Tuesday, May 27, 2014

Fenomena Bertekad Taubat Ketika Hendak Bermaksiat

Fenomena Bertekad Taubat Ketika Hendak Bermaksiat



Ada fenomena ‘aneh’ pada sebagian orang. Ketika akan berbuat maksiat, sudah ditanamkan untuk taubat setelah perbuatan buruk yang ia lakukan. Dalam hatinya ia berbisik, “Nanti setelah aku melakukan maksiat ini, saya akan bertaubat”.

Memang betul, pintu taubat akan tetap terbuka sebelum matahari terbit dari arah barat. Siapa saja bertaubat kepada Allâh dengan taubat sebenarnya (taubat nashuha) dari perbuatan syirik dan perbuatan lain yang lebih rendah darinya, Allâh Azza wa Jalla akan menerima taubatnya.

Taubat nashûhâ ialah taubat yang mencakup beberapa aspek yaitu berhenti dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang diperbuat dan bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi sebagai realisasi dari rasa takutnya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya kepada Allâh Azza wa Jalla dan demi mengharap maaf dan ampunan-Nya.

Syarat sahnya taubat bertambah menjadi empat bila kesalahan seseorang berhubungan dengan hak sesama (orang lain). Yaitu dengan menyerahkan hak-hak orang tersebut yang diambil secara zhalim, baik berupa harta (yang dicuri) atau meminta dibebaskan (dihalalkan) darinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Barang siapa pernah berbuat zhalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, henadaknya meminta orang itu untuk menghalalkan kesalahannya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki kebaikan, maka sejumlah kebaikan akan diambil darinya sebanding dengan perbuatan kezhalimannya (untuk diserahkan kepada orang yang teraniaya). Apabila tidak memiliki kebaikan, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya [HR. a-Bukhâri no. 2269]

Tekad untuk bertaubat dari perbuatan dosa merupakan tekad baik yang berhak untuk dihargai. Namun ketika bisikan “bertaubat” ini justru mendorongnya untuk mengawali rencana taubatnya dengan perbuatan maksiat, ini yang perlu diwaspadai. Jika ini yang terjadi, tidak diragukan lagi, ini termasuk tipu daya setan pada diri manusia untuk memudahkan berbuat maksiat dengan dalih di kemudian hari ia akan bertaubat usai berbuat maksiat. Tidakkah si pelaku mengkhawatirkan dirinya ? Bisa saja Allâh Azza wa Jalla menyulitkan jalan bertaubat baginya, sehingga akan mengalami penyesalan yang tiada kira dan kesedihan yang tak terukur di saat penyesalan tiada berguna lagi.

Kewajiban seorang Muslim adalah menghindari perbuatan syirik dan hal-hal yang menyeret kepadanya serta menghindari seluruh perbuatan maksiat. Sebab, bisa saja ia dicoba dengan bergelimang dalam maksiat, namun tidak mendapat taufik untuk bertaubat. Oleh karena itu, ia harus selalu menjauhi seluruh perkara yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan memohon keselamatan dari-Nya, tidak menuruti bujukan setan, sehingga berani berbuat maksiat dengan menyisipkan niat di hati untuk bertaubat sebelumnya.

Simaklah firman-firman Allâh Azza wa Jalla berikut yang berisi perintah untuk selalu takut kepada-Nya, ancaman bagi siapa saja yang nekat berbuat maksiat, dan larangan mengikuti bisikan hawa nafsu dan rayuan setan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk) [al-Baqarah/ 2:40]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ

Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya [Ali ‘Imrân/3:28]

Dalam ayat yang lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ﴿٥﴾إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala [Fâthir/35:5-6]

(Diadaptasi dari Majmû Fatâwa wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Bâz, 5/410-411)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]




Menuju Masyarakat Sadar Bersyari'at


Oleh
Ustadz Zainal Abidin bin Syamsudin Lc


URGENSI PENEGAKAN SYARIAT
Tidak diragukan bahwa pengaburan dan penguburan hukum Allâh Azza wa Jalla sehingga tidak diterapkan dalam kehidupan secara umum merupakan musibah besar yang menimbulkan berbagai macam kerusakan, kedzaliman, dan kehinaan di muka bumi. Sebaliknya penegakan hukum Allâh Azza wa Jalla sebagai bentuk pengabulan terhadap panggilan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya menjadi sumber keadilan, ketenangan, stabilitas keamanan dan tumbuhnya kemajuan dan kebangkitan umat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allâh Azza wa Jalla dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. [al-Anfâl/8:24]

