Wednesday, June 27, 2012

Do’a Para Malaikat Bagi Orang-Orang Yang Berada Pada Shaff Bagian Depan Dalam Shalat,


Do’a Para Malaikat Bagi Orang-Orang Yang Berada Pada Shaff Bagian Depan Dalam Shalat,



Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi


Di antara orang-orang yang beruntung dengan shalawat para Malaikat kepada mereka adalah orang-orang yang berada pada shaff bagian depan ketika shalat, baik itu pada shaff pertama, kedua atau shaff bagian depan lainnya.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa para Malaikat bershalawat kepada orang-orang yang ada pada shaff pertama ketika shalat adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya, beliau meriwayatkannya dari al-Barra’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصَّفِ اْلأَوَّلِ.

‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada pada shaff pertama.’” [1]

Al-Mulla ‘Ali al-Qari ketika menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah dan para Mala-ikat-Nya bershalawat,” beliau berkata: “Hal tersebut dengan turunnya kasih sayang Allah, do’a agar pertolongan Allah selalu untuknya dan permohonan lainnya yang dilakukan oleh para Malaikat untuknya.” [2]

Imam Ibnu Hibban memberikan bab pada hadits ini dengan judul: “Penjelasan Tentang Ampunan Allah جلّ وعلا Beserta Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang yang Shalat pada Shaff yang Pertama.” [3]

Adapun yang menjadi dalil tentang shalawat para Malaikat untuk orang-orang yang ada pada shaff kedua di dalam shalat beserta orang yang ada pada shaff pertama adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada orang-orang yang ada pada shaff pertama (di dalam shalat).’ Lalu para Sahabat berkata: ‘Dan kepada orang-orang yang ada pada shaff kedua, wahai Rasulullah!’ [4] Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shaff pertama (di dalam shalat).’ Lalu para Sahabat berkata: ‘Dan shaff kedua, wahai Rasulullah!’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Dan kepada (orang-orang yang berada) pada shaff kedua.’” [5]

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shaff kedua dalam shalat, akan tetapi dengan penjelasan bahwa orang yang berada pada shaff pertama lebih utama dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang shalawat Allah dan para Malaikat-Nya kepada orang-orang yang berada pada shaff pertama sebanyak dua kali. Di dalam pengulangan tersebut -sebagaimana yang diungkap oleh Syaikh Ahmad bin ‘Abdirrahman al-Banna- bahwa ada sebuah keutamaan yang lebih bagi mereka yang berada pada shaff pertama, dan keutamaan tersebut sangat berlipat dibandingkan dengan keutamaan shaff yang kedua, karena itulah orang yang meninggalkan shaff pertama harus selalu berjaga-jaga dengan merasa kekurangan sehingga ia tidak masuk ke dalam shaff yang lainnya, hingga ia tidak terhalang dari keutamaan yang besar tersebut. [6]

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa para Malaikat bershalawat bagi orang-orang yang berada pada shaff-shaff terdepan dalam shalat adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua Imam (yaitu Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah) dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhuma, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأُوَلِ.

‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada pada shaff-shaff terdepan.’” [7]

Imam Ibnu Khuzaimah memberikan bab pada hadits ini dalam Shahiihnya dengan judul: “Bab Tentang Shalawat Allah dan Para Malaikat-Nya kepada Shaff-Shaff Terdepan.” [8]

Di dalam riwayat Imam an-Nasa-i, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ الْمُتَقَدِّّمَةِ.

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada pada shaff-shaff terdepan.” [9]


Kesimpulannya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shaff pertama dalam shalat, orang-orang yang berada pada shaff kedua, dan orang-orang yang berada pada shaff-shaff terdepan. Akan tetapi shalawat bagi orang-orang yang berada pada shaff pertama jauh lebih utama daripada shaff-shaff lainnya.

Demikianlah, bahkan terdapat riwayat lain yang mengungkapkan keutamaan orang-orang yang berada pada shaff pertama ketika shalat, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا.

‘Seandainya orang-orang mengetahui (pahala) yang ada pada adzan dan shaff yang pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan cara diundi [10], tentu mereka akan melakukan undian.’” [11]

Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu berada pada shaff pertama dengan keutamaan-Nya. Kabulkanlah ya Allah, yaa Hayyu yaa Qayyuum.

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Penerbit Idarah Turjuman al-Islami-Pakistan, Cetakan Pertama, 1420 H - 2000 M, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do'aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni]


Do’a Malaikat Kepada Orang Yang Duduk Menunggu Shalat



Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi


Di antara orang yang berbahagia dengan permohonan ampun dan do’a para Malaikat adalah seorang hamba yang duduk di masjid untuk menunggu shalat dalam keadaan berwudhu’.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَدُكُمْ مَا قَعَدَ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ فِيْ صَلاَةٍ مَا لَمْ يُحْدِثْ تَدْعُوْ لَهُ الْمَلاَئِكَةُ :اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ."

“Tidaklah seseorang di antara kalian duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, melainkan para Malaikat akan mendo’akannya: ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, sayangilah ia.’” [1]

Imam Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Shahiihnya dan memberinya judul: “Bab Keutamaan Duduk di Masjid dalam Rangka Menunggu Shalat, Shalawat Malaikat dan Do’a Malaikat kepadanya, Selama Ia Tidak Mengganggu Orang Lain dan Selama Wudhu’nya Tidak Batal.” [2]

Allaahu Akbar! Sungguh sebuah amal yang sangat mudah dilakukan, tetapi pahalanya sangatlah besar. Seseorang duduk dalam keadaan berwudhu’ untuk menunggu datangnya waktu shalat, maka seakan-akan ia berada dalam shalat dan para Malaikat mendo’akannya agar ia mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kasih sayang -Nya.

Ya Allah, janganlah Engkau menghalangi kami, saudara-saudara kami, juga anak-anak kami dari amal yang sangat mulia dan penuh keberkahan ini. Kabulkanlah, wahai Rabb Yang Mahaagung lagi Mahamulia.

