Friday, October 4, 2013

Dana Talangan Haji




Dana Talangan Haji


Oleh
Ustadz Dr. Erwandi Tirmidzi, MA


Setiap Muslim memendam kerinduan dan keinginan kuat untuk berziarah ke Baitullahil ‘atiq dalam rangka menunaikan rukun Islam yang ke-5. Ini merupakan bukti kebenaran firman Allah :

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ

Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat yang didatangi. [Al-Baqarah/2: 125]

Demi pelepasan rindu ini, berbagai cara dilakukan oleh kaum Muslimin ; ada yang menyisihkan sebagian hartanya sedikit demi sedikit agar terkumpul harta yang cukup untuk biaya ongkos naik haji. Dewasa ini ada sebuah usaha yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah untuk mengambil alih penghimpunan dana dengan cara memberikan dana talangan haji. Produk ini dilegalkan oleh fatwa DSN NO:29/DSN_MUI/VI/2002 tentang pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan syariah.

Namun dalam prakteknya masih terdapat kritikan dari para Ulama yang lain mengenai produk ini.

Kepastian akan kehalalan atau tidaknya produk ini sangat berhubungan dengan kemabruran haji orang yang mendapatkan dana produk ini.

Diriwayatkan oleh Tabrani, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ آللَّهَ تَعَاَلَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Sesungguhnya Allah adalah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. [HR. Muslim]

Untuk menjernihkan permasalahan ini, mari kita lihat tinjauan fikih tentang produk ini.

Bentuk Dana Akad Talangan Haji.
Seseorang yang ingin mendaftar haji mendatangi salah satu lembaga keuangan syariah lalu mendaftarkan diri untuk haji dengan membuka rekening tabungan haji, serta membayar saldo minimal Rp 500 ribu. Kemudian agar ia mendapatkan kepastian seat (kursi) untuk tahun berapa maka ia harus melunasi sebanyak Rp 20 juta. Bank dapat memberikan dana talangan dengan pilihan Rp 10 juta, Rp 15 juta, Rp 18 juta. [1]

Andai pendaftar memilih talangan Rp 18 juta berarti ia mengeluarkan dana tunai pribadinya sebesar Rp 2 juta. Dan 18 juta akan ditalangi oleh Lembaga Keuangan Syariah. Utang pendaftar ini ke lembaga keuangan syari’at (selanjutnya akan disingkat menjadi LKS) sebanyak Rp 18 juta akan dibayar secara angsuran selama satu tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak Rp 1,5 juta. Sehingga yang harus dibayar ke LKS sebanyak 19,5 juta. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.

Andai pendaftar memilih talangan sebesar Rp 15 juta berarti ia mengeluarkan dana pribadinya sebesar Rp 5 juta tunai, sementara Rp 15.000.000,- akan ditalangi oleh LKS. Utang pendaftar yang berjumlah Rp 15.000.000,- akan dibayarkan ke LKS secara angsuran selama 1 tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak Rp 1,3 juta. Sehingga yang harus dibayarnya ke LKS sebanyak Rp 16,3 juta. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada LKS maka ia dikenakan biaya administrasi baru.

Andai pendaftar memilih talangan Rp 10 juta berarti ia mengeluarkan dana pribadinya sebesar Rp 10 juta tunai. Dan 10 juta akan ditalangi oleh Lembaga Keuangan syariah. Utang pendaftar in i ke LKS sebanyak Rp 10 juta akan dibayar secara angsuran selama 1 tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak Rp 1 juta. Sehingga yang harus dibayarnya ke LKS sebanyak Rp 11 juta. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.

TINJAUAN FIKIH
Jika diperhatikan secara seksama, maka didapati bahwa dalam produk dana talangan haji ini ada dua akad yang digabung dalam sebuah produk. Kedua akad tersebut adalah akad qardh (pinjam meminjam) dalam bentuk pemberian talangan dana haji dari pihak bank kepada pendaftar haji. Akad yang kedua adalah ijarah (jual beli jasa) dalam bentuk ujrah (fee administrasi yang diberikan oleh pendaftar haji sebagai pihak terhutang kepada LKS atau bank sebagai pemberi pinjaman). Menggabungkan akad qardh dengan ijarah telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

Tidak halal menggabungkan akan pinjaman dan akad jual beli. [HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah]

Dan akad ijarah termasuk akad jual-beli yaitu jual-beli jasa.

Dengan demikian, produk dana talangan haji ini bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas karena dalam produk tersebut digabungkan dua akad tersebut. Alasan lainnya, akad ijarah ini bisa dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman untuk mengambil laba dari pinjaman yang diberikan sehingga termasuk dalam larangan pinjaman yang mendatangkan manfaat (keuntungan).

Namun bila pintu pengambilan keuntungan ini dapat ditutup rapat maka bisa saja digunakan sebagaimana difatwakan oleh berbagai lembaga fikih Nasional dan Internasional. Sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa DSN yang membolehkan mengambil biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan dalam jumlah tetap dan bukan berdasarkan besarnya pinjaman.

