Tuesday, May 27, 2014

Fenomena Bertekad Taubat Ketika Hendak Bermaksiat

Fenomena Bertekad Taubat Ketika Hendak Bermaksiat



Ada fenomena ‘aneh’ pada sebagian orang. Ketika akan berbuat maksiat, sudah ditanamkan untuk taubat setelah perbuatan buruk yang ia lakukan. Dalam hatinya ia berbisik, “Nanti setelah aku melakukan maksiat ini, saya akan bertaubat”.

Memang betul, pintu taubat akan tetap terbuka sebelum matahari terbit dari arah barat. Siapa saja bertaubat kepada Allâh dengan taubat sebenarnya (taubat nashuha) dari perbuatan syirik dan perbuatan lain yang lebih rendah darinya, Allâh Azza wa Jalla akan menerima taubatnya.

Taubat nashûhâ ialah taubat yang mencakup beberapa aspek yaitu berhenti dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang diperbuat dan bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi sebagai realisasi dari rasa takutnya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya kepada Allâh Azza wa Jalla dan demi mengharap maaf dan ampunan-Nya.

Syarat sahnya taubat bertambah menjadi empat bila kesalahan seseorang berhubungan dengan hak sesama (orang lain). Yaitu dengan menyerahkan hak-hak orang tersebut yang diambil secara zhalim, baik berupa harta (yang dicuri) atau meminta dibebaskan (dihalalkan) darinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Barang siapa pernah berbuat zhalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, henadaknya meminta orang itu untuk menghalalkan kesalahannya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki kebaikan, maka sejumlah kebaikan akan diambil darinya sebanding dengan perbuatan kezhalimannya (untuk diserahkan kepada orang yang teraniaya). Apabila tidak memiliki kebaikan, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya [HR. a-Bukhâri no. 2269]

Tekad untuk bertaubat dari perbuatan dosa merupakan tekad baik yang berhak untuk dihargai. Namun ketika bisikan “bertaubat” ini justru mendorongnya untuk mengawali rencana taubatnya dengan perbuatan maksiat, ini yang perlu diwaspadai. Jika ini yang terjadi, tidak diragukan lagi, ini termasuk tipu daya setan pada diri manusia untuk memudahkan berbuat maksiat dengan dalih di kemudian hari ia akan bertaubat usai berbuat maksiat. Tidakkah si pelaku mengkhawatirkan dirinya ? Bisa saja Allâh Azza wa Jalla menyulitkan jalan bertaubat baginya, sehingga akan mengalami penyesalan yang tiada kira dan kesedihan yang tak terukur di saat penyesalan tiada berguna lagi.

Kewajiban seorang Muslim adalah menghindari perbuatan syirik dan hal-hal yang menyeret kepadanya serta menghindari seluruh perbuatan maksiat. Sebab, bisa saja ia dicoba dengan bergelimang dalam maksiat, namun tidak mendapat taufik untuk bertaubat. Oleh karena itu, ia harus selalu menjauhi seluruh perkara yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan memohon keselamatan dari-Nya, tidak menuruti bujukan setan, sehingga berani berbuat maksiat dengan menyisipkan niat di hati untuk bertaubat sebelumnya.

Simaklah firman-firman Allâh Azza wa Jalla berikut yang berisi perintah untuk selalu takut kepada-Nya, ancaman bagi siapa saja yang nekat berbuat maksiat, dan larangan mengikuti bisikan hawa nafsu dan rayuan setan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk) [al-Baqarah/ 2:40]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ

Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya [Ali ‘Imrân/3:28]

Dalam ayat yang lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ﴿٥﴾إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala [Fâthir/35:5-6]

(Diadaptasi dari Majmû Fatâwa wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Bâz, 5/410-411)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]




Menuju Masyarakat Sadar Bersyari'at


Oleh
Ustadz Zainal Abidin bin Syamsudin Lc


URGENSI PENEGAKAN SYARIAT
Tidak diragukan bahwa pengaburan dan penguburan hukum Allâh Azza wa Jalla sehingga tidak diterapkan dalam kehidupan secara umum merupakan musibah besar yang menimbulkan berbagai macam kerusakan, kedzaliman, dan kehinaan di muka bumi. Sebaliknya penegakan hukum Allâh Azza wa Jalla sebagai bentuk pengabulan terhadap panggilan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya menjadi sumber keadilan, ketenangan, stabilitas keamanan dan tumbuhnya kemajuan dan kebangkitan umat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allâh Azza wa Jalla dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. [al-Anfâl/8:24]

Ini merupakan gambaran hasil atau konsekuensi dari (pengabulan terhadap) semua seruan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya; Ini juga bentuk penjelasan akan faedah dan hikmahnya, karena hidupnya hati dan ruhani itu hanya dengan penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla semata, terus menerus taat kepada-Nya dan mentaati Rasul-Nya.[1]

Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku –semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa merahmati kita- penolakan syariat hanya murni bersumber dari mengikuti hawa nafsu yang berakibat tumbuhnya kesesatan di dunia dan berdampak pada adzab di akherat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla sedikitpun. sesung- guhnya Allâh Azza wa Jalla tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [al-Qashash/28:50]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, "Ketika manusia tidak mau menerapkan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasul dan tidak mau menjadikannya sebagai rujukan hukum, (atau) bahkan menyakini bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah saja tidak cukup, akhirnya dia menggantinya dengan ra’yu (pendapatnya), qiyâs, istihsân, dan gagasan tokoh, maka (perbuatan seperti ini) pasti akan menimbulkan kerusakan dalam fitrah mereka, keruh dalam pemahaman mereka, keganjilan dalam pola pikir mereka.[2]

Menegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla merupakan cabang tauhid paling mulia dan konsekwensi tauhid rububiyah Allâh. Sehingga penerapan hukum Allâh Azza wa Jalla menjadi bukti bahwa kekuasaan dan pengaturan Allâh Azza wa Jalla berjalan secara normal dan mutlak, maka perkara yang halal apa yang dihalalkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan perkara yang haram apa yang diharamkan Allah, dan agama adalah yang disyareatkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan tidak ada seorangpun yang boleh keluar darinya bahkan wajib mengikutinya secara mutlak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7: 3]

Sebaliknya robohnya hukum Allâh Azza wa Jalla dan matinya syariat sebagai bentuk perampasan rububiyah Allâh Azza wa Jalla dan pelecehan terhadap hak Rab alam semesta. Ini semua menjadi sumber malapetaka, kedzaliman dan ini menumbuh kembangkan sikap mengekor kepada ahli kitab, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allâh Azza wa Jalla dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allâh Azza wa Jalla dari apa yang mereka persekutukan. [at-Taubah/9:31]

Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu –salah shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam - menyangka bahwa mempertuhankan atau penyembahan terhadap orang-orang alim dan rahib-rahib mereka itu hanya terwujud dengan sebab pengajuan nadzar, sembelihan, sujud, rukuk dan semisalnya. Sehingga beliau z berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Kami dahulu tidak menyembah mereka." Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Bukankah mereka mengharamkan yang dihalalkan Allâh, lalu kalian juga mengharamkannya dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allâh, lalu kalian juga mengharamkanya ?" Beliau Radhiyallahu anhu berkata, "Ya." lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Itulah bentuk ibadah mereka kepada para mereka (para rahib).[3]

Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah memperbaiki bumi dengan datangnya utusan dan agama lalu memerintahkan (para makhluknya agar) bertauhid dan melarang membuat kerusakan di muka bumi dengan kesyirikan dan penentangan terhadap Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang merenungkan keadaan semesta alam secara baik pasti ia akan menemukan kesimpulan bahwa kedamaian di muka bumi disebabkan tegaknya tauhid, ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan mentaati Rasul; Sementara kekacauan di muka bumi baik berupa fitnah, paceklik, penjajahan musuh dan berbagai macam bencana karena menentang Rasul dan mengajak kepada ajaran selain (ajaran) Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.”[4]

REALITA PENERAPAN SYARI’AT
Pencampakan, penodaan dan penghinaan syariat Islam terjadi hampir diseluruh belahan dunia Islam baik di barat maupun di timur bahkan agama Islam perlahan-lahan lepas seutas demi seutas dari diri umat Islam seperti lepasnya ranting kering atau rontoknya dedaunan dari pohon yang kering. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keadaan ini dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَتُنْقَضَنَّ عُريَ الإِسلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتيْ تَلِيْهَا فَأَوَّلهُنَّ نَقْضًا الحُكْمُ وَ آَخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

Sesungguhnya tali Islam akan terlepas seutas demi seutas, ketika terlepas satu utus maka umat manusia berpegang tali berikutnya maka perkara yang pertama kali (urusan agama) yang terlepas adalah hukum dan yang paling akhir adalah shalat.[5]