Ini merupakan gambaran hasil atau konsekuensi dari (pengabulan terhadap) semua seruan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya; Ini juga bentuk penjelasan akan faedah dan hikmahnya, karena hidupnya hati dan ruhani itu hanya dengan penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla semata, terus menerus taat kepada-Nya dan mentaati Rasul-Nya.[1]

Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku –semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa merahmati kita- penolakan syariat hanya murni bersumber dari mengikuti hawa nafsu yang berakibat tumbuhnya kesesatan di dunia dan berdampak pada adzab di akherat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla sedikitpun. sesung- guhnya Allâh Azza wa Jalla tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [al-Qashash/28:50]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, "Ketika manusia tidak mau menerapkan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasul dan tidak mau menjadikannya sebagai rujukan hukum, (atau) bahkan menyakini bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah saja tidak cukup, akhirnya dia menggantinya dengan ra’yu (pendapatnya), qiyâs, istihsân, dan gagasan tokoh, maka (perbuatan seperti ini) pasti akan menimbulkan kerusakan dalam fitrah mereka, keruh dalam pemahaman mereka, keganjilan dalam pola pikir mereka.[2]

Menegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla merupakan cabang tauhid paling mulia dan konsekwensi tauhid rububiyah Allâh. Sehingga penerapan hukum Allâh Azza wa Jalla menjadi bukti bahwa kekuasaan dan pengaturan Allâh Azza wa Jalla berjalan secara normal dan mutlak, maka perkara yang halal apa yang dihalalkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan perkara yang haram apa yang diharamkan Allah, dan agama adalah yang disyareatkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan tidak ada seorangpun yang boleh keluar darinya bahkan wajib mengikutinya secara mutlak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7: 3]

Sebaliknya robohnya hukum Allâh Azza wa Jalla dan matinya syariat sebagai bentuk perampasan rububiyah Allâh Azza wa Jalla dan pelecehan terhadap hak Rab alam semesta. Ini semua menjadi sumber malapetaka, kedzaliman dan ini menumbuh kembangkan sikap mengekor kepada ahli kitab, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allâh Azza wa Jalla dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allâh Azza wa Jalla dari apa yang mereka persekutukan. [at-Taubah/9:31]

Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu –salah shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam - menyangka bahwa mempertuhankan atau penyembahan terhadap orang-orang alim dan rahib-rahib mereka itu hanya terwujud dengan sebab pengajuan nadzar, sembelihan, sujud, rukuk dan semisalnya. Sehingga beliau z berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Kami dahulu tidak menyembah mereka." Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Bukankah mereka mengharamkan yang dihalalkan Allâh, lalu kalian juga mengharamkannya dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allâh, lalu kalian juga mengharamkanya ?" Beliau Radhiyallahu anhu berkata, "Ya." lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Itulah bentuk ibadah mereka kepada para mereka (para rahib).[3]

Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah memperbaiki bumi dengan datangnya utusan dan agama lalu memerintahkan (para makhluknya agar) bertauhid dan melarang membuat kerusakan di muka bumi dengan kesyirikan dan penentangan terhadap Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang merenungkan keadaan semesta alam secara baik pasti ia akan menemukan kesimpulan bahwa kedamaian di muka bumi disebabkan tegaknya tauhid, ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan mentaati Rasul; Sementara kekacauan di muka bumi baik berupa fitnah, paceklik, penjajahan musuh dan berbagai macam bencana karena menentang Rasul dan mengajak kepada ajaran selain (ajaran) Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.”[4]

REALITA PENERAPAN SYARI’AT
Pencampakan, penodaan dan penghinaan syariat Islam terjadi hampir diseluruh belahan dunia Islam baik di barat maupun di timur bahkan agama Islam perlahan-lahan lepas seutas demi seutas dari diri umat Islam seperti lepasnya ranting kering atau rontoknya dedaunan dari pohon yang kering. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keadaan ini dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَتُنْقَضَنَّ عُريَ الإِسلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتيْ تَلِيْهَا فَأَوَّلهُنَّ نَقْضًا الحُكْمُ وَ آَخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