Namun ternyata fatwa tersebut tidak dijalankan pada praktek yang dijelaskan sebelumnya, dimana besarnya biaya administrasi bervariasi berdasarkan besarnya pinjaman yang diberikan oleh pihak bank. Ini jelas-jelas bahwa pihak bank tidak sekedar menarik biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan akan tetapi di sana telah dimasukkan laba dari pinjaman. Maka jelas ini hukumnya termasuk riba.

Jika dilihat dari persentase besarnya biaya adminstrasi ini, yaitu sekitar 10 % dari besarnya pinjaman, ini hampir sama dengan bunga pinjaman yang ditarik oleh bank konvensional.

HIMBAUAN
1. Untuk lembaga keuangan syariah agar menerapkan fatwa DSN dan tidak keluar dari fatwa, yaitu menarik biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan dengan besaran biaya tetap, tidak berdasarkan besarnya pinjaman. Jika ini dilanggar, maka akan menyebabkan terjatuh ke dalam praktik riba.

2. Untuk DSN, selain mengeluarkan fatwa diharapkan dapat memberikan sanksi bagi lembaga-lembaga yang menerapkan produk tidak sesuai dengan yang difatwakan melalui Dewan Pengawas Syariah yang terdapat di setiap bank syariah.

3. Untuk masyarakat yang mendaftar haji jangan sampai terjebak dalam produk ini karena mengandung syubhat riba yang berakibat terhadap kemabruran hajinya karena berangkat menggunakan harta yang diperoleh dengan cara riba. Hendaklah ia membayar tunai sebanyak Rp 20 juta agar bisa mendapatkan kepastian seat (nomor urut) untuk tahun keberangkatan, dan jangan menggunakan dana talangan bank.

Bagi yang telah terlanjur, maka ingatlah firman Allah :

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [ Al-Baqarah/2:275].

Dan hendaklah ia berusaha sekuat tenaga untuk menutupi sisa talangan secepatnya. Semoga Allah Azza wa Jalla menerima ibadah haji umat Islam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




Hati-Hati !



Oleh
Ustadz Shuhub Subhan


Hati-hati, sebuah ungkapan yang biasanya digunakan orang untuk memberikan peringatan dari bahaya atau hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya. Kata ini ringan di ucapkan tapi terkadang susah di laksanakan, baik oleh pengucapnya sendiri ataupun orang yang diajak bicara.

Dari ungkapan ini, penulis teringat dialog antara Ubay bin Ka'ab Radhiyallahu anhu dengan Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu, dibawakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan makna takwa dalam surat al-Baqarah/2 ayat ke-2 .[1]

Di kisahkan bahwa Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab tentang takwa. Ubay bin Ka'ab Radhiyallahu anhu menjawab, ”Pernahkan Anda melewati jalan yang penuh dengan duri ?" Umar Radhiyallahu anhu menjawab, "Pernah." Ubay bertanya, "Lalu apa yang Anda lakukan ?" Umar menjawab, "Aku singsingkan lengan bajuku dan berhati-hati dalam melewatinya."

Disini terlihat jelas, bahwa kata "hati-hati" bahkan dipakai sahabat untuk menerjemahkan apa itu takwa. Hati-hati bukan hanya dipesankan untuk sebuah perjalanan Solo-Jogja misalnya, tapi lebih luas dan lebih dalam dari itu yaitu perjalanan kehidupan seseorang menuju akhirat. Sebuah ungkapan dan permisalan yang sangat indah dan mengena dari seorang sahabat untuk mewakili makna takwa.

Kira-kira apa sebabnya orang-orang menggunakan kata hati-hati untuk memberikan peringatan dari bahaya atau hal-hal yang tidak menyenangkan ?

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeringatkan ummatnya akan peran strategis hati yang ada pada jasad manusia, bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai sumber kebaikan seluruh jasad atau sebaliknya sebagai sumber kejelekan.

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Ingatlah, sesungguhnya dalam jasad manusia itu ada segumpal daging, jika ia baik, baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak, rusaklah seluruh jasad, segumpal daging itu adalah hati( jantung/hati (nurani). [HR Muttafaq ‘alaih] [2].

Jadi memang demikianlah jika hati diperhatikan, di jaga dan di pedulikan maka kehidupan dunia dan akhirat kita akan selamat dan akan mendapat kebahagiaan. karena dengan hati yang sehat, orang bisa menahan diri dari syubhat, menahan diri dari syahwat. Sebaliknya, jika hati di abaikan maka penyakit, halangan dan duri berupa syubhat dan syahwat mudah hinggap dalam perjalanan kita menuju akhirat, dan niscaya kita akan sengsara, nelangsa.