Para ulama Salaf kita sangat gigih melakukan amal yang sangat mulia ini, dan di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnul Mubarak, dari ‘Atha' bin as-Sa-ib, beliau berkata: “Kami datang kepada Abu ‘Abdirrahman as-Sulami -ia adalah ‘Abdullah bin Hubaib- yang menunggu wafatnya di masjid. Lalu kami berkata: ‘Alangkah baiknya jika engkau pindah ke tempat tidur, karena di sana autsar (lebih nyaman).’”

Al-Husain -salah satu perawi- berkata, “Autsar maknanya adalah lebih nyaman.”

Beliau berkata: “Fulan meriwayatkan kepadaku, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَةٍ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ.

‘Senantiasa salah seorang di antara kalian mendapatkan pahala shalat selama ia berada di masjid tempat ia shalat untuk menunggu shalat.’” [3]

Di dalam riwayat Ibnu Sa’ad disebutkan: “Para Malaikat berkata: ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, sayangilah ia.’”

Beliau (Abu ‘Abdirrahman as-Sulami) berkata: “Aku ingin mati ketika aku berada di dalam masjid.” [4]

Ya Allah, sayangilah hamba-Mu ini, dan jadikanlah kami sebagai orang yang menempuh jalan yang telah ditempuhnya. Kabulkanlah ya Allah, wahai Yang Mahahidup lagi Mahaberdiri sendiri.

Keutamaan lain yang akan didapat oleh orang yang duduk menunggu shalat -dengan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala-, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kabar gembira bahwasanya orang yang berdo’a di antara waktu adzan dan iqamat, niscaya do’anya itu tidak akan ditolak. Para Imam (yaitu Imam Ahmad, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban dan Imam Dhi-ya-uddin al-Maqdisi) meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّعَاءَ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ، فَادْعُوْا.

‘Sesungguhnya do’a (yang dipanjatkan) di antara adzan dan iqamat tidak akan pernah ditolak, karena itu berdo’alah.’” [5]

Imam Ibnu Khuzaimah membuat bab pada hadits ini dengan judul: “Bab Dianjurkannya Berdo’a Antara Adzan dan Iqamat dengan Harapan bahwa Do’anya Tersebut Tidak Ditolak.”

Ya Allah, jadikanlah do’a tersebut sebagai karunia-Mu yang besar kepada kami. Kabulkanlah semua permohonan kami, wahai Rabb semesta alam.

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Penerbit Idarah Turjuman al-Islami-Pakistan, Cetakan Pertama, 1420 H - 2000 M, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do'aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni]




Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang Yang Tidur Malam Dalam Keadaan Suci (Telah Berwudhu’)


Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi


Di antara orang-orang yang berbahagia dengan do’a para Malaikat adalah orang yang tidur malam dalam keadaan suci. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

1. Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَهِّّرُوْا هَذِهِ اْلأَجْسَادَ طَهَّرَكُمُ اللهُ، فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَبِيْتُ طَاهِرًا إِلاَّ بَاتَ مَعَهُ فِيْ شِعَارِهِ مَلَكٌ، لاَ يَنْقَلِبُ سَاعَةً مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَالَ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا.

"Sucikanlah badan-badan kalian, semoga Allah mensucikan kalian, karena tidak ada seorang hamba pun yang tidur malam dalam keadaan suci melainkan satu Malaikat akan bersamanya di dalam syi’aar [1], tidak satu saat pun dia membalikkan badannya melainkan satu Malaikat akan berkata: ‘Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini, karena ia tidur malam dalam keadaan suci.’” [2]

2. Al-Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلاَنٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا.

"Barangsiapa yang tidur dalam kedaan suci, maka Malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dan tidaklah ia bangun melainkan Malaikat berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah hamba-Mu si fulan karena ia tidur dalam keadaan suci.’” [3]

Imam Ibnu Hibban mengawali hadits ini dengan judul: “Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang yang Tidur Malam dalam Keadaan Suci ketika Dia Bangun Tidur.”

Di antara kandungan yang dapat kita petik dari kedua hadits di atas adalah:

Pertama : Malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Sungguh teman yang paling baik dan paling mulia, seandainya balasan untuk orang yang tidur dalam kedaan suci hanya itu saja, maka hal tersebut tentu sudah cukup.

Kedua : Malaikat yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala memohon ampunan kepada-Nya setiap ia membalikkan badannya pada malam hari dan ketika ia bangun dari tidurnya.

Allaahu Akbar! Sebuah amal yang sangat mudah dilakukan, tetapi balasannya sangatlah besar!

Dan bukan ini saja, bahkan ada riwayat lain yang menunjukkan keutamaan orang yang tidur malam dalam keadaan bersuci. Demikianlah yang diriwayatkan oleh dua Imam, yaitu Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلَى ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارُّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْياَ وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِياَّهُ.

“Tidaklah seorang muslim bermalam dalam keadaan berdzikir kepada Allah dan dalam keadaan suci, lalu ia bangun [4] pada suatu malam dan berdo’a memohon kebaikan dunia atau akhirat kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkan permintaannya.” [5]

Dari hadits tersebut dapat difahami bahwa tidur dalam keadaan suci termasuk di antara sebab sebuah do’a dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena ash-Shaadiqul Mashduuq (orang yang benar dan dibenarkan) yang berbicara dengan wahyu, yaitu Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa orang yang tidur dalam keadaan suci dan berdzikir lalu ia bangun dan memohon kebaikan dunia atau akhirat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan permohonannya tersebut.

Semoga Allah Ta’ala berkenan menjadikan kita semua termasuk ke dalam golongan ini. Kabulkanlah wahai Rabb Yang Mahaagung lagi Mahamulia.

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Penerbit Idarah Turjuman al-Islami-Pakistan, Cetakan Pertama, 1420 H - 2000 M, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do'aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni]




Anjuran Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Di antara hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta'ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]

Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintahkan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).

Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam. Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang menghimpunnya dengan salam untuk beliau. Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah satunya saja. Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya mengucapkan: “‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan untuknya keselamatan).” Hal itu karena Allah memerintahkan untuk mengucapkan keduanya.

Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah muakkadah. Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkannya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka berselisih tentang hukum wajibnya. Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab muadzdzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.

“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”[2]

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah:

1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.
2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.
4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.
5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.
6. Shalawat merupakan sebab sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[3]

Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat dan memuji beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak meriwayatkan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Di antaranya adalah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Maha-mulia.” [4]

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.

LARANGAN GHULUW DAN BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MEMUJI NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:

لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [5]

Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.

Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, perbuatan ini adalah syirik.

Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[6]

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” [7]

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.” [8]

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” [9]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kasidah nuniyyah-nya berkata:

ِللهِ حَقٌّ لاَ يَكُوْنُ لِغَيْرِهِ
وَلِعَبْدِهِ حَقٌّ هُمَا حَقَّانِ
لاَ تَجْعَلُوا الْحَقَّيْنِ حَقًّا وَاحِدًا
مِنْ غَيْرِ تَمْيِيْزٍ وَلاَ فُرْقَانِ

“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selain-Nya,
bagi hamba pun ada hak, dan ia adalah dua hak yang berbeda.
Jangan kalian jadikan dua hak itu menjadi satu hak,
tanpa memisahkan dan tanpa membedakannya.” [10]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]




Bagaimana Cara Shalawat Yang Sesuai Sunnah, Dan Bolehkah Shalawat Diiringi Dengan Rebana?



Pertanyaan.
Ana ingin menanyakan masalah amaliyah yang membingungkan, yaitu masalah shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Apakah shalawat ini banyak macamnya?
2. Bagaimana cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah? Apakah dilakukan sendiri atau berjama'ah, dengan suara keras atau sirr (pelan)?
3. Bolehkah sambil diiringi rebana (alat musik)?

[Abdullah S.Aga. Kota Kembang, Jawa Barat]

Jawaban.
Alhamdulillah, sebelum menjawab pertanyaan saudara Abdullah S.Aga, kami ingin menyampaikan, bahwa amal ibadah akan diterima oleh Allah jika memenuhi syarat-syarat diterimanya ibadah. Yaitu ibadah itu dilakukan oleh orang yang beriman, dengan ikhlas dan sesuai Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Akan tetapi pada zaman ini, alangkah banyaknya orang yang tidak memperdulikan syarat-syarat di atas. Maka pertanyaan yang saudara ajukan ini merupakan suatu langkah kepedulian terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberi taufiq kepada kita di atas jalan yang lurus.

Perlu kami sampaikan, bahwasannya shalawat kepada Nabi merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Tetapi banyak sekali penyimpangan dan bid'ah yang dilakukan banyak orang seputar shalawat Nabi. Berikut ini jawaban kami terhadap pertanyaan saudara.

1. Shalawat Nabi memang banyak macamnya. Namun secara global dapat dibagi menjadi dua.

a. Shalawat Yang Disyari'atkan.
Yaitu shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Bentuk shalawat ini ada beberapa macam. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab Shifat Shalat Nabi menyebutkan ada tujuh bentuk shalawat dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat hafizhahullah di dalam kitab beliau, Sifat Shalawat & Salam, membawakan delapan riwayat tentang sifat shalawat Nabi.

Di antara bentuk shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ (فِي رِوَايَةٍ: وَ بَارِكْ) عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

(Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kamaa shallaita 'ala Ibrahim wa 'ala aali Ibrahim, innaKa Hamidum Majid. Allahumma barik (dalam satu riwayat, wa barik, tanpa Allahumma) 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim, innaKa Hamiidum Majid).

Ya, Allah. Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya. Lihat Shifat Shalat Nabi, hlm. 165-166, karya Al Albani, Maktabah Al Ma'arif].

Dan termasuk shalawat yang disyari'atkan, yaitu shalawat yang biasa diucapkan dan ditulis oleh Salafush Shalih.

Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad hafizhahullah berkata, ”Salafush Shalih, termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama) beliau, dengan dua bentuk yang ringkas, yaitu:

صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (shalallahu 'alaihi wa sallam) dan

عَلَيْهِ الصّلاَةُ وَالسَّلاَمُ ('alaihish shalaatu was salaam).

Alhamdulillah, kedua bentuk ini memenuhi kitab-kitab hadits. Bahkan mereka menulis wasiat-wasiat di dalam karya-karya mereka untuk menjaga hal tersebut dengan bentuk yang sempurna. Yaitu menggabungkan antara shalawat dan permohonan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Fadh-lush Shalah 'Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 15, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad]

b. Shalawat Yang Tidak Disyari'atkan.
Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha'if (lemah), sangat dha'if, maudhu' (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh Ahli Bid'ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau shalawat itu. Shalawat seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Contohnya, berbagai shalawat yang ada dalam kitab Dalailul Khairat Wa Syawariqul Anwar Fi Dzikrish Shalah 'Ala Nabiyil Mukhtar, karya Al Jazuli (wafat th. 854H). Di antara shalawat bid'ah ini ialah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, bahwa sebagian shalawat bid'ah itu mengandung kesyirikan. [1]

2. Cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

a. Shalawat yang dibaca adalah shalawat yang disyari'atkan, karena shalawat termasuk dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Bukan shalawat bid'ah, karena seluruh bid'ah adalah kesesatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dzikir-dzikir dan do’a-do’a termasuk ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah dibangun di atas ittiba' (mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Tidak seorangpun berhak men-sunnah-kan dari dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang tidak disunnahkan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lalu menjadikannya sebagai kebiasaan yang rutin, dan orang-orang selalu melaksanakannya. Semacam itu termasuk membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Berbeda dengan do’a, yang kadang-kadang seseorang berdo’a dengannya dan tidak menjadikannya sebagai sunnah (kebiasaan).” [Dinukil dari Fiqhul Ad'iyah Wal Adzkar, 2/49, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al Badr].

