Monday, October 29, 2012

Suasana Hari Arafah Mengingatkan Hari Kiamat


Suasana Hari Arafah Mengingatkan Hari Kiamat


SUASANA HARI ARAFAH MENGINGATKAN HARI KIAMAT

Oleh
Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Abbad



Diantara pelajaran penting dan penuh makna dari pelaksanaan ibadah haji adalah perkumpulanbanyak orang di tempat penuh berkah yang di saksikan oleh semua jama'ah haji di hari Arafah.Mereka wukuf di Arafah sambil mengucapkan talbiyah dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla , mengharap rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya, memohon karnunia-Nya yang berlimpah di hari perkumpulan umatIslam terbesar yang pernah di saksikan.

Wukuf (di Arafah) mengingatkan kaumMuslimin akan adanya perkumpulan yang mahabesar nanti di hari kiamat. Kala itu, seluruh manusia dari yang pertama sampai yang terakhir akan berkumpul untuk menunggu keputusan Allâh Azza wa Jalla kemudian mereka akan berjalan menuju tempatnya masing masing. Ada yang mendapatkan nikmat yang kekal dan adapula yang tertimpa azab yang sangat pedih. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk golongan yang pertama.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam sya'ir mimiyyahnya mengatakan :

Sungguh agungnya hari perkumpulan itu
Seperti perkumpulan di hari kiamat, namun hari kiamat itu lebih dahsyat

Kedahsyatan hari kiamat itu sudah tidak diragukan lagi oleh kaum Muslimin. Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَعُرِضُوا عَلَىٰ رَبِّكَ صَفًّا

Dan mereka akan dibawa ke hadapan Rabbmu dengan berbaris. [al-Kahfi/18:48]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allâh). [al-Haqqah/69:18]

Pada hari kiamat itu, Allâh Azza wa Jalla mengumpulkan semua hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya:

لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ

Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. [an-Nisa'/4:87]

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ۖ ذَٰلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ

(Ingatlah) hari (yang di waktu itu), Allâh mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan (untuk dihisab), itulah hari (waktu itu) ditampakkan kesalahan-kesalahan. [at-Taghâbun/64:9]

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَٰلِكَ يَوْمٌ مَشْهُودٌ

Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh semua makhluk). [Huud/11:103]

Pada hari perkumpulan itu tidak ada perbedaan antara ummat terdahulu dan yang terakhir. Semua berkumpul di waktu yang sangat agung itu :

قُلْ إِنَّ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ لَمَجْمُوعُونَ إِلَىٰ مِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ

Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian, benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal. [al-Waaqi'ah/56:49-50]

Tidak ada seorangpun yang tidak menghadiri perkumpulan ini, walupun badannya hancur di ruang angkasa, dan hilang di telan bumi dan di makan burung dan binatang buas. Semuanya akan di kumpulkan dan tidak ada cara untuk menghindar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا

Dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka. [al-Kahfi/18:47]

Allah juga berfirman :

أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Di mana saja kamu berada pasti Allâh akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu. [al-Baqarah/2:148]

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدً الَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا

Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Rabb Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allâh telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti, Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allâh pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. [Maryam/19:93-95]

Mereka akan di kumpulkan di bumi yang berbeda dengan bumi mereka di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ ۖ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allâh yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. [Ibrahim/14:48]

Bumi yang menjadi tempat berkumpulnya manusia nanti di akhirat telah dijelaskan oleh Rasûlullâhn. Dalam kitab Shahih Bukhâri dan Muslim dari Sahal bin Sa'ad Radhiyallahu anhu, ia mengatakan, "Aku telah mendengarkan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ عَفْرَاءَ كَقُرْصَةِ النَّقِيِّ لَيْسَ فِيهَا عَلَمٌ لِأَحَدٍ

Pada hari kiamat kelak, manusia akan dikumpulkan di bumi yang sangat putih berbentuk bulat pipih dan datar tidak ada tanda (bangunan) milik siapapun di atasnya. [HR. Bukhâri, no. 6521 dan Muslim, no. 2790]

Maksudnya (mereka di kumpulkan) di atas bumi yang datar, tidak ada dataran yang tinggi ataupun rendah, tidak ada pegunungan dan bebatuan dan tidak ada tanda tempat tinggal ataupun bangunan.

Mereka di kumpulkan dalam kadaan tidak mengenakan sandal, telanjang tidak mengenakan pakaian, dalam keadaan tidak berkhitan. Dalam Shahîh Bukhâri dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, ia menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ مَحْشُورُونَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا ثُمَّ قَرَأَ : كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ ۚ وَعْدًا عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِين

Sesungguhnya kalian akan di kumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan belum dikhitan, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla : Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami lah yang akan melaksanakannya (al-Anbiya'/21:104). [HR. Bukhâri, no. 3349 dan Muslim, no. 2860]

Di sebutkan dalam Shahîh Bukhâri dan Muslim dari A'isyah Radhiyallahu anhuma, ketika Ia mendengarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُحْشَرُ النَّاسُيَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ الْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَاكِ

Manusia akan di kumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan belum dikhitan. Aku bertanya, 'Wahai Rasûlullâh, wanita dan laki laki semua akan saling melihat satu sama lain? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Wahai 'Aisyah kondisinya mengalahkan keinginan mereka untuk saling melihat satu sama lain."[HR. Bukhari, no. 6527 dan Muslim, no. 2859]

Pada hari itu, letak matahari semakin dekat ke manusia sehingga jaraknya hanya satu mil saja, sementara itu tidak ada tempat bernaung kecuali naungan Arsy (singgasana Allâh). Diantara manusia, ada yang mendapat naungan Arsy dan adapula yang terpangganng panasnya matahari. Panas matahari itumenyengat dan menambah penderitaan serta semakin menimbulkan kegilasahannya. Kala itu, manusia saling berdesakan dan saling berhimpitan satu sama lain, sehingga terjadi saling dorong mendorong, kaki-kaki saling menginjak dan tenggorokan kering karena kehausan. Sungguh pada waktu itu, manusia mengalami tiga hal yang sangat berat dalam waktu yang bersamaan yaitu panasnya sengatan matahari, kerongkongan yang kering serta badan berdesakan. Sehingga tak ayal lagi, keringat bercucuran dan tumpah ke tanah, sehingga membasahi kaki kaki mereka sesuai dengan kedudukan dan kedekatan mereka dengan Rabb mereka. Diantara manusia ada yang keringatnya sampai ke bahu dan pinggangnya; Dan di antara mereka ada yang keringatnya sampai ke telinga; Dan ada yang benar-benar tenggelam dalam keringatnya sendiri.[1] Semoga Allâh Azza wa Jalla memelihara dan menyelamatkan kita.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِي الْأَرْضِ سَبْعِينَ ذِرَاعًا وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ

Pada hari kiamat, manusia berkeringat, sehingga keringat mengalir ke bumi tujuh puluh hasta dan menenggelamkan mereka hingga telingga [HR. Bukhâri, no. 6532]

Dari Miqdad bin al-Aswad , ia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا قَالَ وَأَشَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ إِلَى فِيهِ

Pada hari kiamat, matahari di dekatkan ke manusia hingga kira-kira sebatas satu mil. Lalu manusia berkeringat sesuai amal perbuatan mereka, di antara mereka ada yang berkeringat hingga (merendam) tumitnya; Diantara mereka, ada yang berkeringat sampai (menenggelamkan) lutut ; Diantara mereka, ada yang berkeringat sampai (merendam) pinggangnya ; Dan ada yang benar-benar di kendalikan oleh keringatnya sendiri. (al-Miqdad Radhiyallahu anhu, shahabat yang meriwayatkan hadits ini) mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan tangan ke arah mulut beliau."[HR. Muslim, no. 2864]

Sehari mereka berdiri (di padang mahsyar) sama dengan lima puluh tahun dunia ini.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. [al-Ma'arij/70:4]

Disebutkan dalam Shahîh Muslim, Rasûlullâh Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

Tidak ada seorang pun pemilik emas dan perak yang tidak mengeluarkan zakatnya melainkan di hari kiamat akan di buatkan setrika dari api yang di nyalakan dalam neraka. Lalu disetrikakan pada perut, dahi, dan punggungnya, setiap kali setrika itu dingin maka akan di panaskan kembali untuknya di hari yang setara dengan lima ribu tahun(di dunia) hingga perkaranya di putuskan, barulah ia melihat jalan keluarnya apakah akan ke surga atau ke neraka. [HR. Muslim, no. 987]

Namun kondisi ini akan diringankan oleh Allâh Azza wa Jalla bagi orang-orang yang beriman. Kita memohon karunia kepada Allâh Azza wa Jalla yang Maha Pemurah.Dalam kitab al-Mustadrak Hakim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَوْمُ الْقِيَامَةِ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كَقَدْرِ مَا بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ

Lama hari kiamat bagi orang-orang beriman seperti waktu antara zhuhur dan Ashar. [al- Mustadrak, 1/84] Dan di shahihkan al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi', no. 8193

Allâh Azza wa Jalla juga akan menaungi orang orang beriman dengan naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Allâh berfirman dalam hadits qudsi :

أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلَالِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّي

Dimana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka saat tidak ada naungan pada hari ini selain naungan-Ku.[HR. Muslim, no. 2566]