Fenomena ini mengakibatkan, umat manusia tenggelam dan bingung dalam kegelapan undang-undang positif buatan manusia, sehingga Peradilan obyektif, keputusan dan hukuman adil hanya sebuah retorika. Yang terjadi, dalam penuntasan kasus hukum yang adil dan beradab bagi para pencari kebenaran hanya sebuah hayalan. Para penegak hukum tidak segan-segan membuat makar dalam sebuah kasus asalkan ada pelicin. Mereka bersama-sama bermain cantik menjungkirbalikkan fakta kebenaran, sehingga hasil hukum dan keputusan peradilan penuh dengan rekayasa. Ironis memang, kepandaian mengolah kata dan beradu argumen yang dianugerahkan Allâh Azza wa Jalla bukan hanya untuk merubah fakta kebenaran namun digunakan untuk merubah hukum Allâh Azza wa Jalla , sehingga mereka memakan harta manusia secara batil yang berujung pada murka Allâh Azza wa Jalla dan api neraka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضُكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ بِنَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ مِنْهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ فَلا يَأْخُذْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya kalian mengadukan (masalah hukum) kepadaku, bisa jadi di antara kalian ada yang lebih pintar bersilat lidah dari yang lainnya, sehingga aku putuskan berdasarkan yang aku dengar maka siapa yang aku ambilkan untuknya dari hak saudaranya maka janganlah mengambilnya karena sesungguhnya aku telah mengambil untuknya potongan (harta) api neraka.[6]

Demikianlah, kondisi kehidupan, para penegak hukum tidak berdaya di hadapan kekuasaan dan kekayaan, sehingga keputusan hukum dipermainkan dan diperdagangkan. Peradilan hanya untuk orang yang berduit dan berkuasa. Pedang hukum sangat tajam untuk orang-orang lemah tapi tumpul untuk para penjahat yang berharta dan bertahta, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا، إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ؛ وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kalian binasa, karena bila terdapat pencuri dari kalangan terhormat, maka mereka membiarkan dan bila terdapat pencuri dari kalangan lemah, maka mereka menegakkan hukuman atasnya, demi Allâh Azza wa Jalla andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri maka akan aku potong tangannya.[7]

Di negeri kita tercinta, fenomena ini marak terjadi, bila yang melakukan kejahatan rakyat kecil, maka pedang hukum benar-benar tajam. Namun bila yang melakukan para konglomerat, pejabat terhormat atau kalangan berduit walaupun mereka menguras harta Negara atau kejahatan mereka mengguncang dunia maka mereka dihukum sangat ringan, bahkan bisa lolos tanpa ada jerat hukum.

SYUBHAT PENOLAKAN SYARI'AT
Para musuh Allâh Azza wa Jalla telah menempuh berbagai macam usaha dan mengerahkan segala kekuatan dan pemikiran untuk mengubur hukum Allâh Azza wa Jalla di setiap negeri kaum Muslimin. Mereka menggulirkan opini sesat dan menebar issu miring tentang hukum Islam terutama hukum qishâs, cambuk, potong tangan, dan rajam yang mereka pandang biadab dan tidak manusiawi. Mereka menuduh poligami sebagai bentuk pelecehan terhadap harga diri wanita, pelanggaran terhadap hak asasi wanita, tidak mengakui kesetaraan gender dan penghinaan terhadap kepribadian wanita. Pembagian warisan dalam Islam pun tidak lepas dari penilaian buruk mereka. Mereka menilainya kurang menghormati kesetaraan gender, bentuk kedzaliman atas nama agama dan pengabaian hak-hak wanita. Semua opini-opini ini, mereka sebarkan dalam rangka memadamkan seluruh cahaya Allâh Azza wa Jalla . Namun usaha mereka tidak akan pernah berhasil. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allâh Azza wa Jalla dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. [at-Taubah/9:32]

Mereka menuduh bahwa syari'at Islam hanya untuk memenuhi kebutuhan rohani bukan untuk mengatur muamalat, peradilan, politik dan kriminal. Mereka merekayasa hukum untuk mengatur kehidupan di dunia dengan Undang-Undang buatan mereka. Padahal al-Qur’an memuat kaidah dan hukum yang terkait masalah pemerintahan dan perdagangan, peperangan, harta rampasan perang dan tawanan perang bahkan banyak nash-nash yang jelas yang membahas tentang hukum warisan, qisas, potong tangan, rajam dan cambuk serta hukum lainnya yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia.

Barangsiapa menyangka bahwa syari'at Islam hanya mengurusi ibadah mahdhah (murni), perkawinan, perceraian, pemberangkatan jamaah haji dan pengurusan jenazah saja maka ia telah mengada-ada dan berbuat kebohongan besar atas nama Allâh Azza wa Jalla . Karena orang yang tidak berhukum dengan hukum Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh masalah kehidupan, sesungguhnya mereka dalam bahaya yang sangat besar. Karena keimanan seseorang tidak dianggap benar sebelum ia mengingkari thaghut sedang orang yang berhukum kepada selain hukum Allâh Azza wa Jalla berarti telah berhukum kepada thaghut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. [an-Nisa’/4:60]

Syaikh bin Baz rahimahullah berkata, "Tidak ada iman bagi orang yang menyakini bahwa hukum buatan manusia dan gagasan makhluk lebih baik daripada hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya; atau menyamainya, atau menyerupainya, atau membolehkan hukum Allâh Azza wa Jalla digantikan dengan hukum positif atau undang-undang buatan manusia, meskipun ia menyakini bahwa hukum Allâh Azza wa Jalla lebih baik, lebih sempurna dan lebih adil.[8]

RESIKO HUKUM BUATAN MANUSIA
Tidak diragukan lagi kekufuran orang yang menganggap bahwa hukum atau undang-undang buatan manusia itu lebih cocok atau lebih bijak untuk kehidupan manusia daripada hukum Allâh Azza wa Jalla . Bahkan di antara mereka ada yang marah bila diberitahukan kepadanya tetang hukum Allah k pada suatu masalah tertentu. Sikap ini bisa ditemukan pada beberapa orang yang dibutakan hatinya dan ditulikan pendengarannya dari kebenaran.
Allâh Azza wa Jalla menafikan keimanan dari seseorang sampai dia menerima secara totalitas syariat yang diajarkan oleh Rasûlullâh sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4:65]

Syaikhul Islam rahimaahullah berkata, "Sudah dimaklumi bersama berdasarkan kesepakatan umat Islam bahwa wajib menjadikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rujukan hukum dalam setiap persengketaan, baik dalam urusan agama maupun dunia, baik dalam masalah pokok agama atau cabangnya. Wajib bagi mereka ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan suatu hukum untuk tidak punya perasaan mengganjal dan mereka harus menerima dengan sepenuh hati."[9]

Seorang Muslim yang mengikuti dan mentaati undang-undang atau hukum buatan manusia yang bertentangan dengan syari'at Allah, memandangnya lebih baik atau menghalalkannya, berarti telah terjatuh ke dalam kesyirikan sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

Dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. [al-An’âm/6:121]

Wahai umat berakal, wahai kaum cendikiawan, bagaimana kalian bisa diatur dengan undang-undang buatan manusia, sementara yang membuatnya setara dengan kalian atau lebih rendah ketimbang kalian atau sangat mungkin mereka salah. Bahkan kemungkinan salah lebih besar atau tidak pernah benar sama sekali kecuali bila mereka mau mengambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung atau melalui ijtihad. Mereka memutuskan hukum untuk mengadili kalian, baik terkait dengan darah, harta, kehormatan, keluarga dan seluruh hak-hak kalian dengan hukum buatan mereka. Apakah kalian rela mereka mengadilimu dengan hukum buatan mereka sementara mereka menolak hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya yang tidak pernah mengandung kesalahan dan tidak pernah tertimpa kebatilan.[10]

Berhukum dengan undang-undang buatan manusia adalah bentuk pelanggaran dan kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

Dan barangsiapa mendurhakai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allâh Azza wa Jalla memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. [an-Nisa’/4:14]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, "Barangsiapa menyakini bahwa selain petunjuk Nabi lebih sempurna atau hukum selainnya lebih baik seperti kalangan yang lebih mengunggulkan hukum thaghut diatas hukum Allâhk maka dia adalah kafir.[11]

Bahkan mengutamakan hukum thaghut merupakan bentuk pelecehan terhadap syari'at dan bisa menimbulkan kekufuran sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ ۖ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ ۚ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan sebab mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allâh Azza wa Jalla haramkan, mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allâh. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu, dan Allâh Azza wa Jalla tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [at-Taubah/9:37]
.
Sesungguhnya undang-undang buatan manusia bentuk agama baru yang dipaksakan sebagai ganti syari'at Islam yang indah. Mereka mengadakan seminar dan muktamar, menulis karya ilmiyah, membuat lokakarya atau pelatihan, dan mendirikan lembaga dalam rangka aktualisasi dan sosialisasi untuk menanamkan kecintaan dan loyalitas kepada undang-undang tersebut; Bahkan mereka mengagungkan dan mensucikan undang-undang yang banyak mengandung kelemahan dan kerancauan karena dibuat secara sabyektif oleh manusia yang banyak kelemahan, kecurangan dan keterbatasan. Seharusnya syari'at Allâh Azza wa Jalla menjadi hukum dan undang-undang tunggal yang mengendalikan kehidupan manusia.

BENCANA MENOLAK SYARIAT
Cukup banyak bencana dan musibah yang menimpa bangsa Indonesia dari mulai Tsunami di Aceh yeng menelan korban ratusan ribu nyawa, banjir yang silih berganti, teror bom, dan gempa bumi yang mengguncang hampir di seluruh bumi pertiwi yang mengakibatkan nyawa melayang dan kekayaan bernilai trilyunan rupiah ludes. Seharusnya semua itu menjadi bahan perenungan yang bisa menggugah kesadaran untuk bersyariat dan semakin mendekatkan diri kepada Allâh. Karena manusia yang cerdik adalah manusia yang bisa mengambil pelajaran dari musibah orang lain, sementara manusia pandir adalah orang yang baru bisa mengambil pelajaran setelah dirinya terkena musibah.

Tidaklah bencana dan adzab menimpa suatu umat atau negeri kecuali akibat dari kebodohan dan kedzaliman yang mereka lakukan, sedangkan tidak ada kedzaliman yang paling besar kecuali pelanggaran dan penodaan terhadap syari'at Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allâh, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. [al-Mâidah/5:45]

Sementara kedzliman dalam bentuk apapun termasuk karena penodaan dan penolakan terhadap hukum Allâh Azza wa Jalla pasti mendatangkan bencana dan adzab sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ

Dan Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. [Hud/11: 102].

Bencana alam bisa menimpa siapa saja karena perbuatan dzalim baik berupa kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan, kefasikan dan kemaksiatan yang ditebarkan di muka bumi sehingga Allâh Azza wa Jalla memberikan peringatan dalam firman-Nya :

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ﴿٩٧﴾أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ﴿٩٨﴾أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ﴿٩٩﴾أَوَلَمْ يَهْدِ لِلَّذِينَ يَرِثُونَ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ أَهْلِهَا أَنْ لَوْ نَشَاءُ أَصَبْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ ۚ وَنَطْبَعُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ

Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur ? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain ? Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allâh Azza wa Jalla (yang tidak terduga-duga) ? Tiada yang merasa aman dari adzab Allâh Azza wa Jalla kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)? [al’Arâf/7:97-100]

Makanya, semua umat harus ikut memberantas kebodohan, kedzaliman, kemunkaran, kemaksiatan, penodaan terhadap syari'at, dan pelecehan terhadap hukum Allah. Jika tidak, maka Allâh Azza wa Jalla akan menghancurkan orang-orang shalih bersama dengan orang-orang yang jahat dan dzalim sebagaimana firman Allâh, yang artinya, "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allâh Azza wa Jalla Amat keras siksaan-Nya. [al-Anfâl/8:25]

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma berkata, "Pernah Rasûlullâh menghadap ke arah kami dan bersabda, 'Akan terjadi lima bencana yang akan menimpa kalian dan Aku berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla semoga kalian tidak mendapatinya; tidaklah kekejian (zina) menyebar di suatu negeri melainkan Allâh Azza wa Jalla akan menimpakan penyakit wabah dan thaun yang belum pernah terjadi pada umat sebelumnya; Tidaklah mereka menahan (tidak mengeluarkan) zakat malnya melainkan Allâh Azza wa Jalla akan menahan turunnya hujan dari langit, kalau bukan karena hewan ternak maka tidak akan diturunkan hujan kepada mereka; Tidaklah mereka gemar mengurangi takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa musibah paceklik, kesulitan ekonomi dan jahatnya para penguasa; Tidaklah mereka melanggar janji Allâh Azza wa Jalla dan janji Rasul-Nya melainkan Allâh Azza wa Jalla akan menguasakan atas mereka para penjajah dan merampas sebagian dari kekayaan mereka dan para pemimpin mereka tidak berhukum dengan Kitabullah dan tidak memilih hukum terbaik dari-Nya melainkan umatnya dirundung konflik terus menerus.[12]

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa berhukum dengan hukum jahiliyah dan berpaling dari hukum Allâh Azza wa Jalla merupakan penyebab timbulnya bencana dan adzab Allâh Azza wa Jalla yang tidak bisa dibendung. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak bisa memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allâh Azza wa Jalla kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh Azza wa Jalla bagi orang-orang yang yakin ? [al-Mâidah/5:49-50]

Sikap dzalim dan melampaui batas tersebut tumbuh akibat bangga dengan kekayaan, sombong dengan status dunia, silau dengan materi dan bodoh terhadap syari'at Islam. Mereka melupakan hukum Allâh Azza wa Jalla dan melanggar norma agama. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allâh, bb semesta alam. [al-An’âm/6:44-45].

Dengan demikian, tidak ada solusi dan jalan keluar yang paling tempat kecuali menegakkan syari'at, menerapkan hukum Allâh Azza wa Jalla di tengah kehidupan, menghidupkan sunnah Nabi dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan Allâh Azza wa Jalla sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allâh Azza wa Jalla akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. [al-Anfâl/8: 33]

Oleh karena itu, renungkanlah uraian Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam mengkaitkan antara gempa bumi dengan dosa manusia, "Pada saat angin bertiup kencang dan masuk ke dalam rongga bumi maka akan menimbulkan gas panas lalu melahirkan tekanan angin namun karena angin tersebut tidak terhambat maka terkadang Allâh Azza wa Jalla mengizinkan bernafas maka terjadilah gempa besar. Yang demikian itu agar tumbuh dalam diri para hamba Allâh Azza wa Jalla rasa takut, inâbah (taubat), melepaskan dirinya dari maksiat, berserah diri kepada-Nya dan menyesali segala dosa-dosanya. Oleh karena itu sebagian Ulama salaf berkata, "Pada saat terjadi gempa bumi berarti Rabbmu telah menegur kalian. Ketika terjadi gempa bumi maka Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkhutbah dan menasehati kaum Muslimin dengan perkataan beliau Radhiyallahu anhu , "Jika terjadi gempa bumi lagi maka aku tidak mau tinggal bersama kalian di tempat ini (Madinah).[13]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir as-Sa’di, hlm. 318.
[2]. al-Fawaid, Ibnu Qayyim, 75.
[3]. Shahih diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3095) dan dihasankan Syaikh al-Bani dalam Ghâyatul Marâm (6).
[4]. Tafsir Al Qayyim, Ibnu Qayyim halm. 255.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya (5/ 251), Imam Hibban dalam Shahihnya (8/ 253) dan Imam al-Hakim dalam Mustadraknya (7022) dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (5076).
[6]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (2680), Imam Muslim dalam Shahihnya (1713), Imam Abu Daud dalam Sunannya (3583), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (1339) dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (26497).
[7]. Shahih diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam Shahihnya (3475), Imam Muslim dalam Shahihnya (1688), Imam Abu Daud dalam Sunannya (4373), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (1430), dan Imam Nasa’i dalam Sunannya (4917)
[8]. Lihat Afa Hukmal Jahiliyah Yabghuun, Syaikh Bin Baz, hlm. 13.
[9]. Lihat Majmû Fâtâwâ Ibnu Taimiyah, 7/37-38.
[10]. Lihat Fatâwâ wa Rasâil Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu Syaikh, 12/ 290.
[11]. Lihat Syarah Nawaqidul Islam, Syaikh Shalih Fauzan, hlm. 96.
[12]. Shahih riwayat Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (4019) dan dishahihkan Syaikh al-Bani
[13]. Lihat Miftah Darus Saadah, 1/ 265.
 

http://almanhaj.or.id/
 

Monday, May 26, 2014

Keutamaan Sayyidul Istighfar

Keutamaan Sayyidul Istighfar


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله


عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ .

Dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Sesungguhnya Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan :

ALLAHUMMA ANTA RABBII LÂ ILÂHA ILLÂ ANTA KHALAQTANII WA ANA 'ABDUKA WA ANA 'ALA 'AHDIKA WA WA'DIKA MASTATHA'TU A'ÛDZU BIKA MIN SYARRI MÂ SHANA'TU ABÛ`U LAKA BINI'MATIKA 'ALAYYA WA ABÛ`U BIDZANBII FAGHFIRLÎ FA INNAHU LÂ YAGHFIRU ADZ DZUNÛBA ILLÂ ANTA

(Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).

(Beliau bersabda) “Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
1. Imam al-Bukhari dalam shahîhnya (no. 6306, 6323) dan al-Adabul Mufrad (no. 617, 620)
2. Imam an-Nasâ-i (VIII/279), as-Sunanul Kubra (no. 9763, 10225), dan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 19, 468, dan 587)
3. Imam Ibnu Hibbân (no. 928-929-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân)
4. Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 7172), al-Mu’jamul Ausath (no. 1018), dan dalam kitab ad-Du’aa (no. 312-313)
5. al-Hâkim (II/458)
6. Imam Ahmad dalam musnadnya (IV/122, 124-125)
7. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1308), dan lainnya dari Shahabat Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu

Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3393) dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dengan lafazh awalnya berbeda, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى سَيِّدِ الْإِسْتِغْفَار ...

Maukah aku tunjukkan kepadamu sayyidul Istighfâr ? …

at-Tirmidzi berkata, ‘Hadits Hasan Gharib.’ Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dengan beberapa jalan dan syawâhid (penguat)nya dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1747).

Imam Bukhâri rahimahullah memasukkan hadits ini dalam “Bab Istighfâr yang paling utama”. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhâri t menganggap ini adah lafazh Istighfâr terbaik. Juga kandungan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa doa ini layak disebut dengan Sayyidul Istighfâr (penghulu Istighfâr) sebagaimana yang disifati oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

PENJELASAN TENTANG ANJURAN ISTIGHFAR
Setiap bani Adam itu pasti banyak berbuat dosa, namun yang terbaik dari oang yang berbuat dosa yaitu yang memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dan bertaubat. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya untuk selalu memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh pun berjanji akan mengampuni orang-orang yang meminta ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” [Thâha/20:82]

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [az-Zumar/39:53]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk banyak beristighfâr/meminta ampun kepada-Nya. Begitu pula Allâh memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beristighfâr. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“…Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan dosa orang mukmin laki-laki dan perempuan…” [Muhammad/47:19]

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

“Maka aku berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun.’” [Nûh/71:10]

وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan mohon ampunlah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nisâ’/4:106]

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. [an-Nashr/110: 3]

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allâh). [adz-Dzâriyât/51:18]

Maksudnya, bangun di akhir malam untuk shalat tahajjud dan di waktu sahur mereka memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla .

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya kemudian dia mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nisâ’/4:110]

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan sekali-kali Allâh tidaklah akan mengadzab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada diantara mereka, dan tidaklah pula Allâh akan mengadzab mereka sedang mereka meminta ampun.” [al-Anfâl/8:33]

Dalam hadits Qudsi, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

... يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ، فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْلَكُمْ...

…Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat kesalahan (dosa) di waktu malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku mengampuni kalian…[1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa Istighfâr ketika ruku’ atau sujud sebagai berikut :

سُبْحَانَكَ اللهم رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اللهم اغْفِرْلِيْ.

Maha suci Engkau, ya Allâh! Rabb kami dan dengan memuji-Mu ya Allâh ampunilah dosaku. [2]

Para Ulama menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan rasa aman kepada manusia dengan 2 hal, yaitu adanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara mereka dan Istighfâr. Sekarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, berarti yang masih tinggal satu yaitu istighfâr. Oleh karena itu istighfâr menjadi pengaman dari kemarahan Allâh Azza wa Jalla .

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui. [Ali ‘Imrân/3:135]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata :

لَا كَبِيْرَةَ مَعَ اسْتِغْفَارٍ وَلَا صَغِيْرَةَ مَعَ إِسْرَارٍ

Tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfâr dan tidak ada dosa kecil jika dikerjakan terus menerus.[3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

واللهِ إِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وأَتُوبُ إِلَيْهِ في الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سبْعِينَ مَرَّةً

Demi Allâh, sesungguhya aku benar-benar memohon ampun kepada Allâh dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari semalam lebih dari 70 kali.[4]

Dalam riwayat Imam Muslim :

…وَإِنِّيْ لأَسْتغْفِرُ اللهَ فِيْ الْيوْمِ مِئَةَ مرَّةٍ

…Dan sesungguhnya aku benar-benar memohon ampunan Allâh dalam sehari semalam sebanyak 100 kali.[5]

وعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ : « ربِّ اغْفِرْ لِيْ ، وتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ » .

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma beliau berkata, “Kami dahulu menghitung dalam satu majlis Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 100 kali membaca, ‘Ya Allâh ampunilah dosaku, dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.’” [6]

وعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : منْ قَالَ : « أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ »، غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ وإِنْ كَانَ قَدْ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ .

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca :

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

(Aku mohon ampun kepada Allâh yang tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepadaNya) maka akan diampuni dosa-dosanya walaupun pernah lari dari medan perang.[7]

Di antara do’a Istighfâr yang paling baik adalah sayyidul Istighfâr, sebagimana yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu .

SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan lafazh istigfâr ini dengan Sayyidul Istighfâr karena terkandung dalam hadits ini makna taubat dan merendahkan diri di hadapan Allâh Azza wa Jalla , yang tidak terdapat dalam hadits-hadits taubat lainnya.

Imam ath-Thîbiy rahimahullah berkata, “Karena do’a ini mengandung makna-makna taubat secara menyeluruh maka dipakailah istilah sayyid, yang pada asalnya, sayyid itu artinya induk atau pimpinan yang dituju dalam semua keperluan dan semua urusan kembali kepadanya.”[8]

Ibnu Abi Jamrâh rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dalam hadits ini makna-makna yang indah dan lafazh-lafazh yang bagus sehingga pantas untuk dinamakan sayyidul Istighfâr. Dalam hadits ini terdapat :
• Pengakuan terhadap uluhiyah Allâh dan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Pengakuan bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah satu-satu-Nya yang Maha Pencipta. Pengakuan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan janji yang diambil untuk hamba-Nya.
• Harapan yang telah Allâh janjikan kepada hamba-Nya,
• Berlindung dari keburukan yang telah diperbuat hamba terhadap dirinya,
• Menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengadakan semua nikmat ini, menisbatkan dosa kepada diri seorang hamba,
• Keinginan dan harapan dia agar diampuni dosa-dosanya oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala
• Dan pengakuannya bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allâh.” [9]

SAYYIDUL ISTIGHFAR
1. اللّٰـهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ (Ya Allâh Engkau adalah Rabb-ku) [10]
Pengakuan seorang hamba bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Rabb adalah pemilik, pencipta, pemberi rizki dan pengatur semua urusan makhluk-Nya. Terkandung dalam hadits ini pengakuan tentang rububiyyah Allâh Azza wa Jalla .

2. لَا إِلٰـهَ إِلَّا أَنْتَ (Tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau)
Yaitu tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Engkau ya Allâh. Kalimat ini merupakan perwujudan tauhid uluhiyyah. Semua Muslim wajib meyakini bahwa satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar hanyalah Allâh, sedangkan selain Allâh tidak boleh disembah dan kita hanya berdo'a kepada Allâh saja.

3. خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ (Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu)
Pengakuan hamba bahwa tidak ada yang menciptakan alam semesta beserta isinya ini melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla saja. Seluruhnya adalah makhluk, baik di langit maupun di bumi. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan semua makhluk. Kalimat ini mengandung (prilaku hamba) yang menghinakan dan merendahkan dirinya di hadapan Allâh Azza wa Jalla . Di dalamnya terkandung tauhid rububiyyah. Doa ini diucapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menunjukan bahwa beliau n adalah seorang hamba, yang tidak berhak untuk diibadahi.

4. وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَاسْتَطَعْتُ (Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku)
Aku tetap dalam perjanjian-Mu Ya Allâh, beriman kepada-Mu, melaksanakan ketaatan kepada-Mu dan melaksanakan perintah-perintah-Mu semampuku. Menurut kemampuan aku, karena Allâh tidaklah membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Yang dimaksud janji di sini adalah janji ketika Allâh mengeluarkan calon-calon makhluk atau ruh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allâh Mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya Berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.’ (Kami Lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’” [al-A’râf/7:172]

Kalau mereka bersaksi bahwa Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb mereka, maka konsekuensinya adalah mereka harus beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Konsekuensinya adalah melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan larangan Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٦٠﴾وَأَنِ اعْبُدُونِي ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

Bukankah Aku telah Memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan ? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu, dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” [Yâsîn/36:60-61]

Kalimat (وَوَعْدِكَ)“janji-Mu” yaitu tentang balasan pahala dan ganjaran, yaitu ‘Aku tetap dalam perjanjianku dengan Allâh selama aku mampu. Aku yakin dengan janji-Mu Ya Allâh.’ Bagi orang-orang yang bertauhid dan menjauhkan perbuatan syirik, dijanjikan dengan Surga dan pahala yang besar.’

Oleh karena itu hadits di atas menyebutkan barangsiapa membacanya dengan penuh keyakinan maka dijanjikan dengan Surga.

5. أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَاصَنَعْتُ (Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku)
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan amal perbuatanku dan akibat buruknya, (Aku berlindung kepada-Mu agar tidak) ditimpa dengan petaka, agar diampuninya dosa, dan kembali kepada perbuatan jelekku.

Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan perbuatan dosa dan maksiat. Sesungguhnya perbuatan dosa membawa akibat yang jelek. Orang yang durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahim, menzhalimi orang lain, mengambil hak orang lain, makan riba, dan dosa-dosa lainnya akan membawa akibat yang jelek. Diantara akibat buruknya adalah hilangnya barakah dalam ilmu kita dan hafalan kita. Akibat dosa yang paling berbahaya adalah akan di adzab oleh Allâh Azza wa Jalla . Harta yang diperoleh dengan cara zhalim maka harta itu tidak akan mendapatkan barakah, akan membuat istrinya dan anak-anaknya durhaka. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbatul haajah bersabda :

وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا...

Kami berlindung kepada Allâh dari keburukan jiwa kami dan kejelekan amal perbuatan kami…

Oleh karena itu, hendaknya kita berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala perbuatan dosa kita.

Akibat dosa tersebut diantaranya hilangnya barakah umur kita, barakah ilmu kita, amal ketaatan, dan hilangnya hafalan. Yang paling bahaya adalah tidak diampuni dosa kita. Atau kita kembali kepada perbuatan dosa itu. Nas-alullâha al-‘afwa wal ‘âfiyah was salâmah fid dunyâ wal akhirah.

6. أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ (Aku akui nikmat-Mu kepadaku)
Aku mengakui dan menetapkan besarnya nikmat-Mu kepadaku, dan agungnya karunia-Mu dan kebaikan-Mu kepadaku. Setiap Muslim dan Muslimah wajib menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Azza wa Jalla . Semua nikmat yang diberikan Allâh Azza wa Jalla , baik di langit, bumi dan diantara keduanya adalah berasal dari Allâh Azza wa Jalla .

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allâh, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]

Nikmat Allâh Azza wa Jalla yang diberikan kepada kita sangatlah banyak. Kita tidak akan pernah bisa menghitungnya. Cobalah kita hitung nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan sejak kita lahir ! Nikmat mata, telinga, lisan, rambut, hati, udara, oksigen, air, tumbuhan, nikmat hidayah, kesehatan, dijauhkan dari malapetaka, nikmat di atas tauhid dan sunnah, dan lainnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh). [Ibrâhîm/14:34]

Apabila kita mengakui nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla , maka konsekuensinya adalah bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Bila seorang hamba bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan menambah nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [Ibrâhîm/14:7]

Jika seseorang bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan mengadzabnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

Allâh tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allâh Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui. [an-Nisâ’/4:147]

7. وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ (Aku mengakui dosaku kepada-Mu)
Aku mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan, berupa perbuatan dosa, kesalahan, kelalaian, kewajiban yang aku tinggalkan, perbuatan haram dan maksiat yang aku lakukan. Pengakuan ini sebagai langkah awal untuk bertaubat dan kembali kepada Allâh Azza wa Jalla .

8. فَاغْفِرْلِيْ (Ampunilah dosaku)
Ya Allâh, ampunilah seluruh dosa yang telah aku lakukan. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Seorang hamba yang bertakwa tatkala ia berbuat dosa, ia segera memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana firman-Nya :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]

9. فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ (Karena yang tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau ya Allâh)
Pengakuan kita bahwa tidak ada yang dapat mengampuni semua dosa-dosa kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena kita memohon ampun hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak kepada selain-Nya. Allâh Maha Pengampun dan Penerima taubat.

10. Barangsiapa yang membacanya di pagi hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum sore hari, maka ia termasuk penghuni Surga. Barangsiapa yang membacanya di sore hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum esok pagi hari, maka ia termasuk penghuni Surga

Yaitu membacanya dengan penuh keyakinan, ikhlas, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , meninggalkan syirik, membenarkan kandungan do’a sayyidul Istighfâr ini, mengakui tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, mengakui semua dosa-dosanya, mengakui semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan meminta ampunan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk membacanya dengan penuh keyakinan ketika kita di waktu pagi dan sore hari.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Orang yang mengenal Allâh Azza wa Jalla yang ia tuju, maka dia mempersaksikan bahwa semua itu karunia Allâh dan menyadari dirinya yang banyak dosa dan aib.”[11]

Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan 2 hal, yaitu persaksian semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan pengakuan dosa-dosa yang telah dilakukan, bahwa kita banyak berbuat kesalahan. Lalu dilanjutkan dengan amal. Menyaksikan semua nikmat, anugerah dan karunia Allâh Azza wa Jalla kepada kita, konsekuensinya adalah wajibnya kita mencintai Allâh Azza wa Jalla . Ini juga menuntut kita memuji Allâh, bersyukur kepada Allâh karena Allâh telah memberi semua nikmat dan kebaikan. Kita pun harus menyadari diri kita yang banyak berbuat dosa dan kesalahan, yang menuntut kita agar menghinakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , merendahkan diri kita di hadapan Allâh Azza wa Jalla serta menyatakan diri kita fakir, membutuhkan Allâh dan kita wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla pada setiap waktu dan dia tidak melihat dirinya kecuali orang yang tidak punya apa-apa sama sekali.[12]

FAIDAH-FAIDAH HADITS
1. Wajib menetapkan rububiyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh adalah Pencipta, Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Maha Pemberi karunia, Yang Maha Menahan, dan Yang Maha Melapangkan, Yang Maha menghidupkan, Yang Maha mematikan, dan Yang Maha mengatur segala urusan.

2. Wajib menetapkan ‘ubudiyyah, uluhiyyah, dan wahdaniyyah bagi Allâh Azza wa Jalla . Bahwa hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang wajib dan berhak diibadhi dengan benar.

3. Dalam sayyidul Istighfâr terdapat penetapan dan pengakuan seorang hamba bahwa dirinya adalah hamba yang hina di hadapan Rabb-nya, Pencipta-nya, dan Pemberi Rezeki-nya.

4. Di dalamnya juga terdapat penetapan seorang hamba bahwa dia berpegang kepada perjanjian yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ambil atasnya.

5. Hendaklah seorang hamba melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kemampuannya. Ini seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“…Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu…” [at-Taghâbun/64:16]

6. Pengakuan seorang hamba atas dosa-dosanya dengan taubat.

7. Penetapan dan pengakuan seorang hamba kepada Rabb-nya dengan kelemahan dan kekurangan, dengan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya.

8. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh Azza wa Jalla.

9. Hendaklah seorang hamba berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari kejelekan apa-apa yang telah dia perbuat.

10. Keutamaan Istighfâr (meminta ampun kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dan keutamaan sayyidul Istighfâr.

11. Hendaklah seorang hamba berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan perbuatan dan niatnya, karena itu merupakan sebab mendapat hukuman dan adzab.

12. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa segala tujuan itu hendaknya dicapai dengan cara-cara yang benar, dan sebab-sebab yang mencapai kepada tujuan itu. Adapun menggunakan khurafat, bid’ah, cara-cara yang syirik, maka itu tidak menambah (kedudukan) seorang manusia di hadapan Rabb-nya kecuali (tetap seorang) hamba (yang hina).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim (no.2577), Ahmad (V/160), dan selain keduanya dari Shahabat Abu Dzarr al-Ghifâri z .
[2]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 794, 817) dan Muslim (no. 484).
[3]. Shahih: HR. Ibnu Jarir Atsar at-Thabari dalam tafsirnya (no. 9207) dan lainnya. Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, ‘Sanadnya shahih mauquf dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma . (al-Kabâir, hlm. 47 karya Imam adz-Dzahabi)
[4]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6307), aKeutamaan Sayyidul Istighfar


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله


عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ .

Dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Sesungguhnya Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan :

ALLAHUMMA ANTA RABBII LÂ ILÂHA ILLÂ ANTA KHALAQTANII WA ANA 'ABDUKA WA ANA 'ALA 'AHDIKA WA WA'DIKA MASTATHA'TU A'ÛDZU BIKA MIN SYARRI MÂ SHANA'TU ABÛ`U LAKA BINI'MATIKA 'ALAYYA WA ABÛ`U BIDZANBII FAGHFIRLÎ FA INNAHU LÂ YAGHFIRU ADZ DZUNÛBA ILLÂ ANTA

(Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).

(Beliau bersabda) “Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
1. Imam al-Bukhari dalam shahîhnya (no. 6306, 6323) dan al-Adabul Mufrad (no. 617, 620)
2. Imam an-Nasâ-i (VIII/279), as-Sunanul Kubra (no. 9763, 10225), dan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 19, 468, dan 587)
3. Imam Ibnu Hibbân (no. 928-929-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân)
4. Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 7172), al-Mu’jamul Ausath (no. 1018), dan dalam kitab ad-Du’aa (no. 312-313)
5. al-Hâkim (II/458)
6. Imam Ahmad dalam musnadnya (IV/122, 124-125)
7. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1308), dan lainnya dari Shahabat Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu

Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3393) dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dengan lafazh awalnya berbeda, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى سَيِّدِ الْإِسْتِغْفَار ...

Maukah aku tunjukkan kepadamu sayyidul Istighfâr ? …

at-Tirmidzi berkata, ‘Hadits Hasan Gharib.’ Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dengan beberapa jalan dan syawâhid (penguat)nya dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1747).

Imam Bukhâri rahimahullah memasukkan hadits ini dalam “Bab Istighfâr yang paling utama”. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhâri t menganggap ini adah lafazh Istighfâr terbaik. Juga kandungan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa doa ini layak disebut dengan Sayyidul Istighfâr (penghulu Istighfâr) sebagaimana yang disifati oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

PENJELASAN TENTANG ANJURAN ISTIGHFAR
Setiap bani Adam itu pasti banyak berbuat dosa, namun yang terbaik dari oang yang berbuat dosa yaitu yang memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dan bertaubat. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya untuk selalu memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh pun berjanji akan mengampuni orang-orang yang meminta ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” [Thâha/20:82]

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [az-Zumar/39:53]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk banyak beristighfâr/meminta ampun kepada-Nya. Begitu pula Allâh memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beristighfâr. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“…Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan dosa orang mukmin laki-laki dan perempuan…” [Muhammad/47:19]

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

“Maka aku berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun.’” [Nûh/71:10]

وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan mohon ampunlah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nisâ’/4:106]

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. [an-Nashr/110: 3]

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allâh). [adz-Dzâriyât/51:18]

Maksudnya, bangun di akhir malam untuk shalat tahajjud dan di waktu sahur mereka memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla .

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya kemudian dia mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nisâ’/4:110]

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan sekali-kali Allâh tidaklah akan mengadzab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada diantara mereka, dan tidaklah pula Allâh akan mengadzab mereka sedang mereka meminta ampun.” [al-Anfâl/8:33]

Dalam hadits Qudsi, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

... يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ، فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْلَكُمْ...

…Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat kesalahan (dosa) di waktu malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku mengampuni kalian…[1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa Istighfâr ketika ruku’ atau sujud sebagai berikut :

سُبْحَانَكَ اللهم رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اللهم اغْفِرْلِيْ.

Maha suci Engkau, ya Allâh! Rabb kami dan dengan memuji-Mu ya Allâh ampunilah dosaku. [2]

Para Ulama menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan rasa aman kepada manusia dengan 2 hal, yaitu adanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara mereka dan Istighfâr. Sekarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, berarti yang masih tinggal satu yaitu istighfâr. Oleh karena itu istighfâr menjadi pengaman dari kemarahan Allâh Azza wa Jalla .

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui. [Ali ‘Imrân/3:135]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata :

لَا كَبِيْرَةَ مَعَ اسْتِغْفَارٍ وَلَا صَغِيْرَةَ مَعَ إِسْرَارٍ

Tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfâr dan tidak ada dosa kecil jika dikerjakan terus menerus.[3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

واللهِ إِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وأَتُوبُ إِلَيْهِ في الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سبْعِينَ مَرَّةً

Demi Allâh, sesungguhya aku benar-benar memohon ampun kepada Allâh dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari semalam lebih dari 70 kali.[4]

Dalam riwayat Imam Muslim :

…وَإِنِّيْ لأَسْتغْفِرُ اللهَ فِيْ الْيوْمِ مِئَةَ مرَّةٍ

…Dan sesungguhnya aku benar-benar memohon ampunan Allâh dalam sehari semalam sebanyak 100 kali.[5]

وعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ : « ربِّ اغْفِرْ لِيْ ، وتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ » .

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma beliau berkata, “Kami dahulu menghitung dalam satu majlis Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 100 kali membaca, ‘Ya Allâh ampunilah dosaku, dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.’” [6]

وعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : منْ قَالَ : « أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ »، غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ وإِنْ كَانَ قَدْ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ .

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca :

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

(Aku mohon ampun kepada Allâh yang tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepadaNya) maka akan diampuni dosa-dosanya walaupun pernah lari dari medan perang.[7]

Di antara do’a Istighfâr yang paling baik adalah sayyidul Istighfâr, sebagimana yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu .

SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan lafazh istigfâr ini dengan Sayyidul Istighfâr karena terkandung dalam hadits ini makna taubat dan merendahkan diri di hadapan Allâh Azza wa Jalla , yang tidak terdapat dalam hadits-hadits taubat lainnya.

Imam ath-Thîbiy rahimahullah berkata, “Karena do’a ini mengandung makna-makna taubat secara menyeluruh maka dipakailah istilah sayyid, yang pada asalnya, sayyid itu artinya induk atau pimpinan yang dituju dalam semua keperluan dan semua urusan kembali kepadanya.”[8]

Ibnu Abi Jamrâh rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dalam hadits ini makna-makna yang indah dan lafazh-lafazh yang bagus sehingga pantas untuk dinamakan sayyidul Istighfâr. Dalam hadits ini terdapat :
• Pengakuan terhadap uluhiyah Allâh dan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Pengakuan bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah satu-satu-Nya yang Maha Pencipta. Pengakuan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan janji yang diambil untuk hamba-Nya.
• Harapan yang telah Allâh janjikan kepada hamba-Nya,
• Berlindung dari keburukan yang telah diperbuat hamba terhadap dirinya,
• Menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengadakan semua nikmat ini, menisbatkan dosa kepada diri seorang hamba,
• Keinginan dan harapan dia agar diampuni dosa-dosanya oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala
• Dan pengakuannya bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allâh.” [9]

SAYYIDUL ISTIGHFAR
1. اللّٰـهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ (Ya Allâh Engkau adalah Rabb-ku) [10]
Pengakuan seorang hamba bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Rabb adalah pemilik, pencipta, pemberi rizki dan pengatur semua urusan makhluk-Nya. Terkandung dalam hadits ini pengakuan tentang rububiyyah Allâh Azza wa Jalla .

2. لَا إِلٰـهَ إِلَّا أَنْتَ (Tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau)
Yaitu tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Engkau ya Allâh. Kalimat ini merupakan perwujudan tauhid uluhiyyah. Semua Muslim wajib meyakini bahwa satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar hanyalah Allâh, sedangkan selain Allâh tidak boleh disembah dan kita hanya berdo'a kepada Allâh saja.

3. خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ (Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu)
Pengakuan hamba bahwa tidak ada yang menciptakan alam semesta beserta isinya ini melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla saja. Seluruhnya adalah makhluk, baik di langit maupun di bumi. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan semua makhluk. Kalimat ini mengandung (prilaku hamba) yang menghinakan dan merendahkan dirinya di hadapan Allâh Azza wa Jalla . Di dalamnya terkandung tauhid rububiyyah. Doa ini diucapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menunjukan bahwa beliau n adalah seorang hamba, yang tidak berhak untuk diibadahi.

4. وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَاسْتَطَعْتُ (Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku)
Aku tetap dalam perjanjian-Mu Ya Allâh, beriman kepada-Mu, melaksanakan ketaatan kepada-Mu dan melaksanakan perintah-perintah-Mu semampuku. Menurut kemampuan aku, karena Allâh tidaklah membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Yang dimaksud janji di sini adalah janji ketika Allâh mengeluarkan calon-calon makhluk atau ruh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allâh Mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya Berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.’ (Kami Lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’” [al-A’râf/7:172]

Kalau mereka bersaksi bahwa Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb mereka, maka konsekuensinya adalah mereka harus beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Konsekuensinya adalah melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan larangan Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٦٠﴾وَأَنِ اعْبُدُونِي ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

Bukankah Aku telah Memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan ? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu, dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” [Yâsîn/36:60-61]

Kalimat (وَوَعْدِكَ)“janji-Mu” yaitu tentang balasan pahala dan ganjaran, yaitu ‘Aku tetap dalam perjanjianku dengan Allâh selama aku mampu. Aku yakin dengan janji-Mu Ya Allâh.’ Bagi orang-orang yang bertauhid dan menjauhkan perbuatan syirik, dijanjikan dengan Surga dan pahala yang besar.’

Oleh karena itu hadits di atas menyebutkan barangsiapa membacanya dengan penuh keyakinan maka dijanjikan dengan Surga.

5. أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَاصَنَعْتُ (Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku)
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan amal perbuatanku dan akibat buruknya, (Aku berlindung kepada-Mu agar tidak) ditimpa dengan petaka, agar diampuninya dosa, dan kembali kepada perbuatan jelekku.

Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan perbuatan dosa dan maksiat. Sesungguhnya perbuatan dosa membawa akibat yang jelek. Orang yang durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahim, menzhalimi orang lain, mengambil hak orang lain, makan riba, dan dosa-dosa lainnya akan membawa akibat yang jelek. Diantara akibat buruknya adalah hilangnya barakah dalam ilmu kita dan hafalan kita. Akibat dosa yang paling berbahaya adalah akan di adzab oleh Allâh Azza wa Jalla . Harta yang diperoleh dengan cara zhalim maka harta itu tidak akan mendapatkan barakah, akan membuat istrinya dan anak-anaknya durhaka. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbatul haajah bersabda :

وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا...

Kami berlindung kepada Allâh dari keburukan jiwa kami dan kejelekan amal perbuatan kami…

Oleh karena itu, hendaknya kita berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala perbuatan dosa kita.

Akibat dosa tersebut diantaranya hilangnya barakah umur kita, barakah ilmu kita, amal ketaatan, dan hilangnya hafalan. Yang paling bahaya adalah tidak diampuni dosa kita. Atau kita kembali kepada perbuatan dosa itu. Nas-alullâha al-‘afwa wal ‘âfiyah was salâmah fid dunyâ wal akhirah.

6. أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ (Aku akui nikmat-Mu kepadaku)
Aku mengakui dan menetapkan besarnya nikmat-Mu kepadaku, dan agungnya karunia-Mu dan kebaikan-Mu kepadaku. Setiap Muslim dan Muslimah wajib menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Azza wa Jalla . Semua nikmat yang diberikan Allâh Azza wa Jalla , baik di langit, bumi dan diantara keduanya adalah berasal dari Allâh Azza wa Jalla .

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allâh, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]

Nikmat Allâh Azza wa Jalla yang diberikan kepada kita sangatlah banyak. Kita tidak akan pernah bisa menghitungnya. Cobalah kita hitung nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan sejak kita lahir ! Nikmat mata, telinga, lisan, rambut, hati, udara, oksigen, air, tumbuhan, nikmat hidayah, kesehatan, dijauhkan dari malapetaka, nikmat di atas tauhid dan sunnah, dan lainnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh). [Ibrâhîm/14:34]

Apabila kita mengakui nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla , maka konsekuensinya adalah bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Bila seorang hamba bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan menambah nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [Ibrâhîm/14:7]

Jika seseorang bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan mengadzabnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

Allâh tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allâh Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui. [an-Nisâ’/4:147]

7. وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ (Aku mengakui dosaku kepada-Mu)
Aku mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan, berupa perbuatan dosa, kesalahan, kelalaian, kewajiban yang aku tinggalkan, perbuatan haram dan maksiat yang aku lakukan. Pengakuan ini sebagai langkah awal untuk bertaubat dan kembali kepada Allâh Azza wa Jalla .

8. فَاغْفِرْلِيْ (Ampunilah dosaku)
Ya Allâh, ampunilah seluruh dosa yang telah aku lakukan. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Seorang hamba yang bertakwa tatkala ia berbuat dosa, ia segera memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana firman-Nya :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]

9. فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ (Karena yang tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau ya Allâh)
Pengakuan kita bahwa tidak ada yang dapat mengampuni semua dosa-dosa kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena kita memohon ampun hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak kepada selain-Nya. Allâh Maha Pengampun dan Penerima taubat.

10. Barangsiapa yang membacanya di pagi hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum sore hari, maka ia termasuk penghuni Surga. Barangsiapa yang membacanya di sore hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum esok pagi hari, maka ia termasuk penghuni Surga

Yaitu membacanya dengan penuh keyakinan, ikhlas, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , meninggalkan syirik, membenarkan kandungan do’a sayyidul Istighfâr ini, mengakui tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, mengakui semua dosa-dosanya, mengakui semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan meminta ampunan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk membacanya dengan penuh keyakinan ketika kita di waktu pagi dan sore hari.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Orang yang mengenal Allâh Azza wa Jalla yang ia tuju, maka dia mempersaksikan bahwa semua itu karunia Allâh dan menyadari dirinya yang banyak dosa dan aib.”[11]

Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan 2 hal, yaitu persaksian semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan pengakuan dosa-dosa yang telah dilakukan, bahwa kita banyak berbuat kesalahan. Lalu dilanjutkan dengan amal. Menyaksikan semua nikmat, anugerah dan karunia Allâh Azza wa Jalla kepada kita, konsekuensinya adalah wajibnya kita mencintai Allâh Azza wa Jalla . Ini juga menuntut kita memuji Allâh, bersyukur kepada Allâh karena Allâh telah memberi semua nikmat dan kebaikan. Kita pun harus menyadari diri kita yang banyak berbuat dosa dan kesalahan, yang menuntut kita agar menghinakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , merendahkan diri kita di hadapan Allâh Azza wa Jalla serta menyatakan diri kita fakir, membutuhkan Allâh dan kita wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla pada setiap waktu dan dia tidak melihat dirinya kecuali orang yang tidak punya apa-apa sama sekali.[12]

FAIDAH-FAIDAH HADITS
1. Wajib menetapkan rububiyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh adalah Pencipta, Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Maha Pemberi karunia, Yang Maha Menahan, dan Yang Maha Melapangkan, Yang Maha menghidupkan, Yang Maha mematikan, dan Yang Maha mengatur segala urusan.

2. Wajib menetapkan ‘ubudiyyah, uluhiyyah, dan wahdaniyyah bagi Allâh Azza wa Jalla . Bahwa hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang wajib dan berhak diibadhi dengan benar.

3. Dalam sayyidul Istighfâr terdapat penetapan dan pengakuan seorang hamba bahwa dirinya adalah hamba yang hina di hadapan Rabb-nya, Pencipta-nya, dan Pemberi Rezeki-nya.

4. Di dalamnya juga terdapat penetapan seorang hamba bahwa dia berpegang kepada perjanjian yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ambil atasnya.

5. Hendaklah seorang hamba melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kemampuannya. Ini seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“…Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu…” [at-Taghâbun/64:16]

6. Pengakuan seorang hamba atas dosa-dosanya dengan taubat.

7. Penetapan dan pengakuan seorang hamba kepada Rabb-nya dengan kelemahan dan kekurangan, dengan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya.

8. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh Azza wa Jalla.

9. Hendaklah seorang hamba berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari kejelekan apa-apa yang telah dia perbuat.

10. Keutamaan Istighfâr (meminta ampun kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dan keutamaan sayyidul Istighfâr.

11. Hendaklah seorang hamba berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan perbuatan dan niatnya, karena itu merupakan sebab mendapat hukuman dan adzab.

12. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa segala tujuan itu hendaknya dicapai dengan cara-cara yang benar, dan sebab-sebab yang mencapai kepada tujuan itu. Adapun menggunakan khurafat, bid’ah, cara-cara yang syirik, maka itu tidak menambah (kedudukan) seorang manusia di hadapan Rabb-nya kecuali (tetap seorang) hamba (yang hina).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim (no.2577), Ahmad (V/160), dan selain keduanya dari Shahabat Abu Dzarr al-Ghifâri z .
[2]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 794, 817) dan Muslim (no. 484).
[3]. Shahih: HR. Ibnu Jarir Atsar at-Thabari dalam tafsirnya (no. 9207) dan lainnya. Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, ‘Sanadnya shahih mauquf dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma . (al-Kabâir, hlm. 47 karya Imam adz-Dzahabi)
[4]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6307), at-Tirmidzi (no. 3259), Ahmad (II/282, 341), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 438, 439), dan lainnya dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 2701 (42)), dari shahabat al-Agharr bin Yasar al-Muzani Radhiyallahu anhu.
[6]. HR. Abu Dawud (no. 1516), at-Tirmidzi (no. 3434), dan Ibnu Majah (no. 3814). Hadits ini adalah lafazh at-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.”
[7]. Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1517). Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1358).
[8]. Fat-hul Bâri (XI/99).
[9]. Fat-hul Bâri (XI/100).
[10]. Syarah mufradat ini dinukil dari kitab Fat-hul Bâri (XI/98-100) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr (III/18-20), Syaikh DR. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dan kitab-kitab lainnya.
[11]. Dibawakan perkataan ini oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah t (murid beliau) dalam kitab al-Wâbilis Shayyib, Lihat Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 16).
[12]. Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 17).

http://almanhaj.or.id/
t-Tirmidzi (no. 3259), Ahmad (II/282, 341), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 438, 439), dan lainnya dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 2701 (42)), dari shahabat al-Agharr bin Yasar al-Muzani Radhiyallahu anhu.
[6]. HR. Abu Dawud (no. 1516), at-Tirmidzi (no. 3434), dan Ibnu Majah (no. 3814). Hadits ini adalah lafazh at-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.”
[7]. Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1517). Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1358).
[8]. Fat-hul Bâri (XI/99).
[9]. Fat-hul Bâri (XI/100).
[10]. Syarah mufradat ini dinukil dari kitab Fat-hul Bâri (XI/98-100) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr (III/18-20), Syaikh DR. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dan kitab-kitab lainnya.
[11]. Dibawakan perkataan ini oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah t (murid beliau) dalam kitab al-Wâbilis Shayyib, Lihat Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 16).
[12]. Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 17).

http://almanhaj.or.id/

Saturday, May 24, 2014

Buah-Buahan Di Surga Gambaran Kenikmatan Yang Tiada Tara

Buah-Buahan Di Surga Gambaran Kenikmatan Yang Tiada Tara


Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni,M.A.


Berbicara tentang kenikmatan di surga -semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan kita menjadi penghuni surga- berarti membahas suatu kenikmatan tinggi dan kekal yang tiada taranya. Betapa tidak, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan tersebut sedemikian jelas dan terperinci, sehingga menjadikan hamba-hamba-Nya yang beriman selalu bersegera dan berlomba-lomba untuk meraihnya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah (berlomba-lombalah) kamu untuk (meraih) pengampunan dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. [Ali ‘Imran/3:133].

Dalam ayat lain, Dia Azza wa Jalla juga berfirman:

وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

Dan untuk yang demikian itu hendaklah orang-orang (yang beriman) berlomba-lomba (untuk meraihnya). [al-Muthaffifin/83:26].

Oleh karena itu, dalam hadits yang shahih tentang gambaran tingginya kenikmatan surga, Malaikat Jibril Alaihissallam yang melihatnya, berkata kepada Allah Azza wa Jalla.

أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ لاَيَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ إِلاَّ دَخَلَهَا

Demi kemahamuliaan-Mu, tidaklah seorang pun yang mendengar tentang (tingginya kenikmatan) surga kecuali ia ingin masuk ke dalamnya.[1]

Cukuplah firman-firman Allah Azza wa Jalla berikut ini menggambarkan kesempurnaan kenikmatan di surga:

وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ﴿٣١﴾نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ

Di dalam surga kamu memperoleh apa (segala kenikmatan) yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa (segala kenikmatan) yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Fushshilat/41:31-32].

يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِنْ ذَهَبٍ وَأَكْوَابٍ ۖ وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ ۖ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan gelas-gelas, dan di dalam surga itu terdapat segala apa (kenikmatan) yang diinginkan oleh hati dan sedap (dipandang) mata, dan kamu kekal di dalamnya. [az-Zukhruf/43:71].

KENIKMATAN DI SURGA TIADA TARANYA
Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat tinggi di surga) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [as-Sajdah/32:17].

Imam Ibnu Katsir mengatakan,”Arti ayat di atas, (ialah) tidak ada seorang pun yang mengetahui agungnya ganjaran (kebaikan) yang Allah sembunyikan (dan sediakan) bagi mereka (orang-orang yang beriman) di surga, (yaitu) berupa kenikmatan yang abadi dan berbagai kelezatan yang belum pernah disaksikan semisalnya oleh seorangpun”[2]

Gambaran tentang tingginya kenikmatan ini dinyatakan dalam hadits qudsi yang shahih, Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّا لحِينَ مَ لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرِ

Aku sediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih kenikmatan (tinggi di surga) yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas dalam hati manusia.[3]

Artinya, semua kenikmatan dan keindahan di dunia yang pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga atau dibayangkan dalam hati manusia, maka kenikmatan di surga jauh melebihi semua itu.[4]

Oleh karena itu, semua kenikmatan dan kesenangan di surga yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an, seperti istana-istana dari emas dan perak, isteri-isteri, buah-buahan, sungai-sungai, taman-taman indah, dan berbagai kenikmatan lainnya; semua itu, meskipun nama-namaya sama dengan yang ada di dunia, akan tetapi hakikat kenikmatannya jauh berbeda, karena kenikmatan di surga jauh lebih tinggi dan sempurna.

Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu nahuma berkata,”tidak ada sesuatu pun di dunia yang serupa dengan apa yang ada di surga kecuali namanya (saja)”.[5]

BUAH-BUAHAN DI SURGA
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an berbagai macam buah-buahan yang lezat sebagai makanan bagi penduduk surga. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَفَاكِهَةٍ مِمَّا يَتَخَيَّرُونَ﴿٢٠﴾وَلَحْمِ طَيْرٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ﴿٢١﴾وَحُورٌ عِينٌ﴿٢٢﴾كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ﴿٢٣﴾جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan (di dalam surga terdapat) buah-buahan dari apa yang mereka pilih. Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan (di dunia). [al-Waqi’ah/56:20-24].

فِيهِمَا مِنْ كُلِّ فَاكِهَةٍ زَوْجَانِ

Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan. [ar-Rahman/55:52]

فِيهِمَا فَاكِهَةٌ وَنَخْلٌ وَرُمَّانٌ

Di dalam keduanya ada (macam-macam) buah-buahan dan kurma serta delima. [ar-Rahman/55:68].

Semua itu Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan mudah untuk mereka jangkau dan nikmati. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَدَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا وَذُلِّلَتْ قُطُوفُهَا تَذْلِيلًا

Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan untuk dipetik dengan semudah-mudahnya. [al-Insan/76:14].

Kenikmatan ini kekal abadi dan tidak akan habinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ﴿٣٢﴾لَا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ

Dan (di dalam surga terdapat) buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya. [al-Waqi’ah/56:32-33].

GAMBARAN KENIKMATAN BUAH-BUAHAN DI SURGA
Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tingginya kenikmatan dan kelezatan buah-buahan di surga yang dirasakan oleh penghuni Surga. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا ۙ قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ ۖ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا ۖ وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ ۖ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal shalih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap kali mereka diberi rizki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan,”Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa, dan untuk mereka, di dalamnya ada isteri-isteri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya. [al-Baqarah/2:25].

Makna firman Allah Azza wa Jalla dalam ayat ini “mereka diberi buah-buahan yang serupa...”, ada tiga penafsiran dari para ulama ahli tafsir:

Pertama : Buah-buahan di surga serupa dengan buah-buahan di dunia dalam rupa dan warnanya, tetapi rasanya jelas berbeda (karena buah-buahan di surga jauh lebih nikmat). Ini pendapat Imam Mujahid, Abul ‘Aliyah, adh-Dhahhak, as-Suddi dan Muqatil.

Kedua : Smua buah-buahan di surga serupa dalam kelezatan dan keindahannya, tidak ada keburukan padanya. Demikian ini menurut Imam al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Juraij.

Ketiga : Buah-buahan di surga serupa dengan buah-buahan di dunia dalam bentuk dan namanya, akan tetapi buah-buahan di surga lebih indah rupanya dan lebih lezat rasanya. Demikian menurut Imam Qatadah dan Ibnu Zaid.[6]

Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di mengatakan, “Ada yang berpendapat (bahwa maknanya), serupa dalam namanya (tetapi) berbeda rasanya. Ada yang berpendapat, serupa dalam warnanya (tetapi) berbeda namanya. Ada juga yang berpendapat, (semua buaha-buahan di surga) serupa satu sama lainnya dalam keindahan, kelezatan dan kenikmatannya, mungkin saja pendapat (terakhir) ini yang benar”.[7]

PENUTUP
Inilah gambaran sebagian dari kenikmatan dan keindahan Surga yang tiada taranya. Masih banyak kenikmatan dan keindahan Surga lainnya yang tidak mungkin dibahas dalam tulisan ringkas seperti ini.

Semoga Allah Azza wa Jalla, dengan rahmat dan taufik-Nya, memudahkan kita untuk selalu meniti jalan menuju surga-Nya dan dihindarkan dari semua jalan yang menyimpang dari jalan-Nya yang lurus. Sesungguhnya Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemberi petunjuk dan Maka Kuasa atas segala sesuatu.

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa. [al Qashash/28:83].

Wallahit taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR. Abu Dawud (no.4.744) dan at-Tirmidzi (4/693). Dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[2]. Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 3/606.
[3]. HSR al-Bukhari (no.3.072) dna Muslim (no.2.824).
[4]. Lihat kitab Faidhul-Qadir,4/473.
[5]. Dikeluarkan oleh Imam Hannad bin as-Sariy dalam az-Zuhd (no. 3 dan 8) dan Ibnu Jarir ath-Thabari (1/105), dinyatakan shahih sanad-nya oleh penyunting kitab Taqribut-Tadmuriyyah,hlm.42.
[6]. Keterangan Imam Ibnul-Jauzi dalam tafsir beliau, Zadul-Masir,1/53.
[7]. Kitab Taisirul-Karimir-Rahman,hlm.46.
Tweet

http://almanhaj.or.id/