b. Memperbanyak membaca shalawat di setiap waktu dan tempat, terlebih-lebih pada hari jum'ah, atau pada saat disebut nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lain-lain tempat yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang shahih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali. [HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].

c. Tidak menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan oleh syari'at.
Seperti menentukan waktu sebelum beradzan, saat khathib Jum'at duduk antara dua khutbah, dan lain-lain.

d. Dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara berjama'ah.
Karena membaca shalawat termasuk dzikir dan termasuk ibadah, sehingga harus mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sepanjang pengetahuan kami, tidak ada dalil yang membenarkan bershalawat dengan berjama'ah. Karena, jika dilakukan berjama'ah, tentu dibaca dengan keras, dan ini bertentangan dengan adab dzikir yang diperintahkan Allah, yaitu dengan pelan.

e. Dengan suara sirr (pelan), tidak keras.
Karena membaca shalawat termasuk dzikir. Sedangkan di antara adab berdzikir, yaitu dengan suara pelan, kecuali ada dalil yang menunjukkan (harus) diucapkan dengan keras. Allah berfirman,

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [Al A’raf : 205].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Oleh karena itulah Allah berfirman:
وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ (dan dengan tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan yang keras berlebihan.” [Tafsir Ibnu Katsir].

Al Qurthubi rahimahullah berkata,”Ini menunjukkan, bahwa meninggikan suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” [Tafsir Al Qurthubi, 7/355].

Muhammad Ahmad Lauh berkata,”Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat yang disyari'atkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan dengan mengeraskan suara.” [Taqdisul Asy-khas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad Ahmad Lauh].

Abu Musa Al Asy'ari berkata.

لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسُ عَلَى وَادٍ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيرِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ لِي يَا عَبْدَاللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Pelanlah, sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yang tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kamu (dengan ilmuNya, pendengaranNya, penglihatanNya, dan pengawasanNya, Pen.).” Dan saya (Abu Musa) di belakang hewan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku mengatakan: Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kemudian beliau bersabda kepadaku,”Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).” Aku berkata,”Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Maukah aku tunjukkan kepadamu terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di antara simpanan-simpanan surga?" Aku menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda,”Laa haula wa laa quwwata illa billah.” [HR Bukhari, no. 4205; Muslim, no. 2704].

3. Membaca shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik), karena hal ini termasuk bid'ah. Perbuatan ini mirip dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang-orang Shufi. Mereka membaca qasidah-qasidah atau sya'ir-sya'ir yang dinyanyikan dan diringi dengan pukulan stik, rebana, atau semacamnya. Mereka menyebutnya dengan istilah sama' atau taghbiir.

Berikut ini di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal tersebut.

Imam Asy Syafi'i berkata,”Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbiir. [2] (Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq ; menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al Qur'an.” [3]

Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab,”Bid'ah.” [Riwayat Al Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163].

Imam Ath Thurthusi, tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu tempat yang membaca Al Qur'an, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan sya'ir, kemudian mereka menari dan bergoyang. Mereka memukul rebana dan memainkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab,”Jalan orang-orang Shufi adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari, Pen). Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, Asy Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin.” [Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 168-169]

Imam Al Hafizh Ibnu Ash Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah 'Ulumil Hadits (wafat th. 643 H); beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk-tangan. Dan mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama. Maka beliau menjawab: Mereka telah berdusta atas nama Allah Ta'ala. Dengan pendapat tersebut, mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga menyelisihi ijma'. Barangsiapa yang menyelisihi ijma', (ia) terkena ancaman firman Allah:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa:115] [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan telah diketahui secara pasti dari agama Islam, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyari'atkan kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari umat beliau, agar mereka berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan tepuk tapak-tangan, atau pukulan dengan kayu (stik), atau rebana. Sebagaimana beliau tidak membolehkan bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti apa yang ada pada Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Beliau tidak membolehkan, baik dalam perkara batin, perkara lahir, untuk orang awam, atau untuk orang tertentu.” [5]

Demikianlah penjelasan kami, semoga menghilangkan kebingungan saudara. Alhamdulillah Rabbil 'alamin, washalatu wassalaamu 'ala Muhammad wa 'ala ahlihi wa shahbihi ajma'in.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]



Hukum Mengangkat Tangan Dalam Berdo'a


Oleh
Syaikh Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad


Mengangkat kedua tangan dalam berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, termasuk adab yang agung. Demikian terdapat di banyak hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagian ulama menggolongkannya ke dalam hadits mutawatir secara makna.

Di dalam Tadribur Rawi Syarh Taqrib Imam Nawawi, ketika mencontohkan hadits-hadits yang mutawatir secara maknawi, Imam Suyuthi rahimahullah berkata : ”Diriwayatkan dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sekitar seratus hadits berisi tentang do'a dengan mengangkat tangan. Saya mengumpulkannya dalam satu juz tersendiri, namun dengan masalah yang beragam. Memang dalam setiap masalah tersebut, haditsnya tidak mutawatir. Namun bila dikumpulkan, maka menjadi mutawatir”. (2/180).

Di dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari rahimahullah membuat bab tentang mengangkat tangan dalam berdo'a. Dia membawakan beberapa hadits, yaitu dari Abu Musa Al Asy'ari, dia berkata :

دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثمُ َّرَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a, kemudian mengangkat kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiak Beliau. [1].

Hadits Ibnu Umar, dia berkata:

رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya lantas berdo'a, ”Wahai, Allah. Aku berlepas diri kepadaMu dari apa yang diperbuat Khalid (bin Walid).” [2]

Hadits Anas bin Malik, dari Nabi:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiaknya. [3]. .

Di dalam Syarah Bukhari (Fatthul Bari), Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengisyaratkan, bahwa hadits yang semakna dengan hadits-hadits ini banyak sekali. Lalu ia menyebutkan sebagiannya, diantaranya tentang hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

قَدِمَ الطُفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو الدَّوْسِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ دَوْسًا عَصَتْ فَادْعُ اللهَ عَلَيْهَا فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا

Thufail bin 'Amr Ad Dausi mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kabilah Daus telah durhaka. Berdo'alah kepada Allah agar melaknat mereka,” maka Beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, ”Wahai, Allah. Berilah petunjuk kepada kabilah Daus.” (Hadits ini dikeluarkan Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, dan termaktub pula dalam Shahihain tanpa kalimat "mengangkat kedua tangannya".[4].

Hadits Jabir bin Abdillah, bahwa Thuafil bin 'Amr, hijrah lalu mengisahkan laki-laki yang berhijrah bersamanya disebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ”Wahai, Allah. Karena perbuatan kedua tangannya, maka ampunilah dia,” lalu beliau mengangkat kedua tangannya. Al Hafizh berkata: ”Sanadnya shahih.” Dikeluarkan juga oleh Muslim.[5]

Hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya: “Wahai, Allah. Aku hanyalah manusia biasa …”.[6] Al Hafizh berkata,”Sanadnya shahih.”

Selanjutnya, Al Hafizh berkata,”Diantara hadits-hadits shahih dalam masalah ini, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam kitab Juz Rof'ul Yadain: “Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya mendo'akan Utsman”[7]. Dikeluarkan pula oleh Muslim dari hadits Abdurrahman bin Samurah dalam kisah gerhana: “Aku (Abdurrahman) sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Beliau berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya.”[8]

Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam kisah gerhana, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya.[9] Dari ‘Aisyah pula, ketika Rasulullah mendo'akan para sahabat yang dikubur di Baqi, ”Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya tiga kali.”[10]

Dari hadits Abu Hurairah yang panjang dalam peristiwa fathu Makkah disebutkan,”Beliau mengangkat kedua tangannya, kemudian mulai berdo'a.”[11]

Hadits Abu Humaid dalam kisah Ibnu Lubtiyyah,”Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas mengangkat kedua tangannya sampai kulihat putih kedua ketiaknya, Beliau berucap,’Wahai, Allah. Bukankah aku telah menyampaikan (risalah Mu)’.”[12]

Hadits Abdullah bin Amr: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan ucapan Nabi Ibrahim dan Nabi Isa, lantas mengangkat kedua tangannya, (sembari) berucap: ‘Wahai, Allah. Umatku’.” [13]

Dalam hadits Umar Radhiyallahu anhu, disebutkan bahwa “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika turun wahyu kepadanya akan terdengar dari dekat wajah Beliau seperti suara dengungan tawon. Suatu hari wahyu turun kepada Beliau, kemudian rasa berat menerima wahyu tersebut lenyap dari Beliau, lantas (Beliau) menghadap kiblat dan berdo'a”. [14]

Hadits Usamah, ia berkata: ”Aku membonceng Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Arafah, lalu (Beliau) berdo`a dengan mengangkat kedua tangannya. Untanya bergeser sehingga tali kekangnya terlepas, lalu Beliau mengambil tali kekang itu dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain tetap diangkat”[15].

Hadits Qois bin Sa'd, ia berkata: ”Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sllam mengangkat kedua tangannya dan berdo'a,’Wahai, Allah. Tumpahkanlah berkah dan rahmatMu kepada keluarga Sa'd bin Ubadah’.[16]”

“Dan hadits dalam masalah ini sangat banyak,” demikian kata Al Hafizh Ibnu Hajar. (Fathul Bari, 11/142). Al Hafizh telah meneliti secara mendalam hadits-hadits yang memuat do`a dengan mengangkat tangan. Diantara hadits yang shahih dalam masalah ini adalah hadits Salman Al Farisi, Nabi bersabda :

إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِّيٌ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهَا صُفْرًا

"Sesungguhnya Robb kalian itu Maha Pemalu dan Maha Mulia, Dia merasa malu kepada hamba Nya ketika hamba mengangkat tangannya kepadanya Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan)".[17]

Hadits-hadits ini beserta maknanya, menunjukkan bahwa mengangkat tangan ketika berdo'a, termasuk adab berdo'a kepada Allah yang sangat agung. Ini termasuk sebab-sebab dikabulkannya do'a. Sunnah Nabi juga menunjukkan, bahwa mengangkat tangan dalam berdo'a memiliki tiga cara yang berkaitan dengan isi do'a tersebut. Pertama, jika do'a tersebut berupa permintaan yang benar-benar sangat dibutuhkan, memiliki cara berdo'a tersendiri. Kedua, ketika do'a itu berisi permintaan, maka ada caranya tersendiri. Ketiga, jika do'a itu berupa permintaan ampunan, pentauhidan dan pujian, ini juga memiliki cara angkat tersendiri pula.

Ketiga cara mengangkat tangan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas secara marfu' dan mauquf, yaitu : ”Jika berupa permohonan, maka angkatlah tanganmu sejajar pundak atau serupa dengan itu. Jika permohonan ampunan, hendaknya berisyarat dengan jari telunjuk saja. Jika berupa permohonan mendesak, maka angkat kedua tangan”. Pada redaksi lain (disebutkan): “Jika berupa pentauhidan, maka hendakanya berisyarat dengan jari telunjuk. Jika berupa do'a (permintaan), mengangkat tangan setinggi pundak. Dan jika berupa permohonan mendesak, hendaknya mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dan Ath Thabrani dalam kitab Do`a, dan selain keduanya.[18]

Berkenaan dengan hadits ini, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata: Telah ada beberapa hadits dari perbuatan Nabi menjelaskan kedudukan masing-masing dari tiga cara berdo'a ini. Cara do'a ini bukan ikhtilaf tanawu’ (perbedaan cara yang masing-masing boleh dilakukan karena tidak saling bertentangan, Pen). Penjelasaannya sebagai berikut.

