjutkan shalatnya. Selesai shalat, Zaid berkata, “Pukullah wahai Amirul Mukminin ! demi Allâh aku tidak akan meninggalkannya selama-lamanya karena aku telah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.”

Umar Radhiyallahu anhu duduk di dekatnya lalu berkata, “Hai Zaid Radhiyallahu anhu , kalaulah bukan karena aku khawatir orang-orang akan menjadikannya jalan untuk mengerjakan shalat sampai malam hari niscaya aku tidak akan memukul karenanya.”

Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (II/431-432) –redaksi di atas adalah riwayatnya-, hadits ini diriwayatkan juga dari jalurnya dan dari jalur lainnya oleh Ahmad (IV/115), ath-Thabraani dalam al-Mu’jamul Kabîr (V/260/5166 dan 5167), setelah menisbatkannya kepada Ahmad dan ath-Thabrâni, al-Haitsami berkata, “Sanadnya hasan.” al-Albâni berkata, “Abu Sa’ad al-A’mâ tidak ada yang menyebutnya tsiqah kecuali Ibnu Hibbân, oleh karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan dalam kitab at-Taqrîb, “Majhûl!” Barangkali yang dimaksud oleh al-Haitsami adalah hasan lighairihi dilihat dari riwayat terdahulu, wallahu a’lam.

Syaikh al-Albâni rahimahullah juga menyebutkan riwayat 'Aisyah yang lain tanpa menyebutkan persetujuan 'Aisyah terhadap apa yang dilakukan oleh Umar. Diriwayatkan oleh al-Mughiirah dari Ibrahim dari al-Aswad dari 'Aisyah bahwa ia berkata, “Apakah engkau memukul orang karena mengerjakan dua rakaat tersebut ? Sungguh Rasûlullâh tidak menemui melainkan beliau mengerjakan dua raka'at tersebut.”

Lalu syaikh rahimahullah menyebutkan riwayat Jarir dari al-Mughirah tanpa menyebutkan perihal pemukulan yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu anhu . Setelah itu, syaikh al-Albâni menyimpulkan, “Inilah riwayat yang shahih dari 'Aisyah (yaitu riwayat –red) tanpa ada penyebutan perihal pemukulan yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu anhu .”[19]

Ada pula riwayat lain yang menguatkan pendapat ini. Diriwayatkan dari Abdullah bin Rabbâh dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ‘Ashar, seusai shalat bangkitlah seorang lelaki untuk mengerjakan shalat. Umar melihat hal itu. Ia berkata kepada lelaki itu, “Duduklah, sesungguhnya Ahli Kitab itu binasa karena tidak ada pemisah di antara shalat-shalat yang mereka lakukan.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.

أَحْسَنَ ابْنُ الخَطَّابِ

Benar apa yang dikatakan oleh Ibnul Khahthab.[20]

Syeikh al-Albâni rahimahullah menjelaskan salah satu faidah dari hadits ini, “Dalam hadits ini terdapat faidah penting lainnya, yaitu bolehnya mengerjakan shalat sunnat sesudah ‘Ashar. Sebab kalaulah tidak dibolehkan tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingkari perbuatan lelaki itu sebagaimana yang tampak nyata. Dan ini selaras dengan hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengerjakan shalat dua rakaat sesudah ‘Ashar. Dan ini juga menunjukkan bahwa hal itu bukanlah khushushiyyah (kekhususan) bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Adapun sabda beliau “Tidak ada shalat sesudah ‘Ashar hingga matahari terbenam.” dibawakan kepada kondisi apabila matahari sudah menguning, berdasarkan hadits-hadits shahih yang membatasi maknanya.”

KESIMPULAN
Dibolehkan mengerjakan shalat sunnat dua rakaat sesudah ‘Ashar selama matahari masih tinggi dan cahayanya masih putih belum menguning, berdasarkan beberapa hadits yang menyatakan hal tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar sampai matahari terbenam dibatasi maknanya dan dikhususkan kandungannya kepada kondisi apabila matahari sudah menguning.

Wallahu a’lam bis shawaab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sumber: http://almanhaj.or.id/

_______

1 comment: