Sunday, December 30, 2012

KEHENDAK ALLAH (AL-IRAADAH AR-RABBAANIYYAH)




KEHENDAK ALLAH (AL-IRAADAH AR-RABBAANIYYAH)

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd


Al-iraadah ar-rabbaaniyyah (kehendak Allah Azza wa Jalla) terbagi menjadi dua macam:

1. Iraadah Kauniyyah Qadariyyah (Sunnatullah).
Iraadah ini semakna dengan masyii-ah (kehendak Allah), dan mengenai iraadah ini, tidak ada sesuatu pun yang keluar dari ruang lingkupnya. Orang kafir dan muslim sama berada dalam iraadah kauniyyah ini. Sebab, ketaatan dan kemaksiatan semuanya adalah dengan masyii-ah dan iraadah Allah.
Di antara contohnya ialah firman Allah Azza wa Jalla:

وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ

"…Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya … ." [Ar-Ra'd/13 : 11]

Dan firman-Nya:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepa-danya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (me-meluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit…. ." [Al-An’aam/6 : 125]

2. Iraadah Syar’iyyah Diiniyyah (Syari’at).
Iraadah ini mencakup kecintaan Allah dan ridha-Nya.
Di antara contohnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghen-daki kesukaran bagimu… ." [Al-Baqarah/2 : 185]

Juga firman-Nya yang lain:

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ

"Dan Allah hendak menerima taubatmu … ." [An-Nisaa'/4 : 27]

Juga firman-Nya:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ

"…Allah tidak bermaksud menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu… ." [Al-Maa-idah: 6][1]

Perbedaan Antara Kedua Iraadah[2]
Antara iraadah kauniyyah dan iraadah syar’iyyah terdapat beberapa perbedaan yang membedakan masing-masing dari keduanya. Di antara perbedaan-perbedaan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Iraadah kauniyyah adakalanya disukai Allah dan diridhai-Nya, dan adakalanya tidak disukai dan tidak diridhai-Nya. Adapun iraadah syar’iyyah adalah dicintai Allah dan diridhai-Nya, karena iraadah kauniyyah itu semakna dengan masyii-ah (kehendak), sedang-kan iraadah syar’iyyah itu semakna dengan mahabbah (cinta).

2. Iraadah kauniyyah adakalanya dimaksudkan untuk yang lain, misalnya penciptaan iblis dan seluruh keburukan, agar dengan sebab itu diperoleh berbagai perkara yang dicintai, seperti taubat, mujahadah, dan istighfar.
Adapun iraadah syar’iyyah ditujukan untuk dzatnya itu sendiri, sebab Allah menghendaki ketaatan dan mencintainya, mensyari’at-kan, dan juga meridhai dzatnya itu sendiri.

3. Iraadah kauniyyah pasti terjadinya, karena jika Allah telah menghendaki sesuatu, maka pasti terjadi, seperti menghidupkan seseorang atau mematikannya, atau selain itu.

Adapun iraadah syar’iyyah, seperti Islam misalnya, maka tidak harus terjadi, tapi bisa terjadi dan bisa tidak terjadi. Seandainya pasti terjadinya, niscaya manusia seluruhnya telah menjadi muslim.

4. Iraadah kauniyyah adalah berkenaan dengan rububiyyah Allah dan penciptaan-Nya, sedangkan iraadah syar’iyyah berkenaan dengan uluhiyyah Allah dan syari’at-Nya.

5. Dua iraadah ini berhimpun dalam diri orang yang taat. Orang yang telah melaksanakan shalat, misalnya, maka ia telah mengumpulkan di antara keduanya. Sebab, shalat itu dicintai Allah, Dia memerintahkannya, meridhai, dan mencintainya. Hal tersebut merupakan sisi dari iraadah syar’iyyah. Dan karena perbuatan ter-sebut telah terjadi, maka ini menunjukkan bahwa Allah menghen-daki adanya, sehingga menjadi iraadah kauniyyah dari sisi ini. Oleh sebab itu, maka dua iraadah tersebut berhimpun pada diri orang yang taat.

Sedangkan iraadah kauniyyah, ia menyendiri, misalnya dalam kekafiran orang yang kafir dan kemaksiatan orang yang bermaksiat. Karena hal itu telah terjadi, maka hal ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki-Nya, karena sesuatu tidak terjadi kecuali dengan masyii-ah (kehendak)-Nya. Dan karena hal (yang terjadi) itu tidak dicintai dan tidak diridhai Allah, maka menunjukkan bahwa ini adalah iraadah kauniyyah bukan iraadah syar’iyyah.

Sementara iraadah syar’iyyah pun menyendiri, misalnya dalam keimanan orang kafir dan ketaatan orang yang bermaksiat. Karena hal ini dicintai Allah, maka ini adalah iraadah syar’iyyah. Tapi karena belum terjadi -padahal Allah memerintahkannya dan men-cintainya- maka menunjukkan, bahwa ini iraadah syar’iyyah semata, sebab ini adalah sesuatu yang dikehendaki lagi disukai yang belum terjadi.

6. Iraadah kauniyyah lebih umum dari segi keterkaitannya dengan sesuatu yang tidak sukai Allah dan tidak diridhai-Nya, seperti ke-kafiran dan kemaksiatan, dan lebih khusus dari segi bahwa ia tidak bertalian dengan -misalnya- keimanan orang kafir dan ketaatan orang yang fasik.

Sedangkan iraadah syar’iyyah, maka ia lebih umum dari segi keterkaitannya dengan segala yang diperintahkan, baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi, tapi lebih khusus dari segi bah-wa apa yang terjadi dengan iraadah syar’iyyah adakalanya tidak diperintahkan.

Inilah beberapa perbedaan di antara kedua iraadah tersebut. Barangsiapa yang mengetahui perbedaan di antara keduanya, maka ia selamat dari berbagai syubhat yang telah menggelincirkan banyak telapak kaki dan menyesatkan pemahaman. Barangsiapa yang me-mandang amalan-amalan yang muncul dari para hamba dengan dua pandangan ini, maka ia telah melihat (dengan benar), dan barang-siapa yang melihat syari’at tanpa qadar atau sebaliknya, maka ia adalah orang yang buta.[3]

Contoh-Contoh Mengenai Perkara-Perkara Syar’iyyah dan Kauniyyah
Sebagaimana (pembagian) iraadah, ada yang kauniyyah qadariyyah dan ada juga yang syar’iyyah diiniyyah, demikian pula kitaabah (penulisan, ketetapan), perintah, izin, menjadikan, firman, pengu-tusan, pengharaman, pemberian, kebencian, dan sejenisnya. Semua perkara ini, di antaranya ada yang syar`i dan ada yang kauni.

a. Di antara contoh kitaabah yang bersifat kauniyyah ialah (seperti) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي

"Allah telah menetapkan, ‘Aku dan Rasul-Rasul-Ku pasti menang… ." [Al-Mujaadilah/58 : 21]

Sedangkan di antara contoh kitaabah yang bersifat syar’iyyah ialah (seperti dalam) firman-Nya:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

"…Diwajibkan atas kamu berpuasa… ." [Al-Baqarah/2: 183]

b. “Perintah” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) firman-Nya:

وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ

"Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata." [Al-Qamar/54 : 50]

Sedangkan yang bersifat syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… ." [An-Nahl/16 : 90]

c. “Izin” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) firman-Nya:

وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

"…Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah… ." [Al-Baqarah/2 : 102]

Sedangkan yang bersifat syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

"…Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" [Yunus/10 : 59]

Juga (seperi dalam) firman-Nya:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah … ." [Asy-Syuura/42 : 21]

d. “Menjadikan” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) fir-man-Nya:

كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

"…Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. [Al-An’aam/6 : 125]

Sedangkan yang syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ

"Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah… ." [Al-Maa-idah/5 : 103]

Adapun dalam firman-Nya:

جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ

"Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu… ." [Al-Maa-idah/5 : 97]

Maka pada ayat ini tercakup dua iraadah. Sebab, Allah menjadikannya dengan qadar dan juga dengan syari’at-Nya.

e. Demikian pula “kalimat (firman),” di antaranya ada yang kauni, (seperti) firman-Nya,

كَذَٰلِكَ حَقَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ عَلَى الَّذِينَ فَسَقُوا أَنَّهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

"Demikianlah telah tetap hukuman Rabb-mu terhadap orang-orang yang fasik, karena sesungguhnya mereka tidak beriman." [Yunus/10 : 33]

Sedangkan yang syar’i, adalah (seperti dalam) firman-Nya:

حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ

"…Ia sempat mendengar firman Allah… ." [At-Taubah/9 : 6]

Kedua jenis ini berhimpun dalam firman-Nya:

وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا

"…Dan dia membenarkan kalimat Rabb-nya… ." [At-Tahrim/66 : 12]

f. Demikian pula “pengutusan (ba’ts),” ada yang kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا

"…Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami… ." [Al-Israa'/17 : 5]

Ada pula yang syar’i, (seperti dalam) firman-Nya:

فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ

"…Maka Allah mengutus para Nabi… ." [Al-Baqarah/2 : 213]

Dan firman-Nya:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ

"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf… ." [Al-Jumu’ah/62 : 2]

g. Demikian pula pengutusan (irsal) ada yang kauni, (seperti) firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ

Dan Dialah yang meniupkan angin… ." [Al-A’raaf/7 : 57]

Dan ada juga yang syar’i, (seperti dalam) firman-Nya:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk… ." [Ash-Shaaf/61 : 9]

h. “Pengharaman” yang bersifat kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ

"Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya)… ." [Al-Qashash/28 : 12]

Sedangkan yang syar’i (seperti firman-Nya):

وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا

"Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam keadaan ihram… ." [Al-Maa-idah/5 : 96]

i. “Pemberian” yang bersifat kauni adalah (seperti dalam) firman-Nya:

وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ

"…Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehen-daki-Nya… ." [Al-Baqarah/2 : 247]

Sedangkan yang bersifat diini (syar’i) adalah (seperti dalam) fir-man-Nya:

خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ

"…Peganglah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu … ." [Al-Baqarah/2 : 93]
Dan juga (seperti dalam) firman-Nya,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ

"Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya… ." [Al-Baqarah/2 : 269]

Ayat di atas mencakup dua jenis iraadah, karena Dia memberi-kan keduanya: perintah dan agama serta taufik dan ilham.

j. Demikian pula “kebencian,” ada yang kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

وَلَٰكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ

"…Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka… ." [At-Taubah/9 : 46]

Dan ada juga yang syar’i, seperti dalam firman-Nya:

كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا

"Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabb-mu." [Al-Israa'/17 : 38]

Perbedaan-perbedaan di antara perkara-perkara ini -dari satu sisi bahwa di antaranya ada yang syar’i diini dan ada yang kauni qadari- adalah seperti perbedaan-perbedaan antara dua iradah, yaitu ada yang kauniyyah qadariyyah dan ada yang syar’iyyah diiniyyah.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]






APAKAH KEBURUKAN DAPAT DINISBATKAN KEPAD ALLAH TA'ALA?


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Jika seseorang bertanya: Kita beriman kepada qadar, baik dan buruknya, yang berasal dari Allah, tetapi apakah dibenarkan menisbatkan keburukan kepada Allah Ta’ala? Apakah ada hal yang buruk dalam perbuatan-perbuatan-Nya?

Jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Mahasuci dari keburukan, dan tidak berbuat kecuali kebaikan. Qadar yang dinisbatkan kepada Allah tidak berisikan keburukan dalam satu segi pun. Sebab, ilmu Allah, pencatatan, masyii-ah dan penciptaan-Nya, semuanya itu murni kebaikan dan sempurna dari segala segi. Keburukan tidak boleh dinisbatkan kepada Allah dari satu segi pun, tidak dalam Dzat-Nya, tidak dalam Asma (nama-nama) dan Sifat-Nya, serta tidak pula dalam perbuatan-perbuatan-Nya.

Seandainya Dia melakukan keburukan, niscaya telah terambil suatu nama dari keburukan tersebut untuk-Nya, dan tidak akan pula semua Asma-Nya itu husna (indah), tetapi niscaya akan tertuju kepadanya hukum dari keburukan. Mahatinggi dan Mahasuci Allah (dari semua itu).

Keburukan hanyalah ada pada makhluk-Nya. Keburukan itu berada dalam apa yang ditentukan (al-maqdhi), bukan ada dalam ketentuan (al-qadha'). Ia menjadi buruk bila dihubungkan pada suatu tempat, dan baik bila dihubungkan pada tempat lainnya. Adakalanya menjadi baik bila dihubungkan pada tempatnya (atau tujuannya) dari satu sisi, sebagaimana ia buruk dari sisi lainnya, bahkan itulah yang umum.

Hal ini seperti qishash, penegakan hudud, dan membunuh orang-orang kafir. Hal itu buruk bagi mereka, bukan dari segala sisi, tetapi dari satu sisi saja, tapi baik bagi selain mereka karena berisi kemaslahatan untuk menjerakan, menghukum, dan menolak keburukan manusia satu sama lainnya. Demikian pula penyakit, meskipun buruk dari satu sisi, tetapi baik dari sisi-sisi lainnya.

Kesimpulannya, bahwa keburukan itu tidak dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena terdapat keterangan dalam Shahiih Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanjung Rabb-nya dengan mensucikan-Nya dari keburukan, lewat do’a istiftah, yaitu dalam ucapan beliau:

...لَبَيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَاَلَيْتَ... .

“…Aku penuhi panggilan-Mu dengan senang hati, kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu, dan keburukan tidaklah dinisbatkan kepada-Mu. Aku berlindung dan bersandar kepada-Mu, Mahasuci Engkau dan Mahatinggi… .”[1]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, mengomentari hadits ini, “Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari penisbatan keburukan kepada-Nya, bahkan segala yang dinisbatkan kepada-Nya ialah kebaikan. Keburukan hanyalah menjadi keburukan karena terputus hubungannya kepada-Nya. Seandainya dihubungkan kepada-Nya, niscaya bukan suatu keburukan. Allah menciptakan kebaikan dan keburukan, lalu keburukan itu ada pada sebagian makhluk-Nya, bukan dalam penciptaan dan perbuatan-Nya.

Penciptaan, perbuatan, qadha', dan qadar-Nya adalah baik se-luruhnya. Karena itu Dia Subhanahu wa Ta’alasuci dari kezhaliman, yang mana ha-kikat dari kezhaliman itu sendiri ialah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Tidaklah Dia meletakkan sesuatu, kecuali pada tempatnya yang cocok, dan hal itu baik seluruhnya. Keburukan adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, jika diletakkan pada tempatnya, maka ia tidak buruk. Dengan demikian telah di-ketahui bahwa keburukan tidak dinisbatkan kepada-Nya, dan nama-nama-Nya yang husna membuktikan hal itu.”[2]

Ia juga mengatakan, “Nama-nama-Nya yang husna menghalangi penisbatan kejahatan, keburukan dan kezhaliman kepada-Nya, meskipun Dia Subhanahu wa Ta’alaPencipta segala sesuatu. Dia Pencipta manusia, perbuatan, gerakan, dan ucapan mereka. Jika hamba melakukan keburukan yang terlarang, maka hamba itu sendirilah yang telah melakukan keburukan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang membuatnya melakukan demikian. Penciptaan-Nya ini adalah keadilan, hikmah, dan kebenaran. Dia menjadikan orang yang berbuat (untuk kejelekan itu) adalah merupakan suatu kebaikan, sedangkan perbuatan yang dilakukan pelakunya adalah keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan perbuatan ini, telah meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena hal itu berisi hikmah yang mendalam yang Dia berhak dipuji karenanya, semua itu adalah kebaikan, hikmah, dan kemaslahatan, meskipun perbuatan yang terjadi dari hamba adalah dosa, aib, dan keburukan.”[3]

“Walhasil, bahwa keburukan tidaklah dinisbatkan kepada Allah Ta’ala, karena yang dimaksud dengan keburukan ialah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, yaitu kezhaliman, yang lawannya ialah keadilan, dan Allah adalah Mahasuci dari kezhaliman.

Jika yang dimaksudkan dengan keburukan adalah hukuman yang diberikan, disebabkan dosa yang dilakukannya, maka dengan Allah mengadakan sanksi atas dosa, hal itu bukanlah termasuk keburukan bagi-Nya, bahkan itu adalah keadilan dari-Nya.

Jika yang dimaksudkan dengan keburukan itu ialah tidak adanya kebaikan dan faktor-faktor yang menghantarkan kepada kebaikan itu, maka ketidakadaannya itu bukanlah perbuatan, sehingga bisa dinisbatkan kepada Allah. Hamba tidaklah memiliki hak terhadap Allah agar Dia memberikan taufik kepadanya, sebab hal ini adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, menghalangi karunia bukanlah merupakan suatu kezhaliman dan bukan pula keburukan.”[4]

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan seluruh hamba-Nya. Dia hanya memerintahkan mereka kepada apa yang bermanfaat bagi mereka, dan melarang mereka dari apa yang membahayakan mereka. Dia berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya dengan memerintahkan kepada mereka, dan berbuat baik kepada mereka dengan menolong mereka dalam ketaatan.

Seandainya, seorang alim yang shalih memerintahkan manusia kepada apa yang bermanfaat bagi mereka, kemudian dia membantu sebagian orang untuk melakukan apa yang ia perintahkan kepada mereka, dan tidak membantu yang lainnya, niscaya ia (dianggap) telah berbuat baik kepada mereka seluruhnya secara sempurna, dan tidak berbuat zhalim kepada orang yang ia tidak berbuat baik kepadanya.

Dan seandainya dia menghukum orang yang berbuat dosa dengan hukuman yang dituntut oleh keadilan dan kebijaksanaannya, nis-caya ia pun dipuji atas hal ini dan juga hal itu.

Bandingkanlah hal ini dengan kebijaksanaan Hakim Yang paling bijaksana dan Penyayang Yang paling menyayangi? Sebab, perintah-Nya adalah bimbingan, pengajaran, dan petunjuk kepada kebaikan. Jika Dia membantu mereka atas perbuatan yang diperintahkan, maka Dia telah menyempurnakan nikmat atas perkara yang diperintahkan, dan Dia disyukuri atas hal ini dan juga hal itu. Jika pun Dia tidak menolongnya, bahkan membiarkannya, sehingga ia me-lakukan dosa, maka dalam hal ini Dia mempunyai hikmah yang lain.”[5]

Kemudian jika seorang hamba telah mengetahui apa yang merugikan dan apa yang bermanfaat baginya, maka ia berkeharusan untuk tunduk kepada Allah Azza wa Jalla, sehingga Dia menolongnya untuk melakukan apa yang bermanfaat baginya, dan tidak mengatakan, “Aku tidak akan berbuat, sehingga Allah menciptakan perbuatan padaku.” Demikian pula seandainya musuh atau binatang buas menyerangnya, maka ia harus lari dan tidak mengatakan, “Aku akan menunggu, hingga Allah menciptakan lari padaku.”[6]

Dari sini nampak jelas bagi kita bahwa keburukan itu tidak dapat dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]



ORANG TUA BERTANGGUNG JAWAB

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin



Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta utuh-tidaknya kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla kelak di akhirat tentang anak-anaknya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim][1]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. [HR. al-Bukhâri][2]

Maka orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Karena itu hendaknya setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan serta masa depan anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses duniawi, tetapi yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya. Dengan demikian, orang tua tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan melakukan dorongan yang secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kebaikan, prestise atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya salah langkah.

Berikut adalah beberapa kiat membentuk pribadi anak yang benar serta kiat melaksanakan pendidikan anak.

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN
Jika dikembalikan kepada tujuan diciptakannya manusia, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja. Maka peran orang tua menjadi sangat besar untuk mengarahkan anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah Azza wa Jalla yang shaleh, yang hanya beribadah kepada-Nya saja. Merupakan dosa besar jika orang tua tidak sungguh-sungguh mengarahkan anak-anaknya menuju peribadatan yang menjadi tujuan diciptakannya manusia.

Dalam hal ini keteladanan para nabi 'alaihimush shalâtu was salâm harus di ikuti. Sebagai contoh, Allah Azza wa Jalla menceritakan perhatian Nabi Ya'kub Alaihissallam terhadap anak-anaknya. Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan beliau kepada anak-anaknya saat beliau menjelang wafat:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Adakah kamu hadir ketika Ya'kûb kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:"Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab:"Kami akan menyembah Sesembahan-mu dan Sesembahan nenek moyangmu; Ibrâhîm, Isma'il, dan Ishâk, (yaitu) Sesembahan satu-satu-Nya yang Maha esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya". [al-Baqarah/2:133]

Meskipun ayat ini sebenarnya ditujukan untuk membantah anggapan orang-orang ahlul kitab bahwa Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ'îl dan Ya'kûb adalah orang-orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, namun juga mengandung pengertian jelas bahwa nabi-nabi tersebut senantiasa memperhatian akidah anak keturunannya. Yaitu agar mereka selalu hanya beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja.

Imam ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: "Tafsir ayat tersebut ialah: 'Wahai orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang mendustakan kenabian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Apakah kalian hadir dan menyaksikan keadaan Ya'kûb pada saat menjelang wafatnya?' Maksudnya; kalian saat itu tidak hadir. Oleh karenanya kalian jangan mengaku-aku secara bathil bahwa nabi-nabi dan rasul-rasul-Ku beragama Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya Aku telah mengutus khalîl-Ku (kekasihku) Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ'îl dan anak keturunannya untuk membawa risalah Islam yang lurus. Dengan risalah inilah mereka memberikan wasiat dan memerintahkan kepada anak keturunannya agar mereka mengikutinya. Seandainya kalian hadir pada saat kematian mereka, tentu kalian mendengar dari mereka bahwa mereka tidak berada dalam agama yang kalian anggap".[3]

Begitu juga perhatian dan pendidikan yang dilakukan Lukman kepada anaknya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Lukmân berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya mempersekutukan (Allah Azza wa Jalla ) adalah benar-benar kezhaliman (ketidak adilan) yang besar".

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan sesuatu dengan Aku, hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, kemudian akan Ku-beritakan kepadamu kelak apa yang telah kamu kerjakan.

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

(Lukmân berkata):"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah Azza wa Jalla akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha mengetahui.

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah Azza wa Jalla )

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [Luqmân/31:13-19]

Demikianlah pelajaran penting dari Luqmân kepada anaknya yang termuat dalam Surah Luqman, ayat 13-19. Intisari dari pelajaran Luqmân tersebut adalah pendidikan penting bagi masa depan anaknya, terutama masa depan ukhrawi.

Secara ringkas intisari pelajaran dalam Surah Luqmân tersebut adalah sebagai berikut:

1. Disyari'atkannya agar orang tua memberikan pendidikan dan wasiat kepada anak-anaknya tentang apa yang dapat memberikan manfaat di dunia dan di akhirat.

2. Wasiat itu harus dimulai dari persoalan tauhid dan peringatan dari syirik, karena syirik merupakan kezhaliman serta ketidak-adilan yang akan menghapuskan amal.

3. Kemudian tentang wajibnya bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla , bersyukur (berterimakasih) kepada kedua orang tua, dan tentang wajibnya berbuat kebaikan kepada kedua orang tua.

4. Selanjutnya tentang tidak boleh taat kepada siapapun jika perintahnya merupakan kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla . Ketaatan hanyalah dalam hal yang tidak maksiat.

5. Tentang wajibnya mengikuti jalan kaum Mu'minin yang bertauhid, serta haramnya mengikuti jalan para ahli bid'ah.

6. Wajibnya merasa selalu diawasi oleh Allah Azza wa Jalla , baik dalam keadaan tertutup atau terbuka. Dan tidak boleh meremehkan urusan kebaikan atau keburukan meskipun kecil atau sedikit.

7. Wajibnya mendirikan shalat secara benar sesuai dengan rukun dan syarat-syaratnya, dan harus thuma'nînah di dalamnya.

8. Wajibnya melaksanakan amar ma'ruf – nahi mungkar dengan lemah lembut sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

9. Tentang keharusan bersabar dalam menghadapi tantangan ketika melaksanakan amar ma'ruf – nahi mungkar.

10. Tentang haramnya sombong dan haramnya congkak ketika berjalan.

11. Tentang sikap sederhana dan sedang ketika berjalan, tidak lamban dan tidak terlalu cepat.

12. Dan juga tentang tidak meninggikan suara melebihi kebutuhan, sebab bersuara keras di luar kebutuhan merupakan kebiasaan keledai.[4]

Sesungguhnya, upaya mengarahkan anak menjadi anak shaleh yang beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan serta membenci kemusyrikan, akan dapat dilakukan melalui proses tarbiyah (pendidikan). "Tarbiyah merupakan salah satu segi kehidupan manusia yang terpenting".[5]

Murabbi atau pendidik sebenarnya hanyalah Allah Azza wa Jalla semata, tiada sekutu baginya dalam Rububiyah. Dia adalah Rabb (yang mentarbiyah) seluruh alam semesta. Selanjutnya yang paling berhak untuk diikuti tarbiyahnya sesudah Allah Azza wa Jalla adalah para Rasul; orang-orang yang telah dipilih oleh Allah Azza wa Jalla dan telah ditarbiyah langsung oleh-Nya dengan Kitab dan Hikmah, sebagaimana telah ditarbiyah langsung dengan segala ni'mat dan karunia-Nya. Kemudian, tarbiyah yang berhak diikuti sesudahnya lagi adalah tarbiyah para pewaris nabi; orang yang yang mendapatkan tarbiyah langsung dari tangan para nabi dan dibina dengan makanan ilmu serta akhlak para nabi. Sesudah itu berlangsunglah secara bersambung pola tarbiyah ini pada generasi berikut yang diambil dari generasi sebelumnya. Orang yang paling banyak dapat menyerap pola tarbiyah kenabian ajaran Allah Azza wa Jalla ini adalah orang yang paling banyak ittiba' terhadapnya, baik keilmuannya, pengamalannya maupun da'wahnya.[6]

Lebih jelasnya, tarbiyah atau pendidikan yang benar dilaksanakan agar dapat membentuk pribadi yang beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan tentunya harus bertumpu pada aturan tarbiyah Allah Azza wa Jalla . Sebab Dia-lah Murabbi sebenarnya. Berarti pula harus berwujud pengarahan terhadap umat secara umum, dan terhadap anak-anak secara khusus, untuk senantiasa mengikuti petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla .

Sementara itu, Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) menjelaskan makna mengikuti petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla yang dapat menghasilkan kebahagiaan, hilangnya rasa takut di akhirat dan hilangnya kesedihan (karena tidak mengalami bencana di akhirat-pen.) ialah;

Pertama: Meyakini segala berita yang datang Allah Azza wa Jalla tanpa terkendala oleh sesuatu syubhatpun yang dapat mengotori keyakinannya.
Kedua: Melaksanakan segala perintah-Nya tanpa terkendala oleh sesuatu syahwatpun hingga dapat menghalangi pelaksanaan perintah.

Pada dua hal inilah keimanan berporos, yaitu meyakini berita dan mentaati perintah. Dua hal ini diikuti oleh dua hal lain, yaitu: Mengenyahkan syubhat-syubhat batil yang menyusup serta menghambat utuhnya keyakinan, dan mengenyahkan syahwat-syahwat menyimpang yang menghambat utuhnya pengamalan terhadap perintah"[7]

Bahaya Syubhat dan Syahwat:
Sesungguhnya di kehidupan dunia ini terdapat dua bahaya yang besar, yaitu:

1. Bahaya syubhat. Yaitu bahaya yang akan merusak dan merubah keyakinan, dari yang benar menjadi menyimpang.

2. Bahaya syahwat. Yaitu bahaya yang akan merusak kepribadian dan ketaatan terhadap perintah agama.

Dalam pengelolaan pendidikan, anak pun akan menghadapi dua bahaya besar ini. Oleh karenanya, orang tua harus selalu waspada terhadap dua bahaya ini. Bahaya yang akan merusak pemikiran, pemahaman serta keyakinan anak, hingga menjerumuskannya dalam bid'ah, kemusyrikan atau kekufuran; itulah bahaya syubhat. Sedangkan bahaya yang akan merusak keutuhan pribadi anak serta ketaatannya hingga menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan, kefasikan dan ketidak teguhan dalam menjalankan hukum-hukum agama; itulah bahaya syahwat.

Bahaya syubhat harus diatasi dengan pendidikan ilmu yang benar dan baik. Sehingga, orang tua harus melakukan langkah-langkah yang tepat. Di antaranya adalah menanamkan aqidah dan ilmu yang lurus, memilihkan lembaga pendidikan yang bersih dari syubhat-syubhat ilmiah, lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan filsafat dan ajaran-ajaran menyimpang serta memilihkan lingkungan pergaulan yang bersih. Juga harus memberikan pengawasan ketat terhadap buku-buku yang dibacanya. Jangan sampai buku-buku yang dibacanya adalah buku-buku yang membawa penyimpangan pemikiran atau kesesatan.

Sedangkan bahaya syahwat harus diatasi dengan bimbingan secara kontinyu menuju pelaksanaan perintah agama. Kemudian memilihkan lingkungan pergaulan yang baik; memilihkan lembaga pendidikan yang ketat pengawasannya terhadap kemaksiatan dan pelanggaran syari'at; serta ketat dalam memberikan keteladanan yang baik dan senantiasa meminimalisir potensi berkembangnya kemaksiatan, penyimpangan serta pelanggaran syar'i pada diri anak. Di samping itu orang tua juga harus memberikan pengawasan terhadap bahan-bahan bacaan anak.

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dua perkara ini, yaitu syubhat dan syahwat, merupakan pangkal rusaknya seorang manusia dan kesengsaraannya di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dua pokok yang pertama, yaitu meyakini segala berita dari Allah Azza wa Jalla dan mentaati perintah-Nya, merupakan pangkal kebahagiaan dan kebaikan manusia, di dunia maupun di akhirat.[8]

Tashfiyah Dan Tarbiyah:
Pada intinya, supaya peran orang tua dalam mengelola anak-anaknya bisa berjalan secara optimal, harus dipenuhi dua hal penting:

1. Tashfiyah, yaitu membersihkan pemahaman, pemikiran serta keyakinannya dari segala hal yang merusak. Sehingga aqidah, pemahaman serta manhajnya dalam beragama jadi lurus. Hal ini dilakukan dengan memberikan ilmu dan pengajaran ilmiah yang lurus.

2. Tarbiyah, yaitu membimbing, membina, membiasakan dan memberikan keteladanan agar anak terbiasa melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla serta meninggalkan segala kemaksiatan.

Dalam hal ini Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menjelaskan: "Yang demikian itu karena manusia memiliki dua potensi;

1. Potensi daya tangkap dan daya selidik beserta potensi-potensi lain yang mengikutinya berupa kekuatan ilmu, pengetahuan dan kemampuan berbicara.

2. Potensi kehendak dan kesukaan beserta potensi-potensi lain yang mengikutinya berupa niat, tekad dan (semangat) berbuat.

Syubhat akan berpengaruh bagi rusak (menyimpang)nya potensi ilmiah dan pemahamannya, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan menyingkirkan syubhat itu. Sedangkan syahwat akan berpengaruh bagi potensi rusak (menyeleweng)nya kehendak beramal, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan mengenyahkan syubhat itu.[9]

Ini pula tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendidik umat sesuai dengan perintah Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [Ali Imrân/3:164]

Itu pula keharusan bagi setiap da'i dan pendidik termasuk ayah bunda.
Tazkiyah (pembersihan jiwa) tidak akan dapat berjalan sempurna tanpa adanya tarbiyah. Sedangkan Ta'lîm (pengajaran ilmu) tidak akan bisa sempurna tanpa adanya tashfiyah. Karena keduanya saling berkaitan erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan [10].

Seseorang menjadi bersih jiwanya jika mengamalkan semua ketentuan syari'at Allah Azza wa Jalla yang meliputi aqidah, ibadah hingga mu'âmalah. Tanpa itu, bagaimana mungkin seseorang akan bersih jiwanya. Tetapi semua itu tidak akan terwujud kecuali dengan tarbiyah dan keteladanan yang benar.

Sementara, ilmu dan pemahaman seseorang akan lurus dan benar jika pengajaran ilmiah kepadanya dilakukan dengan benar berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah sesuai pemahaman para Salafush-Shalih, melalui tangan-tangan atau sumber-sumber pengajaran yang benar pula.

Apabila seseorang mempelajari Islam melalui tangan ahli bid'ah, orang-orang menyimpang, orang-orang Barat kafir, atau sumber-sumber lain yang salah pemahamannya terhadap Islam, tentu hasilnyapun adalah ilmu serta pemahaman yang menyimpang dan sesat. Itulah pentingnya proses tashfiyah.

Karena itu setiap orang tua mempunyai peranan penting dalam proses tashfiyah dan tarbiyah ini.

Demikianlah beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan ayah bunda dalam mengasuh anak-anaknya.

Selanjutnya, yang juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan orang tua adalah berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar upayanya mengasuh anak-anaknya sukses dan benar-benar menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah. Wallâhu al-Muwaffiq.
Daftar bacaan:

1. Tafsir ath-Thabari, Dhabth wa Ta'lîq : Mahmûd Syâkir, Dâr Ihyâ' at-Turâts al-'Arabi, Beirut, cet. I – 1421 H/2001 M.
2. Fathul-Bâri Syarh Shahîhil-Bukhâri, Ibnu Hajar al-'Asqalâni.
3. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma'mûn Syiha.
4. Al-Asâlîb at-Tarbawiyyah 'Inda Syaikhi al-Islam Ibni Taimiyyah, karya Khatthâb bin Ya'qûb as-Sa'di, penerbit; ad-Dâr al-Atsariyah, Amman, Yordan, cet. I – 1429 H/2008 M.
5. Miftah Dâr as-Sa'âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, Ta'lîq, taqdîm dan Takhrîj : Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Murâja'ah; Syaikh Bakar Abu Zaid t , Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyâdh – Dâr Ibnu 'Affân, Kairo, cet. I – 1425 H/2004 M
6. Nida' Ila al-Murabbîn wa al-Murabiyât, Muhammad bin Jamîl Zainu.
7. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruha fi Isti'nâf al-Hayat al-Islamiyah, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi. Penerbit: Dâr at-Tauhid, Riyâdh, KSA. Cet. II, 1414 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



MENJAUHI PERGAULAN BEBAS

Oleh
Ustadz Zainal Abidin bin Syamsudin


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla yang telah mengatur alam ini sedemikian rupa sehingga tertata rapi, namun manusialah yang merubah tatanan menjadi porak poranda, baik dalam kehidupan manusia maupun alam semesta.

Salam dan salawat semoga selalu dilimpahkan kepada teladan utama dalam pergaulan yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga, Sahabat beliau ridwânullahualaih dan para pengikutnya yang baik hingga hari kiamat.

Pada zaman sekarang ini pintu kemaksiatan terbuka lebar. Wanita fasik dan fajir telah diperdaya oleh setan hingga mengumbar aurat di mana-mana. Mata setiap orang bebas memandang perkara yang diharamkan, kecuali orang yang dirahmati Allah Azza wa Jalla . Bercampur baur antara lelaki dan perempuan terjadi di setiap tempat. Majalah porno dan film cabul merajalela tanpa kontrol. Traveling ke negeri-negeri rusak dan kafir dibuka lebar. Pergaulan bebas digandrungi setiap remaja. Prostitusi dan media porno dibuka di sembarang tempat, dan setiap orang leluasa menikmatinya tanpa batas.

Pergaulan bebas dan pacaran, bahkan seks bebas di kalangan kawula muda dianggap perkara biasa, karena sudah menjadi lifestyle (gaya hidup) di sebagian kalangan masyarakat. Perempuan bergandengan dan pergi dengan laki-laki yang bukan mahramnya, baik dalam acara resmi, santai, study atau bisnis. Maka tidak dapat dielakkan lagi bahwa musibah besar akan menimpa generasi muda negeri ini.

Oleh karena itu, seorang remaja Muslim yang ingin pandai bergaul namun tetap bersih dan tidak terkontaminasi oleh berbagai macam kebiasaan buruk dan dekadensi moral sehingga menjadi ”sampah masyarakat”, harus memperhatikan dan menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk berikut ini:

1. Pergaulan Bebas
Kondisi saat ini sungguh sangat memprihatinkan, sebab anak-anak yang masih belia dan produktif, yang seharusnya masih bersungguh-sungguh menentukan arah hidupnya, ternyata terperosok dalam pergaulan bebas dan penggunaan obat terlarang. Kondisi ini diperparah dengan tayangan televisi yang menampilkan adegan ranjang secara vulgar atau penerbitan majalah murahan. Waliyyâdzu billâh, Allâhu musta’ân.

Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur etika pergaulan dengan norma-norma yang sangat indah. Jika diamalkan, akan tercipta kehidupan yang terhormat dan bermartabat. Allah Azza wa Jalla menjaga manusia dengan syariat Islam yang membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan ketat. Tidak boleh bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita sering keluar rumah; kecuali untuk urusan mendesak dan sangat penting; walaupun untuk shalat. Sebagaimana `Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْـمَسْجِدِ فَأْذَنُوْا لَهُنَّ

”Jika isteri-isteri kalian minta izin kepada kalian pada waktu malam ke masjid (untuk ibadah), maka izinkanlah bagi mereka.”[1]

Seorang isteri tidak boleh pergi tanpa mendapatkan ridha suami, meskipun untuk mengunjungi keluarganya; karena mematuhi suami hukumnya wajib. Hadits di atas juga mengandung makna jika wanita ingin shalat berjamaah di masjid harus minta izin suami.

2. Berjabat Tangan dengan Wanita Bukan Mahram
Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan bukan mahram sudah menjadi tradisi resmi tingkat nasional maupun internasional, baik dalam intansi pemerintah, swasta maupun masyarakat. Mereka akan menganggap aneh jika ada orang yang mempermasalahkannya. Orang yang ingin mengamalkan hadits dari Ma’qil bin Yassâr Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َلأَنْ ُيطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلَّ لَهُ

Sungguh kepala seseorang di antara kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka demikian itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”[2] ;

Maka ia tidak akan berani menentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu, apapun alasannya. Sehingga karenanya dia berani menerobos tradisi yang bisa memicu berbagai kemaksiatan termasuk perzinaan. Subhânallâh betapa rincinya Allah Azza wa Jalla membikin aturan untuk menjaga hamba-Nya agar tidak ternoda sekecil apapun. Sudah selayaknya kita umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya melaksanakan petunjuk-petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena tidak ada sesuatu yang dilarang kecuali di dalamnya mengandung mafsadat dan tidak ada segala sesuatu yang diperintahkan kecuali di dalamnya terdapat manfaat.

3. Pacaran (berkhalwah dan Ikhtilâth)
Pacaran dalam kamus bahasa Indonesia artinya adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Sedangkan berpacaran artinya bercintaan atau berkasih-kasihan atau lebih gampangnya menjalin hubungan cinta dengan lawan jenis sebelum nikah yang biasanya dilakukan hanya berduaan.

Berpacaran merupakan budaya yang sangat digandrungi oleh anak muda zaman sekarang, bahkan gairah hidup bisa menjadi sirna jika tidak punya pacar. Cara berpacaran sekarang sangat bervariasi di antaranya adanya fasilitas handphone, telephon, komputer untuk chating atau face book. Bermula dari hubungan elektronik, lalu berjanji untuk bertemu dan akhirnya perjumpaan demi perjumpaan pun terjadi. Sehingga berakibat terjadinya perbuatan haram dan terkutuk. Awalnya, mereka lakukannya dengan penuh rasa takut, tapi akhirnya menjadi kebiasaan

Syariat Islam sangat melarang budaya tersebut sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang laki-laki dan wanita bukan mahram berdua-duan.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِإمْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذِيْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فإَِنَّ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانُ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah berdua-duaan dengan wanita yang tidak bersama mahramnya karena yang ketiga adalah setan. [3]

Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ إِلاَّ مَحْرَمٍ

Ketahuilah, tidak boleh seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena yang ketiga adalah setan kecuali bersama mahramnya. (HR. Ahmad no:142) dan hadits serupa dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu telah dituturkan di atas.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اﷲ ِ َفَرَأَيْتَ الْـحَمْوَ؟، قَال: اَلْـحَمْوُ الْـمَوْتُ.

Jagalah dirimu dari masuk ke tempat kaum wanita. Seorang laki-laki dari Anshar bertanya; “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan Al Hamwu? Beliau bersabda: “Al Hamwu adalah kematian.” [4]

Maksud al-Hamwu adalah saudara laki-laki suami (ipar).

4. Pandangan Mata Liar
Jagalah hati, jangan dikotori dengan memandang wanita yang tidak halal yang membuka sebagian atau seluruh auratnya. Begitu pula seorang wanita tidak boleh memandang laki-laki yang membuka auratnya; baik di televisi, film atau lainnya, apalagi melihat secara langsung. Maka setiap Muslim dan Muslimah berkewajiban untuk menahan pandangan, sebab hal itu merupakan sumber fitnah, atau salah satu penyebab rusaknya hati dan menyimpangnya dari kebenaran, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. [An-Nuur/24 : 30-31]

Dalam Musnad Ahmad bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلنَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ.

“Pandangan adalah satu anak panah di antara anak panah-anak panah Iblis” [5]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Pandangan merupakan panah dan utusan setan, maka menjaga pandangan merupakan asas terpeliharanya kemaluan. Barangsiapa yang melepas pandangannya berarti telah menjerumuskan dirinya dalam kehancuran. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ الأَخِرَةُ

Wahai Ali, janganlah kamu mengikuti pandangan demi pandangan, karena kamu hanya memiliki hak pada pandangan yang pertama dan tidak pada pandangan berikutnya.”[6]

(Maksudnya adalah pandangan yang mendadak dan tidak sengaja).[7]

5. Mendengarkan Musik dan Nyanyian .
Perbuatan ini termasuk bagian tipu daya setan untuk menjerat orang-orang yang bodoh dan ahli kebatilan. Di antaranya kebatilan itu adalah bertepuk tangan, bersiul, senang nyanyian dan alat-alat musik yang haram; yang semuanya membuat manusia tenggelam dan tidak berdaya di hadapan kefasikan dan kemaksiatan. Karena musik termasuk jampinya setan yang menjadi penghalang dan penutup hati untuk mengenal Allah Azza wa Jalla . Musik merupakan ilham bagi tindakan homoseksual dan perzinaan dan dengan musik orang fasik dan orang yang sedang dilanda asmara hidup merana dan menghayal hingga ajal tiba.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Nyanyian dan musik adalah mantra pembangkit zina, karena ia faktor paling utama yang menyebabkab manusia terjatuh ke dalam perbuatan keji. Sungguh! Laki-laki, anak-anak dan wanita atau seseorang yang sangat menjaga diri, tetapi setelah mendengar musik, tidak mampu mengendalikan diri akhirnya berbuat kekejian, sehingga condong kepadanya baik sebagai subyek atau obyek, seperti yang terjadi di kalangan para pecandu khamr.”[8]

عَنْ أَبِي مَالِكٍ اْلأََشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، يُعْزَفُ عَلَى رُءُوْسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ اْلأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ

Abu Mâlik al-Asy’ary berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh akan ada sekelompok manusia dari ummatku meminum khamr, mereka memberi nama dengan bukan namanya, mereka berdendang yang diiringi dengan musik dan para biduanita, Allah Azza wa Jalla menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan Allah Azza wa Jalla merubah di antara mereka menjadi monyet dan babi.”[9]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata bahwa menurut sebagian Ulama jika hati sudah terbiasa dengan kebiasaan menipu, makar dan fasik serta terwarnai dengan sifat secara lengkap maka pelakunya bertingkah laku seperti hewan kera dan babi.[10]

Karenanya para remaja hendaknya berhati-hati terhadap salah satu penyakit akhlak yang berbahaya yaitu menyenangi nyanyian-nyanyian atau tarian-tarian dengan berbagai cara dan sarana yang mengakibatkan banyak para remaja tergila-gila.

6. Wanita Bepergian Tanpa Mahram
Di antara kebiasaan yang memicu terjadinya fitnah syahwat dan pergaulan bebas adalah membiarkan wanita bepergian sejauh jarak qashar tanpa ditemani mahram, bahkan pergi berduaan keliling kota. Imam Nawawi rahimahullah dalam syarah shahîh Muslim menegaskan kesimpulan, bahwa segala macam bepergian bagi wanita dilarang, kecuali bersama suami atau mahramnya baik jarak tempuhnya tiga hari, dua hari, satu hari atau semisalnya. Hal itu berdasarkan riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang menyebutkan larangan secara mutlak sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama dengan mahramnya.[Muttafaqun alaih].

Demikian itu mencakup semua bentuk safar.[11]

7. Bercengkerama Mesra dengan Lawan Jenis.
Menurut pantun “Dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali, dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati.” Berawal dari pandangan mata yang menggoda, lalu hati bergetar dan perasaan pun berbunga-bunga, maka gayung pun bersambut; sehingga timbul perasaan cinta yang menggebu-nggebu. Keduanya begadang sampai larut malam . Akhirnya setan pun tidak tinggal diam, sehingga keduanya pun melalukan perbuatan yang diharamkan. Allah Azza wa Jalla melarang setiap bentuk pembicaraan dengan lawan jenis, seperti dalam firman-Nya:

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya. [al-Ahzâb/33:32]

Akan tetapi, bukan berarti seorang wanita dilarang secara mutlak berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya, karena pembicaraan terkadang diperlukan. Namun harus berbicara dengan serius seperlunya, baik tatkala berbicara langsung maupun lewat telepon. Pembicaraan telepon bisa menimbulkan banyak madharat dan kerusakan karena suara wanita yang manja bisa menggoda lawan bicara.

Hendaknya para remaja Muslim meninggalkan bentuk-bentuk pergaulan yang telah disebutkan di atas, mengisi waktu dengan ilmu yang bermanfaat, beribadah dan berda’wah di jalan Allah Azza wa Jalla .

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



KESAMAAN DALIH PARA PENENTANG DAKWAH PARA RASUL

Oleh
Ustadz Abu Ismâ’îl Muslim al-Atsari


Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengutus para Rasul-Nya dengan tugas yang sama, yaitu menyeru manusia agar beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata dan menjauhi thâghût. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thâghût", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [an-Nahl/16:36]

Dakwah para Rasul ini merupakan seruan menuju hikmah diciptakannya manusia di dunia ini. sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]

Maksudnya Allah Azza wa Jalla menciptakan mereka untuk diperintah beribadah kepada-Nya semata dan menjauhi peribadahan kepada selain-Nya.

SEMUA UMAT MENENTANG DENGAN ALASAN YANG SAMA
Semua umat menentang dakwah para Rasul yang mulia dengan hujjah (argumen) yang sama, yaitu mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka. Dahulu, orang-orang jahiliyah di Mekah -di zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam – melakukan kemusyrikan dengan tanpa bukti, tanpa petunjuk, dan tanpa argumen yang nyata, maka Allah Azza wa Jalla berfirman mengingkari mereka:[1]

أَمْ آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا مِنْ قَبْلِهِ فَهُمْ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum al-Qur`ân, lalu mereka berpegang dengan kitab itu ? Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." [az-Zukhruf/43:21-22]

Inilah alasan perbuatan syirik mereka, yaitu mengikuti jejak nenek moyang. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa alasan mereka itu juga merupakan alasan semua orang-orang kafir pada zaman dahulu:

وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." [az-Zukhruf/43:23]

ARGUMEN KAUM NUH ALAIHISSALLAM
Nabi Nuh Alaihissallam adalah Rasul pertama kali yang Allah Azza wa Jalla utus di muka bumi. Kaum beliau adalah orang-orang musyrik pertama kali di dunia ini. Beliau menyeru umat beliau untuk mengesakan ibadah hanya bagi Allah Azza wa Jalla semata, sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh q kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, (karena) sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?" [al-Mukminûn/23:23]

Namun kaum beliau mengingkari kerasulan beliau, dengan alasan bahwa mereka tidak pernah mendengar seruan Nabi Nûh Alaihissallam itu pada masa nenek moyang mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman memberitakan hal ini:

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَٰذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَٰذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: "Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah Azza wa Jalla menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu”. [al-Mukminûn/23:24]

ARGUMEN SUKU ‘AD, KAUM NABI HUD ALAIHISSALLAM
Setelah kehancuran kaum Nabi Nûh Alaihissallam, manusia menjadi banyak kembali. Muncul kemusyrikan pada suku ‘Ad, maka Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Hûd Alaihissallam :

وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Ad saudara mereka, Hûd. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah Azza wa Jalla , sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" [al-A’râf/7:65]

Kemudian lihatlah bantahan suku ‘Ad ini kepada Nabinya, mereka berargumen membela kemusyrikan mereka dengan kebiasaan nenek moyang mereka!

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا ۖ فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah Azza wa Jalla saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar." [al-A’râf/7:70]

ARGUMEN SUKU TSAMUD, KAUM NABI SHALIH ALAIHISSALLAM
Demikian juga suku Tsamûd, mereka melakukan syirik dengan sebab taqlîd kepada nenek moyang mereka. Dengan hikmah-Nya, Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Shâlih Alaihissallam kepada mereka:

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ

Dan kepada Tsamûd (Kami utus) saudara mereka Shâleh q . Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah Azza wa Jalla , sekali-kali tidak ada bagimu tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya tuhanku amat dekat lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." [Hûd/11:61]

Namun bagaimana sikap suku Tsamûd? Mereka tidak berbeda dengan para pendahulu mereka sesama orang-orang kafir, mereka menentang dakwah Nabi Shâlih Alaihissallam dengan alasan mengikuti nenek moyang!

قَالُوا يَا صَالِحُ قَدْ كُنْتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَا ۖ أَتَنْهَانَا أَنْ نَعْبُدَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ

Kaum Tsamûd berkata: "Hai Shâlih, sesungguhnya sebelum ini kamu adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami." [Hûd/11:62]

ARGUMEN KAUM IBRAHIM ALAIHISSALLAM
Allah Azza wa Jalla berfirman mengisahkan dakwah Nabi Ibrâhîm Alaihissallam kepada bapaknya dan kaumnya:

وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrâhîm hidayah kebenaran sebelum (Mûsa dan Hârûn) dan Kami mengetahui (keadaan)nya. (Ingatlah), ketika Ibrâhîm berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?" [al-Anbiyâ’/21:51-52]

Maka apakah jawaban mereka kepada Nabi Ibrâhîm?

قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya." [al-Anbiyâ’/21:53]

Mendengar jawaban klasik tersebut, dengan tegas Nabi Ibrâhîm memvonis mereka dengan kesesatan yang nyata.

قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ

Ibrâhîm Alaihissallam berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata." [al-Anbiyâ’/21:54]

ARGUMEN KAUM SYU’AIB ALAIHISSALLAM
Kaum yang lain adalah kaum Nabi Syu’aib Alaihissallam di Madyan, Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ۚ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ

Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib Alaihissallam . Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah Azza wa Jalla , sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." [Hûd/11:84]

Bantahan mereka serupa dengan orang-orang kafir sebelumnya.

قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ ۖ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ

Mereka berkata: "Hai Syu'aib Alaihissallam, apakah shalatmu (agamamu) menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki pada harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal." [Hûd/11:87]

KEADAAN KAUM NABI YUSUF ALAIHISSALLAM
Nabi Yûsuf Alaihissallam diutus kepada bangsa Mesir. Beliau sudah memulai dakwah ketika berada di dalam penjara. Beliau mengingatkan kawannya di penjara bahwa kemusyrikan yang dilakukan oleh bangsa Mesir waktu itu hanyalah dibuat oleh mereka sendiri dan nenek moyang mereka. Allah Azza wa Jalla mengisahkan perkataan beliau Alaihissallam :

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ

Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah Azza wa Jalla kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah Azza wa Jalla tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. [Yûsuf/12:39-40]

ARGUMEN KAUM NABI MUSA ALAIHISSALLAM
Nabi Mûsa Alaihissallam dan Nabi Hârûn Alaihissallam juga diutus kepada bangsa Mesir selain kepada Bani Israil. Allah Azza wa Jalla berfirman tentang keduanya:

ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ مُوسَىٰ وَهَارُونَ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ بِآيَاتِنَا فَاسْتَكْبَرُوا وَكَانُوا قَوْمًا مُجْرِمِينَ

Kemudian sesudah rasul-rasul itu, Kami utus Mûsa dan Hârûn kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. [Yûnus/10:75]

Namun ternyata Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya menolak dakwah kedua Rasul mulia itu dengan argumen yang sama seperti orang-orang kafir yang lain.

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاءُ فِي الْأَرْضِ وَمَا نَحْنُ لَكُمَا بِمُؤْمِنِينَ

Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua." [Yûnus/10:78]

ARGUMEN KAUM NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Rasul terakhir yang Allah Azza wa Jalla utus di dunia ini mengalami hal yang sama. Kaum Quraisy lebih memilih mengikuti nenek moyang mereka daripada mengikuti petunjuk Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah." Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân/31:21]

Bahkan tokoh-tokoh Qurasiy berusaha menghalangi keislaman Abu Thâlib, paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan argumen mengikuti agama orang tuanya. Maka akhirnya, Abu Thâlib lebih memilih kekafiran daripada keimanan. Hal ini dikisahkan di dalam hadits berikut ini:

عَنْ سَعِيدِ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ أَيْ عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ ((يَا أَبَا طَالِبٍ)) أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ

Dari Sa’îd bin al-Musayyib, dari bapaknya, dia berkata: “Ketika kematian mendatangi Abu Thâlib, Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguknya. Beliau mendapati Abu Jahal dan `Abdullâh bin Abi Umayyah bin al-Mughîrah di dekat Abu Thâlib. Beliau berkata: “Wahai pamanku, katakanlah Lâ ilâha illallâh, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah Azza wa Jalla !” Abu Jahal dan Abdullâh bin Abi Umayyah mengatakan: “(Wahai Abu Thâlib) apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus menawarkan kalimat itu kepadanya, dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut. Sehingga akhir perkataan yang dikatakan Abi Thâlib kepada mereka bahwa dia di atas agama Abdul Muththalib. Dia enggan mengatakan Lâ ilâha illallâh.” [HR. Bukhâri no. 4772; Muslim no. 24]

Demikian pula, setelah beliau berhijrah ke Madinah. Orang-orang Yahudi yang termasuk umat dakwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam , lebih memilih mengikuti nenek moyang mereka daripada mengikuti petunjuk yang beliau bawa dari Allah Azza wa Jalla.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَآأَنزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَآأَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ أَوَلَوْكَانَ ءَابَآؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah Azza wa Jalla ," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". [al-Baqarah/2:170]

PENUTUP
Setelah kita mengetahui sikap para umat terhadap para rasul mereka, yang menentang al-haq dengan argumen mengikuti nenek moyang, maka tidak heran betapa banyak masyarakat sekarang yang menolak al-haq dengan argumen tradisi orang tua, warisan leluhur, adat kebiasaan suku, atau semacamnya.

Namun yang aneh adalah sebagian kaum Muslimin yang mengikuti pola pikir jahiliyah ini dan meninggalkan al-Kitab dan Sunnah, padahal hujjah telah datang kepada mereka. Maka dengan sedikit tulisan ini, semoga menyadarkan kita bahwa nilai kebenaran itu ukurannya adalah wahyu yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wujud al-Kitab dan Sunnah, dengan pemahaman yang benar dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Dan kita tidak boleh menentangnya dengan ajaran dari guru, tokoh, nenek moyang, atau lainnya. Wallâhul Musta’ân.

Rujukan.
1. Mu’jamul Mufahras li Alfâzhil Qur’ân, syaikh Muhammad Fuâd Abdul Bâqi
2. Muqaddimah tahqîq kitab Tath-hîrul I’tiqâd dan Syarhus Shudûr, syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbâd
3. Tafsir Ibnu Katsîr
4. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ibnu Katsîr pada surat az-Zukhruf, ayat 21



BAGAIMANA ULAMA BERIJTIHAD

Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA


Allah Azza wa Jalla telah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para Rasul dan agama Islam sebagai penutup seluruh syari'at dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

"Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullâh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." [al-Ahzâb/33:40]

Bukan hanya sekedar sebagai penutup, akan tetapi Islam juga menjadi standar kebenaran bagi seluruh syari'at terdahulu. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

"Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur'ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian atas kitab-kitab yang lain, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenarang yang telah datang kepadamu." [al-Mâidah/5:48]

Ini salah satu hikmah dijadikannya Islam sebagai agama yang wajib untuk diamalkan oleh seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

"Demi Dzat Yang jiwa (Nabi) Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorangpun dari umat ini, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati sedangkan ia belum beriman dengan agama aku bawa (yaitu agama Islam), melainkan ia akan menjadi penghuni neraka." [HR. Muslim no 218]

Islam adalah satu-satunya syari'at yang wajib diamalkan dan yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia di dunia dan akhirat. Islam adalah agama yang cocok untuk diamalkan di setiap zaman, negeri dan tatanan masyarakat. Karena dalam syari'at Islam dijelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan umat manusia, baik urusan agama ataupun dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan telah Kami turunkan kepadamu al-Kitâb (al-Qur'ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri". [an-Nahl/16:89]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatu, sampai tatacara buang air kecil dan besar. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapapun untuk merekayasa suatu metode atau ajaran dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla atau memakmurkan bumi yang kita huni ini. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِي اللّه عَنْهُ قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وما طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ في الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ما بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

"Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam telah meninggalkan kami, dan tidaklah ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di udara, melainkan beliau telah mengajarkan ilmu tentangnya kepada kami. Selanjutnya Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah tersisa sesuatupun yang dapat mendekatkanmu ke surga dan menjauhkanmu dari neraka, melainkan telah dijelaskan kepadamu." [HR at-Thabrâni dan dihasankan oleh al-Albâni]

Fakta ilmiyah ini berlaku dalam segala aspek kehidupan umat manusia.

Untuk sedikit memberikan gambaran kaitan syari'at Islam dalam berbagai masalah kontemporer; berikut disampaikan metodologi Ulama' ahli ijtihad dalam melakukan studi kasus masalah-masalah tersebut.

1. Tidak Gegabah Dalam Berfikir Dan Menyimpulkan.
Biasanya, bila Ulama' ahli ijtihad dihadapkan kepada suatu masalah yang belum pernah terjadi, mereka bersikap ekstra hati-hati. Bahkan, pada banyak kesempatan, mereka tidak segera memberikan jawaban atas masalah tersebut. Mereka menunda jawabannya untuk beberapa hari, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk mempelajarinya dengan Ulama' ahli ijtihad lainnya:

Abu Hushain Utsman bin 'Ashim Al-Asady rahimahullah berkata: "Sesungguhnya mereka itu sangat gegabah ketika berfatwa tentang suatu masalah, yang andaikan masalah tersebut disampaikan kepada Khalîfah Umar bin Al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu , niscaya ia segera mengumpulkan para pemuka sahabat yang ikut dalam perang Badar untuk berdiskusi."[1]

Demikianlah tradisi para Khulafâur Râsyidîn ketika menghadapi berbagai masalah kontemporer. Mereka mengumpulkan Ulama' alhi ijtihad dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdiskusi dan bahkan membuat pengumuman kepada masyarakat umum: "Barang siapa yang memiliki ilmu tentang permasalahan tersebut hendaknya segera menyampaikannya".

Dikisahkan, ada seorang wanita datang kepada Khalîfah Umar bin Al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu, yang menceritakan bahwa suaminya mati dibunuh orang lain. Ia meminta agar ia mendapatkan bagian warisan dari diyat (tebusan) suaminya itu. Khalîfah Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: “Aku tidak mengetahui apakah engkau juga berhak mendapatkan bagian darinya?” Lalu beliau Radhiyallahu 'anhu membuat pengumuman: “Barang siapa yang mengetahui ilmu dari Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah ini, hendaknya datang menemuiku.” Maka datanglah ad-Dhahak bin Sufyân Al-Kilâbi, yang berkata: “Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyuruhku untuk memberikan bagian warisan istri Asyyam Ad-Dhababi dari diyat suaminya.” Mendapatkan masukan ini, maka Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu segera memberikan bagian warisan wanita tersebut dari diyat suaminya". [HR. at-Thabrâni, al-Baihaqi dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]

Inilah metode pertama yang harus ditempuh oleh setiap orang yang hendak memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer.

2. Menguasai Hukum Syari'at.
Keahlian pertama dan utama yang harus dimiliki seseorang yang hendak memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer ialah penguasaan terhadap ilmu syari'at. Berbagai disiplin ilmu syari'at terkait, baik ilmu bahasa, ushul fiqih, ilmu hadits dan lainnya benar-benar harus terlebih dahulu dikuasai. Apalah gunanya seseorang merenung dan berfikir tentang suatu kasus kontemporer, bila ia tidak menguasai ilmu agama. Orang itu hanya akan menyengsarakan dirinya dan juga menyesatkan saudaranya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lisanmu secara dusta"ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung, itu adalah kesenangan sedikit; sedangkan bagi mereka azab yang pedih." [an-Nahl/16:116-117]

Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً، فَسُئِلُواْ فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

"Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari para hamba-Nya, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para Ulama'. Hingga pada saatnya nanti, Allah tidak lagi menyisakan seorang Ulama'-pun, sehingga manusia akan menobatkan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan merekapun menjawab dengan tanpa ilmu, akibatnya merekapun tersesat dan menyesatkan". [Muttafaq 'alaih]

Tentu kita semua sepakat bahwa ilmu syari'at tidak mungkin dapat dikuasai oleh "Ulama' karbitan" atau "praktisi dadakan"[2]. Ulama' karbitan atau praktisi dadakan yang dihasilkan berbagai institusi atau badan usaha, dengan melatih kadernya selama beberapa waktu, tidaklah layak untuk menjadi rujukan dalam permasalahan semacam ini. Apalagi untuk menjadi Ulama' benar-benar berhak untuk berijtihad dalam berbagai masalah kontemporer.

Pada suatu hari imam Mâlik bin Anas rahimahullah mendapati imam Rabî'ah bin Abdurrahmân dalam keadaan menangis. Spontan, imam Mâlik rahimahullah bertanya kepadanya: “ Apa gerangan yang menyebabkan kamu menangis? Apakah engkau ditimpa musibah?” Ia menjawab: “Tidak, aku menangis karena adanya orang tak berilmu yang dimintai fatwa.” Lalu imam Rabî'ah berkata:” Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak untuk dipenjara daripada para pencuri.”[3]

Ibnu Shalah rahimahullah mengomentari kisah ini dengan berkata: “Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa merahmati imam Rabî'ah, apa gerangan komentarnya andaikan ia menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini.”[4]

Sebagian Ulama' menjelaskan alasan yang mendasari Ulama' ahli ijtihad bersikap ekstra hati-hati, dengan berkata: “Barang siapa yang hendak menjawab suatu pertanyaan, maka hendaknya terlebih dahulu ia memikirkan bagaimanakah caranya ia dapat selamat di akhirat, setelahnya, barulah ia menjawab.” [5]

3. Menguasai Permasalahan Yang Dihadapi Dengan Sempurna.
Dahulu para Ulama' berkata:

الحُكْمُ عَلَى الشَّيءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

"Hukum suatu masalah adalah cabang pemahaman terhadap gambaran masalah tersebut".

Berdasarkan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Tidaklah seorang mufti dan hakim dapat memberikan fatwa atau keputusan hukum dengan benar, kecuali bila ia memiliki dua jenis pemahaman: Pertama: pemahaman tentang masalah yang terjadi, dan kajian mendalam tentang hakekat sebenarnya pada kejadian tersebut. Kajian itu dapat dilakukan dengan bantuan berbagai pertanda dan indikasi yang berkaitan, hingga ia benar-benar menguasi masalah yang dimaksud. Pemahaman kedua: Memahami apa yang menjadi kewajiban dalam masalah itu, yaitu hukum Allah Azza wa Jalla yang telah diputuskan dalam al-Qur'ân atau melalui lisan Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah itu. Selanjutnya ia mencocokkan kedua jenis pemahaman ini."[6]

"Sesungguhnya realita suatu masalah -menurut Ulama- terbagi menjadi dua bagian:

Bagian pertama : realita yang memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari'at. Memahami realita jenis ini merupakan suatu keharusan. Barangsiapa yang menghukumi suatu masalah, tanpa memahami realitanya, maka dia telah berbuat kesalahan. Jika suatu realita memiliki pengaruh dalam penentuan hukum, maka wajib di kuasai oleh para Ulama'.

Bagian kedua : Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari'at, misalnya: kejadiannya demikian dan demikian serta cerita yang panjang lebar; akan tetapi realita dan kisah tersebut sama sekali tidak mempengaruhi penentuan hukum syari'at.

Ketika berijtihad, para Ulama' mengabaikan realita semacam ini, walaupun sebenarnya mereka memahaminya. Dengan demikian tidak setiap realita yang diketahui memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari'at".[7]

Realita jenis kedua inilah yang disebut dalam ilmu ushul fiqih dengan (الأَوْصَافُ الطَّرْدِيَّةُ). Realita jenis kedua ini tergolong dalam "ilmu yang tidak bermanfaat untuk diketahui, dan tidak merugikan bila diabaikan".

Untuk dapat membedakan antara realita yang berpengaruh dalam menentukan hukum dari realita yang tidak berpengaruh sama sekali, harus mengetahui ilmu syari'at yang merupakan standar berbagai fakta dan realita.

Sebagai contoh: Kita semua mengetahui bahwa khamer adalah minuman yang diharamkan. Kita juga mengetahui bahwa khamer di zaman dahulu terbuat dari anggur dan kurma, sebagaimana dikisahkan dalam ayat 67 surat an-Nahl. Nah, apakah realita ini memiliki pengaruh dalam penentuan hukum haram khamer, sehingga khamer yang terbuat dari tebu tidak dinamakan khamer alias halal?

Ulama' ahli ijtihad telah menjelaskan bahwa khamer adalah haram, walaupun terbuat dari tebu atau lainnya. Keputusan hukum ini berdasarkan kepada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

"Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap yang memabukkan adalah haram”. [HR Muslim]

Dengan demikian realita khamer zaman dahulu, yaitu terbuat dari anggur dan korma tidak mempengaruhi hukum khamer.

Untuk dapat memahami realita suatu masalah, seorang ahli ijtihad menempuh cara:
a. Bertanya kepada pakar permasalahan tersebut.
b. Bertanya langsung kepada orang yang ditimpa permasalahan tersebut.

4. Standar Kebenaran Adalah Al-Qur'ân Dan Sunnah.
Seluruh Ulama' telah sepakat bahwa tidaklah ada agama, selain agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiada ibadah melainkan yang telah beliau ajarkan, tiada kehalalan melainkan yang telah beliau halalkan dan tiada keharaman melainkan yang telah beliau haramkan. Dengan demikian, yang menjadi standar kebenaran dalam segala urusan, termasuk berbagai masalah kontemporer adalah al-Qur'ân dan Sunnah, baik selaras dengan pendapat kebanyakan Ulama' atau menyelisihinya.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Dan segala yang diajarkan oleh Rasulullah kepadamu, maka amalkanlah, dan segala yang dilarangnya, maka tinggalkanlah". [al-Hasyr/59:7]

Kebenaran tidaklah dipandang dari ringan atau beratnya suatu pendapat bila diamalkan. Rasa ringan atau berat ketika beramal sangat relatif, dan banyak penyebabnya; oleh karena itu imam asy-Syaukani berkata: “Yang wajib kita anut dan harus kita amalkan adalah pendapat yang berdasarkan dalil shahîh. Dan bila dalil-dalilnya terkesan saling bertentangan, maka ringannya atau beratnya suatu pendapat tidak dapat dijadikan sebagai alasan penguat. Pada saat itu, kita berkewajiban untuk mencari alasan lain yang dibenarkan, guna menguatkan suatu pendapat.” [8]

5. Tidak Terperdaya Dengan Perbedaan Nama Sehingga Melalaikan Hakekat Masalah.
Di antara metode ijtihad yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghadapi berbagai masalah kontemporer ialah dengan senantiasa mengaitkan hukum permasalahan dengan hakekatnya, dan bukan dengan sekedar penamaannya. Oleh karena itu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، وَتُضْرَبُ عَلَى رُؤُوسِهِمْ الْمَعَازِفُ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأََرْضَ وَيُجْعَلَ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ

“Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang minum khamer, dan mereka menamakannya dengan selain namanya, sambil ditabuh alat-alat musik di atas kepala mereka, lalu Allah Azza wa Jalla akan menenggelamkan (sebagian) mereka ke dalam bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi”. [HR Abu Dâwud, dan hadits ini memiliki banyak syawâhid]

Ibnu Hajar al-Asqalâni as-Syâfi'i rahimahullah berkata, "Pada hadits ini terdapat ancaman keras atas orang-orang yang merekayasa berbagai cara untuk menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dengan cara mengubah namanya. Dan pada hadits ini pula dapat disimpulkan bahwa setiap hukum senantiasa mengikuti 'illah-nya (alasannya), dan 'illah diharamkannya khamer ialah karena memabukkan. Jika suatu minuman menyebabkan seseorang mabuk, maka minuman itu pasti haram, walau namanya telah berubah; bukan lagi khamer.”

Ibnu al-'Arabi rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah dasar bagi kaidah: "Setiap hukum hanyalah berkaitan dengan makna suatu istilah, tidak dengan sekedar namanya saja."[9]

Seorang ahli ijtihad yang benar-benar paham syari'at Islam, niscaya tidak akan terpengaruh oleh kilauan nama yang indah. Mereka menyadari bahwa kegemaran merubah-rubah nama guna merubah hukum, hanyalah secuil warisan umat Yahudi. Ulama' ahli ijtihad senantiasa ingat akan wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka:

لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَتِ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

"Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit rekayasa." [HR. Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsîr serta disetujui oleh al-Albâni].

Oleh karena itu walaupun piutang telah diberi nama baru yang lebih menggiurkan yaitu tabungan, atau modal usaha, atau obligasi, atau sukuk, tetap saja hukumnya adalah piutang. Dengan demikian segala bentuk keuntungan yang dipungut darinya adalah riba.

6. Tidak Kaku Dalam Menerapkan Fatwa Ulama'.
Semua mengetahui bahwa agama Islam telah berumur lebih dari 14 abad. Dengan demikian, syari'at Islam telah dipahami dan diamalkan di berbagai tatanan masyarakat, dengan berbagai perbedaan yang ada di antara mereka. Masing-masing Ulama' menghadapi berbagai masalah yang ada di masyarakatnya. Sehingga tidak dipungkiri bahwa karya tulis dan fatwa masing-masing Ulama' sering kali terwarnai oleh tradisi dan gaya hidup yang ada di masyarakatnya.

Oleh karena itu, merupakan sikap bijak, bila senantiasa mempertimbangkan perbedaan tradisi dan gaya hidup zaman kita dengan yang ada di zaman Ulama' yang menjadi rujukan, ketika mengkaji berbagai masalah kontemporer.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Mempertimbangkan adat dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat ketika berfatwa adalah sikap yang benar-benar cemerlang. Barang siapa berfatwa hanya berdasarkan apa yang tertera dalam suatu kitab, tanpa mempertimbangkan perbedaan tradisi, adat istiadat, waktu, dan keadaan yang ada pada masing-masing masyarakat, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Kejahatannya terhadap ajaran agama lebih besar dibanding kejahatan seorang dokter yang berusaha mengobati masyarakat di berbagai negeri dengan segala perbedaan tradisi, masa dan tabiat mereka; hanya berdasarkan keterangan salah satu buku kedokteran saja. Dokter atau mufti bodoh ini merupakan hal yang paling berbahaya bagi keutuhan raga dan jiwa masyarakat."[10]

Sebagai contoh nyata, bahwa dalam buku-buku fiqih dan tafsîr telah dinyatakan, jika seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan “wahai ibuku” atau yang serupa, maka ia telah terkena hukum dhihâr. Sehingga ia tidak dibenarkan untuk menggauli istrinya sampai ia membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Hukum ini dengan tegas dijelaskan dalam surat al-Mujâdilah ayat 2-4.

Jika kita menerapkan keterangan Ulama' di atas pada masyarakat kita, maka 90 % pasangan suami istri di negeri ini terkena kewajiban itu. Kebanyakan kaum suami di negeri kita memanggil istrinya dengan sebutan : ibu, mama, adik, atau lainnya.

Guna menjembatani penerapan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqih terhadap fakta yang ada di masyarakat, para Ulama’ menggariskan suatu kaidah yang berbuyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ العَادَاتِ

“Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar’i, selaras dengan perubahan adat.”

atau :

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

"Tradisi itu memiliki kekuatan hukum."

Berdasarkan penjelasan di atas, para Ulama' menyatakan bahwa bila suatu tradisi tidak menyelisihi syari'at, maka boleh diamalkan, bahkan pada beberapa kesempatan wajib untuk diamalkan. Akan tetapi bila adat dan tradisi suatu masyarakat menyelisihi ajaran syari'at, maka haram untuk dilakukan. Sehingga hukum syari'at tetap baku dan tidak dapat berubah karena perubahan adat dan tradisi. Inilah makna kaidah fiqhiyyah (kaidah dalam ilmu fiqih) di atas[11]. Hal ini berdasarkan firman Allah kAzza wa Jalla :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata." [al-Ahzâb/33:36].

Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu berkata: "Seluruh ulama' fiqih telah sepakat bahwa hukum-hukum yang dapat berubah-rubah selaras dengan perubahan zaman dan perilaku manusia ialah hukum-hukum yang merupakan hasil ijtihad Ulama'. Yaitu hukum-hukum yang merupakan upaya Ulama' dalam merealisasikan maslahat, qiyas, atau adat. Dengan demikian, hukum-hukum yang berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah, tetap dan tidak dapat berubah, serta tidak tercakup oleh kaidah ini. Berdasarkan itulah, sebagian ulama' fiqih berpendapat bahwa teks kaidah ini yang lebih tepat ialah:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ ْلإِجْتِهَادِيَةِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ

"Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum-hukum ijtihadiyyah berdasarkan perubahan zaman", guna menepis kerancuan semacam ini. Dan (saya berpendapat) membubuhkan tambahan semacam ini pada kaidah tersebut bagus dan tepat adanya."[12]

7. Mencarikan Solusi Jitu.
Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan dari masalah kontemporer di masyarakat adalah hasil rekayasa dan gagasan orang-orang non Muslim, yang tidak perduli dengan halal dan haram. Oleh karena itu, bila seorang ahli ijtihad telah membuktikan akan haramnya suatu masalah kontemporer di masyarakat, hendaknya ia tidak merasa puas dengan kesimpulan hukum tersebut; sampai ia berhasil menyodorkan alternatif yang halal. Dengan demikian, umat lslam dapat terhindar dari berbagai amalan haram dan dapat merealisasikan kemaslahatannya dengan cara-cara yang diridhai Allah Azza wa Jalla.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Bila seorang mufti yang benar-benar berilmu dan tulus ditanya oleh seseorang tentang suatu hal yang terlarang, padahal ia benar-benar memerlukannya, niscaya mufti itu akan segera menunjukkannya alternatif yang halal. Dengan demikian, mufti tersebut berhasil menutup pintu perbuatan haram, dan membukakan solusi-solusi yang halal. Tentu tidak ada orang yang mampu melakukan hal ini selain orang-orang yang benar-benar berilmu lagi tulus, yang benar-benar ikhlas karena Allah k dengan mengamalkan ilmunya. Mufti semacam ini bak seorang dokter yang handal lagi tulus, ia berusaha melindungi pasiennya dari mara bahaya, dan memberikan resep manjur baginya. Demikianlah semestinya perilaku para dokter rohani dan jasmani.

Diriwayatkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi pun melainkan wajib atas Nabi itu untuk menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan mereka dari setiap kejelekan yang ia ketahui". Demikianlah perangai para Rasul dan para ahli waris mereka sepeninggalnya" [13]

Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit metode Ulama' ahli ijtihad yang dapat dirangkumkan dari beberapa referensi. Semoga, paparan singkat ini bermanfaat bagi semuanya.

Wallâhu'alam bis shawâb.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]



sumber:    http://almanhaj.or.id/

Sunday, December 16, 2012

Ilmu Filsafat, Perusak Akidah Islam


Ilmu Filsafat, Perusak Akidah Islam


Oleh
Ustadz Abu Minhal



Sebagian ahlul ahwa wal bida' (orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan pelaku bid'ah, golongan menyimpang dalam Islam) mengklaim bahwa ilmu-ilmu ilahi (akidah) itu masih ghâmidhah (kabur dan tak terpahami). Menurut mereka, tidak mungkin dimengerti kecuali melalui jalan ilmu manthiq dan filsafat. Bertolak dari sinilah kemudian mereka (kaum Mu'tazilah dan yang sepaham dengan mereka sampai era sekarang) mengadopsi ilmu filsafat untuk dijadikan sebagai perangkat pendukung untuk mendalami akidah Islam.[1]

ASAL MUASAL KATA FILSAFAT
Jelas-jelas kata filsafat bukan asli dari bahasa Arab. Apalagi dalam kamus syariat Islam. Ia berasal dari Yunani, negeri 'para dewa' yang disembah oleh manusia. Terbentuk dari dua susunan, filo yang bermakna cinta dan penggalan kedua sofia yang bermakna hikmah. Pengertian yang terbentuk dari paduan dua kata itu memang cukup menarik.

Sebagian mendefinisikan sebagai upaya pencarian tabiat (karakter) segala sesuatu dan hakekat maujûdât (hal-hal yang ada di dunia ini). Filsafat fokus pada pengerahan usaha dalam mengenali sesuatu dengan pengenalan yang murni. Apapun obyeknya, baik perkara ilmiah, agama, ilmu hitung atau lainnya.[2]

Akan tetapi, perkara terpenting yang tidak boleh dilupakan, bahwa tempat asal lahirnya kata itu adalah negeri Yunani dan keyakinan kufur generasi pertama ahli filsafat yang menjadi rujukan filsafat dunia, sudah cukup bagi kaum Muslimin untuk berhati-hati dan mengesampingkannya dari tengah umat, karena berasal dari negeri dan kaum yang tidak beriman kepada Allâh k, kaum yang menyembah para dewa. Kecurigaan terhadap output filsafat mesti dikedepankan. Doktor 'Afâf binti Hasan bin Muhammad Mukhtâr penulis disertasi berjudul Tanâquzhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ fil 'Aqîdah' menyatakan, dari sini menjadi jelas bahwa filsafat merupakan pemikiran asing yang bersumber dari luar Islam dan kaum Muslimin, sebab sumbernya berasal dari Yunani [3]

ILMU FILSAFAT TIDAK ADA DALAM GENERASI SALAFUL UMMAH
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menceritakan, "Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi'in dan generasi Tabi'it Tabi'in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum filosof sebagai sumber pijakan untuk me'luruskan' atsar yang berseberangan dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti".[4]

Karena itulah, kaum Mu'tazilah dan golongan yang sepemikiran dengan mereka tidak bertumpu pada kitab tafsir ma'tsur, hadits dan perkataan Salaf. Perkataan al-Hâfizh merupakan seruan yang tegas untuk berpegang teguh dengan petunjuk Salaf dan menjauhi perkara baru yang diluncurkan oleh generasi Khalaf yang bertentangan dengan petunjuk generasi Salaf.[5]

Syaikhul Islam rahimahullah mendudukkan, bahwa penggunaan ilmu filsafat sebagai salah satu dasar pengambilan hukum adalah karakter orang-orang mulhid dan ahli bid'ah. Karena itu, terdapat pernyataan Ulama Salaf yang menghimbau umat agar iltizam dengan al-Qur`ân dan Sunnah dan memperingatkan umat dari bid'ah dan ilmu filsafat (ilmu kalam).[6]

ULAMA BICARA TENTANG BAHAYA ILMU FILSAFAT
Melalui ilmu filsafatlah, intervensi pemikiran asing masuk dalam Islam. Tidaklah muncul ideologi filsafat dan pemikiran yang serupa dengannya kecuali setelah umat Islam mengadopsi dan menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani melalui kebijakan pemerintahan di bawah kendali al-Makmûn masa itu.

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah”.[7]

Ketika orang sudah memasuki dimensi filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu kalam dan filsafat) kecuali akan terkena bahaya dari mereka (kaum filosof)”.[8]

Karena itu, tidak heran bila Ibnu Shalâh rahimahullah memvonis ilmu filsafat sebagai biang ketololan, rusaknya akidah, kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan dan zandaqah (kekufuran)[9]

Begitu banyak ungkapan Ulama Salaf yang berisi celaan terhadap ilmu warisan bangsa Yunani ini dan selanjutnya mereka mengajak untuk berpegang teguh dengan wahyu.

AL-QUR’AN DAN SUNNAH SUMBER PENGAMBILAN AQIDAH
Kebenaran dengan segala perangkatnya telah dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya, tanggung jawab penyampaian kebenaran dari Allâh Azza wa Jalla itu diemban oleh insan-insan pilihan sepeninggal beliau, generasi Sahabat Radhiyallahu anhum.

Ibnu Abil 'Izzi rahimahullah berkata, “Sebab munculnya kesesatan ialah berpaling dari merenungi kalâmullâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan menyibukkan diri dengan teori-teori Yunani dan pemikiran-pemikiran yang macam-macam" (hal. 176, tahqiq Ahmad Syâkir rahimahullah)

Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq. Tidak ada petunjuk yang benar kecuali dalam risalah yang beliau bawa. Akal manusia mustahil sanggup berdiri sendiri untuk mengenal nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Rabbnya, Dzat yang ia ibadahi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam didelegasikan kepada umat manusia untuk memperkenalkan mereka kepada Allâh Azza wa Jalladan menyeru mereka beribadah kepada-Nya. Karenanya, kebanyakan orang yang terjerumus dalam kesesatan dalam memahami akidah yang benar adalah orang yang melakukan tafrith[10] dalam mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]

Dengan demikian, siapa saja menginginkan hidayah, utamanya dalam masalah keyakinan, hendaknya menempatkan al-Qur`ân dan petunjuk Nabi n di depan mata, sehingga menjadi obor yang menerangi jalan hidupnya. Syaikhul Islam t telah menyampaikan pintu menuju hidayah dengan berkata, “Jika seorang hamba merasa butuh kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh Azza wa Jalladan sabda Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam kaum Muslimin, maka akan terbuka jalan petunjuk baginya.”[12]

Orang yang menghantam nash al-Qur`ân dan Sunnah dengan akal, ia belum mengamalkan firman Allâh Ta'ala berikut ini:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya [an-Nisâ/4:65]

PENUTUP
Tampak dengan jelas betapa bahaya ilmu filsafat di mata Ulama sehingga mereka memperingatkan umat agar menjauh darinya. Anehnya, ilmu yang telah mengintervensi akidah Islam ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan kajian-kajian Islam kontemporer, bahkan menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari. Seolah-olah seorang Muslim belum dapat memahami al-Qur`ân dan Sunnah (terutama masalah akidah) kecuali dengan ilmu filsafat. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus [al-Isra/17:9]

Mari simak pernyataan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam menerangkan ayat di atas, “Dalam masalah akidah, sesungguhnya akidah yang bersumberkan al-Qur`ân merupakan keyakinan-keyakinan yang bermanfaat yang memuat kebaikan, nutrisi dan kesempurnaan bagi kalbu. Dengan keyakinan tersebut, hati akan sarat dengan kecintaan, pengagungan dan penyembahan serta keterkaitan dengan Allâh Azza wa Jalla“[13] .

Sementara Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah menyimpulkan kandungan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pada ayat yang mulia ini, Allah k menyampaikan secara global mengenai kandungan al-Qur`ân yang memuat petunjuk menuju jalan yang terbaik, paling lurus dan paling tepat kepada kebaikan dunia dan akherat.[14]

Semoga Allâh Azza wa Jallamengembalikan umat Islam kepada hidayah-Nya. Wallâhu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Bagaimana Menghormati Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ?



Oleh
Ustadz Abu 'Abdurrahman Thoyyib as-Salafy


Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan generasi termulia yang dikeluarkan kepada manusia. Mereka menjadi suri teladan serta pejuang Islam yang tak tertandingi sampai hari Kiamat nanti. Kedudukan mereka sangat tinggi. Mereka mempunyai banyak keutamaan. Demikian pula, jasa mereka terhadap Islam tidaklah sedikit. Oleh karena itu, wajib bagi umat ini untuk menghormati sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lantas, bagaimanakah cara menghormati mereka? Berikut jawabannya.

Pertama. Mencintai Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara sifat seorang muslim, ialah mencintai saudaranya sesama muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (pecinta dan penolong) bagi sebahagian yang lain…-at-Taubah/9 ayat 71. Dan di antara prinsip seorang muslim, ialah mencintai karena Allah, mencintai orang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; sehingga menjadikan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang paling utama mendapatkan kecintaan ini.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَوثَقُ عُرَى الإِيمَانِ المُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالمُعَادَاةُ فِي اللهِ والحُبُّ فِي اللهِ وَالبُغضُ فِي اللهِ

Sekuat-kuat tali keimanan adalah berloyalitas dan memusuhi karena Allah serta cinta dan benci karena Allah. [HSR Thabrani].[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: "Tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan ialah membenci kaum Anshar". [HR al-Bukhâri].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: "Tidaklah yang mencintai orang-orang Anshar melainkan seorang mukmin, dan tidaklah yang membenci mereka kecuali orang-orang munafik. Barang siapa yang mencintai mereka, maka Allah cinta kepadanya, dan barang siapa yang membenci mereka, maka Allah benci kepadanya". [HR Muslim].

Dalam riwayat lain disebutkan: "Tidak ada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir yang membenci kaum Anshar".

Dalil-dalil di atas amat jelas telah mewajibkan kita untuk mencintai semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik sahabat dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Dan berikut ini, pernyataan-pernyataan para ulama Ahlus-Sunnah tentang kewajiban mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

'Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata: "Dua perangai, yang aku harapkan orang yang memilikinya akan selamat dan sukses, yaitu kejujuran dan cinta kepada sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam" [2].

Al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata: "Mencintai para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bekal yang aku simpan," kemudian beliau berkata: "Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati orang-orang yang mendoakan para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan hal ini tidak akan muncul kecuali karena kecintaan terhadap para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ".[3]

Imam Abu 'Abdillah bin Baththah al-Akburi rahimahullah berkata: "Ahlus-Sunnah mencintai semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kedudukan dan tingkatan mereka, yang pertama dan yang kemudian, dari ahli Badar, Hudaibiyah, Bai'atur-Ridwân, dan Uhud. Mereka itu orang-orang yang memiliki keutamaan yang mulia dan kedudukan tinggi yang telah mendahului (kita) dengan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah merahmati mereka semua". [4]

Imam ath-Thahawi rahimahullah berkata: "Kita mencintai para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka, serta tidak membenci salah seorang pun di antara mereka; kita membenci orang yang membenci dan yang menjelekkan mereka. Kita tidak menyebut para sahabat kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka ialah merupakan agama, iman dan kebaikan. Sedangkan membenci mereka merupakan kekufuran, kemunafikan dan thughyân (tindakan melampaui batas)".[5]

Kedua. Memuji Para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamserta para ulama telah memuji para sahabat. Artinya, semua itu sudah sangat cukup menunjukkan kewajiban untuk memuji mereka. Jika para sahabat telah mendapat pujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, mengapa kita tidak memuji mereka?

Berikut ini nash-nash dari Al-Qur`ân dan Sunnah, serta ucapan para ulama tentang pujian terhadap para sahabat.

Nash Dari Al-Qur`ân.
1. Al-Qur`ân surat at-Taubah/9 ayat 100, yang artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
2. Al-Qur`ân surat al-Hasyr/59 ayat 8-9, yang artinya: (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Nash Dari Hadits.
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian (generasi) setelah mereka, kemudian (generasi) setelah mereka". [HR al-Bukhâri dan Muslim].
2. Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Janganlah kalian mencaci-maki sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas seperti satu gunung Uhud, tidaklah hal itu bisa menyamai satu mud salah seorang dari mereka, bahkan tidak pula setengahnya". [HR al-Bukhâri].

Nash Dari Para Ulama.
1. 'Abdullah bin 'Abbâs Radhiyallahu anhu berkata tentang firman Allah "kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia…" –Ali-Imran/3 ayat 110: "Mereka ialah orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ".[6]

2. 'Abdullah bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu berkata: "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat kepada hati para hamba, lalu Dia mendapati hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebaik-baik hati manusia, maka Dia memilih Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diri-Nya, dan mengutus Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat kepada hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Dia mendapati hati para sahabat beliau adalah sebaik-baik hati para hamba, maka Dia pun menjadikannya sebagai penolong Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berperang di atas agama-Nya".[7]

3. 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu berkata: "Kalian jangan mencaci-maki para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena kedudukan salah seorang dari mereka lebih baik dari amal (ibadah) salah seorang di antara kalian seumur hidupnya".[8]

4. Ayyûb as-Sakhtiyâni t berkata: "Barang siapa yang memuji para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, maka dia telah terlepas dari kemunafikan".[9]

5. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata tentang firman Allah "maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah" –al-Mâ`idah/5 ayat 54: "Demi Allah, ayat ini bukan untuk orang-orang Harura` (Khawarij), akan tetapi untuk Abu Bakar, 'Umar dan para sahabat keduanya".[10]

6. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: "Orang yang paling rendah dalam persahabatannya bersama beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) masih lebih utama dari generasi yang tidak pernah melihat beliau, meskipun mereka bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa semua amal. Mereka yang menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melihatnya serta mendengar dari beliau, (mereka) lebih afdhal karena persahabatannya dibandingkan tabi'in, meskipun mereka (para tabi'in) mengerjakan semua amal kebaikan".[11]

7. Imam al-Ajurri rahimahullah berkata: "Sesungguhnya di antara kemudahan yang diberikan Allah kepadaku, ialah dalam menulis kitab asy-Syari'ah, dan Allah juga memudahkan untukku menuliskan keutamaan-keutamaan Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku sebutkan setelah itu keutamaan-keutamaan para sahabat beliau z yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih mereka untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan para sahabat sebagai pendamping beliau, kerabat, penolong, dan sebagai pemimpin setelah beliau untuk umatnya. Mereka ialah kaum Muhajirin dan Anshar yang disifatkan oleh Allah  dengan semulia-mulia sifat di dalam Al-Qur`ân. Allah Subhanahu wa Ta’ala melukiskan mereka dengan gambaran yang terindah. Di dalam kitab-Nya, Allah mengkhabarkan kepada kita, bahwa Dia telah mensifati mereka di dalam Taurat dan Injil dengan seagung-agungnya sifat dan seindah-indahnya perangai. Inilah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki".[12]

8. Imam al-Barbahâri rahimahullah berkata: "Sebaik-baik umat ini sepeninggal Nabinya ialah Abu Bakar Radhiyallahu anhu , 'Umar Radhiyallahu anhu dan 'Utsman Radhiyallahu anhu ; kemudian sebaik-baik manusia setelah mereka ialah Ali Radhiyallahu anhu, Thalhah Radhiyallahu anhu, az-Zubair Radhiyallahu anhu, Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, Sa'id bin Zaid Radhiyallahu anhu, 'Abdur-Rahman bin 'Auf Radhiyallahu anhu, Abu Ubaidah 'Amir bin Jarrah Radhiyallahu anhu; semuanya berhak untuk menjadi khalifah. Kemudian manusia terbaik setelah mereka, ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termasuk generasi pertama yang beliau diutus kepada mereka, yaitu golongan Muhajirin dan Anshar serta mereka yang pernah melaksanakan shalat dengan menghadap kepada dua kiblat. Kemudian manusia terbaik setelah mereka, ialah yang menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehari atau sebulan atau setahun atau lebih sedikit atau lebih lama dari itu. Doakan dia, sebutkan keutamaannya, berdiamlah dari kesalahannnya, dan kita tidak boleh menyebut salah seorang dari mereka melainkan dengan yang baik, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Apabila disebutkan para sahabatku, maka berhati-hatilah'." [13].

9. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata: Termasuk sunnah (aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah), ialah memberikan loyalitas kepada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mencintai mereka, memuji mereka, mendoakan, serta memintakan ampun untuk mereka, diam tidak menyebutkan kejelekan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta meyakini keutamaan mereka, dan yang pertama kalinya mereka masuk ke dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman –yang artinya-: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman". -al-Hasyr/59 ayat 10- dan Dia juga berfirman –yang artinya-: Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih- sayang sesama mereka… -al-Fath/48 ayat 29.[14]

10. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata -ketika menafsirkan firman Allah surat al-Fath/48 ayat 29-: Para sahabat Radhiyallahu anhum, niat mereka murni (ikhlas), amal perbuatan mereka baik, dan setiap orang yang melihat mereka akan takjub kepada sifat dan petunjuk mereka. Dan Mâlik berkata: "Telah sampai kabar kepadaku, ketika orang-orang Nashara melihat para sahabat g menaklukan negeri Syam, mereka berkata: 'Demi Allah, mereka (para sahabat) lebih baik dari pada Hawariyyûn (sahabat 'Isa bin Maryam Alaihissallam ), menurut apa yang telah sampai kepada kami,' dan sungguh mereka benar dalam hal ini. Karena umat ini diagungkan di dalam kitab-kitab suci terdahulu; dan yang paling mulia ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ".[15]

Ketiga. Mendoakan dan Memintakan Ampun Untuk Para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Inilah di antara tugas dan kewajiban seorang muslim terhadap sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu memintakan ampun dan mendoakan mereka dengan kebaikan. Dalam hal ini, sangat banyak ucapan dari para ulama Ahlus-Sunnah, seperti yang telah berlalu sebagiannya, dan berikut ini ucapan mereka yang lain.

1. Mus'ab bin Sa'ad rahimahullah berkata: Manusia itu ada tiga tingkatan, dua tingkatan sudah berlalu, dan masih tersisa satu tingkatan lagi, maka yang terbaik bagi kalian ialah menjadi orang-orang yang berada pada tingkatan ketiga -kemudian beliau membaca firman Allah, yang artinya: (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-Hasyr/59 ayat 8)- mereka ialah orang-orang Muhajirin, dan ini adalah tingkatan pertama.

Kemudian beliau membaca firman Allah, yang artinya: Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (al-Hasyr/59 ayat 9), mereka ialah orang-orang Anshar, dan tingkatan ini telah berlalu.

Kemudian beliau membaca ayat, yang artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (al-Hasyr/59 ayat 10).

Dua tingkatan di atas telah berlalu dan tinggal satu tingkatan, maka yang terbaik bagi kalian ialah menjadi orang-orang yang berada pada tingkatan ketiga yang masih tersisa, yaitu dengan memohon ampunan untuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[16]

2. Al-Fudhail bin 'Iyâdh rahimahullah berkata: "Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati orang-orang yang mendoakan para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam".[17]

3. Muhammad bin 'Abdillah al-Andalusi -yang dikenal dengan Ibnu Abi Zamanain rahimahullah - berkata: "Di antara ucapan Ahlus-Sunnah, yaitu keyakinan seorang (muslim) untuk mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menyebarkan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan mereka, serta menahan diri tidak melarutkan diri membahas perselisihan yang terjadi di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji mereka di dalam kitab-Nya dengan pujian yang mengharuskan untuk memuliakan dengan kecintaan dan mendoakan mereka…".[18]

4. Imam Abu 'Abdillah bin Baththah al-Akburi rahimahullah berkata : "Ahlus-Sunnah mencintai semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kedudukan dan tingkatan mereka, yang pertama dan yang kemudian, dari ahli Badar, Hudaibiyah, Bai'atur-Ridwân, dan Uhud. Mereka ialah orang-orang yang memiliki keutamaan yang mulia dan kedudukan yang tinggi. Mereka telah mendahului (kita) dengan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah merahmati mereka semua". [19]

Keempat. Tidak Mencela Seorang pun Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, sehingga satu dengan lainnya tidak boleh saling mencela tanpa hak. Seorang muslim memiliki kehormatan yang tidak boleh dinodai. Jika penghormatan ini berlaku untuk semua kaum muslimin, maka yang lebih utama lagi ditujukan kepada para pejuang Islam, para pembawa bendera sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para penebar dakwah tauhid yang telah banyak mendapat sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n telah memuji mereka, mengapa muncul celaan dari bibir-bibir kita kepada mereka?! Apakah kita lebih mengetahui daripada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. [al-Hujurât/49:11].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المُسلِمُ أَخُو المُسلِمِ لاَ يَظلِمُهُ وَلَا يَخذُلُهُ وَلَا يَحقِرُهُ التَقوَى هَاهُنَا – وَ يُشِيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسبِ امرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَن يَحقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ كُلُّ المُسلِمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرضُهُ

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya; ia tidak boleh menzhalimi atau menghinakan atau mencelanya. Ketakwaan ada di sini –seraya beliau menunjuk ke arah dada. Cukuplah kejelekan seorang muslim itu dengan dia mencela saudaranya. Setiap muslim terhadap muslim yang lain diharamkan darahnya, harta, serta kehormatannya. [HR Muslim]

Ucapan para ulama terhadap para pencela sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
1. Ummul-Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu anuhma berkata: “Mereka diperintahkan untuk memintakan ampun bagi sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka justru mencela para sahabat”.[20]

2.'Abdullah bin 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Kalian jangan mencela sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena Allah telah memerintahkan kita untuk memintakan ampunan bagi para sahabat, dan Dia mengetahui bahwa mereka nanti akan saling memerangi”.[21]

3. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka pertanyakanlah keislamannya”.[22]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mencela salah seorang sahabat, aku khawatir kekafiran ada padanya, seperti orang-orang Syi'ah Rafidhah.”.[23]

Dari 'Abdullah bin Imam Ahmad, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang mencela salah satu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau menjawab: "Saya berpendapat, untuk dia hukum bunuh'.”[24]

4. Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa dia itu zindiq, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kita adalah benar, dan Al-Qur`ân adalah benar. Sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka bermaksud mencela para saksi kita untuk membatalkan Al-Qur`ân dan Sunnah, maka celaan itu lebih utama ditujukan kepada mereka (yang mencela para sahabat), dan mereka adalah zindiq ”.[25]

5. Al-Barbahâri rahimahullah juga berkata: “Ketahuilah, barang siapa mencela salah seorang sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebenarnya ia kehendaki ialah mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan ia telah menyakiti beliau di kuburnya”.[26]

6. Malik rahimahullah berkata: “Sesungguhnya, mereka ialah sekelompok orang yang bermaksud mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak bisa; maka mereka pun mencela para sahabat, sehingga dikatakan,'Nabi adalah orang yang jelek. Seandainya ia orang yang baik, maka para sahabatnya juga orang baik'.”[27]

7. Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata: "Barang siapa yang mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia harus diberi sangsi dan dipenjara".[28]

8. Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir surat al-Fath/48 ayat 29, yaitu firman-Nya لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ (karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir…):

Dari ayat ini, Imâm Mâlik rahimahullah menyimpulkan tentang kekafiran orang-orang Syi'ah Rafidhah yang membenci para sahabat Radhiyallahu anhum. Beliau berkata: "Karena mereka (Syi'ah Rafidhah) memurkai para sahabat. Barang siapa yang murka kepada para sahabat Radhiyallahu anhum, maka ia kafir berdasarkan ayat ini”.

Pendapat Imam Mâlik rahimahullah ini disepakati oleh sebagian ulama. Hadits-hadits tentang keutamaan para sahabat Radhiyallahu anhum dan larangan mencela mereka sangat banyak, sehingga cukuplah pujian dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi mereka”.[29]

Ibnu Katsir rahimahullah -ketika menafsirkan surat at-Taubah/9 ayat 100- juga berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan, bahwasanya Dia ridha kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik. Alangkah celakanya orang-orang yang membenci para sahabat g atau yang mencela atau yang murka kepada sebagian dari mereka, khususnya tokoh-tokoh sahabat sepeninggal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang terbaik dan termulia di antara mereka, yaitu ash-Shiddîq al-Akbar dan Khalifah al-A’zham Abu Bakar bin Abi Quhâfah Radhiyallahu anhu. Sesungguhnya, kelompok Syi'ah Rafidhah yang terhina memusuhi orang yang termulia dari kalangan sahabat, memurkai dan mencela mereka. Kita berlindung kepada Allah dari hal ini. Ini semua menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik dan hati mereka tertutup. Ketika mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka di manakah keimanan mereka kepada Al-Qur`ân? Adapun Ahlus-Sunnah, mereka mendoakan para sahabat dengan keridhaan, mencela orang-orang yang telah dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, loyal kepada orang-orang yang loyal kepada Allah, serta memusuhi orang-orang yang memusuhi-Nya. Mereka (Ahlus-Sunnah) hanya mengikuti dan tidak mengada-adakan sesuatu. Merekalah tentara Allah Subhanahu wa Ta’ala yang selamat dan hamba-hamba-Nya yang beriman”.[30]

Ibnu Abil-‘Izzi rahimahullah berkata: “Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kedengkian terhadap orang-orang yang terbaik dari kaum Mukminin? Bahkan orang-orang Yahudi dan Nashara lebih baik dari mereka dengan satu perangai. Jika dikatakan kepada orang-orang Yahudi,'Siapakah orang yang terbaik dari golongan kalian?,' mereka menjawab,'Sahabat Musa'. Jika orang-orang Nashara ditanya,'Siapakah orang yang terbaik dari golongan kalian?,' mereka menjawab,'Sahabat Isa'. Dan jika dikatakan kepada orang-orang Rafidhah,'Siapakah orang yang terjelek dari golongan kalian?,' mereka menjawab,'Sahabat Muhammad'.”[31]

Kelima. Wajib Mengikuti Para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Mengikuti jejak sahabat bukan sesuatu yang mustahab[32]. Mengikuti jejak mereka dalam segala bidang, baik aqidah, ibadah, dakwah, jihad, muamalah, akhlak dan lainnya dalam permasalahan agama, merupakan kewajiban bagi yang ingin menperoleh hidayah dan keselamatan di dunia maupun di akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman –yang artinya-: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. " [at-Taubah/9:100].

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang mengikuti jejak Salaf dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Dalam ayat itu juga, terdapat perintah wajib untuk mengikuti mereka, karena keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin bisa diraih melainkan hanya dengan mengikuti mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". [an-Nisâ`/4:115].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [al-Baqarah/2:137].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam ayat ini, bahwasanya hidayah itu hanya bisa diperoleh dengan menempuh jalan para sahabat Radhiyallahu anhum.

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: "Setiap yang lebih mengetahui kebenaran dan yang lebih mengikutinya, maka ia lebih layak mendapatkan shirâthal-mustaqîm (jalan yang lurus). Dan tidak diragukan lagi, bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama dengan sifat ini daripada orang-orang Syi'ah Rafidhah. Oleh karena itu, para Ulama Salaf menafsirkan shirâthal-mustaqîm dan para pengikutnya dengan Abu Bakr, 'Umar dan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini benar sesuai dengan yang mereka tafsirkan, karena itu merupakan jalan para sahabat, dan juga jalan Nabi mereka".[33]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu :

عَلَيكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهدِيِينَ الرَاشِدِينَ, تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيهَا بِالنَوَاجِذِ

Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para Khulafâur-Râsyidin; pegang eratlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. [HSR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Mâjah dan selain mereka].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَفَرَّقَت اليَهُودُ عَلَى إِحدَى وَسَبعِينَ فِرقَةً أَوثِنتَينِ وَسَبعِينَ فِرقَةً, وَالنَصَارَى مِثلَ ذَلِكَ, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ فِرقَةً وَفِي رِوَايَةٍ : إِنَّ بَنِي إِسرَائِيلَ تَفَرَّقَت عَلَى ثِنتَينِ وَسَبعِينَ مِلَّةً, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ مِلَّةً, كُلُّهُم فِي النَارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً, قَالُوا : وَمَن هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ : (مَا أَنَا عَلَيهِ وَأَصحَابِي)

"Orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan orang-orang Nashrani seperti itu juga. Adapun umat ini terpecah menjadi 73 golongan". Di dalam riwayat lain disebutkan: "Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku terpecah menjadi 73 golongan; semuanya di neraka, kecuali satu". Para sahabat bertanya: "Siapa yang (selamat) itu, wahai Rasulullah?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: (Yang mengikuti aku dan para sahabatku). [HR Tirmidzi dengan sanad hasan].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اقتَدُوا بِاللذَينِ مِن بَعدِي : أَبِي بَكر وعُمَرَ

Ikutilah jejak dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan 'Umar. [HR Tirmidzi, Ibnu Mâjah, Ahmad dan selainnya].

'Abdullah bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu berkata : "Barang siapa di antara kalian yang ingin mencari suri tauladan, maka jadikanlah para sahabat sebagai suri taudalan, karena mereka adalah manusia yang paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya, paling sedikit dalam berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah sekelompok orang yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan-keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus".[34]

Imam al-'Auzâ'i rahimahullah juga berkata: "Tidaklah bagi seseorang yang telah sampai kepadanya ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perkara, kecuali (wajib baginya) untuk mengikutinya. Seandainya tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun hanya ada ucapan para sahabat sepeninggal beliau, maka mereka lebih utama untuk berada di atas kebenaran daripada kita. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang datang setelah mereka, dikarenakan mereka mengikuti para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ (dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik)".[35]

Ibrahim an-Nakhâ`i rahimahullah berkata: "Tidak ada perkara (yang benar) melainkan dengan (mengikuti) generasi pertama. Seandainya sampai kepada kami bahwa mereka (para sahabat) tidak mencuci (ketika thaharah) melainkan kuku saja, maka kami tidak akan melebihkannya. Cukuplah menjadi dosa jika kami menyelisihi perbuatan mereka".[36]

Syuraih dan Muhammad bin Sîrîn rahimahullah berkata: "Kita tidak akan mungkin tersesat selama berpegang teguh dengan atsar (jejak) para sahabat".[37]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata di awal kitab beliau, Ushûlus-Sunnah: "Termasuk prinsip aqidah kita, yaitu berpegang teguh dengan metode para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti jejak mereka".

Ibnu Abil 'Izzi rahimahullah berkata : "Mengikuti para sahabat adalah hidayah, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan".[38]

Demikian, sikap Ahlus-Sunnah terhadap para sahabat Radhiyallahu anhum yang sepatutnya dimiliki kaum muslimin. Wabillahi taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Al-Matiin, Yang Maha Kokoh


Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA


DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Subhanahu wa Ta’alayang agung ini disebutkan dalam firmanNya :

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

Sesungguhnya Allâh, Dialah Maha Pemberi rezki, Yang Maha Mempunyai Kekuatan lagi Maha Kokoh [adz-Dzâriyât/51:58]

Berdasarkan ayat ini, para Ulama menetapkan nama al-Matîn (Yang Maha Kokoh) sebagai salah satu dari nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah, seperti imam Ibnul Atsîr[1] , Ibnu Taimiyyah[2] , syaikh Abdurrahman as-Sa’di[3] , syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin[4] dan lain-lain.

PENJABARAN MAKNA ALLAH AL-MATIIN
Ibnu Faris menjelaskan bahwa materi dasar dari nama ini (yaitu huruf mim, ta’ dan nun-red) menunjukkan kekokohan pada sesuatu, yang disertai (makna) tinggi[5]

Al-Fairûz Abadi menjelaskan di antara makna dasar kata ini adalah permukaan bumi yang sangat kokoh dan tinggi [6].

Imam Ibnul Atsîr mengatakan, “(Arti nama Allâh) al-Matîn adalah Yang Maha Kuat dan Kokoh, yang dalam melakukan semua perbuatan-Nya, Allâh Azza wa Jalla tidak merasa susah, berat maupun payah[7] .

Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha mulia ini maknanya hampir sama dengan beberapa nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha agung lainnya, yaitu: “al-Qawiy” (Yang Maha Kuat), “al-‘Azîz” (Yang Maha Perkasa) dan “al-Qadîr” (Yang Maha Mampu/Berkuasa)[8] .

Makna “al-Matîin” adalah Yang Maha sangat kuat, sedangkan “al-Qawiy” adalah Yang tidak ada sesuatupun yang mampu menundukkan dan mengalahkan-Nya, serta menolak ketentuan-Nya. Dia (Maha Mampu) memberlakukan perintah dan ketentuan-Nya kepada semua makhluk-Nya (tanpa ada satupun yang mampu menghalangi). Dia mampu memuliakan siapapun yang dikehendaki-Nya dan mampu menjadikan hina siapapun yang dikehendaki-Nya. Allâh Azza wa Jalla mampu menolong siapa yang dikehendaki-Nya serta tidak menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Segala (daya dan) kekuatan hanya milik Allâh Azza wa Jalla , tidak akan ada orang yang mendapatkan kemenangan kecuali orang yang ditolong-Nya serta tidak akan ada yang mendapatkan kemuliaan kecuali orang yang dimuliakan-Nya. Orang yang tidak ditolong oleh Allâh Azza wa Jalla pasti akan kalah dan orang orang yang dihinakan-Nya pasti akan hina. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Jika Allâh menolong kamu, maka tak ada seorangpun yang dapat mengalahkan kamu; dan jika Allâh membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allâh sesudah itu ? Karena itu hendaknya orang-orang mu'min bertawakkal kepada Allâh saja [Ali ‘Imrân/3:160].

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu milik Allâh semuanya dan bahwa Allâh amat berat siksa-Nya, (niscaya mereka menyesal) [al-Baqarah/2:165][9]

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, beliau rahimahullah mengatakan, “Artinya, Dialah yang memiliki semua kekuatan dan keperkasaan. Dengannya, Allâh Azza wa Jalla menciptakan benda-benda yang sangat besar (di alam semesta), di langit maupun di bumi, dan mengatur semua urusan yang tampak maupun tidak tampak.

Kehendak-Nya berlaku pada semua makhluk-Nya, apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.

Orang yang berpaling dari-Nya tidak akan lepas, (karena) tidak ada sesuatupun yang luput dari kekuasaan-Nya.

Di antara (bukti) kemahakuatan dan kemahaperkasaan-Nya adalah : Allâh mampu memberikan rezki kepada semua makhluk di alam semesta, Dia mampu membangkitkan manusia pada hari kebangkitan setelah tubuh mereka hancur membusuk.

Tidak ada seorang manusiapun yang luput dari-Nya (pada hari kebangkitan) dan Dia Maha mengetahui apa yang dihancurkan oleh bumi seperti tubuh-tubuh mereka, maka Maha Suci (Allah) Yang Maha Kuat Lagi Maha Perkasa” [10] .

Diantara bukti kemahaperkasaan-Nya adalah Allâh Azza wa Jalla mampu memenangkan dan memberikan pertolongan kepada para Nabi dan pengikut mereka meskipun jumlah dan persiapan mereka sangat sedikit, sementara jumlah dan persiapan musuh-musuh mereka sangat banyak. Allâh berfirman :

كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allâh ! Dan Allâh beserta orang-orang yang sabar [al-Baqarah/2:249] [11] .

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

Allah telah menetapkan, "Aku dan rasul-rasulKu pasti menang". Sesungguhnya Allâh Maha Kuat lagi Maha Perkasa [al-Mujâdilah/58:21].

Dan diantara bukti kemahaperkasaan-Nya adalah Allâh Azza wa Jalla mampu menimpakan kebinasaan kepada orang-orang yang berbuat zhalim dan menimpakan berbagai macam azab kepada yang berbuat maksiat di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كَدَأْبِ آلِ فِرْعَوْنَ ۙ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ شَدِيدُ الْعِقَابِ

(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang sebelum mereka. Mereka mengingkari ayat-ayat Allâh, maka Allâh menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allâh Maha Kuat lagi Amat keras siksa-Nya [al-Anfâl/8:52].

Juga firman-Nya:

أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ كَانُوا مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَانُوا هُمْ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَآثَارًا فِي الْأَرْضِ فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ وَمَا كَانَ لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَاقٍ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانَتْ تَأْتِيهِمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَكَفَرُوا فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّهُ قَوِيٌّ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) peninggalan mereka di muka bumi, maka Allâh mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindungpun dari azab Allâh. Yang demikian itu adalah karena telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata lalu mereka kafir; maka Allâh mengazab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Keras hukuman-Nya [al-Mu’min (al-Ghâfir)/40:21-22].

Dan termasuk bukti kemahaperkasaan-Nya adalah Dia Maha Mampu Melakukan apa yang dikehendaki-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun yang terjadi di alam semesta ini baik berupa gerakan atau diam, tinggi atau rendah, mulia atau hina, kecuali dengan izin-Nya semata, tanpa ada yang mampu menghalangi dan mengalahkan-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya :

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allâh. Maha suci Allâh, Rabb semesta alam [al-A’râf/7:54]

Juga dalam firman-Nya :

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Apa saja yang Allâh anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allâh maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Fâthir/35:2][12] .

Juga termasuk bukti kemahakuasaan-Nya adalah berbagai bentuk adzab pedih yang disediakan-Nya bagi penghuni neraka di akhirat nanti, serta berbagai macam kenikmatan dan kesenangan yang berlimpah ruah, tidak terputus dan terus-menerus, yang Allâh Azza wa Jalla sediakan bagi penghuni surga[13] .

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-MATIIN
Keimanan yang benar terhadap nama Allâh Yang Maha Agung ini akan membuahkan dalam hati seorang hamba perasaan tunduk, merendahkan diri, takut dan selalu bersandar kepada Allâh Jalla Jalaluhu semata, serta selalu bertawakal (berserah diri), taat, memasrahkan segala urusan dan berlepas diri dari (segala) daya dan kekuatan kecuali dengan (pertolongan)-Nya.

Oleh karena itulah, kalimat zikir “LAA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH” (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya) kedudukannya dalam Islam sangat agung, serta memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menumbuhkan serta menyuburkan keimanan dalam hati seorang hamba[14] .

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, “Wahai Abdullah bin Qais (nama Abu Musa), ucapkanlah (zikir) : “LAA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH” (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), karena sesungguhnya (zikir) ini termasuk perbendaharaan surga” [15] .

Zikir ini mengandung konsekwensi ketundukan, kepatuhan, bersandar dan penyerahan diri yang seutuhnya kepada Allâh Azza wa Jalla , serta sikap berlepas diri dari semua daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Dan menyadari bahwa seorang hamba tidak memiliki sedikitpun kemampuan untuk mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan dari dirinya kecuali dengan izin-Nya. Bahkan dia tidak mampu untuk meninggalkan perbuatan maksiat untuk menggantinya dengan ketaatan, sakit menjadi sehat, lemah menjadi kuat dan kurang menjadi sempurna kecuali dengan (pertolongan-Nya). Ringkasnya seorang hamba tidak akan mampu melaksanakan semua urusan dalam kehidupannya kecuali dengan pertolongan-Nya.

Barangsiapa yang mengucapkan kalimat ini dengan benar-benar merealisasikan konsekwensinya, yaitu berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allâh, maka dia akan diberi petunjuk (oleh Allâh Azza wa Jalla), dicukupkan (dalam segala keperluannya) dan dijaga (dari semua keburukan), sehingga dia akan menjadi orang yang paling tegar hatinya dan paling baik keadaannya [16] .

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ketika keluar rumah membaca (zikir) :

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

(Dengan nama Allâh, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allâh Azza wa Jalla), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allâh Azza wa Jalla)?”[17] .

PENUTUP
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya, serta kecukupan dan penjagaan dari-Nya, sesungguhnya Dia Maha Kokoh lagi Perkasa, dan Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Setiap Muslim Akan Menghadapi Ujian Dan Cobaan



Oleh
Ustadz Sa’id Yai, Lc


لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan [Âli 'Imrân/3 : 186]

SEBAB TURUNNYA
Ayat ini diturunkan berhubungan dengan kisah yang terjadi di pemukiman al-Hârits bin al-Khazraj (Madinah) sebelum perang Badar. Kaum Muslimin ketika itu sedang berkumpul dengan kaum musyrikin dan orang-orang Yahudi. Datanglah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tempat itu dan memberi salam. Di majlis tersebut, ada 'Abdullâh bin Ubai bin Salûl, dia berkata, "Janganlah kalian mengotori kami!" Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam dan membacakan al-Qur'ân kepada mereka. 'Abdullâh bin Ubai menyahut, "Wahai lelaki! Apa yang engkau katakan bukanlah sesuatu yang bagus. Jika itu adalah sesuatu yang haq, maka janganlah kamu mengganggu kami dengan perkataan itu! Kembalilah ke hewan tungganganmu! Barang siapa mendatangimu, maka ceritakanlah perkataan itu!"

Perkataan itu sangat menyakitkan hati kaum Muslimin, sehingga terjadilah pertengkaran di majlis itu antara mereka dengan orang-orang kafir. Akhirnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan mereka. Setelah mereka tenang, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kembali ke tunggangannya dan pergi. Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat ini yang berisi perintah untuk bersabar atas gangguan-gangguan orang-orang kafir.[1]

TAFSIR RINGKAS
Syaikh 'Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata, "Allâh Azza wa Jalla mengabarkan dan mengatakan kepada kaum Mukminin bahwa mereka akan diuji pada harta mereka melalui (perintah untuk) mengeluarkan nafkah-nafkah wajib dan yang sunat serta terancam hilang harta untuk (berjuang) di jalan Allâh Azza wa Jalla . (Mereka juga akan diuji) pada jiwa-jiwa mereka dengan diberi berbagai beban berat bagi banyak orang, seperti jihad di jalan Allah atau tertimpa penyakit.

(Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati) berupa celaan terhadap kalian, agama, Kitab dan Rasul kalian … oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berkata, 'Jika kamu bersabar dan bertakwa' maksudnya, jika kalian bersabar atas segala kejadian pada harta dan diri kalian berupa ujian, cobaan dan gangguan dari orang-orang zhalim, serta kalian dapat bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dalam kesabaran itu dengan niat mengharap wajah Allâh Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan kalian tidak melampaui batas kesabaran yang ditentukan oleh syariat, maksudnya tidak boleh bersabar atau menahan diri pada saat syari’at mengharuskan membalas perlakuan musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla . (Maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan) artinya itu termasuk perkara yang harus didahulukan dan dimeraihnya dengan berlomba-lomba. Tidak ada yang diberi taufik untuk dapat melakukan ini kecuali orang-orang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi. Allah k berfirman, (artinya): 'Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.[2][3]' ."

Ujian Adalah Sunnah Kauniyah Pada Setiap Muslim
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ

Kamu benar-benar akan diuji pada hartamu dan dirimu [Âli 'Imrân/3: 186]

Ujian adalah sunnah kauniyah (ketetapan Allâh Azza wa Jalla yang pasti terjadi) bagi setiap Muslim. Seorang Muslim tidak mungkin mengelak dari ujian tersebut. Oleh karena itu, Allâh memberi penekanan pada firman-Nya لَتُبْلَوُنَّ dengan menggunakan dua huruf (yaitu huruf lam dan nun yang bertasydid, sehingga makna kalimat tersebut, kamu sungguh sungguh atau benar-benar akan diuji)."[4]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, "Firman Allâh (yang artinya), “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu” seperti firman-Nya (yang artinya) : Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 'Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn'[5] . Seorang Mukmin pasti akan diuji pada harta, jiwa, anak dan keluarganya."[6]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

ذَٰلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ

Demikianlah, apabila Allâh menghendaki niscaya Allâh akan membinasakan mereka, tetapi Allâh hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain [Muhammad/47: 4]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ عَلَى الْقَبْرِ فَيَتَمَرَّغُ عَلَيْهِ وَيَقُولُ: يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَكَانَ صَاحِبِ هَذَا الْقَبْرِ وَلَيْسَ بِهِ الدِّينُ إِلَّا الْبَلَاءُ

Demi yang jiwaku berada di tangannya! Dunia ini tidak akan fana, kecuali setelah ada seseorang yang melewati sebuah kuburan dan merenung lama di dekatnya seraya berkata, 'Seandainya aku dulu seperti penghuni kubur ini.” Bukan agama yang mendorong dia melakukan ini namun hanya ujian saja" [7]

Kekokohan Iman Dan Kadar Ujian Selalu Berbanding Lurus
Semakin kuat iman seseorang, maka ujian yang akan diberikan oleh Allâh akan semakin besar. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Sa'd bin Abî Waqqâsh Radhiyallahu anhu :

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ

“Ya Rasûlullâh! Siapakah yang paling berat ujiannya?" Beliau menjawab, "Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya” [8]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allâh mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya[9]

Mengapa Allâh Azza wa Jalla Mengabarkan Bahwa Ujian Ini Pasti Akan Terjadi?
Ada beberapa faedah yang bisa dipetik dari berita tentang kepastian ujian pada kita, di antaranya:

1. Kita akan mengetahui bahwa ujian tersebut mengandung hikmah Allâh Azza wa Jalla . Yakni, dapat dibedakan siapa Muslim yang imannya benar dengan yang tidak.
2. Kita akan mengetahui bahwa Allâhlah yang menakdirkan semua ini.
3. Kita bisa bersiap-siap untuk menghadapi ujian itu dan akan bisa bersabar serta akan merasa lebih ringan dalam menghadapinya.[10]

Ujian Tidak Hanya Dengan Sesuatu Yang Buruk
Allâh Azza wa Jalla tidak hanya menguji seseorang dengan sesuatu yang buruk. Akan tetapi, juga menguji seseorang dengan sesuatu yang baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan [al-Anbiyâ'/21 : 35]

Terkadang seorang Muslim apabila ditimpa dengan musibah dan kesusahan, ia sanggup bersabar.Namun, begitu diberi kenikmatan yang berlebih, terkadang ia tidak bisa lulus dari ujian tersebut. 'Abdurrahmân bin 'Auf Radhiyallahu anhu pernah berkata:

ابْتُلِينَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا ثُمَّ ابْتُلِينَا بِالسَّرَّاءِ بَعْدَهُ فَلَمْ نَصْبِرْ

Kami diuji dengan kesusahan-kesusahan (ketika) bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami dapat bersabar. Kemudian kami diuji dengan kesenangan-kesenangan setelah beliau wafat dan kami pun tidak dapat bersabar[11]

Ujian Adalah Rahmat Dari Allâh Azza Wa Jalla
Ujian yang diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla adalah rahmat (kasih sayang) Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia terlebih lagi untuk kaum Muslimin.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ

Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan yang bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu [Muhammad/47:31]

Dengan adanya ujian itu, akan tampak orang yang benar-benar beriman dengan yang tidak. Ini adalah rahmat dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami Telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? [al-'Ankabût/29:2]

Ujian Lain Yang Lebih Berat
Ternyata ada ujian yang lebih berat dari ujian pada harta dan jiwa. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا

Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar gangguan yang banyak yang menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allâh [Âli 'Imrân/3 : 186]

Dengan penggalan ayat di atas, dapat diketahui ujian yang lebih berat daripada ujian yang telah disebutkan. Ujian yang lebih berat dari hal-hal tersebut adalah ujian yang menimpa agama (keyakinan) kita. Kalau kita memperhatikan makna ayat yang kita bahas ini, maka kita akan menemukan bahwa Allâh Azza wa Jalla telah mengurutkan ujian-ujian tersebut mulai dari yang cobaan yang lebih ringan dan dilanjutkan ke cobaan yang lebih berat. Ujian pada harta lebih ringan daripada ujian pada jiwa. Ujian pada jiwa lebih ringan daripada ujian pada agama. Seseorang bisa saja memiliki harta yang melimpah dan badan yang sehat, tetapi jika dia keluar dari agama Islam karena tidak tahan menghadapi cemoohan, gangguan serta teror orang-orang kafir. Ini merupakan satu bentuk kerusakan yang sangat besar baginya, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang-Orang Kafir Tidak Akan Berhenti Mengganggu Kaum Muslimin
Gangguan dari orang-orang kafir, baik berupa ejekan maupun gangguan fisik, pasti akan terus ada. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Sebagian besar Ahli kitab karena kedengkian mereka menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, setelah nyata bagi mereka kebenaran. [al-Baqarah/2:109] [12]

Cara Menghadapi Segala Ujian
Allâh Azza wa Jalla tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya terbengkalai, tidak terurus. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mengajarkan kepada kaum Muslimin bagaimana cara menghadapi ujian tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan [Âli 'Imrân/3 : 186]

Menghadapi semua ujian harus dengan kesabaran dan ketakwaan. Hukum bersabar dan bertakwa dalam menghadapi ujian bukan sunat, tetapi sesuatu yang wajib dikerjakan oleh seluruh orang Muslim. Setidaknya, dalam al-Qur'ân ada enam tempat di mana Allâh Azza wa Jallak menggabungkan kata kesabaran dan ketakwaan dalam konteks yang sama. Yaitu, dalam surat Ali 'Imrân ayat 118, 125, dan 186, dalam surat Yûsuf ayat 90, dalam surat an-Nahl ayat 125 hingga 128 dan surat Thâhâ ayat 132.[13] Ini menunjukkan bahwa kesabaran memiliki hubungan yang sangat erat dengan ketakwaan.

Hasil Yang Didapatkan Dengan Bersabar
Orang yang dapat bersabar menghadapi semua ujian akan memperoleh hal-hal yang terpuji, di antaranya [14] :

1. Dia akan mendapatkan pahala seperti para nabi yang memiliki keteguhan hati (ulul-'azm).[15]

2. Dia akan mendapatkan keberkatan yang sempurna, rahmat dan petunjuk dari Allah. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: "Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." [al-Baqarah/2:157]

3. Dia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: "Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar" [Fushshilat/41: 35]

4. Dia akan mendapatkan pahala tanpa batas. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." [az-Zumar/39 : 10]

5. Dosa-dosanya akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ

Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allâh membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa [16]

KESIMPULAN DAN FAIDAH DARI AYAT
1. Ujian pada harta, diri dan agama adalah sunnah kauniyahpada setiap Muslim.

2. Orang-orang kafir akan selalu mengganggu kaum Muslimin, baik dengan perkataan ataupun perbuatan

3. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin agar mereka bersabar dan bertakwa untuk menghadapi seluruh ujian tersebut.

4. Ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) berbeda dengan kaum musyrikin. Meski demikian, mereka memiliki kesamaan, yaitu kekufuran dan tempat kembali mereka di akhirat nanti adalah neraka. Na'ûdzu billâh min dzâlik.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Meniti Ilmu Di Atas Manhaj Salaf


Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA


Manhaj Salaf,[1] merupakan satu-satunya metode pemahaman dan pengamalan agama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, jaminan mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla hanya diberikan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan). Dinyatakan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat Radhiyallahu anhum) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [at-Taubah/9:100].

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menyebutkan jaminan keridhaan-Nya bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu anhum, dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan). Artinya, yaitu mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan), ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi lainnya dalam beragama. Ringkasnya, mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu anhum dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama ini secara menyeluruh.

Tentang penafsiran ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, ialah orang-orang yang mengikuti jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat mereka yang terpuji, serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka secara diam-diam maupun terang-terangan”.[2]

MANHAJ SALAF: MANHAJ ILMU DAN AMAL
Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang terdapat pada manhaj salaf. Manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar, dan pengamalan yang baik. Seseorang yang benar-benar mengikuti manhaj ini, ia akan terbimbing dalam pemahaman agamanya, sehingga akan terhindar dari segala bentuk syubhat,[3] sekaligus terbimbing dalam pengamalan ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala bentuk syahwat (hawa nafsu, Red.).[4]

Dengan keistimewaan ini pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pensifatan terhadap petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya:

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ

Kawanmu (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak sesat (dalam ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal). [an-Najm/53:2].

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua kerusakan. Yaitu: adh-dhalâl (kesesatan),[5] dan al-ghawâyah/al-ghayy (penyimpangan).[6] Ini berarti, tedapat dua bimbingan sekaligus. Yaitu al-huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan ar-rusyd (bimbingan dalam amal). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah seorang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama ini.[7]

Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa al-khulafa` ar-râsyidîn (para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam). Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin …”.[8]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin. Artinya para khalifah yang memiliki ar-rusyd, yaitu bimbingan dalam amal (lawan dari al-ghawâyah); dan memiliki al-huda, yaitu bimbingan dalam ilmu dan pemahaman (lawan dari adh-dhalâl). Ini menunjukkan, seseorang yang benar-benar mengikuti petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn dan termasuk pula para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan, maka orang itu akan terbimbing dengan baik dalam memahami dan mengamalkan agama Islam ini.

Kita mengetahui, para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dari kalangan at-Tabi’in yang menimba ilmu secara langsung dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka tidak hanya mempelajari secara teori belaka, akan tetapi juga mempelajari cara mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.

Abu 'Abdirrahmân 'Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah as-Sulami al-Kuufi[9] berkata: “Kami mempelajari Al-Qur`ân dari suatu kaum (para sahabat Radhiyallahu anhum) yang menyampaikan kepada kami, bahwa dulunya, ketika mereka mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur`ân dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka tidak akan berpindah ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami kandungan ayat-ayat tersebut. Maka kamipun mempelajari Al-Qur`ân sekaligus cara mengamalkannya. Dan setelah kami nanti, akan datang suatu kaum yang mereka mempelajari Al-Qur`an seperti meminum air, yaitu Al-Qur`ân itu tidak melampui tenggorokan mereka (maksudnya, tidak masuk ke dalam hati mereka)”[10].

PARA ULAMA SALAF, MEREKA MERUPAKAN IMAM DALAM ILMU DAN AMAL
Jika mencermati dengan seksama biografi para imam besar Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, kita akan mengetahui, mereka tidak hanya disifati sebagai orang-orang yang mendalam ilmu agamanya saja, akan tetapi, mereka juga orang-orang yang menjadi teladan dalam ibadah dan amal shalih.

Misalnya Rabî’ bin Khutsaim al-Kûfi (wafat tahun 65 H),[11] ia merupakan salah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Lantaran ketekunannya dalam ibadah dan ketakwaan, sehingga guru beliau sendiri -Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu - memujinya dengan mengatakan: “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, maka sungguh beliau akan mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku mengingat orang-orang yang selalu menundukkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”[12]

Muhammad bin Sirin al-Bashri (wafat tahun 110 H),[13] ia seorang imam besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Di dalam biografinya diterangkan, beliau ialah seorang yang sangat wara` (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan seorang yang tekun beribadah. Abu ‘Awânah al-Yasykuri mengomentari tentang beliau: “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar; tidak seorangpun melihatnya, kecuali orang itu akan mengingat Allah”.[14]

Tsabit bin Aslam al-Bunâni al-Bashri (wafat tahun 123 H atau 127 H),[15] ia juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid senior sahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Tsabit bin Aslam sangat tekun beribadah, bahkan ia disifati sebagai orang yang paling tekun beribadah pada masanya, sehingga Anas bin Malik Radhiyallahu anhu memujinya dengan mengatakan: “Sesungguhnya, Tsabit termasuk pembuka pintu-pintu kebaikan”.[16]

Dalam memujinya, Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan”.[17]

'Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi (wafat tahun 181 H),[18] ia seorang imam besar ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in) yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Pensifatan terhadapnya, ialah sebagai orang yang pada diri beliau terkumpul semua sifat-sifat kebaikan; sampai-sampai Imam Sufyan bin ‘Uyainah memujinya dengan mengatakan: “Aku memperhatikan (membandingkan) sifat-sifat para sahabat Radhiyallahu anhum dengan sifat-sifat 'Abdullah bin al-Mubarak, maka aku tidak melihat para sahabat Radhiyallahu anhum melebihi keutamaannya, kecuali karena para sahabat Radhiyallahu anhum menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berjihad bersamanya".[19]

Begitu pula dengan Ibnu Hajar dalam Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 271), ia berkata: “Dia ('Abdullah bin al-Mubarak, Red.) adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), memiliki ilmu dan pemahaman (yang mendalam), dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Pada dirinya terkumpul (semua) sifat-sifat baik”.

Sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdaadi dalam kitab beliau, Tarikh Baghdad (9/58), dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (13/203), dalam biografi imam besar penghafal hadits yang ternama, yaitu Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani (wafat tahun 275 H), pemilik kitab Sunan Abi Dawud.

Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam mempelajari ilmu hadits sehingga diketahui sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ialah Imam Ahmad bin Hambal, beliau guru utama Imam Abu Dawud; kemudian Waqi’ bin al-Jarrah ar-Ruaasi, beliau termasuk guru utama Imam Ahmad; lalu Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, beliau merupakan guru utama Imam Waqi’ bin al-Jarrah; selanjutnya Manshur bin al-Mu’tamir, beliau termasuk guru utama Sufyan ats-Tsauri, selanjutnya Ibrahim bin Yazid an-Nakhâ`i, ialah termasuk guru utama Manshur bin al-Mu’tamir; kemudian ‘Alqamah bin Qais an-Nakhaa`i, beliau merupakan guru utama Ibrahim an-Nakhâ`i dan termasuk murid "senior' sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Selanjutnya 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliaulah yang langsung menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mereka ini, semua merupakan imam-imam besar Ahlul-Hadits yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab hadits ternama, seperti Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, dan lain-lain.

Yang menarik dari nukilan itu, bahwasanya semua imam-imam besar tersebut disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam petunjuk dan tingkah lakunya”; mulai dari Sahabat 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam petunjuk dan tingkah lakunya, kemudian ‘Alqamah diserupakan dengan 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dalam petunjuk dan tingkah lakunya, seterusnya sampai kepada Imam Abu Dawud, beliau diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk dan tingkah lakunya.

Dalam nukilan tersebut, kita mendapati para ulama Ahlus Sunnah dalam menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara teori belaka, akan tetapi juga mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teladan yang diambil dari guru-guru beliau, padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh.

NASIHAT UNTUK PARA PENGIKUT MANHAJ SALAF
Dari keterangan di atas sangat jelaslah, di antara keistimewaan terbesar yang ada pada manhaj salaf, yaitu perhatian dan kesemangatan mereka dalam mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, maka kita yang menisbatkan diri kepada manhaj ini, seharusnya berusaha untuk mengikuti petunjuk mereka, agar kita termasuk ke dalam golongan “orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan kebaikan” dan mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena kalau bukan kita – terlebih lagi para penuntut ilmu di antara kita – yang semangat mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al- Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu siapa lagi?!

Marilah kita perhatikan dengan seksama nasihat Imam al-Khatîb al-Baghdadi[20] tentang adab-adab utama yang seharusnya dimiliki oleh para penuntut ilmu. Beliau berkata, semestinya para penuntut ilmu hadits (berusaha) membedakan (antara) dirinya dengan kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnahnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. [al-Ahzâb/33:21].

Kemudian al-Khatîb al-Baghdadi membawakan beberapa atsar (riwayat) dari ulama Salaf, di antaranya ucapan Imam al-Hasan al-Bashri: “Dahulu, jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangannya”.

Juga atsar dari Imam Ahmad bin Hambal, ketika ada seorang penuntut ilmu yang bermalam di rumah beliau, maka Imam Ahmad menyiapkan air (untuk berwudhu), kemudian paginya Imam Ahmad datang kepada tamunya tersebut dan mendapati air yang beliau siapkan tidak berkurang sama sekali, maka beliau berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah)! Seorang penuntut ilmu tidak melakukan wirid (dzikir dan shalat) pada malam hari?!”

Demikianlah, petunjuk para ulama Salaf dalam menjalankan agama ini; yang kita mengaku menisbatkan diri kepada manhaj mereka, akan tetapi sudahkah kita menerapkan petunjuk mereka dalam diri kita?

Semoga tulisan ini menjadi koreksi dan penambah motivasi bagi kita untuk lebih semangat mencari ilmu yang bermanfaat, dan berusaha melatih diri mengamalkan ilmu tersebut, serta tidak lupa banyak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , agar kita diberi kemudahan dalam menempuh manhaj yang lurus ini.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mengikuti petunjuk para ulama Salaf dengan kebaikan, serta menjadikan diri kita tetap istiqamah di atas manhaj yang lurus ini sampai akhir hayat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Keutamaan Sahabat Nabi



Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari


SIAPAKAH YANG BOLEH DISEBUT SAHABAT NABI?
Ibnu Fâris rahimahullah, seorang ahli bahasa, menjelaskan dalam Mu'jamu Maqâyisil-Lughah (III/335) pasal Sha-ha-ba, mengatakan: "(Himpunan tiga huruf itu) menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan seseorang yang bersamanya. Bentuk jamaknya ialah shuhhâb sebagaimana kata râkib bentuk jamaknya rukkâb. Sama seperti kalimat أَصْحَبَ فُلاَنٌ ('ashhaba fulân), artinya menjadi tunduk'. Dan kalimat 'ashhabar rajulu, artinya jika anaknya telah berusia baligh', dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya".

Dalam Mu'jamul-Wasîth (I/507) disebutkan, "Shâhabahu, ialah râfaqahu (menemaninya), istashhaba syai'an artinya lâzamahu (menyertainya). Ash-Shâhib, ialah al-murâfiq (teman), pemilik sesuatu, pelaksana suatu pekerjaan. Dipakai juga untuk orang yang menganut sebuah madzhab atau pendapat tertentu.

الصَّحَابِيُّ (ash-Shahâbi) ialah orang yang bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beriman kepadanya, dan meninggal (wafat) dalam keadaan muslim.

Dalam kitab al-Ifshâh fil-Lughah, halaman 708 disebutkan: "Ash-shuhbah, artinya الْمُعَاشَرَةُ (al-mu'âsyarah, pergaulan)".

Tidak ada penjelasan dari pakar bahasa yang mensyaratkan penyertaan tersebut harus dalam jangka waktu tertentu atau menyebutkan batasan tertentu selain penyertaan secara mutlak, untuk jangka waktu yang lama maupun singkat. Oleh sebab itu, Ibnu Fâris t menyebutkan bahwa asal kata ash-shuhbah, maknanya penyertaan dan kedekatan.

Ibnu Taimiyyah t mengatakan dalam Majmu' Fatâwâ (IV/464):
" الصُّحْبَة Shuhbah ialah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu beriman. Derajat masing-masing ditentukan sesuai jangka waktunya dalam menyertai Rasulullah".

Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Siapa saja yang menyertai Rasulullah setahun, sebulan, sehari, atau sesaat, atau melihat beliau, maka ia termasuk sahabat Nabi. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah".[1]

Imam al-Bukhâri mengatakan dalam kitab Shahîh-nya (II/5): "Siapa saja dari kalangan kaum muslimin, yang pernah menyertai dan melihat Rasulullah, maka ia terhitung sahabat nabi".

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam al-Ihkâm (V/89) berkata: "(Yang disebut) sahabat, ialah semua orang yang telah duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meski hanya sesaat dan mendengar perkataan beliau meski hanya satu kalimat atau lebih, atau menyaksikan beliau secara langsung dan tidak termasuk kaum munafik yang sudah dikenal kemunafikannya dan mati dalam keadaan munafik. Dan tidak termasuk orang-orang yang diusir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena alasan yang patut, misalnya kaum banci dan orang-orang semacam itu. Siapa saja yang telah memenuhi kriteria tersebutm, maka ia berhak disebut sahabat. Semua sahabat termasuk (sebagai) imam panutan, insan utama dan diridhai. Kita wajib menghormati mereka, mengagungkan mereka, memohon ampunan bagi mereka dan mencintai mereka. Sebiji kurma yang mereka sedekahkan lebih utama daripada seluruh harta yang disedekahkan oleh selain mereka. Kedudukan mereka di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada ibadah kita seumur hidup; baik yang masih kanak-kanak maupun yang sudah baligh. An-Nu'mân bin Basyîr, 'Abdullah bin az-Zubair, al-Hasan dan al-Hushain bin 'Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhum masih berusia sekitar sepuluh tahun ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Adapun al-Hushain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ia masih berusia enam tahun. Mahmûd bin ar-Rabî' berusia lima tahun ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ia masih ingat semburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke wajahnya dengan air yang diambil dari sumur mereka. Mereka semua termasuk sahabat terbaik, riwayat-riwayat mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diterima sepenuhnya, baik dari kalangan pria, wanita, budak maupun orang merdeka".

Walaupun diselingi dengan kemurtadan, kemudian kembali kepada Islam, ia tetap disebut sahabat. Ibnu Hazm rahimahullah melanjutkan penjelasannya dalam kitab yang sama: "Adapun yang murtad dari Islam sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau setelah ia bertemu beliau kemudian kembali masuk Islam dan bagus keislamannya, seperti al-'Asyats bin Qais, 'Amru bin Ma'dikarib dan selainnya, maka tanpa diragukan lagi, mereka masih termasuk sahabat, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ لَكَ مِنْ خَيْرٍ

(engkau telah masuk Islam dengan membawa kebaikan yang dahulu engkau kerjakan)

Mereka semua shalih, memiliki keutamaan dan termasuk penduduk surga."

NASH-NASH YANG MENJELASKAN KEUTAMAAN SAHABAT NABI
Keutamaan sahabat Nabi, serta tingginya kedudukan dan derajat mereka merupakan perkara yang sudah dimaklumi oleh semua kalangan. Terdapat banyak dalil, baik dari Al-Qur'ân maupun Sunnah yang menerangkannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injîl; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. [al-Fath/48 ayat 29].

Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, karena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sementara itu, hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan para sahabat tidak sedikit. Dalam kitab Shahîhain, al-Bukhâri dan Muslim diriwayatkan dari hadits 'Abdullah bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ

Sebaik-baik manusia ialah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya, dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian.[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, mereka ialah sebaik-baik manusia. Akan tetapi, musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap mencela sebaik-baik manusia yang telah dipuji oleh sebaik-baik hamba yang tidak berucap dengan hawa nafsu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, kurun beliau dan kurun para sahabatnya ialah sebaik-baik kurun secara mutlak. Tidak ada kurun yang lebih baik daripada kurun mereka. Barang siapa mengatakan selain itu, maka ia termasuk zindîq (orang sesat).
Dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: "Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 'Siapakah sebaik-baik manusia?' Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: '(Yaitu) kurun, yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya'."[3]

Abu Burdah meriwayatkan dari ayahnya, bahwasanya ia berkata: Kami mengerjakan shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Selepas shalat, kami berkata: "Bagaimana kalau kita duduk menunggu untuk mengerjakan 'Isyâ bersama beliau?" Maka kami pun sepakat duduk menunggu. Lalu beliau keluar menemui kami, beliau berkata: "Apakah kalian masih di sini?" Kami menjawab: "Wahai Rasulullah, kami mengerjakan shalat Maghrib bersamamu, kemudian kami duduk menunggu di sini agar dapat mengerjakan shalat 'Isyâ bersamamu".

"Bagus, sungguh tepat yang kalian lakukan itu!" sahut beliau.

Kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit, biasanya beliau sering menengadahkan wajah ke langit. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ

"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku, jika aku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku".[4]

Anas Radhiyallahu anhu meriwayatkan, sewaktu menggali khandaq (parit pertahanan), para sahabat nabi melantunkan syair:

Kamilah yang telah membaiat Muhammad.
Untuk memegang teguh Islam selama hayat dikandung badan.
Atau mereka mengatakan: Untuk berjihad selama hayat di kandung badan.

Hammad ragu-ragu meriwayatkannya. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalasnya dengan ucapan: Ya Allah, sesungguhnya sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan akhirat. Ampunilah kaum Anshâr dan Muhâjirin[5].
Dalam lafazh lain disebutkan: Berkatilah kaum Anshâr dan Muhâjirin.
Dalam riwayat lain disebutkan: Berikanlah kebaikan bagi kaum Anshâr dan Muhâjirin.

Dalam riwayat lain pula disebutkan: Muliakanlah kaum Anshâr dan Muhâjirin.

Dalam riwayat Sahal bin Sa'ad, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui kami, sedangkan ketika itu, kami sedang menggali parit (khandaq) dan membawa tanah dengan bahu kami sendiri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Ya Allah! Sesungguhnya kehidupan yang hakiki ialah kehidupan akhirat. Berilah ampunan bagi kaum Muhâjirin dan Anshâr".[6]

Coba lihat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampunan, kemuliaan, kebaikan dan berkah untuk mereka. Anehnya, kemudian setelah itu muncul pula orang yang mencela para sahabat nabi, melaknat mereka, mengkafirkan mereka, menuding mereka munafik, dan banyak pelecehan lainnya.

Sifat-sifat buruk tersebut, sebenarnya lebih tepat untuk yang mencela mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [an-Nûr/24 ayat 63].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kita agar tidak menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menyimpang dari jalan beliau, manhaj, sunnah dan syariatnya. Semua perkataan dan perbuatan diukur menurut perkataan dan perbuatan Rasulullah. Baru bisa diterima bila selaras dengan perkataan dan perbuatan beliau, dan tertolak bila menyelisihinya. Seseorang yang mengucapkan perkataan dan mengerjakan perbuatan yang menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berarti ia termasuk yang menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia termasuk orang yang rendah dan terhina.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ ۚ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan, sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan. [al-Mujâdilah/58 ayat 5].

Di antara bentuk penentangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling keji ialah mencaci para wali-Nya. Dan wali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia setelah para nabi dan rasul-Nya, ialah para sahabat yang telah dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai Nabi-Nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PARA SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MERAIH KEISTIMEWAAN DAN KEUTAMAAN
Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma berkata: "Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad. Sesungguhnya, amal perbuatan salah seorang dari mereka sesaat, (itu) lebih baik daripada amal salah seseorang di antara kalian selama hidupnya".[7]

Kesempatan dapat menyertai dan bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan anugerah yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih di antara para hamba-Nya untuk menyertai rasul-Nya dalam menegakkan agama-Nya di muka bumi. Manusia-manusia pilihan ini, tentu memiliki kedudukan istimewa dibanding yang lain. Karena pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin keliru.

'Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata: "Barang siapa di antara kalian ingin mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang-orang yang sudah wafat. Karena orang yang masih hidup, tidak ada jaminan selamat dari fitnah (kesesatan). Mereka ialah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka merupakan generasi terbaik umat ini, generasi yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya, yang tidak banyak mengada-ada, kaum yang telah dipilih Allah menjadi sahabat Nabi-Nya dalam menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka merupakan generasi yang berada di atas Shirâthal- Mustaqîm."[8]

Beliau Radhiyallahu anhu juga berkata: "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba-Nya. Allah menemukan hati Muhammad adalah sebaik-baik hati hamba-Nya. Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati sahabat-sahabat beliau adalah sebaik-baik hati hamba. Maka Allah mengangkat mereka sebagai wâzir (pembantu-red) Nabi-Nya, berperang demi membela agama-Nya. Maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi-Nya".[9]

Dari perkataan Ibnu Mas’ûd di atas, kita dapat mengetahui beberapa keistimewaan para sahabat dibandingkan kaum muslimin lainnya. Yaitu:

1. Para sahabat Nabi merupakan generasi terbaik yang ditempa langsung oleh tangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.

2. Kedudukan seorang sahabat nabi sesaat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada amal seseorang sepanjang hayatnya.

3. Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling bersih hatinya.

4. Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling dalam ilmunya.

5. Sahabat Nabi merupakan generasi yang tidak suka mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama.

6. Sahabat Nabi merupakan generasi yang selamat dari bid’ah.

7. Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling baik akhlaknya.

8. Sahabat Nabi merupakan generasi yang dipilih Allah sebagai pendamping Nabi-Nya.

9. Para sahabat merupakan orang-orang yang beruntung mendapat doa langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]

10. Sahabat Nabi sebagai pengawas dan pengaman umat ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku, jika aku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku"[11].

11. Sahabat Nabi sebagai sumber rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami Al-Qur`ân dan Sunnah.

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي

Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah-belah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umat ini juga akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh 72 di antaranya masuk neraka, dan satu golongan di dalam surga, yakni golongan yang mengikuti pedoman yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.[12]

12. Mengikuti pedoman sahabat adalah jaminan mendapatkan kemenangan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ

"Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang). Mereka berkata: 'Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?' Ternyata ada satu orang sahabat Nabi, maka karenanya Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: 'Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?' maka karenanya Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: 'Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?' maka didapatkan satu orang, sehingga Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: 'Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?" maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka". [13]

13. Syariat mengharamkan celaan terhadap sahabat Nabi. Siapa saja yang mencela para sahabat Nabi, maka ia berhak mendapat laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Janganlah mecela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka; tidak juga separuhnya.[14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَ المَلاَئِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

Barang siapa yang mencela sahabatku, maka atasnya laknat Allah, laknat malaikat dan laknat seluruh umat manusia.[15]

14. Sahabat Nabi, mereka ialah orang-orang yang telah mendapat ridha dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [at-Taubah/9 ayat 100].

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). [al-Fath/48 ayat 18].

15. Mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti iman, dan membenci mereka berarti kemunafikan.
Ath-Thahâwi dalam 'Aqidah-nya mengatakan: “Kami (yakni Ahlus Sunnah wal-Jama’ah) menyintai sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kami tidak berlebih-lebihan dalam menyintai salah seorang dari mereka. Dan kami tidak berlepas diri dari mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan yang menyebut mereka dengan sebutan yang tidak baik. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Menyintai mereka adalah ketaatan, keimanan dan kebaikan, sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan kesesatan”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ

Tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan ialah membenci kaum Anshar.[16]

Demikian, masih banyak lagi faktor lain yang membuat mereka lebih istimewa dan lebih utama dibandingkan dengan kaum muslimin lainnya. Namun demikian, Ahlus Sunnah wal-Jama'ah juga tidak mengatakan para sahabat Nabi itu ma'shum dari kesalahan. Ahlus Sunnah wal-Jama'ah juga tidak berlebih-lebihan dalam menyikapinya sebagaimana halnya kaum Syi’ah Rafidhah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib Rdhiyallahu anhu. Bahkan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan, ialah memuliakan mereka, menjaga hak-hak mereka, memohonkan ampunan bagi mereka, dan mengucapkan doa bagi mereka dengan kalimat "radhiyallahu 'anhum (semoga Allah meridhai mereka semua).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang". [al-Hasyr/59 ayat 10].



sumber:     http://almanhaj.or.id