Sesungguhnya tali Islam akan terlepas seutas demi seutas, ketika terlepas satu utus maka umat manusia berpegang tali berikutnya maka perkara yang pertama kali (urusan agama) yang terlepas adalah hukum dan yang paling akhir adalah shalat.[5]

Fenomena ini mengakibatkan, umat manusia tenggelam dan bingung dalam kegelapan undang-undang positif buatan manusia, sehingga Peradilan obyektif, keputusan dan hukuman adil hanya sebuah retorika. Yang terjadi, dalam penuntasan kasus hukum yang adil dan beradab bagi para pencari kebenaran hanya sebuah hayalan. Para penegak hukum tidak segan-segan membuat makar dalam sebuah kasus asalkan ada pelicin. Mereka bersama-sama bermain cantik menjungkirbalikkan fakta kebenaran, sehingga hasil hukum dan keputusan peradilan penuh dengan rekayasa. Ironis memang, kepandaian mengolah kata dan beradu argumen yang dianugerahkan Allâh Azza wa Jalla bukan hanya untuk merubah fakta kebenaran namun digunakan untuk merubah hukum Allâh Azza wa Jalla , sehingga mereka memakan harta manusia secara batil yang berujung pada murka Allâh Azza wa Jalla dan api neraka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضُكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ بِنَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ مِنْهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ فَلا يَأْخُذْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya kalian mengadukan (masalah hukum) kepadaku, bisa jadi di antara kalian ada yang lebih pintar bersilat lidah dari yang lainnya, sehingga aku putuskan berdasarkan yang aku dengar maka siapa yang aku ambilkan untuknya dari hak saudaranya maka janganlah mengambilnya karena sesungguhnya aku telah mengambil untuknya potongan (harta) api neraka.[6]

Demikianlah, kondisi kehidupan, para penegak hukum tidak berdaya di hadapan kekuasaan dan kekayaan, sehingga keputusan hukum dipermainkan dan diperdagangkan. Peradilan hanya untuk orang yang berduit dan berkuasa. Pedang hukum sangat tajam untuk orang-orang lemah tapi tumpul untuk para penjahat yang berharta dan bertahta, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا، إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ؛ وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kalian binasa, karena bila terdapat pencuri dari kalangan terhormat, maka mereka membiarkan dan bila terdapat pencuri dari kalangan lemah, maka mereka menegakkan hukuman atasnya, demi Allâh Azza wa Jalla andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri maka akan aku potong tangannya.[7]

Di negeri kita tercinta, fenomena ini marak terjadi, bila yang melakukan kejahatan rakyat kecil, maka pedang hukum benar-benar tajam. Namun bila yang melakukan para konglomerat, pejabat terhormat atau kalangan berduit walaupun mereka menguras harta Negara atau kejahatan mereka mengguncang dunia maka mereka dihukum sangat ringan, bahkan bisa lolos tanpa ada jerat hukum.

SYUBHAT PENOLAKAN SYARI'AT
Para musuh Allâh Azza wa Jalla telah menempuh berbagai macam usaha dan mengerahkan segala kekuatan dan pemikiran untuk mengubur hukum Allâh Azza wa Jalla di setiap negeri kaum Muslimin. Mereka menggulirkan opini sesat dan menebar issu miring tentang hukum Islam terutama hukum qishâs, cambuk, potong tangan, dan rajam yang mereka pandang biadab dan tidak manusiawi. Mereka menuduh poligami sebagai bentuk pelecehan terhadap harga diri wanita, pelanggaran terhadap hak asasi wanita, tidak mengakui kesetaraan gender dan penghinaan terhadap kepribadian wanita. Pembagian warisan dalam Islam pun tidak lepas dari penilaian buruk mereka. Mereka menilainya kurang menghormati kesetaraan gender, bentuk kedzaliman atas nama agama dan pengabaian hak-hak wanita. Semua opini-opini ini, mereka sebarkan dalam rangka memadamkan seluruh cahaya Allâh Azza wa Jalla . Namun usaha mereka tidak akan pernah berhasil. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allâh Azza wa Jalla dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. [at-Taubah/9:32]

Mereka menuduh bahwa syari'at Islam hanya untuk memenuhi kebutuhan rohani bukan untuk mengatur muamalat, peradilan, politik dan kriminal. Mereka merekayasa hukum untuk mengatur kehidupan di dunia dengan Undang-Undang buatan mereka. Padahal al-Qur’an memuat kaidah dan hukum yang terkait masalah pemerintahan dan perdagangan, peperangan, harta rampasan perang dan tawanan perang bahkan banyak nash-nash yang jelas yang membahas tentang hukum warisan, qisas, potong tangan, rajam dan cambuk serta hukum lainnya yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia.