Pada hari itu, seluruh manusia meminta tolong kepada para Nabi. Mereka meminta agar diberikan syafa'at di sisi Allâh Azza wa Jalla untuk segera menentukan dan memutuskan perkara diantara para hamba. Namun semua nabi menyampaikan alasan tidak bisa memberikan syafa'at kecuali nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Itu untuk saya." Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dan sujud di bawah Arsy Rabbil alamin, Allâh Azza wa Jalla mudahkan beliau untuk mengucapkan ucapan syukur dan pujian-pujian yang baik yang sebelumnya tidak pernah di mudahkan untuk seorangpun, kemudian Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Angkatlah kepalamu ! Mintalah niscaya engkau akan di berikan ! Dan berilah syafa'at niscaya syafa'atmu (akan didengar) ! Dan di saat itulah Allâh Azza wa Jalla datang untuk memberikan keputusan untuk para hamba-Nya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

Dan Rabbmu datang,sementara para malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu neraka Jahannam diperlihatkan; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia (manusia) mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya Aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini." [al-Fajr/89:22-24]

Dalam sebuah bait syair disebutkan :

تَذَكَّرْ یَوْمَ تَأْتِي اللهَ فَرْدًا وَقَدْ نُصِبَتْ مَوَازِیْنُ الْقَضَاءِ
وَھُتِّكَتِ السُّتُوْرُ عَنِ الْمَعَاصِي وَجَاءَالذَّنْبُمُنْكَشِفَالْغِطَاءِ

Ingatlah ketika engkau datang menghadap Allâh seorang diri
Sementara timbangan untuk amalan telah di tegakkan
Segalayang menutupi maksiat telah dimusnahkan
Sementara dosa datang tanpa ada penutup[2]

Maka marilah kita merenungi hari yang sudah dijelaskan untuk kita; Kita merenungi kondisi yang sudah diberitakan kepada kita; Hendaklah kita mempersiapkan segala yang diperlukan dan hendaklahkita senantiasa bertakwa kepada Allâh, karena sesungguhnya takwa adalah bekal terbaik. Allâh Azza wa Jalla berfirman di akhir ayat-ayat tentang ibadah haji:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan bertakwalah kepada Allâh, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya. [al-Baqarah/2:203]

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita semua termasukpara hamba-Nya yang senantiasa bertakwa, dan semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita semua dari kehinaan dihari kiamat dan kita memohon dengan karunia dan kemurahan Allâh supaya kita termasuk orang-orang yang selamat.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M, Penulis Ustadz Muslim Al-Atsari. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 5


Arafah Melahirkan Orang-Orang Yang Terbebas Dari Neraka


Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin, MA


KEUTAMAAN HARI ARAFAH
Hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun merupakan salah satu hari yang paling utama sepanjang tahun. Bahkan dalam madzhab Syâfi'i disebutkan bahwa jika ada orang yang mengatakan, 'Isteri saya jatuh talak pada hari paling utama', maka talak tersebut jatuh pada hari Arafah.[1] Keistimewaan hari ini berdasarkan pada dalil umum dan khusus.

Dalil umum yaitu hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: "وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ".

Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada hari–hari yang sepuluh ini". Para sahabat bertanya, "Tidak juga jihad di jalan Allâh ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Tidak juga jihad di jalan Allâh, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun." [HR al-Bukhâri no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi]

Maksudnya adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang merupakan rangkaian hari paling utama sepanjang tahun. Hadits ini menunjukkan disyariatkannya memperbanyak amal saleh di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan hari Arafah termasuk di dalamnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Siang hari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhân, dan malam sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama daripada malam sepuluh hari pertama Dzulhijjah." [2]

Adapun dalil khusus yang menunjukkan keistimewaan hari Arafah di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Di hari ini Allâh Azza wa Jalla paling banyak membebaskan manusia dari neraka. Ibunda kaum mukminin, Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟

Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka inginkan?" [HR. Muslim no. 1348]

Maksudnya, tidak ada yang mendorong mereka untuk meninggalkan negeri, keluarga dan kenikmatan mereka (untuk menunaikan ibadah haji-red) kecuali ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan pencarian ridhanya. [3]

2. Doa di hari Arafah adalah doa terbaik. Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ الدُّعاءِ دُعاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَناَ وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'ala kulli syaiin qadir." [HR. at-Tirmidzi no. 3585, dihukumi shahih oleh al-Albani]

3. Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling pokok. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh sekelompok orang dari Nejed tentang haji, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

الْحَجُّ عَرَفَةُ

Haji itu adalah Arafah. [HR. at-Tirmidzi no. 889, an-Nasâ’i no. 3016 dan Ibnu Mâjah no. 3015 , dihukumi shahih oleh al-Albâni]

Maksud hadits ini adalah bahwa wukuf di Arafah merupakan tiang haji dan rukunnya yang terpenting. Barang siapa meninggalkannya, maka hajinya batal, dan barangsiapa melakukannya, maka telah aman hajinya.[4]

4. Puasa di hari Arafah memiliki keutamaan yang besar. Puasa sehari ini menghapuskan dosa dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allâh bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. [HR. Muslim no. 1162]

5. Imam Mâlik rahimahullah meriwayatkan dalam al-Muwatha' no. 944 dengan sanad yang lemah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits berikut :

مَا رُئِيَ الشَّيْطَانُ يَوْمًا هُوَ فِيهِ أَصْغَرُ وَلاَ أَدْحَرُ وَلاَ أَحْقَرُ وَلاَ أَغْيَظُ مِنْهُ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ وَمَا ذَاكَ إِلاَّ لِمَا رَأَى مِنْ تَنَزُّلِ الرَّحْمَةِ وَتَجَاوُزِ اللَّهِ عَنْ الذُّنُوبِ الْعِظَامِ إِلَّا مَا أُرِيَ يَوْمَ بَدْرٍ

Tidaklah setan pernah terlihat lebih kerdil, terjauhkan, hina dan marah daripada saat hari Arafah, dan itu tidak lain karena ia melihat turunnya rahmat dan pengampunan Allâh atas dosa-dosa besar, kecuali apa yang ia lihat saat Perang Badar.

Demikianlah, dalil-dalil ini cukup untuk menunjukkan keistimewaan hari Arafah. Tidak hanya untuk para jamaah haji yang di hari itu memiliki agenda wukuf di Arafah, kaum Muslimin yang lain juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendulang pahala dan ampunan dari Sang Maha Pengampun. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan karunia-Nya kepada kita.

IBADAH YANG DISYARIATKAN UNTUK JAMAAH HAJI SELAMA DI ARAFAH
Setiap tahun ada orang-orang yang terpilih untuk menunaikan ibadah haji. Di zaman sekarang, jutaan umat Islam berkumpul di Padang Arafah tiap tahunnya. Sebuah kenikmatan yang sungguh agung. Sebagai wujud syukur kepada Allâh al-Mannan, sudah sepantasnya para jamaah haji mengisi hari mulia ini dengan sebaik mungkin sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berikut ini adalah penjelasan tentang amalan hari Arafah beserta dalilnya.

1. Setelah menjalankan sunnah bermalam di Mina pada hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) dan melakukan shalat lima waktu di sana, para jamaah haji disunnahkan untuk menuju Arafah begitu matahari terbit pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan penjelasan Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu :

فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ تَوَجَّهُوا إِلَى مِنًى فَأَهَلُّوا بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ ثُمَّ مَكَثَ قَلِيلاً حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ

Maka pada hari tarwiyah mereka berangkat menuju Mina bertalbiyah haji, dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan lalu shalat di sana Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh, kemudian menunggu sebentar sampai matahari terbit. [HR. Muslim no. 1218]

2. Saat menuju Arafah disunnahkan memperbanyak talbiyah dan takbir. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma meriwayatkan :

غَدَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مِنًى إِلَى عَرَفَاتٍ مِنَّا الْمُلَبِّى وَمِنَّا الْمُكَبِّرُ.

Kami berangkat di waktu pagi bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mina ke Arafah, di antara kami ada yang bertalbiyah dan ada yang bertakbir. [HR. Muslim no. 1284]

3. Setibanya di Arafah, para jamaah haji bisa langsung menempati tempat mereka. Harus dipastikan bahwa tempat yang akan dipakai wukuf merupakan bagian dari Arafah, karena jika wukuf di luar Arafah, wukuf kita tidak sah. Sementara wukuf adalah rukun haji dan tidak bisa digantikan dengan dam atau sejenisnya. Jubair bin Muth'im Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّ عَرَفَاتٍ مَوْقِفٌ وَارْفَعُوا عَنْ بَطْنِ عُرَنَةَ

Seluruh Arafah adalah tempat wukuf, dan jauhilah tengah lembah 'Uranah [HR. Ahmad no. 16.797, dihukumi shahih oleh al-Albâni dan Syuaib al-Arnauth]

'Uranah adalah sebuah lembah (wadi) yang terletak di dekat Masjid Namirah dari arah Makkah dan tempat itu bukan bagian dari Arafah.[5]

Hadits ini menunjukkan bahwa jamaah haji harus memastikan bahwa tempat wukuf mereka termasuk wilayah Arafah. Saat ini, batas Arafah ditandai dengan papan-papan besar dan tinggi yang bisa dilihat dari jauh.

