Saturday, December 7, 2013

Bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Membaca Al-Qur`ân



Bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Membaca Al-Qur`ân



Tentang Al-Qur`ân, selain menyampaikan kandungan maknanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyampaikan cara membacanya yang baik dan benar. Tak terhitung berapa banyak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bacaan Al-Qur`ân kepada para sahabat. Sebab, aktifitas shalat tidak lepas dari bacaan yang dikeraskan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memeritahkan Rasul-Nya untuk membaca Al-Qur`ân dengan tartil. Maksudnya, semaksimal mungkin memperjelas bacaannya. Demikian keterangan Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhuma. Dari situ, para ulama bersepakat sunnahnya membaca Al-Qur`ân dengan tartil. [At-Tibyân, hlm. 93].

Ummul-Mu`minin Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menceritakan cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Qur`ân.

Katanya: "Nabi memutus-mutus bacaannya. Beliau membaca الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ" dan berhenti. Kemudian membaca الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ dan berhenti ……".

Demikianlah sifat bacaan Al-Qur`ân beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berhenti di setiap akhir ayat, tidak menyambungnya dengan ayat selanjutnya.[2]

Bacaan yang sekarang diistilahkan dengan mad wajib muttashil, beliau membacanya dengan panjang. Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu pernah mengajarkan kepada seorang laki-laki membaca. Orang itu membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ

dengan pendek. Maka Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu menegur: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membacakannya seperti itu kepadaku".

Lelaki itu bertanya: "Bagaimana beliau membacakannya kepadamu, wahai Abu 'Abdir-Rahmân?"

Lantas Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu membacanya dengan panjang. [Ash-Shahîhah, no. 2237].[3]

Seberapa tinggikah suara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat membaca Kalamullah? Dalam hal ini, 'Abdullah bin Abi Qais Radhiyallahu anhu pernah menanyakannya kepada 'Aisyah Radhiyallahu anhuma : "Apakah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengecilkan suara atau mengeraskannya?"

'Aisyah Radhiyallahu anhuma menjawab: "Semua itu pernah dilakukannya. Terkadang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecilkan suaranya, dan suatu waktu mengeraskan suaranya (dalam membaca Al-Qur`ân)".

Aku berkata: "Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadikan kelonggaran pada masalah ini". [Mukhtashar Syamâ`il, no. 271].

Suatu kali, 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu pernah diminta oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membacakan surat di hadapannya. Tak pelak lagi, jika hati sahabat itu dipenuhi rasa keheranan, kenapa diminta membacakan Al-Qur`ân oleh insan yang Al-Qur`ân diturunkan kepadanya?! Untuk menepis kebingungan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي

Sesungguhnya aku suka mendengarkannya dari selainku

Fakta juga menunjukkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca satu ayat dengan diulang-ulang. Peristiwa ini diberitakan oleh Mu'awiyyah bin Qurrah Radhiyallahu anhu. Dia sempat menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Fathu ayat 1-2 pada hari penaklukan kota Makkah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dan mengulang-ulanginya. Mu'awiyyah bin Qurrrah lantas berkata: "Kalau seandainya orang-orang tidak berkumpul mengelilingiku, niscaya aku akan menirukan suara atau gaya bacaannya". [Mukhtashar asy-Syamâ`il, no. 273].

Tujuan utama dalam membaca Al-Qur`ân, yaitu untuk tadabbur, supaya berpengaruh secara positif bagi keimanan yang membacanya. Bukan sekedar untuk berlomba. Dan juga, lantaran membaca Al-Qur`ân termasuk dzikir yang paling afdhal. Maka seyogyanya seseorang menekuninya, tidak melewatkan satu hari dan malam tanpa lantunan ayat-ayat Al-Qur`ân dari bibirnya. [Shahîh al-Adzkâr an-Nawawiyyah, 110].

Wallahul Muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Berhenti di setiap akhir ayat. Lihat Syaikh al-Albâni dalam Mukhtashar Syamâ`il.
[2]. Shifatu Shalatin-Nabiyyi, hlm. 68. Selanjutnya Syaikh al-Albâni berkata: "Ini merupakan sunnah yang belakangan ini telah ditinggalkan kebanyakan para qaari, apalagi orang-orang selain mereka".
[3]. Dengan hadits ini, Imam Ibnul Jazari rahimahullah memandang wajibnya memanjangkan mad muttashil, seperti bentuk kata di atas Lihat ash-Shahîhah, 5/280.