Barangsiapa menyangka bahwa syari'at Islam hanya mengurusi ibadah mahdhah (murni), perkawinan, perceraian, pemberangkatan jamaah haji dan pengurusan jenazah saja maka ia telah mengada-ada dan berbuat kebohongan besar atas nama Allâh Azza wa Jalla . Karena orang yang tidak berhukum dengan hukum Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh masalah kehidupan, sesungguhnya mereka dalam bahaya yang sangat besar. Karena keimanan seseorang tidak dianggap benar sebelum ia mengingkari thaghut sedang orang yang berhukum kepada selain hukum Allâh Azza wa Jalla berarti telah berhukum kepada thaghut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. [an-Nisa’/4:60]

Syaikh bin Baz rahimahullah berkata, "Tidak ada iman bagi orang yang menyakini bahwa hukum buatan manusia dan gagasan makhluk lebih baik daripada hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya; atau menyamainya, atau menyerupainya, atau membolehkan hukum Allâh Azza wa Jalla digantikan dengan hukum positif atau undang-undang buatan manusia, meskipun ia menyakini bahwa hukum Allâh Azza wa Jalla lebih baik, lebih sempurna dan lebih adil.[8]

RESIKO HUKUM BUATAN MANUSIA
Tidak diragukan lagi kekufuran orang yang menganggap bahwa hukum atau undang-undang buatan manusia itu lebih cocok atau lebih bijak untuk kehidupan manusia daripada hukum Allâh Azza wa Jalla . Bahkan di antara mereka ada yang marah bila diberitahukan kepadanya tetang hukum Allah k pada suatu masalah tertentu. Sikap ini bisa ditemukan pada beberapa orang yang dibutakan hatinya dan ditulikan pendengarannya dari kebenaran.
Allâh Azza wa Jalla menafikan keimanan dari seseorang sampai dia menerima secara totalitas syariat yang diajarkan oleh Rasûlullâh sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4:65]

Syaikhul Islam rahimaahullah berkata, "Sudah dimaklumi bersama berdasarkan kesepakatan umat Islam bahwa wajib menjadikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rujukan hukum dalam setiap persengketaan, baik dalam urusan agama maupun dunia, baik dalam masalah pokok agama atau cabangnya. Wajib bagi mereka ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan suatu hukum untuk tidak punya perasaan mengganjal dan mereka harus menerima dengan sepenuh hati."[9]

Seorang Muslim yang mengikuti dan mentaati undang-undang atau hukum buatan manusia yang bertentangan dengan syari'at Allah, memandangnya lebih baik atau menghalalkannya, berarti telah terjatuh ke dalam kesyirikan sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

Dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. [al-An’âm/6:121]

Wahai umat berakal, wahai kaum cendikiawan, bagaimana kalian bisa diatur dengan undang-undang buatan manusia, sementara yang membuatnya setara dengan kalian atau lebih rendah ketimbang kalian atau sangat mungkin mereka salah. Bahkan kemungkinan salah lebih besar atau tidak pernah benar sama sekali kecuali bila mereka mau mengambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung atau melalui ijtihad. Mereka memutuskan hukum untuk mengadili kalian, baik terkait dengan darah, harta, kehormatan, keluarga dan seluruh hak-hak kalian dengan hukum buatan mereka. Apakah kalian rela mereka mengadilimu dengan hukum buatan mereka sementara mereka menolak hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya yang tidak pernah mengandung kesalahan dan tidak pernah tertimpa kebatilan.[10]

Berhukum dengan undang-undang buatan manusia adalah bentuk pelanggaran dan kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

Dan barangsiapa mendurhakai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allâh Azza wa Jalla memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. [an-Nisa’/4:14]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, "Barangsiapa menyakini bahwa selain petunjuk Nabi lebih sempurna atau hukum selainnya lebih baik seperti kalangan yang lebih mengunggulkan hukum thaghut diatas hukum Allâhk maka dia adalah kafir.[11]