Saat menjelaskan makna haditd diatas, Ibnu Rajab mengatakan, "Dalam hadis ini terdapat isyarat bahwa baiknya gerakan anggota badan seorang hamba, jauhnya dari yang haram dan terhindarnya dari syubhat sangat tergantung dari baik atau buruknya hatinya. Jika hatinya selamat, penuh dengan mahabbah (rasa cinta) kepada Allâh dan cinta kepada apa yang dicintai Allâh Azza wa Jalla, kemudian dipenuhi rasa takut kepada Allâh dan takut melakukan apa yang Allâh Azza wa Jalla benci maka baiklah seluruh gerkan anggota badannya, dan dari sini berbuah menjadi jauhnya ia dari hal-hal yang haram dan terhindar dari syubhat-syubhat. (Sebaliknya), jika hati itu rusak maka akan dikuasai untuk mengikuti hawa nafsu, dan selalu mencari sesuatu yang dicintai hawa nafsunya meskipun dibenci oleh Allâh Azza wa Jalla , dan menggiring kepada maksiat dan syubhat-syubhat sesuai apa yang di inginkan hawa nafsunya.[3]

Manusia yang mempunyai hati nurani tidak akan pernah lepas dari ujian. Hati manusia akan selalu menemui fitnah dan cobaan, imtihan,dan ibtila. Hati yang buruk akan mudah menerima keburukan sedang hati yang sehat akan berusaha kuat untuk menolaknya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ

Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat. Hati mana saja yang menyerap fitnah itu, maka satu noda hitam tertempel dalam hatinya. Dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu pualam, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko atau ceret terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa nafsu yang diserapnya. [HR Muslim] [4]

Maka perhatikanlah hati kita, karena ialah sumber keimanan dan cahaya yang menerangi jalan kehidupan kita sehingga tidak mudah terperosok dan terantuk. Menjadi hati yang selamat, qolbun salim, yang tidak ada manfaat disisi Allâh Azza wa Jalla pada kiamat kecuali datang menghadap Allâh Azza wa Jalla dengan hati yang selamat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ﴿٨٨﴾ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allâh dengan hati yang bersih,hati yang selamat. [As-Syu'ara'/26:88-89]

Qolbun salim artinya selamat dari kejelekan dan keburukan. Yaitu hati yang di dalamnya penuh cinta kepada Allâh Azza wa Jalla dan cinta segala yang dicintai Allâh Azza wa Jalla, takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan takut dari segala yang menjauhkannya dari Allâh Azza wa Jalla [5]

Bagaimana jika hati terlanjur menerimanya dan menyerap keburukan tersebut ? apakah ia bisa dibersihkan lagi seperti membersihkan pualam dari noda ? Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإْنَ عَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُوْ قَلْبَهُ

Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan perbuatan dosa maka akan tertitik dalam hatinya noda hitam jika ia menghilangkannya dan memohon ampun, dan di ampuni, maka hatinya itu dibersihkan. Jika ia melakukan kelasahan lagi, maka bintik hitam itu akan ditambah sehingga bisa menutupi hatinya. [HR. Ibnu Mâjah, Tirmidzi [6] . Hadits ini dihasankan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Tirmidzi.]

Jika bintik, noda dan noktah hitam itu sudah penuh dan menutupi hatinya, maka noktah hitam yang datang berikutnya ke dalam hati akibat dari perbuatan dossa dan kemaksiatan, maka hati itu akan merasa tidak terpengaruh dengan noda yang mengotorinya, sebagaimana tidak terlihatnya noda hitam yang menempel pada kain hitam. Saat perbuatan dosa sudah tidak terasa lagi sebagai sebuah dosa, maka yang ada adalah rasa nyaman –'iyadzan billah. Semoga Allah menjaga hati kita dari keburukan seperti ini.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Dan (efek negatif dosa) yang paling berbahaya (paling mengkhawatirkan) bagi seorang hamba adalah dosa dan kemaksiatan bisa melemahkan keinginan hati sehingga keinginannya untuk melakukan perbuatan maksiat semakin kuat. Dosa melemahkan keinginan hati untuk bertaubat sedikit demi sedikit sampai akhirnya semua keinginan untuk taubat tercabut dari hati (tanpa meninggalkan sisasedikitpun). (Padahal) seandainya separuh dari hati seseorang itu sudah mati, maka itu sudah susah untuk bertaubat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala [7].

Para Ulama banyak memperhatikan masalah ini, membahasnya panjang lebar, dan mencari formula yang tepat untuk menjaga dan mengobati hati, kemudian mendakwahkannya menuju hati yang selamat. Berikut beberapa kiat untuk mengobati hati dan menjaganya tetap sehat.

1. Membaca al-Qur’an dan mentaddaburi maknanya
Al-Qur’ân adalah penyejuk hati, obat bagi jiwa, dan cahaya bagi mata hati kita yang menerangi kita dari kegelapan syahwat dan syubhat. Al-Qur’an adalah kalamullâh Azza wa Jalla. Allâh Berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. [Yunus/10:57]

2. Melaksanakan shalat malam
3. Selalu berteman dan bergaul dengan orang-orang shaleh
4. Puasa
5. Dzikir

Dzikir adalah makanan hati, penenang jiwa dan pelembutnya, serta penerangnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allâh . Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh -lah hati menjadi tenteram” [Ar-Rad/13 : 28]

Dan diatas semua itu tentunya menuntut ilmu syar’i, ikuti kajian, ta’lim juga merupakan makanan hati yang paling utama karean illmu adalah cahaya, menerangi hati kita, menerangi jalan kita,menerangi tempat kita berpijak.Tentunya Ilmu yang disertai dengan amal.

Karena ketahuilah bahwa semua penyakit yang menimpa hati sebab utamanya adalah kebodohan atas ilmu Din dan obatnya adalah ilmu.

Jadi bisa kita beri pengertian lebih dalam jika orang tua kita berpesan kepada anaknya :” hati- hati nak!”, maka artinya adalah jagalah hatimu nak, jagalah dari yang membuat hatimu rusak, jauhilah fitnah syubhat, jauhilah fitnah syahwat, laksanakanlah perintah Allâh nak!, jauhilah segala larangannya! Hati-hati.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


http://almanhaj.or.id/
_______

Tuesday, October 1, 2013

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah





Ahlus Sunnah Wal Jama'ah



Oleh
Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi



As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna[1]. Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah "As-Sunnah" atau "Ahlus Sunnah" menurut petunjuk yang sesuai dengan i'tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : "..... Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata :

اِسْتَوصُوْابِآهْلِ السُّنَّةِ خَيْرًا فَاِنَّهُمْ غُرَبَاءُ

"Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba"[2]

Yang dimaksud "As-Sunnah" menurut para Imam yaitu : Thariqah (jalan hidup) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat berada di atasnya". Yang selamat dari syubhat dan syahwat", oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan : "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk kedalam perutnya dari (makanan) yang halal".[3]

Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan sahabat). Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.[4]

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah sahabatnya Radhiyallahu 'anhum.

Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan : "..... Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para sahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah".[5]

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna :

1. Mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.

2. Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaih wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan :"Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan : Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil".[6]

Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya :"Siapakah Ahlus Sunnah itu ? Ia menjawab : Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli".[7]

Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.

Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang dihadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.

AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH
Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama'ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama'ah. [8]

Para ulama berselisih tentang perintah berjama'ah ini dalam beberapa pendapat :[9]

1. Jama'ah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum.
4. Jama'ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jama'ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.

Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna:

1. Bahwa jama'ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jama'ah ini dan haram menentang jama'ah ini dan amirnya.

2. Bahwa jama'ah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama'ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.[10]

Syaikhul Islam mengatakan : "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama'ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').[11]

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala :

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ

"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram". [Ali-Imran/3 : 106].

"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah". [12]

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : "Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do'akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah".[13]

Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.

Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

ASY'ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH.
Asy'ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab Salaf "Ahlus Sunnah wa Jama'ah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu As'ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.

Az-Zubaidi mengatakan : "Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah".[14]

Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan :"Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi". [15]

Al-Ayji mengatakan :"Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang mereka : "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para sahabatku berada diatasnya". Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah".[16]

Hasan Ayyub mengatakan : "Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid". [17]

Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini :

1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.

2. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.

(Terjemahan dari majalah Al-Bayan No. 78 Shafar 1415H/Juli 1994 oleh Ibrahim Said).

[Disalin dari majalah As-Sunnah edisi 10/I/1415-1994 hal.29-32, Diterbitkan oleh Istiqomah Groups Surakarta, Alamat : Gedung Umat Islam Lt II Kartopuran No. 241A. Telp. 0271-35923, Surakarta 57152]

http://almanhaj.or.id/content
_______

Menyoroti Shalat Arba’in Di Masjid Nabawi


Hadits Shalat Arba’in

Oleh
Ustadz Astinizamani Lc.


Keinginan kuat agar selamat dari adzab api neraka dan selamat dari kemunafikan telah memotivasi banyak orang untuk melakukan shalat berjama’ah selama 40 kali di masjid Nabawi. Shalat ini disebutkan dengan shalat arba’in. Patut diselidiki, bagaimanakah derajat hadits tersebut? Berikut sedikit penjelasannya.

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌكُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئََ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa melaksanakan shalat di masjidku sebanyak empat puluh shalat, tanpa ada satu shalat pun yang tertinggal; niscaya ia akan dijauhkan dari neraka, selamat dari siksaan dan dijauhkan dari sifat kemunafikan.

Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad [1] dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath [2], dengan sanad mereka dari : ‘Abdurrahmaan bin Abir Rijal, dari Nubaith bin ‘Umar, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (sebagaimana redaksi (matn) di atas)

hadits dengan (matn di atas merupakan riwayat Imam Ahmad, sedangkan dalam riwayat at-Thabrani, tanpa ada kalimat: (ؤَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ).

Setelah membawakan riwayat ini, at-Thabrani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkannya dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu selain Nubaith bin ‘Umar dan hanya Ibn Abir Rijal yang meriwayatkannya (dari Nubaith).”