KEUTAMAAN BELAJAR DAN MENGAJARKAN AL-QUR'AN


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur`ân dan mengajarkannya [HR. al-Bukhâri 5027 dari 'Utsmân bin 'Affân Radhiyallahu anhu]

Penjelasan:
Hadits ini tertuju kepada seluruh umat Islam. Sebaik-baik orang adalah insan yang memadukan dua hal di atas, belajar al-Qur`ân dari orang lain dan mengajarkannya kepada orang. Belajar dan mengajar ini mencakup aspek lafzhi (bacaan) dan maknawi. [Syarah Riyâdhus Shâlihîn, Syaikh al-'Utsaimîn dengan ringkas]

Mutiara hadits:
1. Al-Qur`ân adalah ilmu yang paling utama dan terpenting.
2. Belajar al-Qur`ân dan mengajarkannya serta menjelaskan makna dan hukum-hukumnya termasuk ibadah yang utama.
3. Sifat orang Mukmin, menghimpun manfaat individu dan sosial (Fadhâilul-Qur`ân Ibnu Katsîr 84).
4. Berdakwah dapat dilakukan dengan banyak cara. Termasuk di dalamnya, mengajarkan al-Qur`ân yang merupakan cara yang paling mulia. (al-Fath , 9/76)
5. Mengajarkan al-Qur`ân merupakan kesibukan generasi Salaf disamping menjalankan kesibukan-kesibukan lainnya.
6. Mengajarkan al-Qur`ân hukumnya fardhu kifâyah, bila sudah ada yang mengerjakan, yang lain gugur kewajibannya. (at-Tibyân,33)
7. Seorang pencari ilmu memulai belajar dan menghafal al-Qur`ân terlebih dahulu.
8. Generasi Salaf tidak mengajarkan hadits maupun fikih kecuali kepada orang yang sudah hafal al-Qur`ân. (al-Majmû' 1/38)
9. Imam Nâfi rahimahullah salah seorang imam qir`âh sab'ah mengajarkan al-Qur`an lebih dari 70 tahun.

Wallâhu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Perhatian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Terhadap Shalat Dua Rakaat Sebelum Subuh



Shalat-shalat sunnat rawâtib (shalat yang menyertai shalat fardhu) tidak sama keutamannya. Shalat sunnat Subuh lah yang menempati urutan teratas. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya meski beliau berada dalam perjalanan. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa perhatian dan konsistensi beliau paling besar pada shalat sunnat Subuh. Oleh sebab itu, beliau tidak pernah melupakannya, baik saat berada di rumah ataupun bepergian.[1]

Ummul Mukminîn, 'Aisyah Radhiyallahu anhuma menceritakan:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ عَلَى شَيْئٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ تَعَاهُداً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ

Nabi tidak pernah menjaga shalat sunnat melebihi perhatian beliau terhadap dua rakaat sebelum Subuh [Muttaqa 'alaih]

Hadits ini menunjukkan semangat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memelihara dua rakaat ini daripada shalat sunnat yang lain.

Dalam shalat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankannya dengan ringan, tidak lama. Di rakaat pertama, beliau membaca surat al-Kâfirûn. Sementara di rakaat terakhir, membaca surat al-Ikhlâsh. Dua surat yang memuat tauhid 'ilmi dan 'amali. Makna yang tersirat di dalamnya adalah agar saat memulai harinya, seorang Muslim telah mengikrarkan berlepas diri dari syirik dan kaum musyrikin dan sebaliknya, yaitu menyatakan kebanggaannya terhadap tauhid dan kaum muwahhidîn (orang-orang yang bertauhid). Ini karena shalat sunnat Subuh, seperti dikatakan Syaikhul Islam rahimahullah, laksana pembuka amaliah seorang Muslim.[2]

Untuk memotivasi umat agar menjalankan sunnah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan besarnya keutamaan ibadah shalat dua rakaat sebelum Subuh ini. Maka, rugilah orang yang melalaikannya, apalagi sampai tidak pernah mengerjakannya sama sekali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مَنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

Dua rakaat (sebelum) Subuh lebih baik daripada dunia seisinya [HR. Muslim].

Dalam riwayat lain,

لَهُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مَنَ الدُّنْيَا جَمِيْعًا

Dua rakaat itu lebih aku cintai ketimbang seluruh dunia [HR. Muslim]

Demikianlah pahala besar yang telah dijanjikan Allah k bagi orang yang menjalankan ibadah shalat sunnat Subuh. Siapa yang mau menyambutnya? Wallâhu a'lam

Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
______
Footnote
[1]. Zâdul Ma'âd (1/304)
[2]. Lihat Zâdul Ma'âd (1/306-307), Bahjatun Nâzhirîn (2/294)

KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWATIB

عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ قَالَتْ أَمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ

Dari Ummu Habîbah Radhiyallahu anhuma , istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang hamba yang Muslim melakukan shalat sunnat karena Allah, (sebanyak) dua belas raka`at dalam setiap hari, kecuali Allah Azza wa Jalla akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga". (Kemudian) Ummu Habîbah Radhiyallahu anhuma berkata: “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut”. [1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat sunnah rawatib, sehingga Imam an-Nawâwi rahimahullah mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama dalam bab keutamaan shalat sunnat rawatib (yang dikerjakan) bersama shalat wajib (yang lima waktu), dalam kitab beliau "Riyâdhus Shâlihîn"[2] .

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini adalah:
1. Shalat sunnat rawatib adalah shalat sunnat yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib lima waktu.[3]

2. Dalam riwayat dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan memerinci sendiri makna "dua belas rakaat" yang disebutkan dalam hadits di atas [4] , yaitu: empat rakaat sebelum shalat Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya' dan dua rakaat sebelum Subuh.[5] Adapun riwayat yang menyebutkan: "…Dua rakaat sebelum shalat Ashar", ini adalah riwayat yang lemah [6] karena menyelisihi riwayat yang lebih kuat yang kami sebutkan sebelumnya.[7]

3. Keutamaan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah bagi orang yang menjaga shalat-shalat sunnat rawatib dengan melaksanakannya secara kontinyu, sebagaimana yang dipahami dan dikerjakan oleh Ummu Habîbah Radhiyallahu anhuma, perawi hadits di atas. Demikian yang diterangkan oleh para Ulama.[8]

4. Jika seseorang tidak bisa melakukan shalat sunnat rawatib pada waktunya karena ada udzur (sempitnya waktu, sakit, lupa dan lain-lain) maka dia boleh mengqadhâ` (menggantinya) di waktu lain [9]. Ini ditunjukkan dalam banyak hadits shahîh.[10]

5. Dalam hadits ini terdapat perintah untuk selalu mengikhlaskan amal ibadah kepada Allah Azza wa Jalla semata-mata.

6. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal ibadah yang dikerjakan secara kontinyu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit" [11]

7. Semangat dan kesungguhan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memahami dan mengamalkan petunjuk dan sunnat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang menjadikan mereka lebih utama dalam agama dibandingkan generasi yang datang setelah mereka. Wallahu a’lam. (Ustadz Abdullah Taslim al-Buthoni)

Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
______
Footnote
[1]. HSR Muslim (no. 728).
[2]. Riyâdhus Shâlihîn (bab no. 195, hal. 1409).
[3]. Lihat keterangan Imam an-Nawâwi dalam "Shahîh Muslim" (1/502).
[4]. Lihat keterangan Syaikh al-'Utsaimîn dalam "Syarh Riyâdhish Shâlihîn" (3/282).
[5]. HR an-Nasâ-i (3/261), at-Tirmidzi (2/273) dan Ibnu Mâjah (1/361). Lihat Shahîh Sunan Ibnu Mâjah (no. 935).
[6]. Dinyatakan lemah oleh Syaikh al-Albâni dalam "Dha'îful Jâmi'ish Shagîr" (no. 5672).
[7]. Lihat kitab "Bughyatul Mutathawwi'" (hal. 22).
[8]. Lihat misalnya kitab "Faidhul Qadîr" (6/166).
[9]. Demikian keterangan yang kami dengar langsung dari guru kami yang mulia, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-'Abbâd.
[10]. Lihat kitab "Bughyatul Mutathawwi'" (hal. 29, 33-34).
[11]. HSR al-Bukhâri (no. 6099) dan Muslim (no. 783).


sumber:  http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment