Saturday, March 22, 2014

PERDAMAIAN ITU LEBIH BAIK

PERDAMAIAN ITU LEBIH BAIK

Oleh
Syaikh Dr. Su’ud asy-Syuraim –hafidzahullah–


Kaum Muslimin rahimakumullâh
Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, sesungguhnya taqwa kepada Allâh Azza wa Jalla adalah bekal terbaik bagi setiap orang yang mengharap rahmat-Nya. Dengan taqwa, seseorang akan mendapatkan rezeki dari arah yang tidak disangka dan dia akan mendapatkan kemudahan setelah kesusahan, dan kelapangan setelah kesempitan. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

"Ingatlah sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih) Allâh itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)mereka bersedih hati.(Yaitu ) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. [Yunus/10: 62 – 63]

Kaum Muslimin rahimakumullâh
Sesungguhnya pengetahuan manusia, keinginan, dan watak mereka itu berbeda-beda meskipun mereka berasal dari bapak dan ibu yang sama (yaitu Nabi Adam dan Hawa). Dan sebenarnya ini merupakan ujian, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

Dan kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? dan adalah Tuhanmu Maha Melihat. [al-Furqân/25:20]

Sebagian orang ada yang berkepribadian bijak, arif dan penuh toleran. Dia tidak mudah emosi dengan sedikit kalimat yang dia dengar.

Sebagian lagi, ada juga yang ceroboh, nekat, mudah tertipu, tidak sabar, mudah tersulut perkataan lalu berlaku konyol. Lisan dan tindak-tanduknya mendahului akalnya.

Kaum Muslimin rahimakumullâh
Seorang Mukmin adalah seorang juru damai yang agung, yang bisa menghimpun bukan memecah belah, yang memperbaiki bukan merusak; Bijak dalam mendamaikan pihak yang bertikai. Dan sebagai imbal baliknya, banyak orang yang mendoakan kebaikan untuknya dan memujinya karena dia telah mendamaikan dan menyelamatkan dari perpecahan.

Orang yang memperhatikan realita saat ini, dia akan dapati adanya keretakan yang menggores kemurnian kecintaan dan jalinan persaudaraan. Hal ini nampak dari hawa nafsu yang dituruti, kebakhilan dan ketamakan yang diikuti, dan kebanggan terhadap pendapat sendiri.

Sungguh benar Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ

Sesungguhnya syaitan telah putus asa dari (mendapatkan) penyembahan dari orang-orang yang shalat di jazirah arab, akan tetapi dia akan selalu mengadu domba di antara mereka. [HR. Muslim no. 2812]

Ketika terjadi pertengkaran dan pertikaian, maka perdamaian menjadi suatu yang sangat terpuji. Jika perselisihan adalah keburukan, pertengkaran dan pertikaian adalah aib, maka sebaliknya, perdamaian dan usaha mendamaikan adalah sebuah rahmat. Meski perbedaan pendapat pada manusia adalah hal yang telah digariskan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِين

Jikalau Rabbmu menghendaki , tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. [Hud/11:118]

Namun Allâh mengecualikan darinya orang-orang yang mendapat rahmat-Nya.

إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. [Hud/11:119]

Perdamaian yang terwujud pada umat akan menjadikannya indah, namun jika hilang maka berbagai buruk tidak akan terhindarkan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

Dan perdamaian itu lebih baik [an-Nisâ/4:128]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

Sebab itu bertaqwalah kepada Allâh dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu. [al-Anfâl/8:1]

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia. [an-Nisâ/4:114]

إِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. [al-Hujurât/49:9]

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara. [al-Hujurât/49:10]

Dan sungguh tidak ada di dunia juru damai yang sekelas dengan Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mendamaikan suku-suku, antar individu-individu dan kelompok masyarakat. Beliau juga mendamaikan pasangan suami-istri, dua orang yang berutang-piutang, dan juga juru damai dalam penegakkan hak harta, nyawa dan kehormatan. Bagaimana tidak, padahal beliau sendiri bersabda :