Sanad hadits ini bermasalah, karena perawi yang bernama : Nurbaith bin ‘Umar dalam sanad ini tidak diketahui atau tidak dikenal (majhul), sebagaimana penjelasan at-Thabrani, bahwa tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali ‘Abdurrahman bin Abir Rijal.

Majhul itu ada dua jenis:
1. Majhul ‘ain, artinya : Tidak diketahui atau tidak dikenal. Para Ulama ahli hadits mendefinisikannya sebagai seorang perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali satu orang saja.

2. Majhul hal, artinya : Tidak diketahui perihal atau derajatnya. Dalam istilah lain dikatakan mastur (tertutup) yang didefinisikan sebagai perawi seorang perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih, tapi tidak ada satu Ulama hadits pun yang bercerita tentang perihal dan derajatnya. [3]

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi majhul- baik yang majhul ‘ain maupun haal- dihukumi lemah (dha’if), sampai ditemukan riwayat lain yang mengikutinya dan menguatkan derajatnya. Hadits di atas, tidak ada satu riwayat pun yang mengikuti dan menguatkan riwayat ini, sehingga hadits ini menjadi dla’if.

Namun, Imam Ibn Hibban menyebutkan nama Nubaith bin ‘Umar dalam kitabnya al-Tsiqat [4]. Ini kemudian dijadikan pegangan oleh beberapa ulama untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih. Diantaranya adalah Iam al-Haitsami. Beliau rahimahullah mengatakan,”Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Thabrani dalam kitab al-Awsath dan para perawinya semua tsiqah.”[5]

Begitu juga imam al-Mundziri, bahkan beliau rahimahullah berlebihan dengan mengatakan, “diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya semua adalah para perawi yang disebutkan di kitab-kitab shahih, dan diriwayatkan juga oleh at-Thabrani di “al-Awsath”” [6]

Pernyataan ini keliru. Karena tidak semua perawi yang ada dalam sanad tersebut tsiqah. Kita tidak pernah mendapatkan penyebutan perawi yang bernama : Nubaith bin ‘Umar dalam kitab-kitab shahih, seperti shahih al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, bahkan tidak juga dalam kitab-kitab sunan yang empat ; Abu Dawud , al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa semua perawi hadits ini adalah para perawi yang disebutkan dalam kitab-kitab shahih, padahal tidak ada para Ulama yang mengumpulkan hadits-hadits shahih mengambil sanad melalui jalan beliau.

Dari uraian ini, kita fahami bahwa perkataan kedua imam ini adalah sebuah kekeliruan.

Penulisan nama Nubaith bin ‘Umar oleh imam Ibn Hibban dalam kitabnya Tsiqat, dianggap oleh para ulama hadits sebagai bentuk tasahul (sikap terlalu mudah atau menggampangkan) beliau dalam memberikan derajat tsiqah untuk para perawi majhul. Dan tidak ada ulama, baik sebelum atau setelah masa beliau, yang menggunakan metode seperti ini. Walaupun sebagian dari mereka ada yang menjadikan sikap tersebut sebagai pegangan untuk mengangkat derajat seorang perawi majhul menjadi tsiqah. Wallahu a’lam.

SENADA TAPI TAK SAMA
Kemudian, ada hadits yang hampir senada dengan hadits ini yaitu yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi [7], Bahsyal [8] dalam kitabnya Tarikh Wasith” [9], Ibnu ‘Adi dalam kitab al-Kamil [10] dan al-Baihaqi dalam kitab Su’abul Iman [11], semua dengan sanad masing-masing, dari Salm bin Qutaibah Abu Qutaibah dari Thu’mah bin ‘Amr, dari Habib..., dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa riwayatnya,”....dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik”. Sedangkan dalam riwayat Ibn ‘Adi dijelaskan bahwa Habib itu adalah orang yang dijuluki al-Hadzdza’. Adapun riwayat Bahsyal dan al-Baihaqiy, disebutkan, “......dari Habib, dari Anas Radhiyallahu anhu”, tanpa menjelaskan nasab perawi yang bernama Habib tersebut.

Redaksi (matn) dari riwayat ini semuanya hampir sama, namun yang harus diperhatikan, dalam riwayat ini tidak ada pengkhususan tempat. Ini berbeda dengan redaksi hadits di atas yang menyebutkan tempat khusus yaitu di masjid Nabawi saja. Redaksinya adalah sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى آللَّهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat karena Allah, selama empat puluh hari, secara berjama’ah, dengan selalu mendapatkan takbir yang pertama (bersama imam); niscaya akan diberikan kepadanya kebebasan (keselamatan) dari dua hal: dari neraka dan dari kemunafikan.

Kecuali riwayat Bahsyal, yang redaksinya berbeda yaitu:

مَنْ صَلَّى مَعَ الإِمَامِ صَلاَةَ الْغَدَاةِ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa shalat shubuh bersama imam (yakni: secara berjama’ah) selama empat puluh hari; niscaya ia akan terbebas dari dua hal, yaitu : neraka dan kemunafikan.

Redaksi ini juga tidak ada penyebutan tempat secara khusus. Wallahu a’lam.

Sanad hadits ini hasan, disebabkan oleh dua orang perawi dalam sanadnya yang tidak sampai derajat tsiqah. Keduannya adalah : Thu’mah bin ‘Amr dan Salm bin Qutaibah.

Thu’mah bin ‘Amr, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberinya derajat tsiqah, seperti : Ibn Ma’in [12], Abu Hatim [13] dan yang lainnya. Ibn Hibban rahimahullah juga menyebutkan nama beliau dalam kitabnya al-Tsiqat [14]. Pandangan yang berbeda disampaikan al-Daruquthniy, beliau berkata, “dia tidak bisa dijadikan hujjah, namun tetap boleh dijadikan sandaran.”[15]

Perkataan inilah yang kemudian menurunkan derajat Thu’mah dari tsiqah menjadi shaduq, sebagaimana perkataan al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah “Shaduq ‘abid (bisa dipercaya dan ahli ibadah).”[16]

Keadaan Salm bin Qutaibah juga tidak jauh beda, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberikannya derajat tsiqah, di antaranya: Ibn Ma’in [17], Abu Zur’ah [18], Abu Dawud [19], Abu Hatim [20], al-Daruqthniy [21] dan yang lainnya. Hanya saja Abu Hatim mengatakan, “....(beliau) banyak salahnya....”. dan Abu Hatim termasuk ulama ahli hadits yang perkataannya sangat kuat dalam hal ini. Pandangan beliau ini menyebabkan derajat perawi ini turun dari tsiqah menjadi shaduq, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar. [22]

Kemudian, Thu’mah bin ‘Amr yang meriwayatkannya dari Habib bin Abu Tsabit (riwayat al-Tirmidzi) diikuti oleh khalid bin Thahman, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad [23] dengan sanad beliau dari Qais bin al-Rabi’, dari khalid bin Thahman, dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik; secara marfu’ dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan matn sebagai berikut:

مَنْ لَمْ تَفُتْهُ الرَّكْعَةُ الأُوْلَى أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، كَتَبَ آللَّهُ لَهُ بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةُ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةً مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa tidak pernah terlewatkan raka’at pertama (dalam shalat) selama empat puluh pagi (hari), niscaya Allah akan mengganjarnya dengan dua keselamatan; keselamatan dari neraka, dan keselamatan dari kemunafikan.

Qais bin al-Rabi’ diikuti oleh ‘Aِِtha’ bin Muslim, yang juga meriwayatkannya dari Khalid bin Thahman, dan seterusnya; secara marfu’, sebagaimana yang disebutkan oleh ad-Daruquthniy dalam kitabnya al-‘Ilalul Waridah [24]

Namun, riwayat mereka berdua (Qais bin al-Rabii’ dan ‘Athaa’ bin Muslim) ternyata diselisihi oleh riwayat berikut:

1. Waki’, yang disampaikan oleh: at-Tirmidzi [25], dan Ibn ‘Adi dalam kitabnya al-Kamil [26]
2. Abu Usamah, yang disampaikan oleh : al-Baihaqi dalam Su’abul Iman [27]
3. Ahmad bin Yunus, yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Muttafiq wal Muftariq[28]
4. Sufyan al-Tsauri, dan Qurrah bin ‘Isa, yang keduanya disampaikan oleh Bahsyal dalam Tarikh Wasith” [29], dengan redaksi yang sama seperti riwayat Bahsyal sebelumnya.

Semuanya (Waki’, Abu Usamah, Ahmad, Sufyan dan Qurrah) meriwayatkan dari Khalid bin Thahman (Abul ‘Ala al-Khaffaf), dari Habib bin Abu Habib (Ab ‘Amirah al-Bajali al-Iskaf), dari Anas bin Malik secara mauquf ; dari perkataan Anas, dan tidak menjadikannya marfu’ dengan redaksi yang hampir sama dengan riwayat at-Tirmidzi dan yang lainnya, tanpa ada penyebutan tempat secara khusus, baik tempat maupun jenis shalat tertentu. Kecuali riwayat Abu Usamah yang disampaikan oleh al-Baihaqi, redaksinya sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ، صَلاَةَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ الآخِرَةِ، كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat selama empat puluh hari dengan berjama’ah, shalat fajr (subuh) dan ‘Isya’; niscaya akan diganjar dengan kebebasan dari dua hal: dari neraka dan dari kemunafikan.

Riwayat mereka inilah yang kemudian dianggap lebih kuat (rajih) dan lebih terjaga (mahfudh), sebab tiga di antaranya adalah para perawi yang tidak diragukan lagi ketsiqahan (kafabelitas) mereka dalam meriwayatkan hadits, yaitu : ًWaki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah (Hammad bin Usamah), Sufyan al-Tsauriy dan Ahmad bin Yunus [30], sedangkan derajat para perawi yang menyelisihi mereka, yaitu : Qais bin ar-Rabi’ dan ‘Atha’ bin Muslim, tidak bisa disamakan dengan ketiga imam ini. [31].

Walaupun demikian, sanadnya masih bermasalah. Sebab, Habib bin Abu Habib tidak disebutkan dan tidak dijelaskan kondisi dan derajatnya oleh para ulama ahli hadits, kecuali Imam Ibn Hibban, yang hanya menyebutkan nama beliau dalam kitab al-Tsiqat [32]. Imam ad-Daruquthni menyebutkan nama Habib bin Abu Habib) dalam kitab al-Dhu’afa’ wal Matrukun [33].

KESIMPULAN
Hadits yang mengandung perintah untuk shalat sebanyak empat puluh kali (arba’in shalah) di masjid Nabawi adalah hadits yang dla’if, sebagaimana dijelaskan tadi. Bahkan bisa dihukumi hadits mungkar [34], karena menyelisihi hadits-hadits lainnya yang mengandung perintah untuk shalat selama empat puluh hari tanpa pengkhususan masjid Nabawi (arba’in yaum atau arba’in shabah / arba’in lailah). Walaupun, kita perhatikan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan arba’in yaum atau arba’in shabah/ arba’in lailah. Semuanya tidak lepas dari ‘illah, baik yang terlihat dan diketahui atau pun tidak, ditambah lagi adanya banyak perbedaan (idlthirab) dalam redaksi (matn)nya, karena sebagiannya bersifat umum dan sebagiannya lagi ada yang mengkhususkan shalat tertentu. Namun, dengan berkumpulnya sejumlah riwayat itu, bisa kita katakan bahwa haditsnya menjadi hasan li ghairihi. Wallahu a’lam.

TAMBAHAN
Ini sekaligus sebagai nasihat bagi sebagian kaum Muslimin, khususnya di Indonesia, yang masih sangat yakin tentang keharusan untuk melaksanakan shalat sebanyak empat puluh kali shalat secara bertutut-turut di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kiranya lebih memperhatikan dan merenungi hadits yang jelas-jelas shahih yaitu:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits ini muttafaq ‘alaih, sehingga tidak diragukan lagi bahwa derajatnya lebih shahih dari hadits-hadits shalat arba’in di atas. Hadits ini lebih umum dan tidak ada pengkhususan tempat juga tidak ada penyebutan batas waktu tertentu.
Wallahu a’lam

(Ustadz Astinizamani Lc : Beliau sedang menempuh kuliah S2 Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah KSA)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Menyoroti Shalat Arba’in Di Masjid Nabawi


Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA


MUQADIMAH
Pada umumnya, para jamaah haji dijadwalkan untuk mengunjungi kota madinah sebelum atau sesudah penyelenggaraan ibadah haji. Mereka sangat bersemangat berkunjunga ke Madinah meski ziarah ini tidak ada hubungannya dengan memiliki kedudukan yang tinggi dalam sejarah penyebaran Islam. Ke tempat inilah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah untuk kemudian menghabiskan umur beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyemai dakwah Islam di sana. Oleh karena itu, meski ibadah haji tetap sah tanpa ziarah ke Madinah, namun para jamaah haji selalu merasa ada yang kurang jika tidak berkunjung ke sana. Di antara ibadah yang biasa dilakukan para jamaah haji selama di kota ini adalah shalat arba’in di Masjid Nabawi. Tulisan ini mencoba menelisik beberapa segi dari ibadah ini agar para pembaca bisa mengetahui kedudukannya dalam Islam.

KEUTAMAAN SHALAT DI MASJID NABAWI.
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain. Allah Azza wa Jalla telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allah Azza wa Jalla telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Hadits berikut dengan tegas menjelaskan hal ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram.” [HR. Al-Bukhari no.1190 dan Muslim no 505]

Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari di tempat yang lain. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits yang muttafaq ‘alaih sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini sudah cukup sebagai penggelora semangat kita dan kita tidak butuh lagi hadits-hadits yang lemah.

APA ITU SHALAT ARBA'IN?
Arba’in atau arba’un dalam bahasa arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka tebebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba’in.

Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَنْ صَلَّ فِي مَسجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاَةً، لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ، وَبَرِىءَ مِنَ النِّفَاقِ

Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan. [HR. Ahmad no.12.583 dan ath-thabrani dalam al-ausath no. 5.444]

Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa ulama seperti al-Mundziri rahimahullah, al-Haitsami rahimahullah dan Hammad al-Anshari rahimahullah [1] karena Ibnu Hibban rahimahullah memasukkan Nubaith bin Umar, salah seorang perawi hadits tersebut dalam kitab ats-Tsiqat. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul), dan para Ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban rahimahullah memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yang majhul ke dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).

Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- kecuali hadits ini ?[2]

Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi) [3]. Pembahasan lebih dalam mengenai takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar keshahihan hadits ini bisa ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini.

BEBERAPA CATATAN TENTANG PRAKTEK SHALAT ARBA'IN
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya:

1. Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama imam. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Jika kalian mendengar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal. [HR. Al-Bukhari no. 636 dan Muslim no.154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari]

2. Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah menyelesaikan arba’in. Hal ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelang kepulangan dari Madinah. Panggilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi para jamaah haji setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa melihat kondisi yang lebih memperhatikan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in ? jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampal buruk atau dipahami secara salah.

Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim – salah satu ulama yang ikut menshahihkan amalan ini- berkata, ”Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.”[4]

3. Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu lama, sedangkan mereka tidak memiliki bekal yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan meyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebaian orang yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in. [5]

Adapun jamaah haji Indonesia, insya Allah tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di madinah sudah masuk dalam paket biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.

Disamping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memiliki keutamaan lebih besar.

4. Barangkali ada jamaah haji yang memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang sakit keras demi mengejar keautamaan arba’in. Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hal ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor penyebab banyaknya kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementara sebagian jamaah lain justru sakit saat ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini.

5. Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:

عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi bahwa ia telah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,”wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata,”aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu daripada shalat di kamar depan. Shalatmu dikamar depan lebih baik bagimu daripada shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu daripada shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid dibagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah. [HR. Ahmad no.27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar]

Kita sudah mengetahui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jammah haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid Radhiyallahu anhuma yang begitu menaati sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji yang kadang shalat di jalan-jalan kota Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu agama yang memadai.

ADA ARBA'IN LAIN.
Selain arba’in di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat karena Allah Azza wa Jalla empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. [HR at-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan : para rawinya tsiqah] [6]

Dibanding arba’in yang di atas, arba’in ini memiliki beberapa pendapat yaitu :

1. Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam delapan hari. Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan.

2. Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka bumi.

JANGAN LEWATKAN PAHALA JIHAD DI MASJID NAWABI
Diakhir pembahasan ini, saya ingin mengajak para peziarah kota Madinah untuk tidak melewatkan sebuah peluang pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah amalan yang tidak hanya akan bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan bisa menerangi sisa kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلَّا لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa mendatangi masjidku ini tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ini dia pelajari atau ajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa datan untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.” [HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani]

Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah suq al ‘ilmi (pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya. [7]

Jika anda paham bahas arab, anda bisa belajar langsung kepada para ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya. Atau mengadiri pengajian berbahasa Indonesia yang mulai tahun ini Insya Allah akan dibuka di kursi-kursi resmi dalam Masjid Nabawi dan diampu para mahasiswa senior di Universitas Islam Madinah. Yang penting setiap langkah anda dari penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, agar pahala jihad tidak luput dari Anda.

Musim haji selain menjadi musim ibadah juga merupakan titik temu para Ulama dan penuntut ilmu. Para jamaah haji yang ingin melipatgandakan keuntungan mereka menimba ilmu dari para Ulama haramain atau para ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia, kemudian mendakwahkannya di negeri masing-masing. Mereka menjadi duta dakwah sebagaimana dahulu para shahabat meninggalkan tanah suci yang mereka cintai untuk menebar hidayah. Atau jika tidak mendakwahkannya secara luas, paling tidak mereka mengenal Islam yang murni langsung dari sumbernya dan bermanfaat untuk mereka dan keluarga mereka, dan ini sungguh keuntungan yang tidak sedikit.

KHATIMAH
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di Masjid Nabawi. Lemahnya hadits arba’in, ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan diatas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allah membimbing kita dan kaum Muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbing kita semua kepada apa yang Dia cintai dan ridhai.
Amin.

Referensi:
1. Adhwa’ul bayan fi idhahil Qur’an bil Qur’an, syaikh Muhammad amin asy-syinqithi, darul Fikr.
2. Al-bahtsul amin fi haditsil Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
3. At-Targhib wat Tarhib, al-Mundziri.
4. Fadhlul Madinah, syaikh abdul muhsin al’abbad.
5. Fatawa al-Lajnah Daimah,
6. Majma’ az-zawaid wa manba’ al-fawa’id, al-Haitsami, Maktabah al-Qudsi.
7. Majmu’ fatawa syaikh Bin Baz, Muhammad asy-syuwai’ir.
8. Mir’atul mafatih syarh misykatil mashabih, abul hasan alMubarakfuri, al-Jami’ah as-Salafiyyah.
9. Shahihut Targhib wat tarhib, al-albani, Maktabah al-Ma’arif.
10. Silsilah al-ahadits adh-dha’ifah wal Maudhu’ah, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
11. Takhrij ahadits ihya ulumiddin, al-Hafizh al-‘Iraqi, Darul ‘ashimah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


http://almanhaj.or.id/content/
_______