4. Waktu wukuf dimulai saat tiba waktu Zhuhur dan selesai dengan terbitnya fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Jadi, orang yang tidak dimudahkan untuk wukuf di siang hari, masih bisa melakukannya di malam hari, dan wukufnya sah.[6]

Bagi jamaah haji yang terpaksa harus masuk Arafah sejak tanggal 8 Dzulhijjah, seperti sebagian besar jamah haji Indonesia, mereka bisa langsung bersiap wukuf sebelum waktu Zhuhur di tenda masing-masing.

5. Begitu waktu Zhuhur tiba, disunnahkan untuk melakukan shalat Zhuhur dan Ashar dengan cara jama' dan qashar, masing-masing dua rekaat di awal waktu shalat Zhuhur, dengan satu adzan dan dua iqamah sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir Radhiyallahu anhu berikut:

ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Kemudian (Bilal) mengumandangkan adzan lalu iqamah, maka (Rasûlullâh) shalat Zhuhur. Kemudian (Bilal) mengumandangkan iqâmah , maka Rasûlullâh shalat Ashar dan tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya. [HR. Muslim no. 1284]

Hikmahnya adalah agar setelah itu kita bisa memiliki waktu yang luas untuk berdoa dan berdzikir, karena saat itu adalah waktu terbaik untuk berdoa.[7]

6. Sebelum shalat Zhuhur, disunnahkan bagi imam untuk menyampaikan khutbah tentang agama secara umum dan penjelasan tentang amalan-amalan haji yang masih tersisa, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jâbir Radhiyallahu anhu ini :

حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِى فَخَطَبَ النَّاسَ

Sehingga saat matahari tergelincir, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar unta al-Qashwa' disiapkan, maka ia pun dipasangi pelana, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tengah lembah (Wadi 'Uranah) dan berkhutbah. [HR. Muslim no. 1284]

7. Saat di Arafah, sebaiknya para jamaah haji tidak berpuasa, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ummul Fadhl Radhiyallahu anhuma berikut :

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ

Dari Ummul Fadhl binti al-Hârits Radhiyallahu anhuma bahwa orang-orang berselisih di dekatnya tentang puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagian mereka berkata bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa, dan sebagian lagi mengatakan tidak. Maka Ummul Fadhl Radhiyallahu anhuma mengirimkan secangkir susu saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas unta, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminumnya. [HR. al-Bukhâri no. 1887 dan Muslim no. 1123]

Tidak berpuasa selama di Arafah karena itu lebih mendukung ibadah dan amalan selama di sana.

Wukuf di arafah merupakan pertemuan akbar umat Islam dalam ibadah mereka. Hal ini mengingatkan kita akan hari dikumpulkannya seluruh makhluk lintas zaman dan generasi di Padang Mahsyar. Mengingat hal ini, hendaknya setiap Muslim menyiapkan dirinya untuk menyambut kedatangan hari itu dengan amal shaleh.[8]

8. Hendaknya para jamaah haji memanfaatkan waktu sangat berharga di Arafah ini, yang hanya beberapa jam dengan banyak bertalbiyah, berdzikir dan sungguh-sungguh berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat.

Seperti telah dijelaskan dalam pembahasan keutamaan hari Arafah, doa pada hari ini adalah sebaik-baik doa, dan sebaik-baik doa yang dipanjatkan hari itu adalah :

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Tiada ilah yang diibadahi dengan haq kecuali Allâh, hanya Dia, tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya kekuasan dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Karena ini adalah doa terbaik, jamaah haji harus menghafalnya, lalu sebanyak dan sekhusyu' mungkin mengucapkannya selama wukuf.

Teladanilah kesungguhan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdoa sebagaimana digambarkan Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفاَتٍ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُوْ، فَمَالَتْ بِهِ نَاقَتُهُ، فَسَقَطَ خِطَامُهَا، فَتَنَاوَلَ الْخِطَامَ بِإِحْدَى يَدَيْهِ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَهُ اْلأُخْرَى

Aku dibonceng Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Arafah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa. Unta beliau miring, dan jatuhlah tali kekangnya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tali kekang itu dengan salah satu tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara tangan yang satu lagi tetap tengadah berdoa. [HR. an-Nasâi no. 3011, dihukumi shahih oleh al-Albâni]

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa sendiri dan tidak mengumpulkan para sahabat untuk berdoa bersama, maka petunjuk beliaulah yang paling pantas diikuti. [9]

Tidak ada doa khusus untuk hari Arafah, dan jamaah haji bisa berdoa apa saja untuk kebaikan akhirat dan dunia. Tapi hendaknya mengutamakan doa-doa dari al-Qur’ân dan sunnah yang shahih, karena doa-doa seperti ini merupakan jawâmi'ul kalim (kalimat yang pendek lafazh tapi luas makna) dan dijamin selamat dari kesalahan.[10]

Saran saya, susunlah proposal doa anda dari jauh hari! Kumpulkanlah doa-doa terbaik untuk dipanjatkan di waktu yang sangat berharga ini, agar anda bisa mengoptimalkan kesempatan yang belum tentu terulang dan tidak kekurangan bekal doa di sana. Jangan lupakan orang tua, keluarga, keturunan, dan orang-orang yang saudara cintai dalam doa terbaik ini.

Jangan sia-siakan satu menitpun dari waktu yang singkat ini untuk hal-hal yang kurang berguna! Jika lelah atau bosan, saudara bisa selingi dengan dzikir dan baca al-Qur’ân, atau istirahat sejenak agar bisa segar lagi.

9. Hendaknya para jamaah haji tidak keluar dari Arafah kecuali setelah terbenam matahari, seperti petunjuk hadits Jâbir tentang sifat wukuf Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَذَهَبَتِ الصُّفْرَةُ قَلِيلاً حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ

Beliau masih terus wukuf sampai matahari tenggelam, warna kuning sedikit pergi dan bola matahari tidak kelihatan lagi. [HR. Muslim no. 1284]

10. Setelah matahari benar-benar terbenam, jamaah haji boleh meninggalkan Arafah untuk bemalam di Muzdalifah dan menyelesaikan amalan-amalan haji selanjutnya.

Demikianlah rangkaian amalan yang disyariatkan untuk dilakukan oleh jamaah haji selama di Arafah. Jika kita melakukannya dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini dan di rangkaian amalan haji yang lain, insya Allâh kita akan meraih haji yang mabrur, dosa-dosa kita diampuni dan doa-doa kita dikabulkan. Kita akan menjadi orang yang mendapatkan barakah hari Arafah dengan terbebaskan dari api neraka.

KESALAHAN-KESALAHAN JAMAAH HAJI SELAMA DI ARAFAH
Meski memiliki keistimewaan yang sangat besar, masih banyak umat Islam yang tidak menghargai keistimewaan ini. Sungguh ironis, masih banyak jamaah haji yang jatuh dalam kesalahan-kesalahan fatal saat beribadah di Arafah. Kesalahan-kesalahan ini disebabkan kekurangan ilmu, kurang motivasi dalam beramal atau sikap tidak peduli. Para jamaah haji perlu mengetahui kesalahan-kesalahan ini agar bisa menghindarinya dan bersyukur atas nikmat ilmu dan cinta sunnah yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan.

Di antara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi selama wukuf di Arafah adalah sebagai berikut :

1. Wukuf di luar wilayah Arafah. Saat melakukan patroli, para dai dari Kementrian Agama Arab Saudi masih banyak menemukan jamaah haji yang melakukan wukuf di luar Arafah. Padahal kesalahan ini jika tidak diluruskan mengakibatkan haji kita tidak sah.[11]

2. Keluar dari Arafah sebelum matahari terbenam. Wukuf adalah rukun haji, sedangkan melakukan wukuf hingga matahari terbenam adalah salah satu kewajiban haji. Jika jamaah haji sudah keluar dari Arafah sebelum matahari terbenam dan tidak kembali lagi, maka ia telah meninggalkan salah satu kewajiban haji dan harus membayar dam dengan meyembelih seekor kambing.[12]

3. Menyibukkan diri dengan naik Jabal Rahmat, berjalan-jalan, atau menuliskan prasasti di sana. Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mendaki gunung ini saat wukuf. Jadi barang siapa mendaki gunung dan meyakininya sebagai ibadah, maka itu adalah bid'ah. Jika menaikinya sebagai refreshing, maka hukumnya boleh, tetapi ada hal lain yang lebih baik dilakukan di kesempatan yang belum tentu terulang ini.[13] Imamul Haramain al-Juwaini mengatakan, "Dan tidak ada nilai ibadah dalam menaiki gunung ini, meski orang-orang biasa melakukannya." [14]

4. Menghadap ke Jabal Rahmat saat dzikir dan doa dan membelakangi kiblat. Yang sesuai dengan sunnah adalah menghadap ke kiblat saat berdoa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jâbir Radhiyallahu anhu :

ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى أَتَى الْمَوْقِفَ فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ إِلَى الصَّخَرَاتِ وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat hingga tiba di tempat wukuf, maka beliau jadikan perut unta beliau al-Qashwa di bebatuan (di belakang Jabal Rahmat), menjadikan rombongan pejalan kaki di depan beliau dan menghadap kiblat. [HR. Muslim no. 1284]

Saat wukuf, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Jabal Rahmat, tapi pada saat yang sama beliau juga menghadap kiblat. Beliau menjadikan Jabal Rahmat dan Ka'bah di arah depan beliau. Jika keduanya tidak bisa digabungkan, maka yang diutamakan adalah menghadap kiblat, bukan gunung.

5. Tidak mengoptimalkan dzikir dan doa, tapi malah banyak ngobrol dan bercanda. Hal ini sangat disayangkan, mengingat keistimewaan hari Arafah dan singkatnya waktu wukuf. Saat Anda menempati tempat wukuf Anda, ingatlah bahwa ada jutaan umat Islam yang menginginkan tempat itu, namun mereka tidak bisa mendapatkannya karena tidak memiliki biaya, tidak memiliki kondisi fisik yang memungkinkan, atau sebab lain. Dan Andalah yang dipilih Allâh, maka jangan sia-siakan kesempatan emas ini dengan obrolan dan canda tawa!

6. Menyibukkan diri dengan berfoto ria selama di Arafah. Terlepas dari perselisihan para Ulama dalam masalah hukum foto makhluk bernyawa, foto-foto ini bisa menjadi pintu masuk setan untuk menjerumuskan Anda ke dalam kubangan riya' (beramal agar dilihat dan dipuji orang lain) yang membuat ibadah haji Anda sia-sia. Sebisa mungkin tutuplah ibadah mulia ini dari pandangan manusia, sehingga hanya Allâh Azza wa Jalla yang tahu, karena hanya dari-Nyalah kita mengharap pahala.

7. Merokok. Kebiasaan buruk ini sayang sekali masih kadang dilakukan jamaah haji saat menjalankan rukun terpenting ibadah haji.

8. Menghibur diri atau mencari kekhusyu'an dengan alunan musik.

9. Bersolek. Agama kita melarang wanita bersolek saat keluar rumah. Larangan ini menjadi lebih tegas jika dilakukan saat menjalankan ibadah haji dan berada di tanah suci. Demikian pula dengan dua kesalahan yang sebelumnya. Jika kita melakukannya, masihkah kita berharap haji mabrur, sedangkan syaratnya adalah meninggalkan kefasikan dan maksiat selama menjalankan ibadah ini ?

Itulah beberapa contoh kesalahan yang sering terjadi selama di Arafah. Masih banyak lagi kesalahan yang lain yang harus dihindari jamaah haji, namun apa yang disebutkan di atas cukup sebagai isyarat kepada kesalahan-kesalahan yang lain. Akhirnya kita berdoa, semoga Allâh menunjukkah kebenaran sebagai kebenaran dan kita bisa mengikutinya. Dan semoga Allâh menunjukkan kesalahan sebagai kesalahan dan kita bisa meninggalkannya. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Dialah harapan kita, dan cukuplah Dia bagi kita. Wallahu A'lam.

Referensi:
1. Asy-Syarhul Mumti', Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimin, Dar Ibnil Jauzi.
2. Al-Mughni, Ibnu Qudâmah, Dar 'Alamil Kutub.
3. Tabshîrun Nasîk bi Ahkâmil Manâsik, Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbâd.
4. Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, Darul Khair.
5. Nihâyatul Mathlab fi Dirâyatil Madzhab, Imamul haramain al-Juwaini, Darul Minhaj.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M, Penulis Ustadz Muslim Al-Atsari. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


man Bertambah Sempurna Dan Berkurang?



Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc


Permasalahan iman merupakan permasalahan terpenting seorang Muslim, sebab iman menentukan nasib seorang di dunia dan akhirat. Bahkan kebaikan dunia dan akhirat bersandar kepada iman yang benar. Dengan iman, seorang akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat serta keselamatan dari segala keburukan dan adzab Allah Azza wa Jalla . Dengan iman, seorang akan mendapatkan pahala besar yang menjadi sebab masuk surga dan selamat dari neraka. Lebih dari itu semua, mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla yang Maha Kuasa, sehingga Dia tidak akan murka kepadanya dan dapat merasakan kelezatan melihat wajah Allah Azza wa Jalla di akhirat kelak. Dengan demikian, permasalahan ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari kita semua. Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menuturkan, “Hasil usaha jiwa dan kalbu yang terbaik dan penyebab seorang hamba mendapatkan ketinggian (derajat mulia) di dunia dan akhirat adalah ilmu dan iman. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menggabung keduanya dalam firman-Nya

وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَالْإِيمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِلَىٰ يَوْمِ الْبَعْثِ

Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan berkata (kepada orang-orang yang kafir), "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit." [ar-Rûm/30:56]

Dan firman Allah Azza wa Jalla :

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. [al-Mujâdilah/58:11]

Mereka inilah inti dan pilihan dari yang ada dan mereka adalah orang yang berhak mendapatkan martabat tinggi. Namun, kebanyakan manusia keliru dalam (memahami) hakekat ilmu dan iman ini, sehingga setiap kelompok menganggap ilmu dan iman yang dimilikinya satu-satunya hal yang dapat mengantarkan kepada kebahagian, padahal tidak demikian. Kebanyakan mereka tidak memiliki iman yang menyelamatkan dan ilmu yang mengangkat (kepada ketinggian derajat), bahkan mereka telah menutup untuk diri mereka sendiri jalan ilmu dan iman yang diajarkan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadi dakwah beliau kepada umat. Sedangkan yang berada di atas iman dan ilmu (yang benar) adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka di atas manhaj dan petunjuk mereka….” [Al-Fawâid hlm. 191]

Demikian pula apabila kita melihat pemahaman kaum Muslimin tentang iman, maka kita dapatkan banyak kekeliruan dan penyimpangan. Sebagai contoh, banyak kalangan kaum Muslimin ketika berbuat dosa dia menyatakan: “Yang penting kan hatinya”. Ini semua tentunya membutuhkan pelurusan dan pencerahan bagaimana sesungguhnya konsep iman yang benar tersebut.

IMAN BERTAMBAH DAN BERKURANG
Sudah dimaklumi, banyak dalil dari nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah yang menjelaskan bertambah dan berkurangannya iman. Menjelaskan pemilik iman yang bertingkat-tingkat, sebagiannya lebih semurna imannya dari yang lainnya, ada di antara mereka yang disebut as-Sâbiq bil khairât, al-Muqtashid dan zhâlim linafsihi. Ada juga al-Muhsin, al-Mukmin dan al-Muslim. Semua ini menunjukkan bahwa mereka tidak berada dalam satu martabat dan iman itu bisa bertambah dan berkurang.

Di antara dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangan iman adalah:
1. Firman Allah Azza wa Jalla.

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung". [Ali Imrân/ 3:173]

Para Ulama Ahlussunnah menjadikan ayat ini sebagai dasar mengenai bertambah dan berkurangan iman, sebagaimana pernah ditanyakan kepada Imam Sufyân bin ‘Uyainah rahimahullah, “Apakah iman itu bertambah atau berkurang? Beliau rahimahullah menjawab, “Tidakkah kalian mendengar firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, ‘Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka’”. (Ali Imrân/3:173) dan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, ‘Dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk’.(al-Kahfi/19:13) dan dalam beberapa ayat lainnya?”. Ada yang bertanya, “Bagaimana bisa berkurang?”. Beliau rahimahullah menjawab, “Tidak ada sesuatu yang bisa bertambah kecuali ia juga bisa berkurang”.[1]

2. Firman Allah Azza wa Jalla.

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى ۗ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا

Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shaleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya. [Maryam/19:76]

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan menyatakan, “Terdapat dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangannya iman, sebagaimana pendapat para Salafush-Shâlih. Hal ini dikuatkan juga dengan firman Allah Azza wa Jalla.

وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا

Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya [al-Mudatstsir/74:31]

Dan firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya). [al-Anfâl/8:2]

Juga dikuatkan dengan kenyataan bahwa iman itu adalah perkataan kalbu dan lisan, amalan kalbu, lisan dan anggota tubuh. Juga kaum Mukminin sangat bertingkat-tingkat dalam hal ini.[2]

3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ يَزْنِيْ الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan Mukmin dan tidaklah peminum minuman keras ketika minumnya dalam keadaan Mukmin serta tidaklah mencuri ketika mencuri dalam keadaan Mukmin [Muttafaq ‘alaihi]

Ishâq bin Ibrâhîm an-Naisâburi rahimahullah berkata, “Abu `Abdillâh (Imam Ahmad rahimahullah) pernah ditanya tentang iman dan berkurangnya iman. Beliau rahimahullah menjawab, “Berkurangnya iman ada pada sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan Mukmin dan tidaklah mencuri dalam keadaan Mukmin.[3]

4. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنْ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ اْلإِ يْمَانِ

Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Yang paling utama adalah ucapan, “Lâ Ilâha Illallâh” dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari jalanan. Dan rasa malu itu adalah satu cabang dari iman. [Muttafaq ‘alaihi]

Hadits yang mulia ini menjelaskan bahwa iman memiliki cabang-cabang, ada yang tertinggi dan ada yang terendah . Cabang-cabang iman ini bertingkat-tingkat dan tidak berada dalam satu derajat dalam keutamaannya, bahkan sebagiannya lebih utama dari lainnya. Oleh karena itu, Imam at-Tirmidzi memuat bab dalam sunannya, “Bab Penyempurnaan Iman, bertambah dan berkurangannya”.

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di raimahullah dalam menjelaskan hadits ini menyatakan, “Ini jelas sekali menunjukkan bahwa iman itu bertambah dan berkurang sesuai dengan bertambahnya aturan syariat dan cabang-cabang iman, serta amalan hamba tersebut atau tidak mengamalkannya. Sudah dimaklumi bersama bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam hal ini. Siapa yang berpendapat bahwa iman itu tidak bertambah dan berkurang, maka telah menyelisihi realita yang nyata di samping menyelisihi nash-nash syariat sebagaimana telah diketahui.[4]

Sedangkan pendapat dan atsar Salafush-Shâlih sangat banyak sekali dalam menetapkan keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, di antaranya:

a. Dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya :
Suatu ketika Khalîfah ar-Rasyîd Umar bin al-Khathâb Radhiyallahu anhu pernah berkata kepada para Sahabatnya:

هَلُمُّوْا نَزْدَادُ إِيْمَانًا

Marilah kita menambah iman kita.[5]

Sahabat Abu ad-Dardâ` Uwaimir al-Anshâri Radhiyallahu anhu berkata:

الإِيْمَانُ يَزْدَادُ وَ يَنْقُصُ

Iman itu bertambah dan berkurang.[6]

b. Dari kalangan Tâbi’in, di antaranya:
Abu al-Hajjâj Mujâhid bin Jabr al-Makki (wafat tahun 104 H) menyatakan:

الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ

Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.[7]

Abu Syibl ‘Alqamah bin Qais an-Nakhâ’i (wafat setelah tahun 60 H) berkata kepada para sahabatnya:

امْشُوْا بِنَا نَزْدَدُ إِيْمَانًا

Berangkat kita menambah iman.[8]

c. Kalangan tabi’ut Tâbi’in, di antaranya:
`Abdurrahmân bin ‘Amru al-‘Auzâ’i (wafat tahun 157 H) menyatakan:

الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيْمِانَ لاَ يَزِيْدُ وَ لاَ يَنْقُصُ فَاحْذَرُوْه فَإِنَّهُ مُبْتَدِعٌ

Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Siapa yang menyakini iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang, maka berhati-hatilah terhadapnya karena ia adalah seorang ahli bid’ah.[9]

Beliau juga ditanya tentang iman, apakah akan bertambah? Beliau menjawab, “Ya, hingga menjadi seperti gunung”. Beliau ditanya lagi, “Apakah akan berkurang?” Beliau rahimahullah menjawab, “Ya hingga tidak sisa sedikit pun darinya.”[10]

d. Imam Fikih yang empat (Aimmah arba’ah), di antaranya:
Muhammad bin Idris asy-Syâfi’i rahimahullah menyatakan:

الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ

Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang[11]

Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan, “Iman itu sebagiannya lebih unggul dari yang lainnya, bertambah dan berkurang. Bertambah dengan beramal dan berkurang dengan meninggalkan beramal, karena perkataan adalah yang mengakuinya.[12]

Demikianlah pernyataan dan pendapat para Ulama Ahlussunnah seluruhnya, sebagaimana dijelaskan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam pernyataan beliau, “Para Salaf telah berijmâ’ bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang”.

Dari sini jelaslah kesalahan orang yang menganggap masalah bertambah dan berkurangnya iman sebagai masalah khilâfiyah di antara Ulama Ahlussunnah. Wallâhu a’lam.

SEBAB-SEBAB BERTAMBAH DAN BERKURANGNYA IMAN
Setelah mengetahui bahwa iman itu bertambah dan berkurang, maka mengenal sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman memiliki manfaat dan menjadi sangat penting sekali. Sudah sepantasnya seorang Muslim mengenal, kemudian menerapkan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, agar bertambah sempurna dan kuat imannya. Juga untuk menjauhkan diri dari lawannya yang menjadi sebab berkurangnya iman, sehingga dapat menjaga diri dan selamat di dunia dan akhirat.

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa seorang hamba yang mendapatkan taufik dari Allah Azza wa Jalla selalu berusaha melakukan dua perkara:

a. Merealisasikan iman dan cabang-cabangnya dan menerapkannya, baik secara ilmu dan amal secara bersama.

b. Berusaha menolak semua yang menentang dan menghapus iman atau menguranginya berupa fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi, mengobati kekurangan dari awal dan setelahnya dengan taubat nasuha serta mengetahui satu perkara sebelum hilang.[13]

Mewujudkan iman dan mengokohkannya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab bertambahnya iman kemudian melaksanakannya. Sedangkan cara menolak semua yang menghapus dan menentangnya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab berkurangnya iman serta berhati-hati dari terjerumus padanya.

Di antara sebab-sebab bertambahnya iman yang disampaikan para Ulama adalah:
1. Belajar ilmu yang manfaat yang bersumber dari al-Qur`ân dan Sunnah. Ini merupakan sebab bertambahnya iman yang terpenting dan bermanfaat, karena ilmu menjadi sarana beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas. Bertambahnya iman yang didapatkan dari ilmu biasa terjadi dari beraneka ragam sisi, di antaranya:
a. Sisi keluarnya ahli ilmu dalam mencari ilmu
b. Duduknya mereka dalam halaqah ilmu
c. Mudzâkarah (diskusi) di antara mereka dalam masalah ilmu
d. Penambahan pengetahuan terhadap Allah Azza wa Jalla dan syariat-Nya
e. Penerapan ilmu yang telah mereka pelajari
f. Tambahan pahala dari orang yang belajar dari mereka

2. Merenungi ayat-ayat Allah Azza wa Jalla kauniyah. Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan makhluk-makhluk Allah Azza wa Jalla yang beraneka ragam dan menakjubkan merupakan faktor pendorong yang sangat kuat untuk beriman dan mengokohkan iman.

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat bagi iman”.[14]

3. Berusaha sunggug-sungguh melaksanakan amalan shalih dengan ikhlas, memperbanyak dan melaksanakannya secara rutin. Hal ini karena semua amalan syariat yang dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah iman, sebab iman bertambah dengan pertambahan amalan ketaatan dan banyaknya ibadah. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah pernah menuturkan bahwa di antara sebab bertambahnya iman adalah melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai dengan bagusnya pelaksanaan, jenis amalan dan banyaknya. Semakin baik amalan, semakin besar pula bertambah iman, dan bagusnya pelaksanaan diperoleh dengan cara ikhlas dan mutâba’ah (mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan jenis amalannya, maka yang wajib lebih utama dari yang sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih ditekankan dan lebih utama dari yang lainnya. Semakin utama suatu ketaatan, maka semakin besar juga penambahan imannya. Adapun banyak (kuantitas) amalan, maka akan menambah keimanan, sebab amalan termasuk bagian iman, sehingga pasti iman itu bertambah dengan bertambahnya amalan”[15]

Adapun sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri (intern) dan ada yang berupa faktor luar (ekstern).
Di antara faktor internal manusia sendiri yang memiliki pengaruh besar dalam melemahkan iman adalah:

1. Kebodohan. Ini adalah sebab terbesar berkurang iman, sebagaimana ilmu adalah sebab terbesar bertambahnya iman.

2. Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu sebab penting berkurangnya iman.

3. Perbuatan maksiat dan dosa. Jelas, kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki pengaruh jelek terhadap iman. Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Azza wa Jalla bisa menambah keimanan, demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Azza wa Jalla , bisa mengurangi keimanan. Namun tentunya dosa dan kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana disampaikan Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shaleh pun berderajat-derajat”.[16]

4. Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammarat bissu’). Inilah nafsu yang ada pada manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan, sebagaimana Allah Azza wa Jalla jelaskan dalam menceritakan istri al-Azîz.

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Yûsuf/13:53]

Nafsu ini menyeret manusia kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita berlindung kepada Allah Azza wa Jalla darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal dan setelahnya.

Sedangkan di antara faktor eksternal adalah :
1. Setan, musuh abadi manusia yang merupakan satu sebab eksternal penting yang mempengaruhi iman dan mengurangi kekokohannya.

2. Dunia dan fitnahnya. Menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya termasuk sebab yang dapat mengurangi keimanan, sebab semakin besar semangat manusia memiliki dunia dan keridhaannya terhadap dunia, maka semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan mencari kebahagian akhirat, sebagaimana dituturkan Imam Ibnul-Qayyim raimahullah.

3. Teman bergaul yang jelek. Teman yang jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi keimanan, akhlak dan agamanya. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau:

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seorang itu berada di atas agama kekasihnya, maka hendaknya salah seorang kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.[17]

perkara yang harus diperhatikan dalam keimanan, mudah-mudahan hal ini dapat menggerakkan kita untuk lebih mengokohkan iman dan menyempurnakannya.
Wabillâhi taufîq.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M, Penulis Ustadz Muslim Al-Atsari. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Anjuran Bersuci, Berdzikir, Sedekah, Dan Sabar



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas


عَنْ أَبِـيْ مَالِكٍ الْـحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْـمَـانِ ، وَالْـحَمْدُ لِله تَـمَْلأُ الْـمِيْزَانَ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ للهِ تَـمْلأنِ أَوْ تَـمَْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَـاءِ وَالأَرْضِ ، وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ ، وَالْقُرْآنُ حُـجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ : فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا». رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Mâlik al-Hârits bin ‘Ashim al-Asy’ari Radhiyallahu anhu ,ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bersuci adalah sebagian iman, alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) memenuhi timbangan. Subhânallâh (Maha suci Allah Azza wa Jalla) dan alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) keduanya memenuhi antara langit dan bumi; shalat adalah cahaya; sedekah adalah petunjuk; sabar adalah sinar, dan al-Qur`ân adalah hujjah bagimu. Setiap manusia melakukan perbuatan: ada yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya.’” Diriwayatkan oleh Muslim.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim (no. 223).
2. Abu ‘Awânah (I/223).
3. Ahmad (V/342, 343-344).
4. Ad-Dârimi (I/167).
5. At-Tirmidzi (no. 3517).
6. An-Nâsa-i (V/5-8) dan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 168, 169).
7. Ibnu Mâjah (no. 280).
8. Ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 3423, 3424).
9. Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (I/42) dan dalam Syu’abul Imân (no. 2453, 2548).
10. Ibnu Mandah dalam Kitâbul Imân (no. 211).
11. Ibnu Hibbân (no. 841-at-Ta’lîqâtul Hisân).
12. Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish Shalâh (no. 435, 436).
13. Al-Lâlikâ-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (no. 1619).
14. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 148).
Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 925, 3957) dan Takhrîj Musykilatil Faqr (no. 59).

SYARAH HADITS
1.BERSUCI ADALAH SEBAGIAN DARI IMAN
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bersuci itu sebagian dari iman.”
Para ulama berbeda pendapat tentang makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Bersuci itu sebagian dari iman,” berikut ini perinciannya:

1. Sebagian ulama menafsirkan sabda beliau tersebut bahwa bersuci dalam hadits tersebut ialah meninggalkan dosa-dosa, seperti firman Allah Azza wa Jalla: إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُوْنَ “…mereka adalah orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (al-A’râf/7:82), firman-Nya, وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ “Dan bersihkanlah pakaianmu.” (al-Muddatstsir/74:4), dan firman-Nya, إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْـمُتَطَهِّرِيْنَ “Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah/2:222)

2. Pendapat jumhur Ulama tentang bersuci dalam hadits di atas ialah bersuci dari hadats dengan air atau dengan tayammum. Oleh karena itulah, Imam Muslim memulai dengan mengeluarkan hadits ini dalam bab-bab wudhu', demikian pula yang dilakukan oleh Imam an-Nasâ-i, Ibnu Mâjah, dan selain keduanya. Ada Ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan iman dalam hadits ini adalah shalat, sebagaimana tercantum firman Allah Azza wa Jalla: وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَـانَكُمْ “Dan Allah tidak menyia-nyiakan imanmu…” (al-Baqarah/2:143). Yang dimaksud dengan iman dalam ayat tersebut ialah shalat kalian menghadap Baitul Maqdis. Jika yang dimaksud dengan iman adalah shalat, maka shalat itu tidak diterima, kecuali dengan bersuci; sehingga jadilah bersuci itu separuh dari iman dalam konteks ini. Penafsiran ini dinukil dari Muhammad bin Nasr al-Marwazi dalam Kitâbush Shalâh (I/435, no. 442) dari Ishâq bin Rahawaih dari Yahya bin Adam bahwa ia berkata mengenai makna perkataan mereka, “Sesungguhnya ilmu ialah aku tahu dan aku tidak tahu; salah satu dari keduanya adalah separuh ilmu.”

Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Sabar adalah separuh iman dan keyakinan adalah iman seluruhnya.” Karena iman mencakup sikap mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan; kemudian itu semua tidak bisa dicapai kecuali dengan sabar, maka sabar menjadi separuh iman. Hal yang sama dikatakan tentang wudhu' bahwa ia separuh shalat.[1]

3. Dalam hadits ini disebutkan wudhu' sebagian dari iman, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad, Nasâ-i, at-Tirmidzi, Abu ‘Awânah, Ibnu Mâjah, dan Ibnu Nashr al-Marwazi dengan lafazh:

إِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ شَطْرُ اْلإِيْمَـانِ...

“Menyempurnakan wudhu' adalah sebagian dari iman.”

Jadi, wudhu' adalah sebagian dari iman, dan dikatakan juga bahwa wudhu' adalah sebagian dari shalat karena shalat menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dengan syarat wudhu' dilakukan dengan sempurna dan baik. Oleh karena itulah, wudhu' menjadi separuh shalat dalam konteks ini,[2] sebagaimana disebutkan dalam Shahîh Muslim dari ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seorang muslim bersuci kemudian menyempurnakan bersuci yang diwajibkan kepadanya, kemudian mengerjakan shalat lima waktu ini, melainkan shalat-shalat tersebut menjadi penghapus (kesalahan) di antara shalat-shalat tersebut.”[3]

Dalam riwayat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan:
“Barangsiapa menyempurnakan wudhu' seperti yang diperintahkan Allah Azza wa Jallakepadanya, maka shalat-shalat wajib adalah penghapus (kesalahan) di antara shalat-shalat tersebut.”[4]

Shalat juga merupakan kunci surga dan wudhu' adalah kunci shalat. Masing-masing dari shalat dan wudhu' adalah sebab dibukakannya pintu surga,[5] sebagaimana disebutkan dalam Shahîh Muslim dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu yang mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim berwudhu' dan memperbaiki wudhu'nya kemudian mengerjakan shalat dua raka’at dengan mengarahkan hati dan wajahnya di kedua raka’at tersebut, melainkan surga menjadi wajib baginya.”[6]

Jika wudhu' beserta dua kalimat syahadat mewajibkan terbukanya pintu-pintu surga, maka wudhu' menjadi separuh iman kepada Allah Azza wa Jalladan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam konteks ini.

Selain itu, wudhu' termasuk sifat iman yang tersembunyi yang tidak dijaga kecuali oleh orang mukmin,[7] sebagaimana terdapat dalam hadits Tsauban Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
“...Tidak ada yang senantiasa menjaga wudhu' kecuali seorang Mukmin.”[8]

2. ANJURAN UNTUK BERDZIKIR KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) memenuhi timbangan, subhânallâh (Maha suci Allah Azza wa Jalla) dan alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) keduanya memenuhi antara langit dan bumi...”

Ini adalah keragu-raguan dari perawi dalam lafazh haditsnya. Dalam riwayat Muslim, an-Nasâ-i, dan Ibnu Mâjah disebutkan:

«وَالتَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ مِلْءَ السَّمَـوَاتِ وَالأََرْضِ».

“Tasbîh dan takbîr memenuhi langit dan bumi.”

Hadits-hadits ini merangkum keutamaan empat kalimat tersebut yang merupakan sebaik-baik perkataan, yaitu subhânallâh, alhamdulillâh, lâ ilâha illallâh, dan Allâhu akbar.

• Alhamdulillâh
Adapun alhamdulillâh maka seluruh ahli hadits sepakat bahwa kalimat itu memenuhi timbangan. Ada yang mengatakan bahwa kalimat itu sebagai permisalan; dan maknanya jika alhamdulillâh berbentuk jasad, ia pasti memenuhi timbangan. Ada lagi yang mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla menjelmakan seluruh perbuatan dan perkataan manusia menjadi jasad yang bisa dilihat dan ditimbang pada hari Kiamat, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ. اِقْرَؤُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ : الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ ، فَإِنَّـهُـمَـا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّـهُـمَـا غَمَـامَتَانِ أَوْ كَأَنَّـهُمَـا غَيَايَتَانِ ، أَوْ كَأَنَّـهُمَـا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ. تُـحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِـهِمَـا. اِقْرَؤُوْا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَ هَا بَرَكَةٌ ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ ، وَلاَ تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ

Bacalah al-Qur`ân karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada para pembacanya. Bacalah az-zahrawain (dua bunga):[9] al-Baqarah dan surat Ali ‘Imrân karena keduanya datang pada hari kiamat seperti awan atau dua naungan atau kedua seperti dua kelompok burung yang membentangkan sayapnya membela para pembacanya. Bacalah surat al-Baqarah karena mengambilnya adalah barakah dan meninggalkannya adalah kerugian, dan tukang-tukang sihir tidak mampu mengalahkannya.”[10]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kalimat yang dicintai (Allah) Yang Maha Pengasih, berat di timbangan, dan ringan di mulut (yaitu) subhânallâhi wa bihamdihi, subhânallâhil ‘azhîm.”[11]

• Subhânallâh
Adapun subhânallâh, maka dalam riwayat Muslim disebutkan,

«سُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ للهِ تَـمْلَآنِ أَوْ تَـمْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَـاءِ وَاْلأَرْضِ».

“Subhânallâh dan alhamdulillâh keduanya memenuhi atau memenuhi antara langit dan bumi...”

Perawinya ragu-ragu tentang apa yang memenuhi langit dan bumi: apakah kedua kalimat tersebut ataukah salah satu dari keduanya? Dalam riwayat an-Nâsa-i dan Ibnu Mâjah disebutkan,

«وَالتَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ مِلْءَ السَّمَـوَاتِ وَاْلأَرْضِ».

Tasbîh dan takbîr memenuhi langit dan bumi

Riwayat tersebut mirip dengan riwayat Muslim, tetapi apakah yang dimaksud bahwa kedua kalimat tersebut memenuhi langit dan bumi ataukah salah satu dari keduanya? Ini bisa saja terjadi. Pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lainnya disebutkan bahwa takbîr itu memenuhi antara langit dan bumi.

Tetapi yang jelas, tasbîh saja tanpa takbîr itu mempunyai kelebihan seperti ditegaskan dalam hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , dan seorang dari Bani Sulaim bahwa tasbîh adalah separuh timbangan dan alhamdulillâh memenuhi timbangan.

Sebabnya, tahmîd dengan kata alhamdulillâh itu menegaskan seluruh pujian milik Allah Azza wa Jalla, termasuk penegasan seluruh sifat kesempurnaan bagi-Nya. Sedangkan tasbîh adalah mensucikan Allah Azza wa Jalla dari seluruh kekurangan, aib, dan cacat. Penegasan itu lebih sempurna daripada penafian. Oleh karena itu, tasbîh tidak datang sendirian, namun digandeng dengan sesuatu yang menunjukkan penegasan kesempurnaan. Terkadang tasbîh digandengkan dengan al-hamdu (pujian), misalnya perkataan, “Subhânallâhi wa bihamdihi,” atau perkataan, “Subhânallâhi wal Hamdulillâh.” Terkadang tasbîh digabung dengan salah satu Asma Allah yang menunjukkan keagungan dan kebesaran, misalnya, “Subhânallâhil ‘Azhîm.” Jika hadits Abu Mâlik Radhiyallahu anhu menunjukkan bahwa yang memenuhi antara langit dan bumi ialah kumpulan tasbîh dengan takbîr, maka masalahnya sudah jelas. Namun, jika yang dimaksudkan bahwa masing-masing dari tasbîh dan takbîr itu memenuhi antara langit dan bumi, maka timbangan lebih luas daripada langit dan bumi. Jadi, apa yang memenuhi timbangan itu lebih besar daripada apa yang memenuhi antara langit dan bumi.[12]

• Takbîr (Allâhu akbar)
Adapun takbîr, maka disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan seorang dari Bani Sulaim bahwa takbîr memenuhi antara langit dengan bumi. Sedang di hadits ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa takbîr bersama tahlîl (lâ ilâha illallâh) memenuhi langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.[13

• Tahlîl (Lâ ilâha illallâh)
Adapun tahlîl saja maka sampai kepada Allah Azza wa Jallatanpa rintangan.[14] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا قَالَ عَبْدٌ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصًا إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَـاءِ حَتَّى تُفْضِيَ إِلَـى الْعَرْشِ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

Seorang hamba tidak mengucapkan lâ ilâha illallâ dengan ikhlas, melainkan pintu-pintu langit dibuka untuknya hingga kalimat tersebut tiba di ‘Arsy selagi dosa-dosa besar dijauhi.”[15]

Ada perbedaan pendapat mengenai kalimat mana yang lebih utama: kalimat alhamdu atau kalimat tahlîl? Perbedaan pendapat dalam masalah ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah dan selainnya.

An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Para Ulama berpendapat bahwa alhamdu adalah kalimat yang paling banyak dilipatgandakan (pahalanya).”

Ats-Tsauri t berkata, “Tidak ada perkataan yang lebih dilipat gandakan (pahalanya) daripada alhamdulillâh.”

Alhamdu (pujian) mengandung makna penegasan seluruh kesempurnaan untuk Allah Azza wa Jalla, termasuk di dalamnya tauhid.[16]

3. WAJIBNYA BERIMAN KEPADA AL-MIZAN (TIMBANGAN AMAL PADA HARI KIAMAT)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Memenuhi timbangan.”
Ahlus Sunnah meyakini tentang ditegakkannya al-mîzân (timbangan) dan dibukanya catatan-catatan amal. Menurut bahasa mîzân berarti alat yang digunakan untuk mengukur sesuatu berdasarkan berat dan ringan (neraca). Sedangkan menurut istilah, mîzân adalah sesuatu yang Allah Azza wa Jalla letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang amalan hamba-Nya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh al-Qur`ân, Sunnah, dan ijmâ’ Salaf.[17]

فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ

Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Barangsiapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” [al-Mukminûn/23:102-103]

Mîzân secara hakiki memiliki dua daun timbangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jallapada hari kiamat akan menyelamatkan seseorang dari umatku di hadapan seluruh makhluk. Maka dibentangkan kepadanya 99 catatan (dosa yang dilakukan), tiap satu catatan seperti jarak mata memandang. Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman, “Apakah ada sesuatu yang kamu ingkari dari catatan ini? Apakah para malaikat penjaga dan pencatat berbuat zhalim kepadamu?” Ia menjawab, “Tidak, wahai Rabb-ku!” Allah Azza wa Jalla berfirman, “Apakah engkau punya alasan?” Ia menjawab, “Tidak, wahai Rabb-ku!” Allah Azza wa Jalla berfirman, “Benar; sungguh, engkau memiliki kebaikan di sisi Kami, dan engkau tidak akan dizhalimi pada hari ini.” Maka dikeluarkanlah bithâqah (sebuah kartu) bertuliskan " أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ" lalu Allah Azza wa Jalla berfirman, “Datangkanlah timbangan amalmu.” Ia menjawab, “Bagaimana bisa kartu ini ditimbang dengan catatan-catatan dosa tersebut!” Allah Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu catatan-catatan (amal) itu diletakkan di salah satu sisi daun neraca dan bithâqah (kartu bertuliskan lâ ilâha illallâh) di daun Neraca lainnya, maka catatan-catatan itu melayang dan bithâqah yang lebih berat, maka tidak ada sesuatu yang lebih berat dibandingkan Nama Allah Azza wa Jalla.”[18]

KESIMPULAN DARI NASH-NASH DIATAS IALAH:
1. Wajibnya beriman kepada mîzân yang dengannya seluruh amal hamba akan ditimbang pada hari kiamat. Mîzân ini hakiki dan memiliki dua daun timbangan. Serta jumlah mîzân itu banyak masing-masing orang memiliki mîzân sendiri. Nash-nash juga menunjukkan bahwa manusia itu sendiri pun akan ditimbang.

2. Tidak boleh mentakwîl nash-nash tentang wajibnya beriman kepada mîzân dengan alasan tidak masuk akal seperti yang dikatakan sebagian mereka dan mentakwîlnya menjadi keadilan dan keputusan.

3. Mîzân ada setelah semua amal manusia dihisab pada hari kiamat.[19]

4. Shalat adalah cahaya
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Shalat adalah cahaya
Cahaya adalah sesuatu yang dijadikan penerang di tengah kegelapan agar kita dapat membedakan antara manfaat dan mudharat dan agar kita mendapatkan petunjuk kepada apa yang kita inginkan. Demikian pula shalat apabila dikerjakan hamba seperti yang Allah Azza wa Jalla perintahkan akan mewariskan cahaya hidayah di dalam hati dan menjadikannya sebagai al-furqân (pembeda) yang dapat menjadikannya mampu membedakan antara yang hak dan yang batil.[20] Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar...” [al-‘Ankabût/29:45]

Shalat adalah cahaya secara mutlak. Oleh Karena itu, shalat adalah penyejuk mata orang-orang bertakwa,[21] seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “…Dan dijadikan penyejuk mataku dalam shalat”[22]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Bilal ! Iqamatlah untuk shalat dan hiburlah kami dengannya”[23]

5. Sedekah adalah bukti yang jelas
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Sedekah adalah bukti
Burhân adalah sinar matahari. Dari sinilah, hujjah yang kuat disebut dengan burhân karena dalilnya sangat jelas. Demikian pula sedekah, ia merupakan bukti tentang kebenaran iman dan kerelaan hati dan merupakan indikasi dari kemanisan iman dan cita rasanya.

Sebabnya, harta itu dicintai jiwa dan jiwa pelit dengannya. Jadi, jika jiwa merelakan harta dikeluarkan karena Allah k, maka hal itu menunjukkan kebenaran imannya kepada Allah Azza wa Jalla, janji, dan ancaman-Nya. Oleh karena itulah, orang-orang Arab enggan membayar zakat sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka diperangi oleh Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu karenanya. Shalat juga sebagai bukti tentang kebenaran Islam seseorang.[24]

6. Sabar adalah sinar
Adapun sabar, maka merupakan dhiyâ' (sinar). Dhiyâ' ialah sinar yang mengandung panas dan membakar seperti sinar matahari. Berbeda dengan cahaya bulan yang murni cahaya yang menyinari, namun tidak membakar. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya... [Yûnus/10:5]

Dari sini, Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat syariat Nabi Musa Alaihissallam ialah dhiyâ' (sinar), sebagaimana firman-Nya: “Dan sungguh, Kami telah berikan kepada Mûsa dan Hârun al-Furqân (Kitab Taurât) dan penerangan serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” [al-Anbiyâ'/21:48]

Meskipun disebutkan bahwa di Kitab Taurât terdapat nûr (cahaya) seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla: “Sungguh, Kami yang menurunkan kitab Taurât; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya...”[al-Mâidah/5:15]

Namun sebagian besar syariat Bani Israil adalah adh-Dhiyâ' (sinar) karena di dalamnya terdapat belenggu dan beban yang berat.

Dan Allah Azza wa Jalla mensifati syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia adalah nûr (cahaya) karena di dalamnya terdapat kelurusan dan kemudahan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ

...Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menjelaskan.” [al-Mâidah/5:15]

Karena sabar sangat berat bagi jiwa, membutuhkan perjuangan melawan hawa nafsu, dan menahannya dari seluruh keinginannya, maka sabar adalah dhiyâ' (sinar). Asal makna kata sabar menurut bahasa ialah penahanan.

Sabar yang terpuji banyak jenis dan ragamnya, di antaranya:
1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
2. Sabar dalam menjauhi perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla.
3. Sabar terhadap takdir Allah Azza wa Jalla yang menyakitkan.

Sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dari hal-hal yang diharamkan lebih baik daripada sabar terhadap takdir yang menyakitkan. Ini ditegaskan oleh generasi Salaf, di antaranya Sa’îd bin Jubair Radhiyallahu anhu, Maimun bin Mihran Radhiyallahu anhu, dan selain keduanya.[25]

Jenis sabar yang paling baik adalah puasa. Karena puasa mengumpulkan ketiga macam sabar. Puasa adalah sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah Azza wa Jalla . Seorang hamba meninggalkan seluruh syahwatnya karena Allah Azza wa Jalla atau bisa jadi hawa nafsunya mengajaknya kepada perbuatan maksiat. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits shahîh. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Seluruh perbuatan anak keturunan Adam adalah miliknya kecuali puasa, karena puasa itu adalah milik-Ku dan Aku yang membalasnya. Ia meninggalkan syahwat, makanan, dan minumannya karena Aku.”[26]

Di dalam puasa juga terdapat sabar terhadap takdir yang menyakitkan karena orang yang berpuasa merasakan haus dan lapar. Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan bulan Ramadhan dengan bulan sabar,[27] beliau bersabda, “Puasa pada bulan sabar dan tiga hari pada setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun.”[28]

Orang yang sabar akan diberikan ganjaran yang sangat besar. Allah Azza wa Jalla berfirman: “...Hanya orang-orang yang bersabar yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-Zumar/39:10]

7. Al-Qur`ân adalah hujjah Allah Azza wa Jalla atas hamba-hamba-Nya
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : al-Qur`ân adalah hujjah bagimu atau atasmu

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari al-Qur`ân (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zhalim (al-Qur`ân itu) hanya akan menambah kerugian. [al-Isrâ/17:82]

Salah seorang Ulama Salaf berkata, “Seseorang tidak bisa duduk dengan al-Qur`ân kemudian dia berdiri darinya dalam keadaan selamat, melainkan ia harus beruntung atau merugi.” Kemudian ia membaca ayat di atas.[29]

Barangsiapa yang mempelajari sedikit dari al-Qur`ân lalu mengamalkan kewajiban yang dikandungnya, menahan diri dari apa yang dilarangnya, serta berhenti pada batas-batasnya maka al-Qur`ân akan menjadi pembela dan pemberi syafa’at baginya pada hari Kiamat.[30]

Barangsiapa tidak mengamalkan al-Qur`ân namun ia membacanya hanya untuk mencari-cari berkah, atau membacakannya untuk orang mati, atau membuka acara-acara tertentu dengannya, maka al-Qur`ân akan menjadi penuntut baginya pada hari Kiamat di hadapan Allah Azza wa Jalla .[31] Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata: Al-Qur`ân adalah pemberi syafa’at yang diberi hak untuk memberikan syafa’at dan pendebat yang dibenarkan. Barangsiapa meletakkan al-Qur`ân di depannya, maka al-Qur`ân menuntunnya ke surga. Barangsiapa meletakkannya di belakang punggungnya, maka al-Qur`ân menariknya ke neraka.”[32]

Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu juga berkata, “Pada hari kiamat al-Qur`ân didatangkan, kemudian al-Qur`ân memberikan syafa’at kepada orang yang membacanya dan menuntunnya ke surga atau menjadi saksi atasnya; lalu menyeretnya ke neraka.”[33]

8. Sungguh usaha manusia memang beraneka ragam
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Setiap manusia berbuat: ada yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang mensucikannya (jiwanya itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” [asy-Syams/91:7-10]

Maknanya ialah sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dengan melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya dengan melakukan perbuatan maksiat. Jadi, ketaatan itu mensucikan jiwa dan membersihkannya sehingga menjadi tinggi dengannya, sedang maksiat mengotori jiwa dan mengekangnya sehingga ia menjadi rendah; hingga jadilah ia seperti sesuatu yang dipendamkan ke dalam tanah.

Hadits bab ini menunjukkan bahwa setiap manusia ada yang berusaha membinasakan dirinya atau membebaskannya. Barangsiapa berusaha mentaati Allah Azza wa Jalla , maka ia menjual dirinya untuk Allah Azza wa Jalla dan memerdekakannya dari adzab-Nya, dan barangsiapa berusaha melakukan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla , maka ia telah menjual dirinya untuk kehinaan dan menjerumuskannya ke dalam dosa yang menyebabkannya mendapat kemurkaan Allah Azza wa Jalla dan siksa-Nya.[34] Allah Azza wa Jalla berfirman: (yang artinya) : “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang Mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil, dan al-Qur`ân. Siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” [at-Taubah/9:111]

Allah Azza wa Jalla berfirman: “Di antara manusia ada orang yang membeli (mengorbankan) dirinya untuk mencari keridhaan Allah…” [al-Baqarah/2:207]

Dalam ash-Shahîhain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berkata, “Ketika Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأََقْرَبِيْنَ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” (asy-Syu’arâ/26:14), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ ! اِشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللهِ ، لاَ أُغْنِيْ عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا ، يَا بَنِـيْ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ ! اِشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللهِ ، لاَ أُغْنِيْ عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا ، يَا عَمَّةَ رَسُوْلِ اللهِ ! يَا فَاطِمَةَ بِنْتِ مُحَمَّدٍ ! اِشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَـا مِنَ اللهِ ، لاَ أَمْلِكُ لَكُمَـا مِنَ اللهِ شَيْئًا

Wahai sekalian kaum Quraisy! Belilah diri kalian dari Allah Azza wa Jalla , karena aku sedikit pun tidak dapat membela kalian di hadapan Allah Azza wa Jalla . Wahai Bani ‘Abdul Muththalib! Aku sedikit pun tidak dapat membela kalian di hadapan Allah Azza wa Jalla . Wahai bibi Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Wahai Fâthimah binti Muhammad! Belilah diri kalian berdua dari Allah Azza wa Jalla , aku tidak dapat membela kalian berdua di hadapan Allah Azza wa Jalla .”[35]

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau memanggil kaum Quraisy sehingga mereka pun berkumpul, beliau menyebutkan diri mereka secara umum dan khusus, lalu berkata: Wahai Bani Ka’b bin Lu-ai! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Bani Murrah! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Bani ‘Abdi Syams! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Bani ‘Abdi Manaf! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Bani Hasyim! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Bani ‘Abil Muththalib! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Fathimah! Selamatkanlah dirimu dari neraka, karena aku tidak dapat membela diri kalian di hadapan Allah Azza wa Jalla .”[36]

Sejumlah generasi Salaf membeli diri mereka dari Allah Azza wa Jalla dengan harta mereka. Di antara mereka ada yang bersedekah dengan seluruh hartanya, seperti Habib bin Abi Muhammad. Di antara mereka ada yang bersedekah dengan beberapa keping perak, ada yang bersedekah dengan sebutir kurma. Di antara mereka ada yang bersungguh-sungguh dalam amal-amal shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku berbuat untuk pembebasan diriku.”

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Orang Mukmin di dunia adalah seperti tawanan yang berusaha membebaskan diri. Ia tidak merasa aman dari sesuatu pun hingga bertemu Allah Azza wa Jalla .”[37]

Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menjadikan surga sebagai harga bagi diri kalian. Jadi, janganlah kalian menjual diri kalian dengan selain surga.”[38]

Fawâid Hadits
1. Iman adalah perkataan dan perbuatan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
2. Keutamaan bersuci dengan wudhu', mandi, atau tayammum.
3. Bersuci adalah sebagian dari iman.
4. Keutamaan wudhu’ dalam Islam yang merupakan syarat sahnya shalat.
5. Anjuran untuk memperbanyak dzikir.
6. Amal-amal hamba akan ditimbang pada hari Kiamat, ada yang berat timbangan kebaikannya dan ada yang ringan.
7. Iman kepada mîzân adalah wajib dan mizan memiliki dua daun timbangan.
8. Keutamaan tasbîh, tahmîd, dan tahlîl.
9. Anjuran untuk memperbanyak shalat dan menjaga shalat yang lima waktu sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
10. Shalat adalah cahaya bagi orang yang mengerjakannya, cahaya di dunia dan di akhirat.

Marâji’
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Musnad Abu Ya’la al-Mushili.
3. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
4. Kitâbul Iman li Ibni Mandah dan kitab-kitab yang disebutkan di awal takhrîj hadîts.
5. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, karya Syaikh Imam al-Albâni.
6. Takhrîj Musykilatil Faqr, karya Syaikh Imam al-Albâni.
7. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
8. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
9. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn, karya Syaikh Salîm bin ’Ied al-Hilâli

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




sumber:    http://almanhaj.or.id
_______

No comments:

Post a Comment