Pertama : Do'a Umum.
Dinamakan do'a permohonan, dan juga disebut do'a. Yaitu dengan mengangkat kedua tangan setinggi pundak, atau sejajar dengannya. Kedua telapak tangan dirapatkan. Bagian dalam telapak tangan dibentangkan ke arah langit, dan punggung telapak tangan ke arah tanah. Jika ingin, boleh juga menghadapkan kedua tangan ke arah wajah, sedangkan punggung telapak tangan diarahkan ke kiblat. Inilah cara umum mengangkat tangan ketika berdo'a secara mutlak; baik dalam do'a qunut, witir, meminta hujan atau pada enam tempat ketika haji, yaitu di Arafah, Masy`ar Haram, usai melempar Jumrah Sughra dan Wustha, ketika di atas bukit Shofa dan Marwah, dan waktu-waktu lain.

Kedua : Do'a Memohon Ampunan.
Disebut pula do`a ikhlas, yaitu dengan mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Cara ini khusus ketika dzikir, do'a dalam khutbah di atas mimbar, ketika tasyahud dalam shalat, ketika berdzikir, memuji dan membaca la ilaha illallah di luar shalat.

Ketiga : Do'a Ibtihal.
Yaitu merendahkan diri kepada Allah dan permohonan yang sangat. Disebut juga sebagai do'a rahb (permohonan). Caranya dengan mengangkat kedua tangan ke arah langit sampai terlihat ketiaknya. Digambarkan sampai kedua lengan atas terlihat karena mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Cara ini lebih khusus dibandingkan dengan dua cara di muka. Cara ini juga dikhususukan ketika keadaan susah, permohonan yang sangat –misalnya- ketika kekeringan, adanya musibah, dikuasai oleh musuh dan keadaan susah lainnya.[19]

CARA MENGANGKAT TANGAN
Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي الاِسْتِسْقَاءِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berdo’a dengan mengangkat tangan, kecuali dalam isitisqa` (meminta hujan).[20]

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama berpendapat bahwa mengangkat tangan ketika berdo'a tidak disyari`atkan, kecuali hanya dalam do'a istisqa', do'a selainnya tidak disyari'atkan angkat tangan. Tetapi hadits ini bertentangan dengan banyak hadits yang menunjukkan disyari`atkannya mengangkat tangan selain isitisqa'. Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata,”Yang benar adalah mengangkat tangan secara mutlak. Cara ini telah disebutkan secara mutawatir dalam hadits-hadits yang shahih, seperti: Thufail Ad Dausi mendatangi Nabi, lalu berkata,’Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kabilah Daus telah durhaka, laknatlah mereka.’ Maka Beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, ’Wahai, Allah. Berilah petunjuk kepada kabilah Daus, dan datangkan mereka kepadaku’.”[21]

Dimuat dalam Shahih, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan Abu `Amir, Beliau mengangkat kedua tangannya.[22] Disebutkan dalam hadits 'Aisyah: ”Ketika mendo'akan sahabat yang dikuburkan di Baqi`, Beliau mengangkat kedua tangannya tiga kali”. [Diriwayatkan Muslim].[23]

Dalam hadits tersebut dikatakan, Beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdo'a, ”Umatku, umatku,” di akhir hadits: ”Allah berfirman (artinya), Aku akan menjadikan umatmu ridha kepadamu dan Kami tidak akan membuat kamu sedih”.[24]

Pada perang Badr, ketika melihat orang-orang musyrik, Beliau Shallallahi 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dan mulai memohon kepada Rabb-nya. Beliau terus-menerus memohon, sampai-sampai selendangnya terjatuh dari pundak[25].

Dalam hadits Qois bin Sa'd dituturkan: Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lantas berdo'a,

الَّلهُمَّ اجْعَلْ صَلاَتَكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ

Wahai, Allah. Berikan berkah dan rahmatMu kepada keluarga Sa'd bin Ubadah.[26]

Ketika mengirimkan pasukan, dan Ali ikut serta, Beliau berdo'a,”Wahai, Allah. Jangan matikan aku hingga aku melihat Ali.”[27] Di dalam hadits qunut, Beliau juga mengangkat kedua tangannya [28].

Syaikhul Islam lantas menyebutkan hadits Anas di muka, bahwa Nabi tidak pernah berdo'a dengan mengangkat tangan selain di dalam shalat istisqa, kemudian berkata:

Pengkompromian antara hadits Anas ini dengan banyak hadits, (telah) diutarakan oleh sebagian ulama, bahwa Anas menyebutkan angkat tangan tinggi-tinggi sehingga ketiak Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlihat dan badan Beliau membungkuk. Cara inilah, yang oleh Ibnu Abbas dinamakan ibtihal (permohonan yang sangat). Ibnu Abbas merinci cara berdo'a ini menjadi tiga macam. Pertama, isyarat dengan telunjuk, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika khutbah di atas mimbar. Kedua, do'a permohonan. Dengan mengangkat kedua tangan sejajar pundak. Demikian ini termuat dalam banyak hadits. Ketiga, ibtihal. Yaitu seperti yang dituturkan Anas. Oleh karena itu Anas berkata,”Beliau mengangkat kedua tangannya sehingga nampak ketiaknya.” [29] Cara do'a ini dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menghadapkan bagian dalam telapak tangan mengarah ke wajah dan tanah, sedangkan punggung tangan mengarah ke langit. Penafsiran ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitab Marasilnya, dari hadits Abu Ayub Sulaiman bin Musa Ad Dimasqi rahimahullah, dia berkata,”Tidak tercatat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila Beliau mengangkat kedua tangan, kecuali pada tiga keadaan saja. (Yaitu) ketika meminta hujan (istisqa'), meminta pertolongan, sore hari di Arafah. Selain (dari waktu-waktu) itu, kadang kala mengangkat tangan, kadang kala tidak”[30]. Mungkin yang dimaksud oleh Anas adalah ketika Beliau berkhutbah pada hari Jum`at, seperti disebutkan di dalam Muslim dan selainnya: ”Beliau tidak mengangkat tangan, kecuali jari telunjuk”[31]. Dalam masalah ini didapati dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Pertama, disunnahkan. Ini pendapat Ibnu Aqil. Kedua, tidak disunnahkan, bahkan makruh. Pendapat ini lebih benar. [32] Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, penyelarasan antara hadits Anas dengan hadits-hadits lainnya yang menetapkan adanya mengangkat tangan beserta maknanya. Bahwa yang dinafikan adalah cara mengangkat tangan yang khusus, bukan cara mengangkat tangan itu sendiri. Sebab, mengangkat tangan ketika do'a istisqa, berbeda dengan do'a selainnya, seperti tangan diangkat tinggi sejajar wajah. Dan ketika do'a permintaan (cara kedua, pen.), yaitu (dengan cara) tangan diangkat sejajar pundak. Komproni ini jangan dipertentangkan dengan kedua hadits tersebut, bahwa Beliau mengangkat tangan sehingga terlihat putih ketiaknya. Namun bisa dikompromikan, bahwa terlihatnya putih ketiak Beliau ketika do`a istisqa itu menandakan, bila mengangkat tangan ketika istisqa lebih tinggi ketimbang mengangkat tangan ketika berdo'a pada selainnya. Hal ini dikarenakan ketika istisqa, kedua telapak tangan mengarah ke tanah, dan ketika berdo'a dihadapkan ke langit. Al Mundziri berkata: ”Misalkan kompromi ini tidak mungkin dilakukan, namun adanya mengangkat tangan dalam do'a ini lebih rajih (kuat)”. Saya (Ibnu Hajar), mengatakan: ”Apalagi hadits yang menetapkan adanya mengangkat tangan ini sangat banyak”. [Fathul Bari, 11/142]

Dari uraian di muka, jelaslah bahwa mengangkat tangan dalam berdo'a disyari`atkan, baik dalam istisqa, atau selainnya. Bahkan mengangkat tangan termasuk sebab-sebab terkabulnya do'a, sebagaimana disebutkan dalam hadits “Sesungguhnya Rabb kalian itu Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia merasa malu kepada hambaNya, ketika hamba mengangkat tangannya kepadaNya, Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan).

Hanya saja, mengangkat tangan ketika istisqa itu lebih tinggi, karena dalam keadaan susah dan merupakan permohonan yang sangat. Adapun mengangkat tangan pada do'a selainnya, hanya setinggi pundak atau sejajar dengannya, sebagaimana pengamalan dari hadits-hadits yang telah disebutkan di awal.

Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik yang lain: ”Bahwa Nabi melakukan do'a istisqa dan mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit”[33]. Dalam hadits ini terdapat isyarat adanya mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika paceklik dan ketika istisqa. Karena itu, Syaikhul Islam berkata: ”Hal itu dikarenakan tangan diangkat tinggi-tinggi, maka bagian dalam telapak tangannya mengarah ke bumi; bukannya di sengaja, sebab ada riwayat yang menginformasikan bahwa Beliau mengangkat kedua tangannya sejajar wajah”.

Syaikh Ibnu Utsamin rahimahullah berkata: Mengangkat tangan dalam berdo`a ada tiga macam.

Pertama : Jika ada dalil untuk mengangkat tangan, maka disunnahkan mengangkat tangan, seperti (halnya) do'a istisqa, do'a di Shafa dan Marwah, di Arafah.

Kedua : Ada dalil, namun tidak menunjukkan (adanya) mengangkat tangan, (maka tidak disyari'atkan mengangkat tangan, pen), seperti do'a di dalam sholat, tasyahud akhir.

Ketiga : Tidak ada dalil yang menerangkan mengangkat tangan, atau tidak mengangkat tangan, maka pada asalnya, hendaknya mengangkat tangan; sebab (hal) itu termasuk adab berdo'a.[34]

Selain itu, mengangkat tangan ketika berdo'a mengandung sikap ketundukkan, merendahkan diri, kepasrahan, ketenangan serta penampakan sikap membutuhkan dan memerlukan kepada Rabb Yang Maha Mulia. Semua ini menjadi sebab terkabulnya do'a.

As Safarini rahimahullah berkata : Ulama mengatakan, disyari’atkannya mengangkat tangan ketika berdo'a hanyalah untuk menambah sikap ketundukkan. Maka terkumpullah pada diri manusia suasana tunduk kala beribadah. Selain itu, seringkali seorang hamba tidak kuasa untuk menggugah hatinya dari kelalaian, sedangkan dia memiliki kekuatan untuk menggerakkan tangan dan lisan. (Maka mengangkat tangan itu), menjadi sarana menuju kekhusyu`an hati. Ulama mengatakan, gerakan anggota badan menyebabkan kebahagiaan batin. Kondisi ini sebagaimana mengangkat telunjuk ketika tasyahud dalam shalat. Dia mengumpulkan hati, lisannya menerjemahkan dan gerakan badan mensucikannya.[35]

KESALAHAN MENGANGKAT TANGAN DALAM BERDO'A
Wajib bagi setiap muslim untuk bersemangat mengetahui petunjuk Nabi, mengikuti langkahnya, menapaki manhajnya dan menjauhi cara-cara baru yang dilakukan manusia dalam mengangkat tangan dan gerakan tangan ketika berdo'a, yaitu cara-cara yang tidak berasal dari generasi terbaik dan manusia paling sempurna do'a dan ketaatannya kepada Allah dan RasulNya. Telah shahih datang dari Nabi, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا سَأَلْتمُ ُاللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِبُطُوْنِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوْهُ بِظُهُوْرِهَا

Jika kalian memohon kepada Allah, maka mintalah dengan menghadapkan telapak tangan bagian dalam kepadaNya, jangan menghadapkan punggung telapak tangan.[36]

Maka wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan hadits-hadits Nabi yang shahih dan komitmen dengannya. Sebab, petunjuk Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan petunjuk terbaik. Hindarilah sikap berlebih-lebihan dalam mengangkat tangan ketika berdoa. Para salaf sangat menghindari menempatkan cara-cara do'a tidak pada tempatnya; seperti mengangkat kedua tangan ketika khutbah pada hari Jum'at, padahal bukan do'a istisqa. Mengangkat kedua tangan dalam berdo'a disyari'atkan pada waktu lainnya.

Muslim meriwayatkan dari 'Umarah bin Ru'aibah, dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya ketika di atas mimbar. Maka 'Umarah berkata: ”Semoga Allah menjelekkan kedua tangan itu. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah tidak lebih dari sekedar mengangkat tangannya begini,” lalu ia mengisyaratkan dengan jari telunjuk”[37].

Lalu bagaimanakah jadinya dengan orang yang membuat cara baru dalam mengangkat tangan, atau gerakan yang tidak ada dasarnya? Siapa saja yang mencermati keadaan orang-orang yang berdo'a, niscaya akan melihat cara mereka yang aneh-aneh [38].

Diantara keanehan itu, ada sebagian orang yang menurunkan tangannya di bawah pusar atau sejajar pusar, dengan direnggangkan atau dirapatkan. Jelas, ini merupakan bukti dari ketidakpedulian dan sedikitnya perhatian terhadap masalah ini. Sebagian lain mengangkat tangan dengan direnggangkan. Ujung jari-jari mengarah kiblat, tapi kedua ibu jari mengarah ke langit. Ini jelas menyelisihi petunjuk Nabi pada hadits di muka: Jika kalian memohon kepada Allah, maka mintalah dengan menghadapkan telapak tangan bagian dalam kepadaNya. Yang lain, mengangkat kedua tangannya dengan membalikkannya ke berbagai arah, atau berdiri dengan menggerakkannya dengan gerakan yang bermacam-macam. Sementara yang lain, jika berdo'a atau sebelum berdo'a mengusapkan satu tangan ke tangan yang lain, atau mengibaskan tangannya atau gerakan serupa lainnya. Lainnya lagi, usai mengangkat tangan lantas menciumnya; yang demikian ini tidak ada asalnya.

Kesalahan lain, usai berdo'a mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. Sifat ini memang terdapat dalam sebagian hadits, hanya saja tidak shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Banyak sekali hadits shahih yang menginformasikan bahwa Nabi mengangkat tangan ketika berdo'a. Namun mengusap wajah usai berdo'a tidak diriwayatkan dari Beliau, kecuali hanya ada satu atau dua hadits, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah”[39]. Cara baru lainnya, yaitu mencium dua ibu jari, lantas diletakkan pada dua mata ketika muadzin menyebut nama Nabi atau di waktu lain. Cara ini memang terdapat dalam hadits, namun batil, tidak sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , dengan redaksi ”Barangsiapa ketika mendengar adzan mengucapkan ‘Selamat datang, wahai kecintaanku dan penyejuk kedua mataku, Muhammad bin Abdillah,’ lantas, mencium ibu jarinya, lalu meletakkannya pada matanya, maka mata itu selamanya tidak akan buta dan tidak sakit”. Banyak ulama yang menyatakan hadits ini batil, tidak sah berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [40].

Dan termasuk khayalan orang-orang sufi, sebagian mereka menyandarkan ucapan hadits batil ini kepada Khidhir Alaihissallam [41]. Termasuk bid'ah pula, yaitu sebagian orang merapatkan jari-jari tangan kanannya, lantas diletakkan pada mata kanannya dan tangan kirinya pada mata kiri dengan diiringi bacaan (Al Qur'an, pen) atau do'a.

Cara lain lagi yang tidak shahih, sebagian orang berdo'a dengan meletakkan tangan di kepala usai salam. Sandaran mereka ialah hadits Anas, dia berkata: ”Adalah Nabi, usai menunaikan shalat Beliau mengusap jidatnya dengan tangan kanan, lalu berdo'a :

بِسْمِ اللهِ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْغَمَّ وَالْحَزَنَ

Dengan menyebut nama Allah yang tiada ilah yang berhak disembah, kecuali Dia, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya, Allah. Hilangkan kegundahan dan kesedihanku”. [Diriwayatkan Thabrani di kitab Al Ausath dan Al Bazzar, namun tidak shahih] .[42]

Kesalahan dalam berdo'a, sebagian orang yang shalat kadang-kadang mengisyaratkan kedua jari telunjuknya ketika tasyahud. Diriwayatkan dalam hadits shahih:

أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ عَلَى إِنْسَانٍ يَدْعُوْ وَهُوَ يُشِسْرُ بأُصْبُعَيْهِ السَّبَابَتَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحِّدْ أَحِّدْ

Nabi melewati seseorang yang berdo'a, dia berisyarat dengan kedua jari telunjuknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Satu saja, satu saja!” [Diriwayatkan Tirmidzi] [43].

Penyimpangan lain, sebagian orang berdo'a mengangkat tangan pada waktu tertentu tanpa didasari dalil syar'i, seperti mengangkat tangan setelah iqomat untuk shalat, (yang dilakukan) sebelum takbiratul ihram atau setelah salam dari shalat wajib secara bersama-sama atau sendiri-sendiri.

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahulah berkata: ”Sejauh pengetahuan saya, hadits yang menyebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat tangan usai shalat wajib, tidaklah shahih; tidak shahih pula dari para sahabat Nabi. Adapun yang dilakukan sebagian orang itu adalah bid'ah, tidak ada dasarnya”[44]. Kesalahan lain, yaitu mengangkat tangan dalam berdo'a usai sujud tilawah, ketika melihat bulan dan waktu lainnya.

Kesimpulannya, waktu-waktu yang ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan dalam berdo'a ketika itu, maka tidak dibolehkan untuk mengangkat tangan. Sebab, perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sunnah, amalan yang ditinggalkan juga sunnah (untuk ditinggalkan). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tauladan yang baik dalam amalan yang akan datang dan yang telah lalu. Wajib mendasarkan amalan kepada apa-apa yang dibawa Nabi, dan meninggalkan yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggalkan.

(Dinukil dari Fiqhul Ad`iyyah Wal Adzkar, Syaikh Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad, 2/172-197, oleh Abu Nu`aim Al Atsari)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]




sumber: http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment