Tuesday, October 2, 2012

Keutamaan Memahami Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah Azza Wa Jalla


Keutamaan Memahami Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah Azza Wa Jalla



Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni



Memahami nama-nama Allah Azza wa Jalla yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna merupakan pembahasan yang sangat penting dalam agama Islam, bahkan termasuk bagian paling penting dan utama dalam mewujudkan keimanan yang sempurna kepada Allah Azza wa Jalla . Karena tauhid ini adalah salah satu dari dua jenis tauhid yang menjadi landasan utama iman kepada Allah Azza wa Jalla.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Sendi utama (kunci pokok) kebahagiaan, keselamatan dan keberuntungan adalah dengan mewujudkan dua jenis tauhid yang merupakan landasan tegaknya iman kepada Allah Azza wa Jalla , yang akan Allah Azza wa Jalla wujudkan dengan mengutus para rasul-Nya. Inilah inti seruan para rasul dari yang pertama sampai yang terakhir.

Yang pertama: Tauhid al-'ilmi al-khabari al-I'tiqâdi (tauhid yang berhubungan dengan ilmu/pemahaman, yang bersumber dari berita/wahyu Allah Azza wa Jalla semata-mata, dan menyangkut keyakinan dalam hati), yang mengandung penetapan sifat-sifat maha sempurna bagi Allah Azza wa Jalla , dan pensucian sifat-sifat-Nya dari penyerupaan (dengan sifat makhluk), serta peniadaan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dari-Nya.

Yang kedua: Penghambaan diri kepada Allah Azza wa Jalla semata-mata dan tiada sekutu bagi-Nya, memurnikan kecintaan, keikhlasan, ketakutan, pengharapan dan penyandaran diri kepada Allah Azza wa Jalla , serta sikap ridha kepada Allah Azza wa Jalla rabb (pencipta), sembahan dan pelindung satu-satunya, dan tidak menjadikan tandingan bagi-Nya dengan segala sesuatu.

Allah Azza wa Jalla telah menghimpun dua jenis tauhid ini dalam dua surat al-Ikhlâsh[1] (dalam al-Qur'ân), yaitu surat:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

Katakanlah: Hai orang-orang kafir [al-Kâfirun/109:1]

Surat ini mengandung tauhid al-'amali al-irâdi (tauhid yang menyangkut amal perbuatan dan kehendak/niat).

Dan surat:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: Dia-lah Allah Azza wa Jalla yang maha esa [al-Ikhlâsh/112:1]

Surat ini mengandung tauhid al-'ilmi al-khabari.

Dan masing-masing tauhid ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang lainnya (keduanya saling menyempurnakan). Oleh karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca kedua surat ini dalam shalat sunnat sebelum shalat subuh dan sesudah magrib, serta dua rakaat terakhir shalat witir. Shalat subuh dan maghrib merupakan pembuka dan penutup amal shalih (shalat), yang bertujuan untuk menjadikan tauhid sebagai permulaan dan penutup waktu siang hari"[2] .

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah ketika menjelaskan makna iman kepada Allah Azza wa Jalla, beliau berkata: "Iman kepada Allah Azza wa Jalla mengandung empat perkara:

• Pertama : mengimani /meyakini keberadaan Allah Azza wa Jalla.
• Kedua : mengimani keesaan Allah Azza wa Jalla dalam ar-Rubûbiyyah (pencipta, pengatur dan pelindung bagi alam semesta).
• Ketiga : mengimani keesaan Allah Azza wa Jalla dalam al-ulûhiyyah (hak untuk disembah dan diibadahi).
• Keempat: mengimani semua nama dan sifat Allah Azza wa Jalla dengan cara yang sesuai dengan kemaha-sempurnaan dan kemaha-agungan-Nya, tanpa menyelewengkan makna, menolak, memvisualkan, dan menyerupakan (sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk). Maka barangsiapa yang menyelewengkan makna ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla , berarti dia belum mewujudkan keimanan yang sempurna kepada Allah Azza wa Jalla "[3] .

Pentingnya Memahami Tauhid Asmâ` Wa Sifât
Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut ini kami akan sampaikan beberapa hal penting yang menunjukkan besarnya keutamaan memahami tauhid ini:

1. Memahami tauhid asmâ` wa shifât adalah ilmu yang paling agung dan paling utama secara mutlak, karena berhubungan langsungdengan Allah Azza wa Jalla , zat yang maha sempurna.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Sesungguhnya keutamaan suatu ilmu mengikuti keutamaan obyek yang dipelajarinya. karena keyakinan akan dalil-dalil dan bukti-bukti keberadaannya. juga karena besarnya kebutuhan dan manfaat untuk memahaminya. Maka tidak diragukan lagi, bahwa ilmu tentang Allah Azza wa Jalla , nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Perbandingan ilmu ini dengan ilmu-ilmu yang lain adalah seperti perbandingan (kemahasempurnaan) Allah Azza wa Jalla dengan semua obyek yang dipelajari (dalam) ilmu-ilmu lainnya"[4].

2. Memahami tauhid asmâ` wa shifât Allah Azza wa Jalla adalah landasan utama semua ilmu yang lainnya.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: "Ilmu tentang nama, sifat dan perbuatan Allah Azza wa Jalla adalah landasan semua ilmu. Semua ilmu lainnya mengikuti ilmu ini; yang juga dibutuhkan untuk mewujudkan keberadaan ilmu-ilmu lainnya. Sehingga ilmu ini merupakan asal dan landasan bagi setiap ilmu lainnya. Barangsiapa yang mengenal Allah Azza wa Jalla maka dia akan mengenal selain-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengenal-Nya maka lebih lagi dia tidak akan mengenal selain-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik" [al-Hasyr/59:19]

Renungkanlah ayat ini, maka kalian akan menemukan di dalamnya suatu makna yang agung dan mulia, yaitu: barangsiapa yang lupa kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan menjadikannya lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengetahui hakekat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Karena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah Azza wa Jalla jadikan bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah Azza wa Jalla . Maka Allah Azza wa Jalla menjadikannya lupa kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat. Allah Azza wa Jalla berfirman

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas" [al-Kahfi/18:28]

Karena dia lalai mengingat Allah Azza wa Jalla, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga dia tidak memperhatikan sedikitpun kebaikan, kesempurnaan, serta kesucian jiwa dan hatinya, bahkan kondisi hatinya menjadi tak menentu dan tidak terarah, keadaannya melampaui batas, merasa kebingungan, serta tidak mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar.

Jadi, ilmu tentang Allah Azza wa Jalla adalah landasan semua ilmu, sekaligus merupakan landasan pemahaman seorang hamba terhadap kebahagiaan, kesempurnaan dan kebaikan (dirinya) di dunia dan akhirat. Ketidak-pahaman terhadap ilmu ini akan mengakibatkan ketidakpahaman terhadap kebaikan, kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan diri sendiri. Maka memahami ilmu ini adalah (kunci utama) kebahagiaan seorang hamba, dan ketidakpahaman tentangnya merupakan sumber (utama) kebinasaannya"[5].

3. Memahami tauhid asmâ` wa shifât Allah Azza wa Jalla dengan benar adalah satu-satunya pintu untuk bisa mengenal Allah Azza wa Jalla (ma'rifatullâh) dengan pengenalan yang benar, yang merupakan landasan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla . Karena salah satu landasan utama ibadah adalah al-mahabbah (kecintaan) kepada Allah Azza wa Jalla dan hal itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan mengenal Allah Azza wa Jalla dengan pengenalan yang benar melalui pemahaman terhadap tauhid nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sehingga orang yang tidak memiliki ma'rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan benar, tidak mungkin bisa beribadah dengan benar kepada-Nya.[6]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Barangsiapa yang mengenal Allah Azza wa Jalla dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka dia pasti akan mencintai-Nya" [7]

Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla menjelaskan keterkaitan antara ibadah kepada-Nya dan pemahaman terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam dua ayat al-Qur'ân:

Ayat yang pertama:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku [adz-Dzâriyât/51:56]

Ayat yang kedua:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui (memahami) bahwasannya Allah maha kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. [ath-Thalâq/65:12]

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ibadah kepada Allah Azza wa Jalla tidak akan mungkin dapat diwujudkan oleh seorang hamba dengan benar, kecuali setelah dia mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan pemahaman yang benar.[8]

4. Ketakutan dan ketakwaan yang sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla hanya bisa dicapai dengan ma'rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla dengan cara yang benar), melalui pemahaman terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allah)" [Fâthir/35:28]

Dalam hadits yang shahîh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan paling mengenal-Nya di antara kamu sekalian"[9] .

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: "Arti (ayat di atas): Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allah Azza wa Jalla yang memiliki rasa takut yang sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla , karena semakin sempurna pemahaman dan pengetahuan (seorang hamba) terhadap Allah Azza wa Jalla , zat yang maha mulia, maha kuasa dan maha mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula"[10] .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba terhadap (nama-nama dan sifat-sifat) Allah Azza wa Jalla , maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungannya kepada-Nya, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah Allah Azza wa Jalla ."[11]

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "Semakin banyak pengetahuan seseorang terhadap (nama-nama dan sifat-sifat) Allah Azza wa Jalla , maka rasa takutnya kepada-Nya pun semakin besar, yang kemudian rasa takut ini menjadikan dirinya (selalu) menjauhkan dirinya dari perbuatan-perbuatan maksiat dan (senantiasa) mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Zat yang ditakutinya (Allah Azza wa Jalla )."[12]

5. Memahami tauhid asmâ` wa shifât Allah Azza wa Jalla dengan benar adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih kenikmatan dan kemuliaan tertinggi di dunia dan akhirat.
Dalam hadits yang shahîh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Azza wa Jalla berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?" Maka mereka menjawab: "Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?" Maka (pada waktu itu) Allah Azza wa Jalla membuka hijâb (yang menutupi wajah-Nya yang maha mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah Azza wa Jalla .” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat berikut:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Azza wa Jalla )” [Yûnus/10:26][13]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau “Ighâtsatul lahafân ”[14] menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah Azza wa Jalla ) adalah balasan yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya [15] , yang semua ini merupakan buah dari pemahaman yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla .

Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahîh: “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah Azza wa Jalla ) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…”[16].

Penutup
Beberapa poin yang kami sebutkan di atas menggambarkan kepada kita agungnya kedudukan tauhid asmâ` wa shifât Allah Azza wa Jalla dan besarnya keutamaan mempelajari dan memahaminya. Masih banyak poin lain yang tentu tidak mungkin disebutkan semuanya di sini.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita untuk semakin giat dan bersungguh-sungguh mempelajari ilmu agama, terutama ilmu tauhid yang merupakan landasan agama Islam ini.

Ya Allah Azza wa Jalla , aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti), dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang menyesatkan.

وَصَلَّى الله ُوَسَلَّمَ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَأَلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ , وَأَخِرُ دَعْوَاناَ أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَا لَمِيْنَ

Kota Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 7 Jumadal Akhir 1430 H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Fikih Hudud


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


Allah Subhanahu wa Ta’ala al-Hâkim (Yang Maha Bijaksana) senantiasa menjaga hak-hak manusia dan menjaga kehidupan mereka dari kezhaliman dan kerusakan. Syariat Islam pun ditetapkan untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharûriyât al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini harus mendapatkan hukuman yang ditetapkan Syari'at dan disesuaikan dengan pelanggaran tersebut.

Salah satunya adalah penegakan hudûd yang menjadi salah satu keistimewaan ajaran Islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada makhluknya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: hudûd berasal dari rahmat untuk makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang yang menghukum manusia karena dosa-dosa mereka, bertujuan melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang sakit.[1]

1. PENGERTIAN HUDUD
Hudûd adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jamâ’ (plural) dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya.[2] Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti al-man’u (pencegah), sehingga dikatakan Hudûd Allah Azza wa Jallaadalah perkara-perkara yang Allah Azza wa Jallalarang melakukan atau melanggarnya [3] .

Menurut syar’i, istilah hudûd adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya. [4]

2. DELIK HUKUMAN KEJAHATAN (Jarîmah al-Hudûd)
Kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jarâimu al-hudûd (delik hukuman kejahatan), yang meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muhârabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya [5]

Dengan demikian Hudûd meliputi tujuh jenis:
1. Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
2. Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri.
3. Had al-Khamr (hukuman orang minum khamer (minuman memabukkan)) untuk menjaga akal.
4. Had as-Sariqah (hukuman pencuri) untuk menjaga harta.
5. Had al-Hirâbah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri kehormatan.
6. Had al-Baghi (hukuman pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa.
7. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama.
8. Ta'zîr. [6]

3. HIKMAH PENSYARIATAN HUDUD.
Hudûd disyaria'tkan untuk kemaslahatan hamba dan memiliki tujuan yang mulia. Di antaranya adalah:

a. Hukuman bagi orang yang berbuat Siksaan bagi orang yang berbua kejahatan dan membuatnya jera. Apabila ia merasakan sakitnya hukuman ini dan akibat buruk yang muncul darinya, maka ia akan jera untuk mengulangi dan dapat mendorongnya untuk istiqamah serta selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38]

b. Mencegah orang lain agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengumumkan had dan melakukannya di hadapan manusia.

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (an-Nûr/24:2). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa di antara hikmah hudûd adalah membuat jera pelaku untuk tidak mengulangi dan mencegah orang lain agar tidak terjerumus padanya; serta pensucian dan penghapusan dosa.[7]

c. Hudûd adalah penghapus dosa dan pensuci jiwa pelaku kejahatan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ تَسْرِقُوا وَلاَ تَزْنُوا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلاَ تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك

Ketika di sekeliling beliau ada sekelompok sahabatnya, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berjanji setialah kamu kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah Azza wa Jalla dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kamu dan tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam hal yang ma'rûf. Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah Azza wa Jallaakan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman di dunia, maka hukuman itu adalah kafarah (penghapus dosanya). Dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi oleh Allah Azza wa Jallakesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah Azza wa Jalla; kalau Dia menghendak,i diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki, disiksa-Nya.” [Muttafaqun ’alaih: Fat-hul Bâri I/ 64 no: 18, Muslim 3/1333 no: 1709 dan an-Nasâ’i 7/148]

d. Menciptakan suasana aman dalam masyarakat dan menjaganya.

e. Menolak keburukan, dosa dan penyakit pada masyarakat, karena apabila kemaksiatan telah merata dan menyebar pada masyarakat maka Allah Azza wa Jalla akan menggantinya dengan kerusakan dan musibah serta dihapusnya kenikmatan dan ketenangan. Untuk menjaga hal ini maka solusi terbaiknya adalah menegakkan dan menerapkan hudûd. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah Azza wa Jalla merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[ar-Rûm/30:41]

Sehingga Rasulullah bersabda:

لَحَدٌّ يُقَامُ فِيْ الأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا

Dari Abû Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih dicintai bagi penduduknya daripada mereka diguyur hujan selama tiga puluh hari.” [Hasan ; Shahîh Ibnu Mâjah no; 2057, Ibnu Mâjah 2/848 no : 2538, an-Nasâ’I 8/76).[8]

4. SYARAT PENERAPAN AL-HUDUD.[9]
Penerapan Hudûd tidak dilakukan tanpa empat syarat:

1. Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
2. Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
3. Pelaku kejahatan mengetahui larangannya.
4. Kejahatannya terbukti dan bahwa ia melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.

5. HUKUM MENEGAKKAN HAD
Diwajibkan kepada wali umur (penguasa) untuk menegakkan dan menerapkan Had kepada seluruh rakyatnya berdasarkan dalil dari al-Qur`ân, Sunnah dan Ijma' serta dituntut qiyas yang shahîh.[10]

Dalil al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38]

Dalil Sunnah di antaranya adalah hadits Ubâdah bin Shâmit yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ

“Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah Azza wa Jallakepada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecaman orang yang suka mencela mempengaruhi kamu (dalam menegakkan hukum-hukum) karena Allah Azza wa Jalla.” [Hasan: Shahîh Ibnu Mâjah No. 2058 dan Ibnu Mâjah No. 2540]

Demikian juga ulama kaum muslimin sepakat atas hal ini.

6.TIDAK DIBENARKAN SYAFAAT (REKOMENDASI) PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJA HIJAUKAN
Apabila perkaranya telah masuk ke pemerintah atau telah dimeja hijaukan, maka dilarang adanya syafaat (rekomendasi) pembebasan atau pengurangan hukuman. Juga pemerintah tidak boleh menerima syafaat dalam hal ini. Hal ini dijelaskan Rasulullah dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلاَّ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma yang mengatakan bahwa kaum Quraisy sangat dipusingkan ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang melakukan pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang mau berbicara tentang hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah Azza wa Jalla?” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya) dan bila orang miskin mencuri, mereka tegakkan had padanya. Demi Allah Azza wa Jalla, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad[11] memotong tangannya.” [Muttafaqun ’alaih][12] ,

Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah mengingkari orang yang memberi syafaat dalam hukuman had setelah sampai ke pemerintah. Adapun bila belum sampai maka diperbolehkan.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: Tidak boleh menggagalkan (hukuman had) dengan syafaat, hadiah dan yang lainnya. Siapa yang menggagalkannya karena hal ini –padahal ia mampu menerapkannya- maka semoga laknat Allah Azza wa Jalla, malaikat dan semua manusia menimpanya [13].

7. PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD
Tak ada yang berwenang menegakkan hudûd, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab di masa kerasulan, beliaulah yang melaksanakannya. .Demikian pula para Khalifahnya sepeninggal beliau Shallalahu alalaihi wa sallam . Rasulullah pernah juga mengutus Unais Radhiyallahu anhu untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya :

وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا

Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang ini, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” [HR al-Bukhâri no. 2147]. Demikian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan para sahabat untuk merajam Mâ'iz, dengan menyatakan :

اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ

"Bawalah ia dan rajamlah!" [HR al-Bukhâri no. 6815].

Demikian juga karena penentuan hukuman had dibutuhkan ijtihad dan tidak aman dari kezhaliman, maka wajib dilaksanakan oleh imam atau wakilnya. [14]

8. LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SAMA DALAM HUDUD
Dalam penerapan hukuman had terhadap wanita sama seperti lelaki, karena pada asalnya semua yang ditetapkan syari'at untuk lelaki juga berlaku untuk wanita sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Hal ini umum berlaku dalam ibadah, mu'amalah ataupun dalam hukuman. Namun para ulama memberikan 3 pengecualian, yaitu:

a. Wanita dihukum dengan duduk sedangkan lelaki dengan berdiri.
b. Pakaian wanita diikat sedangkan lelaki tidak.
c. Tangannya di tahan (diikat) hingga tidak terbuka auratnya, sedangkan lelaki tidak. [15]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Inilah yang membedakan wanita dengan laki-laki dalam had karena kebutuhan menuntutnya. Kalau tidak, maka pada asalnya wanita sama dengan lelaki. [16]

Demikianlah selintas permasalahan hudûd dalam Islam. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan kepada kaum Muslimin tentang keindahan dan kelengkapan syari'at Islam. Wabillâhi taufîq.

Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Berpahala Dengan Niat


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc



عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ فَقَالَ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ وَفِيْ رِوَايَةٍ إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِي الأَجْرِ (رَوَاهُ مُسْلِم( وَرَوَاه الْبُخَارِيْ عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَجَعْنَا مِنْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ مَعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَقْوَامًا خَلْفَنَا بِالْمَدِينَةِ مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيْهِ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ

Dari Abu Abdillah Jabir beliau berkata: kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu peperangan, lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya beberapa orang di Madinah tidaklah kalian menempuh suatu perjalanan dan tidak pula kalian melewati satu wadi (lembah) kecuali mereka bersama kalian, mereka ditahan oleh penyakit.

(Dan dalam riwayat lain): kecuali mereka bersama kalian dalam pahala. [HR Muslim]

Dan Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu , beliau berkata, "Kami pulang dari perang Tabuk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesunggunya beberapa orang yang tertinggal di Madinah tidaklah kita melewati satu jalanan dan tidak pula lembah kecuali mereka bersama kita, mereka tertahan oleh udzur".

TAKHRIJ HADITS
Hadits pertama diriwayatkan imam Muslim dalam Shahîhnya no. 1911 dan hadits kedua diriwayatkan imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya no. 2838, 2839 dan 4423.

SYARAH KOSA KATA.
فِي غَزَاةٍ : Dalam satu peperangan. Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan dengan jelas yaitu perang Tabuk.

وَادِيًا : tempat mengalirnya air. Dan lembah antara dua gunung atau bukit disebut wâdi karena tempat itu menjadi tempat mengalirnya air. [lihat al-Mufradaat karya al-Ashfahani, hlm. 862]

حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ : tertawan oleh penyakit, sehingga mereka tidak bisa berangkat berjihad. Bukanlah maksud dari hadits adalah pembatasan jenis udzur hanya pada sakit, jika bukan karena sakit maka pahala tersebut tidak ada. Ini keliru karena pengertian hadits ini umum mencakup semua udzur syar’i lainnya, seperti dijelaskan dalam riwayat imam al-Bukhâri dengan lafazh حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ .

SYARAH UMUM
Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan bahwa hadits yang mulia ini menjelaskan bahwa seorang jika telah berniat untuk melakukan satu amalan shâlih, lalu terhalang oleh sesuatu, maka ia tetap mendapatkan pahala amalan tersebut.

Demikian juga apabila seorang terbiasa mengerjakan amalan ibadah tertentu pada saat tidak ada udzur, lalu karena sakit atau udzur tertentu ia tidak bisa melakukannya, maka tetap ia mendapatkan pahala amalan tersebut secara sempurna. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau bepergian maka dituliskan baginya pahala seperti apa yang diamalkannya ketika sehat dan mukim (tidak bepergian) [1]

Misalnya, seseorang yang biasa shalat bersama jamaah di Masjid, lalu satu ketika mendapat halangan seperti tertidur atau sakit atau yang sejenisnya maka dia tetap mendapatkan pahala shalat bersama jamaah di masjid secara sempurna tanpa ada kekurangan.

Demikian juga jika dia biasa shalat sunnah akan tetapi suatu ketika dia terhalang darinya dan tidak mampu melaksanakannya maka dia tetap diberi pahalanya secara sempurna walaupun tidak mengamalkannya.

Adapun jika hal itu bukan merupakan kebiasaannya maka dia mendapat pahala niatnya saja dan tidak mendapat pahala amalannya. Dalilnya adalah hadits yang berbunyi:orang fakir dari kalangan sahabat berkata:

يَارَسُوْلَ اللهِ سَبَقَنَا أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُوْرِ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ- يَعْنِيْ إِنَّ أَهْلَ الأَموَالِ سَبَقَهُمْ بِالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ- فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِشَيْىءٍ إذَا فَعَلْتُمُوْهُ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَ مَا عَمِلْتُمْ !! فَقَالَ تُسَبِّحُونَ وَتُكَبِّرُونَ وَتَحْمَدُونَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا فَفَعَلُوْا فَعَلِمَ الأَغْنِيَاءُ فَفَعَلُوْا مِثْلَ ما فَعَلُوْا فَجَاءَ الفُقَرَاءُ إِلَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالُوا: يَارَسُوْلَ اللهِ سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الْأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِهِ مَنْ يَشَاءُ

Wahai Rasûlullâh ! Ahlu dutsur (orang-orang kaya) mendahului kami dalam pahala dan nikmat yang kekal-yaitu mendahului mereka dalam bershadaqah dan membebaskan budak-lalu Rasûlulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Maukah kalian saya beritahu sesuatu jika kalian kerjakan maka kalian dapat menyusul orang yang telah mendahului kalian dan tidak akan menyusul kalian seorangpun kecuali orang yang beramal seperti yang kalian amalkan tersebut !!" Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, "Bertasbîh, bertakbîr dan bertahmidlah setiap selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali." Lalu mereka mangamalkannya dan orang-orang kaya mengetahui hal itu lalu mengamalkannya seperti apa yang mereka amalkan !! Kemnudian orang-orang fakir tersebut datang lagi ke Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, 'Wahai Rasûlullâh saudara kami orang-orang kaya telah mendengar apa yang kami amalkan dan mereka mengamalkan seperti kami,' Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Demikianlah keutamaan Allâh Azza wa Jalla diberikan kepada orang yang disukai-Nya".[2] [ihat, Syarah Riyâdhush Shâlihîn, Ibnu Utsaimin, 1/]

Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepada mereka bahwa orang-orang yang tidak ikut itu telah mendapatkan pahala amalan mereka (yang ikut dalam peperangan) akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa mereka telah mendapatkan pahala niat beramal tersebut. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang orang yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan harta lalu menginfaqkannya di jalan kebaikan dan ada seorang fakir berkata, "Seandainya saya memiliki harta (seperti) Fulan, sungguh saya akan amalkan semua amalan Fulan, dalam sabdanya:

فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَهُمَا فِيْ الأَجْرِ سَوَاءٌ

Maka dia dengan niatnya dan keduanya sama-sama dalam pahala.[3]

Dalam hadits ini juga ada isyarat bahwa orang yang keluar di jalan Allâh dalam perang dan jihad maka dia mendapat pahala dari perjalanan yang ditempuhnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَكُمْ

Tidaklah kalian berjalan di satu jalanan dan tidak pula kalian melewati satu wadi kecuali mereka bersama kalian

dan ditunjukkan juga oleh firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [at-Taubah 9:120-121]

Demikian juga seorang jika berwudhu di rumahnya lalu menyempurnakan wudhunya kemudian pergi ke masjid, dia dia keluar hanya untuk shalat, maka (jika demikian keadaannya), dia tidaklah melangkah satu langkah kecuali Allâh Azza wa Jalla mengangkat satu derajat dan menghilangkan satu kesalahan. Ini merupakan keutamaan Allâh yang menjadikan wasilah (perantara satu amalan) mendapatkan pahala seperti yang telah dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . wallahul muwaffiq.

FAEDAH HADITS
1. Semangatnya para sahabat untuk berjihad dan berusaha tidak ketinggalan bila tidak memiliki udzur

2. Niat yang baik bisa mencapai pahala amalan

3. Urgensi niat bagi kaum Muslimin yang mengharapkan keridhaan Allâh Azza wa Jalla

4. Seyogyanya para da’i memanfaatkan kesempatan dalam berdakwah, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi para sahabatnya dan memberikan motivasi perbaikan niat ketika pulang dari perang Tabuk ke Madinah

5. Agama islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan, karena mengizinkan orang yang tidak bisa berjihad karena ada udzur.

6. Orang yang memiliki udzur namun memiliki niat yang benar bisa meraih pahala para Mujahidin

7. Luasnya rahmat Allâh terhadap hamba-hamba-Nya.

Wabillahittaufiq.

Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




Kekeliruan Muncul Saat Berpaling Dari Bimbingan Wahyu



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ {6} وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ اْلأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ اْلإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ {7} فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَنِعْمَةً وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {8}


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu sekalian dalam beberapa urusan benar-benarlah kalian akan mendapatkan kesusahan, tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [al Hujurat/49 : 6-8]

SEBAB TURUNNYA AYAT YANG PERTAMA
Imam Ahmad meriwayatkannya dalam hadits yang panjang, di antara isinya: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus al Walid bin 'Uqbah Radhiyallahu anhu untuk menemui al Harits (bin Abi Dhirar al Khuza'i dari Bani Musthaliq) untuk mengambil zakat yang sudah dikumpulkan. Tatkala al Walid telah menempuh beberapa jalan, ia takut dan pulang, kemudian menjumpai Rasulullah seraya berkata: "Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , al Harits menghalangiku untuk mengambil zakat dan berusaha membunuhku," maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan pasukan menuju al Harits. Al Harits datang bersama teman-temannya (menuju Madinah). Delegasi (Nabi) menjumpainya dan mengetahuinya : “Itu al Harits”. Ketika al Harits sudah mendekati delegasi tersebut, ia bertanya: “Kalian diperintahkan pergi kemana?” Mereka menjawab: “Kepadamu (wahai al Harits),” ia bertanya : “Apa sebab?”Mereka menjawab : “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus al Walid bin 'Uqbah kepadamu. Menurutnya, engkau menghalanginya mengambil zakat dan ingin membunuhnya,” ia (al Harits) menampik : “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan al haq, aku tidak pernah melihatnya, ia tidak pernah mendatangiku”. Ketika kemudian al Harits menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau berkata : “Engkau menolak membayar zakat dan ingin membunuh utusanku?” Ia menjawab : “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan al haq, aku tidak pernah melihatnya, ia tidak pernah mendatangiku. Dan tidaklah aku datang (sekarang ini), kecuali karena utusan Rasulullah tidak muncul. Aku khawatir kalau hal itu (ketidak hadiran utusan beliau untuk mengambil zakat, Pen) karena adanya kemurkaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya,” maka turunlah ayat ini.[1]

PENJELASAN AYAT
Sebagai penjelasan ayat pertama, kami kutipkan penjelasan dari Syaikh as Sa'di yang menyatakan :

“Ini juga (merupakan) beberapa adab yang harus dipenuhi dan digunakan oleh orang-orang yang berakal. Yaitu, apabila ada seorang fasik yang datang dengan membawa berita kepada mereka (kaum Muslimin), hendaknya mereka melakukan tatsabbut (klarifikasi) terhadap beritanya, tidak dengan serta merta mengambilnya begitu saja. Karena tindakan ini bisa mengakibatkan bahaya yang besar dan terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika beritanya dianggap seperti kabar yang dibawa orang jujur lagi adil, dan dilaksanakan kandungannya, maka akan timbul lenyapnya jiwa dan harta tanpa alasan yang dibenarkan, lantaran isi dari berita (yang tidak benar) itu, yang akhirnya menimbulkan penyesalan.

Yang wajib dilakukan terhadap berita orang fasik adalah tatsabbut dan tabayyun (klarifikasi dan konfirmasi). Kalau ada bukti dan kondisi yang menunjukkan kejujurannya, maka bisa dilaksanakan dan dibenarkan. Namun apabila mengindikasikan sebuah kedustaan belaka, maka harus diingkari dan tidak perlu diikuti”.[2]

Ayat ini, kendatipun turun berkenaan dengan sebab tertentu, hanya saja kandungannya umum dan menjadi prinsip dasar penting. Maka kewajiban seseorang, komunitas, negara, tidak boleh menerima sebuah berita yang sampai kepada mereka dan tidak melaksanakan substansinya, kecuali setelah tatsabbut dan tabayyun yang tepat. Karena dikhawatirkan akan menimpakan keburukan kepada seseorang ataupun masyarakat tanpa alasan. (Jadi) memegangi prinsip tatsabbut dan tabayyun dalam menyeleksi berita dari seseorang adalah wajib, yang berguna untuk menjaga kehormatan individu-individu dan pemeliharaan terhadap jiwa dan harta mereka.[3]

واعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللهِ

(Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah)

Firman Allah Azza wa Jalla di atas, maknanya, seperti dikatakan Imam Ibnu Katsir rahimahullah : “Ketahuilah bahwa di tengah kalian ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Agungkan dan muliakanlah beliau. Bersikaplah dengan penuh etika saat bersamanya. Tunduklah kalian pada perintahnya. Sebab beliau orang yang paling mengetahui tentang maslahat bagi kalian dan lebih sayang kepada kalian daripada diri kalian sendiri. Daya pertimbangan beliau tentang kalian lebih sempurna dari pemikiran kalian, seperti makna firman Allah Azza wa Jalla :

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. [al Ahzab:6]

Syaikh Abu Bakar al Jazairi di dalam tafsirnya menyatakan, Allah ingin mengarahkan pandangan kaum Muslimin (para sahabat, Pen) pada sebuah substansi penting yang mereka lalaikan. Yaitu, tentang keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka, dengan wahyu yang turun kepada beliau. Kondisi ini menuntut mereka untuk senantiasa bertutur kata jujur dan bertindak elegan. Kalau tidak, niscaya wahyu akan membuka kedok (kesalahan) mereka secara langsung, jika mereka berdusta.[4]

لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ اْلأَمْرِ لَعَنِتُّمْ (Kalau ia menuruti (kemauan) kamu sekalian dalam beberapa urusan benar-benarlah kalian akan mendapatkan kesusahan).

Tentang ayat di atas, Imam at Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Nadhrah rahimahullah , dari sahabat Abu Sa'id al Khudri Radhiyallahu anhu. Tatkala sahabat yang mulia ini membaca ayat di atas, ia berkomentar :

هَذَا نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوحَى إِلَيْهِ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ لَوْ أَطَاعَهُمْ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَمْرِ لَعَنِتُوا فَكَيْفَ بِكُمْ الْيَوْمَ

Ini nabi kalian, diwahyukan kepada beliau wahyu. Dan mereka (para sahabat) adalah orang-orang (yang) terpilih (dari kalangan) kalian. Seandainya beliau mengikuti mereka dalam banyak urusan, niscaya mereka akan terjerumus dalam kesulitan. Bagaimana dengan kalian sekarang? [5]

Artinya, kalau beliau mentaati mereka dalam setiap perkara yang mereka pandang (baik) dan mereka usulkan, niscaya mereka akan terjerembab dalam berbagai permasalahan yang menyeretnya kepada beragam kesulitan yang tidak terpikul, atau bahkan tidak menutup kemungkinan pada dosa-dosa yang besar. [6]

Hal ini seperti kandungan firman Allah Azza wa Jalla : [7]

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. [al Mukminun : 71].

Manusia, meskipun fitrahnya lurus, ia sangat membutuhkan bimbingan al Kitab dan Sunnah untuk mengetahui kebaikan. Sebab, ada saja yang tidak diketahui olehnya, sehingga suatu kebaikan dianggap sebagai kejelekan dan sebaliknya. Akhirnya penilaian pun keliru.

Di dalam Shahihain, dari sahabat Huzhaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan keadaan masa mendatang :

فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ فَلَا يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي الْأَمَانَةَ فَيُقَالُ إِنَّ فِي بَنِي فُلَانٍ رَجُلًا أَمِينًا وَيُقَالُ لِلرَّجُلِ مَا أَعْقَلَهُ وَمَا أَظْرَفَهُ وَمَا أَجْلَدَهُ وَمَا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ

Orang-orang nantinya akan saling melakukan transaksi jual-beli. Hampir-hampir tidak ada seorang pun yang amanah. Sehingga akan didengungkan “di kalangan Bani Fulan ada orang yang amanah,” maka orang itu dipuji : “Alangkah cerdas, beruntung dan kuat dirinya,” padahal ia tidak memiliki kadar keimanan seberat biji sawi sekalipun.[8]

Bagaimanapun ketinggian ilmu dan keshalihan seseorang, ada saja kebaikan yang tidak diketahuinya. Ketidaktahuan semacam ini juga terjadi pada generasi terbaik, generasi sahabat. Bagaimana dengan generasi lainnya? Tentu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, merujuk kepada al Kitab dan Sunnah menjadi keharusan bagi setiap muslim.

Syaikh Abdul Malik Ramdhani mengatakan[9] : “Firman Allah (yang kedua) di atas, redaksinya mengarah kepada sebaik-baik orang yang beribadah kepada Allah dan memahami syariatNya (para sahabat, Pen). Seandainya mereka dibiarkan begitu saja tanpa diberi penjelasan dari al Kitab dan Sunnah, niscaya pilihan mereka dalam banyak hal benar-benar akan mengandung kesulitan bagi mereka sendiri. Bagaimana dengan orang yang kualitasnya di bawah mereka?”

Sebagai contoh, ada sebagian sahabat yang mengira, kalau meninggalkan wanita secara mutlak itu menggambarkan sifat 'iffah dan kesempurnaan dalam beribadah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarangnya, karena ada unsur kesulitan yang timbul, selain karena bertentangan dengan fitrah.

Dari Sa'd bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu , ia berkata :

رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا

Rasulullah menolak tabattul[10] dari 'Utsman bin Mazh'un. Andai beliau membolehkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami. [Muttafaqun 'alaih]

Atau riwayat lain yang menceritakan bahwa Mu'adz Radhiyallahu anhu, tatkala pulang dari Syam, ia sujud di hadapan beliau. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Apa-apaan ini, wahai Mu'adz?” Dia menjawab,”Aku baru datang dari Syam. Kedatanganku menepati mereka (orang-orang di sana) sedang sujud untuk uskup dan pendeta-pendeta mereka. Maka aku ingin melakukannya kepadamu,” beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Janganlah kalian lakukan. Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud, maka akan kuperintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” [11]

Dalam hadits di atas, Mu'adz Radhiyallahu anhu ingin sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk penghormatan. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan menjelaskan tindakan yang ia anggap baik itu berseberangan dengan prinsip paling penting dalam Islam, yaitu tauhid. Maka oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibatalkan.

Maka, tidak diragukan lagi, penghormatan kepada orang-orang yang besar dengan cara bersujud mengandung unsur kesulitan yang besar. Di tambah lagi adanya penyimpangan dalam syariat sehingga merubah tatanan nilai. Realita yang ada, percampuran lelaki dan perempuan tidak dipandang masalah, pembatasan anak disebut sebagai wujud kesadaran ekonomi, saling bersalaman usai shalat fardhu dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang bertentangan dengan aturan agama disangka sebagai bagian dari agama. Sehingga keberadaan wahyu mutlak diperlukan oleh setiap manusia.

وَلَكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ اْلإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ (Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan)

Tetapi karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kalian dan Allah Azza wa Jalla telah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah di hati-hati kalian, lantaran Allah memasukkan kecintaan kepada al haq dan mengutamakannya pada kalbu-kalbu kalian. Dan juga lantaran tegaknya bukti dan petunjuk bagi al haq yang menunjukkan kebenarannya, hati yang mudah menerima, serta taufikNya bagi kalian untuk berinabah (kembali) kepadaNya.

Dia menjadikan kalian benci kepada al kufru dan fusuq, yaitu dosa-dosa besar, serta 'ishyan, yaitu tingkatan dosa yang di bawahnya melalui rasa benci yang Allah letakkan di hati-hati kalian dan tiadanya kehendak untuk mengerjakannya, juga melalui tegaknya dalil dan bukti mengenai keburukannya, serta karena fitrah manusia tidak menerimanya.[12]

أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus)
Mereka itu (para sahabat Rasulullah, Pen) berada di atas jalan yang lurus, mendapatkan petunjuk menuju akhlak yang baik, tidak menyimpang lagi tidak tersesat. [13]

فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَنِعْمَةً وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana)

Karunia yang dianugerahkan kepada kalian merupakan keutamaan dan kenikmatanNya kepada kalian. Allah Maha Mengetahui orang yang berhak mendapatkan hidayah dan manusia yang pantas tersesat. Demikian juga Allah Maha Bijaksana dalam setiap firman, tindakan dan aturan syariatNya, serta takdirNya. [14]

Hidayah yang didapat para sahabat merupakan keutamaan dan anugerah dari Allah bagi mereka. Allah Maha Mengetahui niat dan kehendak yang ada pada mereka. Allah Maha Bijaksana dalam pengaturanNya, dengan menjadikan para sahabat sebagai manusia-manusia yang pantas menerima kebaikan, dan menjadikan mereka sebagai umat yang paling baik secara mutlak [15]

BEBERAPA PELAJARAN DARI AYAT
Dari ayat-ayat di atas, bisa mengambil beberapa pelajaran penting, sebagai berikut : [16]

Pertama : Kita memahami, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang tinggi.

Kedua : Wajib bagi kita melakukan tatsabbut dalam menyikapi berita-berita penting yang bisa mengakibatkan timbulnya gangguan atau bahaya atas diri seseorang berkaitan dengan berita yang kita dengar.

Ketiga : Diharamkan bersikap tergesa-gesa yang dapat mengakibatkan seseorang menghukumi sesuatu dengan dasar persangkaan belaka, sehingga pelakunya nanti akan menyesal di dunia dan akhirat.

Keempat : Di antara kenikmatan besar yang diraih seorang mukmin, bahwa Allah menjadikannya cinta terhadap keimanan kepadaNya, dan menjadikan (iman itu) indah di hatinya.

Kelima : Allah menjadikannya benci kepada tindakan kekufuran, kefasikan dan maksiat. Dengan itu, seorang mukmin menjadi insan yang paling lurus setelah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Washallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Agar Buah Hati Menjadi Penyejuk Hati



Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni


Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan." [al-Kahfi/18:46].

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah Azza wa Jalla mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka… [at-Taghâbun/64:14]

Makna "Menjadi musuh bagimu" adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla.[1]

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hamba-Nya agar jangan sampai kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah Azza wa Jalla memotivasi hamba-hamba-Nya untuk selalu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…".[2]

Kewajiban Mendidik Anak
Agama Islam sangat menekankan kewajiban mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. [at-Tahrîm/66:6]

Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata: "(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu".[3]

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di berkata: "Memelihara diri dari api neraka adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak dari api neraka adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam, serta memaksa mereka untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka seorang hamba tidak akan selamat dari siksaan neraka kecuali jika dia sungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla(dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawah kekuasaan dan tanggung jawabnya".[4]

Dalam sebuah hadits yang shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Hasan bin 'Ali Radhiyallahu anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan Radhiyallahu anhuma masih kecil, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Hekh…hekh" agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?".[5] Imam Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat bagi mereka, serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, yaitu melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama); meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat; agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut.[6]

Metode Pendidikan Anak Yang Benar
Agama Islam yang sempurna telah mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia dilahirkan ke dunia ini.

Dalam sebuah hadits qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanîf (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam)".[7]

Dalam hadits shahîh lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan".[8]

Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras memalingkan manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla sejak mereka dilahirkan ke dunia, Padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya; maka bagaimana keadaannya jikalau dia telah mengenal semua godaan tersebut? [9]

Maka di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab yang diajarkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak.[10]

Sebagai contoh misalnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan bagi seorang suami yang akan menggauli istrinya untuk membaca doa:

بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

"Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[11] yang Engkau anugerahkan kepada kami".

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Jika seorang suami yang ingin menggauli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah Azza wa Jalla menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya".[12]

Dengan demikian, jelaslah bahwa syariat Islam merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak, yang berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn berkata: "Yang menentukan keberhasilan pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Azza wa Jalla. Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla serta (berusaha) menempuh metode yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah Azza wa Jalla akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Azza wa Jalla berfirman:

ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya" [ath-Thalâq/65:4].[13]

Pembinaan Rohani Dan Jasmani
Cinta sejati kepada anak tidaklah dapat diwujudkan hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi saja. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber pada petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Allah Azza wa Jalla memuji Nabi-Nya Ya'qûb Alaihissallam yang sangat mengutamakan pembinaan iman bagi anak-anaknya. Sampai saat-saat terakhir hidup beliau, nasehat berikut inilah yang beliau tekankan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Adakah kamu hadir ketika Ya'kûb kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrâhîm, Ismâ'îl, dan Ishâq, (yaitu) Rabb yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya [al-Baqarah/2:133]

Renungkanlah teladan agung dari Nabi Allah yang mulia ini, bagaimana beliau menyampaikan nasehat terakhir kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan agama Allah Azza wa Jalla[14] , yang landasannya adalah ibadah kepada Allah Azza wa Jalla semata-semata (tauhid) dan menjauhi perbuatan syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Di mana kebanyakan orang masa kini justru memberikan perhatian utama kepada kebutuhan duniawi semata-mata. Apa yang kamu makan sepeninggalku nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan hidupmu? Dari mana kamu akan mendapat penghasilan yang cukup? dan seterusnya.

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, ia memberi nasehat kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar" [Luqmân/31:13]

Lihatlah bagaimana hamba Allah Azza wa Jalla yang shaleh ini memberikan nasehat kepada buah hati yang paling dicintai dan disayanginya. Oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali disampaikan untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah (mentauhidkan Allah Azza wa Jalla) semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik.[15]

Manfaat Dan Pentingnya Pendidikan Anak
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah Azza wa Jalla merahmatinya – berkata: "Salah seorang Ulama berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat nanti akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua tentang anaknya sebelum meminta pertanggungjawaban dari anak tentang orang tuanya. Karena sebagaimana orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi) anaknya, (demikian pula) anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya. Maka sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya [al-'Ankabût/29:8]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu" [at-Tahrîm/66:6]

Maka, barangsiapa yang tidak mendidik anaknya dengan pendidikan yang bermanfaat baginya dan membiarkannya tanpa bimbingan, maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar kepada anaknya. Mayoritas kerusakan moral pada anak-anak justru timbul karena kesalahan orang tuanya sendiri, yaitu karena mereka tidak memberikan pengarahan dan pengajaran kepada anak-anak mereka tentang kewajiban-kewajiban serta anjuran-anjuran dalam agama. Sehingga, akibat mereka tidak memperhatikan pendidikan anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak itu tidak bisa melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri. Pada akhirnya anak-anak itu pun tidak bisa melakukan kebaikan untuk orang tuanya ketika telah lanjut usia. Hal itu sebagaimana yang terjadi, ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka kepadanya; maka anak itu menjawab: "Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau tua. Karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil, maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua".[16]

Cukuplah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak:

إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ: أَنَّى هَذَا ؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: “Bagaimana aku bisa mencapai semua ini?” Maka dikatakan padanya: “(Ini semua) disebabkan istigfâr (permohonan ampun kepada Allah Azza wa Jalla yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”".[17]

Sebagian para Ulama menerangkan makna hadits ini yaitu bahwa jika seorang anak menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada kedudukan ayahnya di surga (nanti), maka dia akan memohon (berdoa) kepada Allah Azza wa Jalla agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya); sehingga Allah Azza wa Jallapun meninggikan (kedudukan) ayahnya.[18]

Dalam hadits shahîh lainnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara yaitu sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”.[19]

Hadits ini menunjukkan bahwa pahala semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh akan sampai kepada orang tuanya secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan; karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya.[20] Adapun penyebutan "doa" dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya [21] , tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar selalu mendoakan orang tuanya.[22]

Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni – semoga Allah Azza wa Jalla merahmatinya – berkata: "(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan bagi kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya.”

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَ

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya" [an-Najm/53:39]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya"[23].

Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya…".[24]

Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kita untuk lebih memperhatikan pendidikan anak kita, utamanya pendidikan agama mereka; karena pada gilirannya semua itu manfaatnya untuk kebaikan diri kita sendiri di dunia dan akhirat nanti.

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Menolak Kemunkaran Dan Bid'ah



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (رواه البخاري ومسلم) وَ فِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Diriwayatkan dari Ummul-Mu'minin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah x ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolak”. (HR al Bukhari dan Muslim). Dalam hadits riwayat Muslim: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia ditolak”.

BIOGRAFI PERAWI HADITS
Beliau adalah Ummul-Mu'minin, ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhuma, isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinikahi di Mekkah pada saat berusia enam tahun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup bersamanya di Madinah ketika ia berusia sembilan tahun, yaitu pada tahun kedua Hijriyyah dan beliau tidak menikah dengan gadis selainnya.

Dia adalah isteri yang paling dicintai di antara isteri-isteri beliau yang lainnya. Dia adalah wanita yang dibebaskan oleh Allah dari berita bohong yang menimpanya dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia banyak menghafal hadits, dan termasuk wanita yang paling pandai. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya, bahwa Malaikat Jibril Alaihissallam menitip salam kepadanya.

Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, ia berusia delapan belas tahun. Dikabarkan bahwa ia adalah wanita termulia dan akan menjadi isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. ‘Aisyah wafat pada tahun 58 Hijriyyah dalam usia 67 tahun, dan dikuburkan di pemakaman Baqi’.[1]

TAKHRIJUL-HADITS
1. Shahih al Bukhari, kitab ash-Shulhi, bab Idzas Tholahu ‘ala Shulhi Jaurin, no. 2550.
2. Shahih Muslim, kitab al Aqhdiyah, bab Naqdhil-Ahkamil Bathilah wa Raddi Muhdatsatil-Umur (no. 1718 (17, 18).
3. Sunan Abi Dawud, kitab as-Sunnah, bab Fi Luzumis-Sunnah, no. 4606.
4. Sunan Ibni Majah dalam al Muqaddimah, no. 14.
5. Musnad Imam Ahmad (VI/73, 146, 180, 240, 256, 270).
6. Shahih Ibni Hibban, no. 26 dan 27.

AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Imam an-Nawawi (wafat tahun 676 H) t berkata,"Hadits ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemunkaran."

Ibnu Daqiqil-‘Id (wafat tahun 702 H) rahimahullah berkata,"Hadits ini adalah salah satu pedoman penting dalam agama Islam, yang merupakan jawami’ul kalim (kalimat yang pendek namun penuh arti) yang dikaruniakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah, dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah, bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak."[2]

Ibnu Rajab al Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata,"Hadits ini adalah salah satu prinsip dasar yang agung dari prinsip-prinsip dasar Islam, dan menjadi barometer dari setiap amal perbuatan yang zhahir (terlihat). Sebagaimana hadits,'Innamal-a’malu binniyat…(sesungguhnya seluruh amal perbuatan tergantung dengan niatnya…)'. merupakan barometer dari setiap perbuatan dari segi batin (niat)".

Sesungguhnya setiap amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah, maka amal tersebut tidak berpahala. Demikian pula halnya dengan segala amal perbuatan yang tidak atas dasar perintah Allah dan Rasul-Nya juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikit pun. [3]

Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani rahimahullah berkata,"Hadits ini termasuk bagian dari prinsip-prinsip dasar Islam dan merupakan satu kaidah dari kaidah-kaidah Islam.”[4]

FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)
1. Pelaksanaan Syari’at Islam Harus Dilakukan Dengan Cara Ittiba’ (Mengikuti), Bukan Ibtida’ (Mengada-ngada).
Melalui hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga kemurnian Islam dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim (kalimat singkat namun penuh makna), yang mengacu pada berbagai nash al Qur`an yang menyatakan, bahwa keselamatan seseorang hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tanpa menambah ataupun mengurangi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kalian semua mencintai Allah, maka ikutilah aku; tentu Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Ali ‘Imran/3:31].

Juga firman-Nya:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali ‘Imran/3:85]

Juga dalam firman-Nya,

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang sesat) karena dapat mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku. [al An’am/6:153].

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa dalam khutbahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah (al Qur`an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat.

Dalam riwayat al Baihaqi dan an-Nasa-i terdapat tambahan:

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Dan semua kesesatan masuk neraka.

2. Berbagai Perbuatan Yang Tertolak.
Hadits ini merupakan dasar yang jelas, bahwa semua perbuatan yang tidak didasari oleh perintah syari’at adalah tertolak. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa semua perbuatan—baik yang berhubungan dengan perintah maupun larangan—terikat dengan hukum syari’at. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari ketentuan syari’at; seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syari’at, dan bukan syari’at yang menghukumi perbuatan. Oleh karena itu, setiap muslim wajib menyatakan, perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan syari’at adalah bathil dan tertolak.

Perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan syari’at ini terbagi dua. Pertama, dalam masalah ibadah. Kedua, dalam masalah mu'amalah.

Pertama : Dalam masalah ibadah.
Hukum asal ibadah, pada asalnya adalah dilarang, kecuali yang dicontohkan oleh syari’at. Setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah, maka harus ada dalil shahih yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut. Jika ibadah yang dilakukan seseorang keluar dari hukum syari’at, maka perbuatan tersebut tertolak. Ini masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sekutu selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah? [asy-Syura/42:21].

Contohnya, mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian, menari, melihat wanita, atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak berdasar pada syari’at. Mereka inilah orang-orang yang dibutakan hatinya oleh Allah, sehingga tidak bisa melihat kebenaran; bahkan kemudian selalu mengikuti langkah-langkah setan. Mereka mengklaim, bahwa mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui kesesatan yang mereka ada-adakan.

Mereka ini, tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arab Jahiliyah yang menciptakan satu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah, sedangkan Allah tidak menurunkan hujjah (ilmu) atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً ۚ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan karena kekafiranmu itu. [al Anfal/8:35].

Terkadang suatu perbuatan disyari’atkan dalam suatu ibadah, tetapi tidak menjadi ibadah yang benar pada waktu dan tempat yang lain.

Sebagai contoh, berdiri dalam shalat adalah amal (perbuatan) ketaatan yang disyari’atkan. Akan tetapi, sengaja berdiri di bawah sengatan terik matahari ketika melakukan puasa tidaklah disyari’atkan. Pernah, pada masa Nabi Muhammad ada orang yang berpuasa sambil berdiri di bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan tidak berteduh. Lalu Rasulullah menyuruhnya untuk duduk dan berteduh sambil terus menyempurnakan puasanya.[5]

Para ulama telah sepakat, suatu ibadah tidaklah sah, kecuali apabila terkumpul dua syarat. Yaitu ikhlas karena Allah dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Hendaknya diketahui, bahwasanya mutaba’ah (ittiba) tidak akan terwujud, melainkan bila amal itu sesuai dengan syari’at Islam dalam enam perkara: (a) sebabnya, (b) jenisnya, (c) kadar (bilangan/ukuran)nya, (d) kaifiyat (cara)nya, (e) waktunya, dan (f) tempatnya.

a. Sebabnya.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Misalnya, ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam 27 bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Rasulullah (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut, maka ia menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini sangat penting, karena dengan demikian akan dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.

b. Jenisnya.
Maksudnya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Misalnya, seorang yang menyembelih kuda untuk kurban. Maka penyembelihan ini tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi, dan kambing.

c. Kadar (bilangan/ukuran)nya.
Jika ada seseorang yang menambah bilangan raka’at shalat, yang menurutnya penambahan itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam hal jumlah bilangan raka'atnya. Jadi apabila ada orang shalat Zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.

d. Kaifiyat (cara)nya.
Seandainya ada orang yang shalat, dia sujud terlebih dahulu sebelum ruku, maka shalatnya tidak sah dan tertolak, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.

e. Waktunya.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban atau hadyu pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka sembelihan (kurban)nya tidak sah, karena waktu pelaksanaannya di luar ketentuan ajaran Islam. Contoh lain, orang yang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak diterima.

f. Tempatnya.
Andaikata ada orang yang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka i’tikafnya. tidak sah. Sebab, tempat i’tikaf hanyalah di masjid.[6]

Kedua : Dalam masalah mu’amalah.
Hukum asal dalam mu'amalah adalah dihalalkan, kecuali mu'amalah yang diada-adakan; yang memang ada keterangan dari syari’at yang menunjukkan diharamkannya mu'amalah tersebut.

Keterangannya sebagai berikut:
a. Berbagai akad yang dilakukan manusia yang dilakukan sebagai ganti dari akad syari’at yang sah.
Contohnya, kejadian pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Suatu saat ada orang yang bertanya kepada Rasulullah dan menginginkan agar hukuman zina diubah dengan denda, maka Rasulullah menolaknya. Lebih lengkapnya, kejadian tersebut diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dan Imam Muslim dalam sebuah hadits yang menyatakan, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seseorang. Orang itu berkata: “Anakku bekerja pada si Fulan, lalu ia berzina dengan isterinya. Saya telah membayar denda sebanyak seratus kambing dan seorang pembantu." Mendengar penuturannya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seratus kambing dan pembantu dikembalikan kepadamu, dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun”.

b. Akad yang dilarang menurut syari’at, seperti:
- Pernikahan yang haramkan oleh Allah dengan sebab kerabat, atau nasab, atau menggabungkan dua saudara. Maka akadnya adalah bathil (tidak sah).
- Hilangnya salah satu syarat dalam akad, seperti nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda, maka akad nikahnya tidak sah.
- Akad yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, seperti jual-beli khamr (minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing, riba, dan semua jual-beli yang dilarang menurut syari’at, maka akadnya bathil dan tertolak.
- Akad yang di dalamnya ada kezhaliman atau penipuan, maka dikembalikan kepada yang dizhalimi, dan lainnya.

Demikian juga semua akad (transaksi) yang dilarang oleh syara’, atau dua orang yang melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad, maka akad tersebut bisa batal dan tertolak. Permasalahan ini, tentang sah dan tidaknya serta tertolak dan tidaknya, secara lebih rinci bisa dibaca di kitab-kitab fiqih.

3. Perbuatan Yang Diterima.
Dalam kehidupan, ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at, bahkan sesuai atau cenderung didukung dasar-dasar syari’at. Maka perkara-perkara tersebut diterima. Hal inilah yang disebut dengan maslahat mursalah. Para sahabat banyak mencontohkan hal ini. Seperti menghimpun al Qur`an pada masa Abu Bakar, penyeragaman (bacaan) al Qur`an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan dengan mengirimkan salinan-salinan mushaf ke berbagai penjuru disertai para qari’.

Contoh lainnya, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan berbagai ilmu lainnya, baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat bermanfaat bagi manusia, dan dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka bumi ini.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syari’at, maka perkara tersebut tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at, tetapi bahkan sesuai dan didukung syari'at, maka perkara tersebut baik dan diterima.

Dari perkara-perkara itu ada yang sunnah, ada juga yang sifatnya fardhu kifayah. Bid’ah yang sesat pun bervariasi; ada yang makruh dan ada yang haram, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan perbuatan bid’ah tersebut, seseorang bisa terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Misalnya, orang yang bergabung dengan aliran sesat, yang mengingkari wahyu dan syari’at Allah, mengajak untuk menerapkan hukum buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah merupakan keterbelakangan. Atau orang yang bergabung dengan jama'ah-jama'ah sufi yang meremehkan berbagai kewajiban, atau mempunyai paham wihdatul wujud ataupun hulul (manunggaling kawulo gusti) dan berbagai perilaku sesat lainnya; maka perbuatan ini jelas-jelas kufur, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam; tentunya, setelah terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang yang membuat dia keluar dari Islam.

Yang juga termasuk bid’ah sayyi’ah atau sesat, yaitu pengagungan terhadap suatu benda dan minta keberkahan kepada benda tersebut dengan keyakinan, bahwa benda yang ia agungkan bisa memberi manfaat. Misalnya mengagungkan pohon, batu atau lainnya. Pernah, suatu saat para sahabat lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang-orang musyrik.

Diriwayatkan dari Abu Waqid al Laitsi Radhiyallahu anhu , ia berkata:

Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain, dan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang disebut dzatu anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Kami pun berkata: “Ya, Rasulullah. Buatkanlah kami dzatu anwath sebagaimana mereka orang musyrik mempunyai dzatu anwath.” Rasulullah bersabda:

سُبْحَانَ اللهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ.

[Subhanallaah, hal ini seperti perkataan kaum Nabi Musa (Bani Israil kepada Musa),‘Buatkanlah untuk kami sesembahan, sebagaimana mereka memiliki sesembahan'. –QS al A’raf/7 ayat 138- Demi Rabb yang diriku berada di tangan-Nya, kamu benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu]. [HR at-Tirmidzi no. 2181. Beliau berkata,"Hadits ini hasan shahih.”].

Dalam hal ini mereka tidak kafir, karena mereka baru masuk Islam. Dan perkataan tersebut, mereka ucapkan karena ketidaktahuan.

Hadits kedua, “Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia (amalan tersebut) ditolak”, karena sebagian ahli bid’ah membantah hadits pertama “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolak”. Mereka berargumen, kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa yang kami lakukan, telah kami dapatkan dari orang-orang sebelum kami.

Maka dengan penyebutan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.
1. Dari hadits di atas bisa kita pahami, barangsiapa yang mereka-reka satu amalan, maka dosanya, ia sendiri yang menanggung dan amalan tersebut tertolak.

2. Setiap orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam ibadah, seperti doa dan dzikir tertentu yang tidak ada Sunnahnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia telah berdosa dari empat segi.
a. Meninggalkan doa dan dzikir yang disyari’atkan.
b. Menambah-nambah syari’at Islam.
c. Mensunnahkan sesuatu yang tidak disyari’atkan.
d. Mengelabui orang awam, yang menurut mereka, bahwa hal itu boleh dikerjakan.[7]

KESIMPULAN
Wajib atas setiap penuntut ilmu untuk berhati-hati, dan tidak terburu-buru dalam menghukumi suatu amal ditolak (tidak diterima) berdalil dengan hadits ini. Wajib atasnya untuk melihat dan mencari pendapat ulama tentang hukum dalam suatu masalah. Dia harus memahami kaidah dan prinsip yang dipakai oleh para ulama dalam menentukan suatu amal diterima atau ditolak.[8] Wallahu A’lam.

FAWAIDUL HADITS (MANFAAT HADITS)
1. Hadits ini sebagai barometer (timbangan) amal yang zhahir.
2. Perbuatan bid'ah adalah diharamkan dalam agama.
3. Amal perbuatan yang dibangun di atas bid’ah, maka ia tertolak.
4. Bahwasanya larangan terhadap sesuatu, cenderung karena adanya dampak kerusakan sesuatu tersebut.
5. Semua perbuatan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak ada tuntunan dari syari’at, maka perbuatan itu tertolak, meskipun dilakukan dengan niat yang baik.
6. Amal shalih yang dilakukan tidak mengikuti ketentuan syari’at, seperti enam perkara di atas (yaitu sebab, jenis, kadar, kaifiyat, waktu, dan tempat), maka amalnya bathil dan tidak sah.
7. Bahwasanya agama Islam adalah agama yang sempurna, dan tidak ada kekurangan padanya.
8. Kewajiban umat Islam adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah).

MARAJI’
1. Syarah al Arba’in li Ibni Daqiqil ‘Id, Cet. Th. 1427 H, Dar Ibni Hazm.
2. Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
3. Al Wafi fi Syarhil-Arba’in an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al Bugha dan Muhyiddin Mostu, Cet. VIII, Th. 1413 H, Maktabah Dar at-Turats.
4. Qawa-id wa Fawa-id minal-Arba’in an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan, Cet. I, Th. 1408 H, Dar as-Salafiyyah.
5. Syarah al Arba’in, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cet. III, Th. 1425 H, Dar Tsurayya lin-Nasyr.
6. Fat-hul Qowiyyil Matin fi Syarh al Arba’in wa Tatimmatul-Khamsin, karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr, Cet. I, Th. 1424 H, Dar Ibni ‘Affan.
7. Tash-hihud-Du’a`, karya Syaikh Bakr Abu Zaid.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




sumber:    http://almanhaj.or.id/
_______

No comments:

Post a Comment