Bahkan mengutamakan hukum thaghut merupakan bentuk pelecehan terhadap syari'at dan bisa menimbulkan kekufuran sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ ۖ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ ۚ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan sebab mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allâh Azza wa Jalla haramkan, mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allâh. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu, dan Allâh Azza wa Jalla tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [at-Taubah/9:37]
.
Sesungguhnya undang-undang buatan manusia bentuk agama baru yang dipaksakan sebagai ganti syari'at Islam yang indah. Mereka mengadakan seminar dan muktamar, menulis karya ilmiyah, membuat lokakarya atau pelatihan, dan mendirikan lembaga dalam rangka aktualisasi dan sosialisasi untuk menanamkan kecintaan dan loyalitas kepada undang-undang tersebut; Bahkan mereka mengagungkan dan mensucikan undang-undang yang banyak mengandung kelemahan dan kerancauan karena dibuat secara sabyektif oleh manusia yang banyak kelemahan, kecurangan dan keterbatasan. Seharusnya syari'at Allâh Azza wa Jalla menjadi hukum dan undang-undang tunggal yang mengendalikan kehidupan manusia.

BENCANA MENOLAK SYARIAT
Cukup banyak bencana dan musibah yang menimpa bangsa Indonesia dari mulai Tsunami di Aceh yeng menelan korban ratusan ribu nyawa, banjir yang silih berganti, teror bom, dan gempa bumi yang mengguncang hampir di seluruh bumi pertiwi yang mengakibatkan nyawa melayang dan kekayaan bernilai trilyunan rupiah ludes. Seharusnya semua itu menjadi bahan perenungan yang bisa menggugah kesadaran untuk bersyariat dan semakin mendekatkan diri kepada Allâh. Karena manusia yang cerdik adalah manusia yang bisa mengambil pelajaran dari musibah orang lain, sementara manusia pandir adalah orang yang baru bisa mengambil pelajaran setelah dirinya terkena musibah.

Tidaklah bencana dan adzab menimpa suatu umat atau negeri kecuali akibat dari kebodohan dan kedzaliman yang mereka lakukan, sedangkan tidak ada kedzaliman yang paling besar kecuali pelanggaran dan penodaan terhadap syari'at Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allâh, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. [al-Mâidah/5:45]

Sementara kedzliman dalam bentuk apapun termasuk karena penodaan dan penolakan terhadap hukum Allâh Azza wa Jalla pasti mendatangkan bencana dan adzab sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ

Dan Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. [Hud/11: 102].

Bencana alam bisa menimpa siapa saja karena perbuatan dzalim baik berupa kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan, kefasikan dan kemaksiatan yang ditebarkan di muka bumi sehingga Allâh Azza wa Jalla memberikan peringatan dalam firman-Nya :

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ﴿٩٧﴾أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ﴿٩٨﴾أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ﴿٩٩﴾أَوَلَمْ يَهْدِ لِلَّذِينَ يَرِثُونَ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ أَهْلِهَا أَنْ لَوْ نَشَاءُ أَصَبْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ ۚ وَنَطْبَعُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ

Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur ? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain ? Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allâh Azza wa Jalla (yang tidak terduga-duga) ? Tiada yang merasa aman dari adzab Allâh Azza wa Jalla kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)? [al’Arâf/7:97-100]

Makanya, semua umat harus ikut memberantas kebodohan, kedzaliman, kemunkaran, kemaksiatan, penodaan terhadap syari'at, dan pelecehan terhadap hukum Allah. Jika tidak, maka Allâh Azza wa Jalla akan menghancurkan orang-orang shalih bersama dengan orang-orang yang jahat dan dzalim sebagaimana firman Allâh, yang artinya, "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allâh Azza wa Jalla Amat keras siksaan-Nya. [al-Anfâl/8:25]

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma berkata, "Pernah Rasûlullâh menghadap ke arah kami dan bersabda, 'Akan terjadi lima bencana yang akan menimpa kalian dan Aku berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla semoga kalian tidak mendapatinya; tidaklah kekejian (zina) menyebar di suatu negeri melainkan Allâh Azza wa Jalla akan menimpakan penyakit wabah dan thaun yang belum pernah terjadi pada umat sebelumnya; Tidaklah mereka menahan (tidak mengeluarkan) zakat malnya melainkan Allâh Azza wa Jalla akan menahan turunnya hujan dari langit, kalau bukan karena hewan ternak maka tidak akan diturunkan hujan kepada mereka; Tidaklah mereka gemar mengurangi takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa musibah paceklik, kesulitan ekonomi dan jahatnya para penguasa; Tidaklah mereka melanggar janji Allâh Azza wa Jalla dan janji Rasul-Nya melainkan Allâh Azza wa Jalla akan menguasakan atas mereka para penjajah dan merampas sebagian dari kekayaan mereka dan para pemimpin mereka tidak berhukum dengan Kitabullah dan tidak memilih hukum terbaik dari-Nya melainkan umatnya dirundung konflik terus menerus.[12]

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa berhukum dengan hukum jahiliyah dan berpaling dari hukum Allâh Azza wa Jalla merupakan penyebab timbulnya bencana dan adzab Allâh Azza wa Jalla yang tidak bisa dibendung. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak bisa memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allâh Azza wa Jalla kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh Azza wa Jalla bagi orang-orang yang yakin ? [al-Mâidah/5:49-50]

Sikap dzalim dan melampaui batas tersebut tumbuh akibat bangga dengan kekayaan, sombong dengan status dunia, silau dengan materi dan bodoh terhadap syari'at Islam. Mereka melupakan hukum Allâh Azza wa Jalla dan melanggar norma agama. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allâh, bb semesta alam. [al-An’âm/6:44-45].

Dengan demikian, tidak ada solusi dan jalan keluar yang paling tempat kecuali menegakkan syari'at, menerapkan hukum Allâh Azza wa Jalla di tengah kehidupan, menghidupkan sunnah Nabi dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan Allâh Azza wa Jalla sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allâh Azza wa Jalla akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. [al-Anfâl/8: 33]

Oleh karena itu, renungkanlah uraian Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam mengkaitkan antara gempa bumi dengan dosa manusia, "Pada saat angin bertiup kencang dan masuk ke dalam rongga bumi maka akan menimbulkan gas panas lalu melahirkan tekanan angin namun karena angin tersebut tidak terhambat maka terkadang Allâh Azza wa Jalla mengizinkan bernafas maka terjadilah gempa besar. Yang demikian itu agar tumbuh dalam diri para hamba Allâh Azza wa Jalla rasa takut, inâbah (taubat), melepaskan dirinya dari maksiat, berserah diri kepada-Nya dan menyesali segala dosa-dosanya. Oleh karena itu sebagian Ulama salaf berkata, "Pada saat terjadi gempa bumi berarti Rabbmu telah menegur kalian. Ketika terjadi gempa bumi maka Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkhutbah dan menasehati kaum Muslimin dengan perkataan beliau Radhiyallahu anhu , "Jika terjadi gempa bumi lagi maka aku tidak mau tinggal bersama kalian di tempat ini (Madinah).[13]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir as-Sa’di, hlm. 318.
[2]. al-Fawaid, Ibnu Qayyim, 75.
[3]. Shahih diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3095) dan dihasankan Syaikh al-Bani dalam Ghâyatul Marâm (6).
[4]. Tafsir Al Qayyim, Ibnu Qayyim halm. 255.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya (5/ 251), Imam Hibban dalam Shahihnya (8/ 253) dan Imam al-Hakim dalam Mustadraknya (7022) dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (5076).
[6]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (2680), Imam Muslim dalam Shahihnya (1713), Imam Abu Daud dalam Sunannya (3583), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (1339) dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (26497).
[7]. Shahih diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam Shahihnya (3475), Imam Muslim dalam Shahihnya (1688), Imam Abu Daud dalam Sunannya (4373), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (1430), dan Imam Nasa’i dalam Sunannya (4917)
[8]. Lihat Afa Hukmal Jahiliyah Yabghuun, Syaikh Bin Baz, hlm. 13.
[9]. Lihat Majmû Fâtâwâ Ibnu Taimiyah, 7/37-38.
[10]. Lihat Fatâwâ wa Rasâil Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu Syaikh, 12/ 290.
[11]. Lihat Syarah Nawaqidul Islam, Syaikh Shalih Fauzan, hlm. 96.
[12]. Shahih riwayat Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (4019) dan dishahihkan Syaikh al-Bani
[13]. Lihat Miftah Darus Saadah, 1/ 265.
 

http://almanhaj.or.id/
 

No comments:

Post a Comment