أَلاَ أُخْبِركُمُ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّياَمِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ؟ قَالُوْا: بَلَى، قَالَ: صَلاَحُ ذَاتِ البَيْنِ؛ فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتِ البَيْنِ هِيَ الحَالِقَةُ

Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah ? Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasûlullâh.” Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak agama)”. [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi]

Disebutkan di dalam sebuah hadits:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَهْلَ قُبَاءَ اقْتَتَلُوْا حَتَّى تَرَامَوا بِالْحِجَارَةِ، فَأَخْبَرَ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ، فَقَالَ: اذهبُوا بنا نُصلِح بينهم

Dari Sahal bin Sa'ad Radhiyallahu anhu bahwa penduduk Quba' telah bertikai hingga saling lempar batu, lalu Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam dikabarkan tentang peristiwa itu, maka beliau bersabda: Mari kita pergi untuk mendamaikan mereka. [HR. Bukhari]


Wahai kaum muslimin, semoga Allâh selalu menjaga kita semua.
Sesungguhnya perdamaian termasuk diantara sebab munculnya rasa cinta dan perekat keretakan. Terkadang perdamaian itu lebih baik daripada hukum yang diputuskan hakim. Dalam perdamaian, ada pahala dari Allâh Azza wa Jalla dan ada dosa yang dihapuskan. Termasuk didalamnya, pertikaian dalam rumah tangga.

Namun untuk kita sadar bersama, bahwa semua upaya damai itu tidak akan terwujud kecuali dibarengi keinginan kuat yang nyata serta niat tulus dari semua pihak, antara juru damai dan yang didamaikan. Karena Allâh Azza wa Jalla mengaitkan perdamaian itu dengan adanya kemauan yang baik dari semua pihak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufiq kepada suami – istri itu. [an-Nisâ/4:35]

Suatu ketika, Imam Hasan al Bashri rahimahullah didatangi oleh dua orang yang bertikai dari Tsaqif. Lalu sang Imam berkata, “Kalian berdua masih satu kelompok dan satu kerabat, (kenapa) masih saja bertikai ?” Mereka menjawab, “ Wahai Abu Sa’id, kami hanya ingin damai.” Beliau rahimahullah berkata, “Ya. Kalau begitu kalian bicaralah!” Akan tetapi keduanya malah saling melempar tuduhan dusta ke lawannya. Melihat ini, sang Imam menjawab, “Demi Allâh ! Kalian dusta ! Bukan perdamaian yang kalian inginkan, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufiq kepada suami – istri itu. [an -Nisâ/4:35]

Oleh karenanya bertakwalah wahai para hamba Allâh ! Sudahi dan hentikanlah pertengkaran dan pertikaian, terutama yang disebabkan hal-hal remeh.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan ) Allâh. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. [asy-Syûrâ/42:40]

Semoga Allâh Azza wa Jalla memberkahi saya dan anda semuanya dengan al-Qur’an dan mencurahkan manfaat dari isinya berupa ayat-ayat dan hikmahNya yang Maha Bijak. Itulah yang aku ucapkan, jika itu benar maka kebenaran dari Allâh. Jika ada yang salah maka dari diri saya sendiri dan dari syetan. Dan aku beristighfar kepada Allâh, sesungguhnya Ia Maha Pengampun.

(Khutbah jum’at Syaikh Dr. Su’ud asy-Syuraim –hafidzahullah– dengan judul “ash-Shulhu Khair (Perdamaian Itu Lebih Baik)”, di Masjidil Haram pada tanggal 12-02-1433 H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

SHAHIH AL-BUKHARI DALAM PANDANGAN ULAMA

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Fenomena kemunculan orang-orang yang mengaku sebagai pembaharu dan intelektual yang menggugat dan merendahkan kedudukan Shahîh al-Bukhâri, ditambah lagi dengan ketidaktahuan sebagian kaum Muslimin terhadap sumber rujukan besar dalam mengenal islam ini menjadikan masalah ini sangat perlu dipaparkan kepada khalayak ramai. Apalagi menyebarnya agama syi’ah yang banyak menggugat dan mempertanyakan hadits-hadits dalam kitab Shahîh al-Bukhâri ini bahkan tidak mengakui keberadaannya.

KEDUDUKAN KITAB SHAHIH AL-BUKHARI
Kitab yang memiliki nama lengkap al-Jâmi’ ash-Shahîh al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi karya al-Imam al-Bukhâri dikenal khalayak ramai dengan Shahîh al-Bukhâri. Kitab ini memiliki kedudukan tinggi dan penting serta memiliki kekhususan yang tidak dimiliki karya-karya tulis lainnya. Hampir semua tempat yang tersentuh dakwah islam mesti di sana ada kitab Shahîh al-Bukhâri.

Kitab ini adalah pendorong penting umat islam untuk menggelari beliau rahimahullah dengan gelar Imam Muhadditsîn dan amîrul Mukminin dalam hadits. Belum ada karya seorang ulamapun yang mendapatkan keutamaan dan sambutan seperti kitab Shahîh al-Bukhâri ini.

Syeikh Abdussalâm al-Mubarakfûri rahimahullah menyifati kitab ini dengan pernyataan beliau rahimahullah , "al-Jâmi’ ash-Shahîh adalah sebuah kitab yang seandainya kita berusaha menyusun sejarahnya dan menjelaskannya dari semua sisi, tentu akan membutuhkan berjilid-jilid tebal kitabnya. [Sirah al-Imam al-Bukhâri, hlm. 159].

Sedemikian tinggi dan pentingnya Shahîh al-Bukhâri ini sehingga al-‘Allâmah Ibnu Khaldun rahimahullah menyatakan, "Sungguh aku telah mendengar para guru kami –Rahimahumullâhu- menyatakan, "Syarah (penjelasan) kitab al-Bukhâri adalah hutang yang ditanggung umat ini. [Muqaddimah ibnu Khaldun 3/1142 Dinukil dari Sirah al-Imam al-Bukhâri, hlm. 159]

Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah abad ke-8 yang wafat diawal abad ke-9 dan menyelesaikan kitab Muqaddimahnya pada tahun 779 H. Beliau rahimahullah menyampaikan pernyataan ini sesuai dengan pengetahuan yang sampai padanya. Oleh karena itu imam Abul Khari as-Sakhâwi rahimahullah salah seorang murid imam Ibnu Hajar rahimahullah ketika mengomentari kitab Fathul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri menyatakan, “Seandainya Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarah shahîh al-Bukhâri hingga sekarang adalah hutang yang ditanggung umat ini membaca kitab ini tentu akan senang dan mengakui (hutang) itu sudah tertunaikan dan cukup” [at-Tabar al-Masbûk, hlm. 231. Lihat kitab Ibnu Hajar wa Dirasatuhu, karya DR. Syâkir Muhammad Abdulmun’im, hlm. 323]

Demikianlah kitab Shahîh al-Bukhâri ini mendapatkan sambutan dari umat Islam. Kitab ini sebelumnya telah dikritisi dan diteliti oleh para Ulama baik dimasa beliau masih hidup maupun setelah beliau rahimahullah wafat. Diantara Ulama yang mengkritisi hadits-hadits yang ada dalam Shahîh al-Bukhâri adalah al-Imâm ad-Daraquthni dalam kitab at-Tatabbu’ wal Ilzâmât. Namun akhirnya umat islam menerimanya sebagai kitab paling Shahîh setelah al-Qur’an.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengungkapkan, "Para ulama –rahimahumullâhu- telah sepakat menyatakan bahwa kitab yang paling Shahîh setelah al-Qur`an adalah ash-Shahîhain ; Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim. Ummat telah menerima keduanya dengan baik. Kitab Shahîh al-Bukhâri adalah yang tershahîh dari keduanya dan lebih banyak mengandung faedah dan pengetahuan, baik yang nampak maupun masih samar. Memang benar bahwa imam Muslim dahulu termasuk yang mengambil faedah dari al-Bukhâri dan mengakui bahwa al-Bukhâri tiada tandingannya dalam ilmu Hadits. Semua yang telah kami sampaikan berupa tarjîh kitab Shahîh al-Bukhâri adalah madzhab terpilih yang menjadi pendapat mayoritas Ulama pakar dan ahli dalam masalah-masalah detail hadits. [al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim 1/14. Lihat Fiqhud Dakwah min Shahîh al-Bukhâri, 1/28]

Pernyataan imam Nawawi rahimahullah ini sudah cukup untuk menunjukkan betapa tinggi dan penting kedudukan Shahîh al-Bukhâri.

Kedudukan ini selain karena izin dan anugrah dari Allâh Azza wa Jalla, juga tidak lepas dari sebab ketakwaan dan kehati-hatian beliau rahimahullah dalam memasukkan hadits-hadits ke dalam kitab ini. Beliau rahimahullah tidak memasukkan satu hadits kecuali setelah mandi dan shalat dua rakaat. Ini disampaikan Abul Haitsâm al-Kasymihani setelah mendengar Muhammad bin Yusuf al-Farabri t menyatakan, "al-Bukhâri t pernah menyatakan, 'Aku tidak meletakkan satu hadits dalam kitab as-Shahîh kecuali aku mandi sebelumnya dan shalat dua rakaat. [Hâdi as-Sâri, Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489]

Syeikh Abdussalâm al-Mubârakfûri rahimahullah menyampaikan juga pernyataan orientalis barat bernama Tomas William Bill yang menyatakan, "Shahîh al-Bukhâri dimuliakan melebihi kitab apapun juga setelah al-Qur`an dan dijadikan sandaran dalam urusan ruhani dan keduniaan."

Tomas juga menyatakan, "Kitab ini tidak hanya memuat wahyu yang turun kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ilham, perbuatan dan perkataan beliau saja, bahkan bersamanya juga berisi tafsir mayoritas bagian yang sulit dalam al-Qur`an. [lihat Sîratul Imâm al-Bukhâri, hlm. 163]

MASA PENYUSUNANNYA
Al-Imam al-Bukhâri rahimahullah telah menyusun kitabnya secara sungguh-sungguh dan teliti selama enam belas tahun sehingga menjadi seperti yang kita lihat dan baca hari ini. Kesungguhan dan ketelitian ini disampaikan sendiri oleh imam al-Bukhâri dan juga dari para Ulama lainnya.

Al-Warâq menyampaikan pernyataan imam al-Bukhâri, "Aku susun kitab al-Jâmi’ dari enam ratus ribu hadits dalam waktu enam belas tahun." (Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489). Juga Ibnu ‘Adi menyampaikan berita dari beberapa guru beliau bahwa imam al-Bukhâri menyusun judul bab dalam shahihnya antara kuburan Nabi dengan mimbarnya dan beliau shalat dua rakaat untuk setiap judul babnya. [Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489]

Demikian juga al-Warâq menceritakan bahwa suatu ketika beliau bersama imam al-Bukhâri ketika beliau menyusun kitab at-Tafsîr (salah judul dalam shahihnya) dan beliau dapati imam al-Bukhâri shalat di satu malam hingga lima belas sampai dua puluh kali.

Berita-berita ini menunjukkan kesungguhan dan konsentrasi beliau rahimahullah dalam menyusun kitab Shahihnya ini. Setelah tersusun beliau rahimahullah tidak lupa menyampaikanya kepada para guru beliau untuk dilihat dan dikoreksi serta mengambil arahan dan bimbingan mereka.

Abu Ja’far al-‘Uqaili berkata, "Ketika al-Bukhâri menyusun kitab Shahîh, beliau menyerahkannya kepada Ali Ibnu al-Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in dan yang lainnya. Lalu mereka menerima kitab tersebut dengan baik dan memastikan keshahihannya kecuali empat hadits." al-'Uqaili menyatakan, "Yang benar dalam hal ini adalah pendapat al-Bukhâri dan keempat hadits tersebut shahih. [Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489]

PERHATIAN ULAMA TERHADAP KITAB INI[1]
Urgensi kitab Shahîh al-Bukhâri begitu jelas, sehingga para Ulama sejak dahulu memberikan perhatian besar, baik dengan membacakan dan mengajarkannya, meringkasnya atau menulis penjelasan (syarah)nya.

Semua ini terbukti dengan banyaknya karya tulis seputar kitab shahîh al-Bukhâri. Diantaranya adalah:

1. Mereka yang meringkas kitab Shahîh al-Bukhâri :
• Jamaluddin Ahmad bin Umar al-Anshâri al-Qurthubi, wafat tahun 656 H dalam kitab Mukhtashar Shahîh al-Bukhâri

• Zainuddin Ahmad bin Ahmad bin Abdillathif asy-Syarji az-Zabîdi, wafat tahun 894 H dalam kitab at-Tajrîd ash-Sharîh li Ahâdîts al-Jâmi’ ash-Shahîh

• Abdullah bin Sa’ad bin Abi Jamrah al-Azdi, wafat tahun 675 H dalam kitab an-Nihâyah fi Bad`i al-Khair wal Ghâyah

2. Mereka yang mensyarah judul bab (Tarâjum al-Bâb), Diantaranya :
• Imam Nashiruddin Ahmad bin al-Munayyir dalam kitab al-Mutawâri ‘ala Tarâjum al-Bukhâri.

• Muhammad bin Manshûr bin al-Hamâmah al-Maghribi dalam kitab Fakku Aghrâdhi al-Bukhâri al-Mubhamah fil Jam’i bainal Hadîts wat Tarjamah

• Abu Abdillah ibnu Rasyid as-Sibti dalam kitab Turjamân at-Tarâjum

• Asy-Syâh Waliyullahi ad-Dahlawi dalam kitab Syarah Tarâjum Abwâb Shahîh al-Bukhari

3. Mereka yang mensyarah kitab Shahîh al-Bukhâri, diantaranya :
• Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Busti al-Khathâbi (wafat tahun 308 H) dalam kitab I’lâm as-Sunan

• Muhallab bin Abi Shafrah al-Azdi (wafat tahun 435 H) dalam kitab Syarh al-Muhallab

• Abu Abdillah Muhammad bin Khalaf al-Murâbith (wafat tahun 485 H) dalal kitab Mukhtashar Syarh al-Muhallab

• Ibnu Abdilbarr Abbu Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdilbarr (Wafat tahun 463 H) dalam kitab al-Ajwibah ‘ala al-Masâ`il al-Musta’ribah Minal Bukhâri

• Abul Hasan Ali bin Khalaf bin Abdilmalik Ibnu Bathâl (wafat tahun 449 H) dalam Syarah Ibnu Bathâl

• Abu Hafsh Umar bin al-Hasan bin Umar al-‘Auzi al-Isybili (wafat tahun 460 H) dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri

• Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Karmâni wafat tahun 786 H dalam kitab al-Kawâkib ad-Darari

• Sirajuddin Umar bin Ali bin Ahmad Ibnu al-Mulaqqin wafat tahun 804 H dalam kitab Syawâhidut Taudhîh

• Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad al-halabi Sibthi ibni l’Ajmi wafat tahun 837 H dalam kitab at-Talqîh li Fahmil Qâri ash-Shahîh

• al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni wafat tahun 852 H dalam Fathul Bâri Syarhu Shahîh al-Bukhari

• Abul Hasan Ali bin Husein bin ‘Urwah al-Mushili wafat tahun 837 H dalam kitab al-Kawâkib as-Sâri fi Syarhil Jâmi’ ash-Shahîh lil Bukhâri

• Badruddin Abu Muhammad Mahmûd bin Ahmad al-‘Aini wafat tahun855 H dalam kitab ‘Umdatul Qâri

• Syihabudin Ahmad bin Muhammad al-Khathîb al-Qusthalâni wafat tahun 923 H dalam kitab Irsyâdus Sâri

Demikian selintas perhatian Ulama terhadap kitab Shahîh al-Bukhâri. Semoga dapat memotivasi kita untuk mengenal lebih jauh dan mempelajarinya.
Wabillahitaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: http://almanhaj.or.id/

1 comment: