Wednesday, January 22, 2014

KALIMAT-KALIMAT ALLÂH SUBHANAHU WA TA’ALA



KALIMAT-KALIMAT ALLÂH SUBHANAHU WA TA’ALA

Oleh
Ustadz Nur Kholis Kurdian


Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah (wahai Muhammad), “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Rabbku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). [al-Kahfi/18:109]

A. ASBABUN NUZUL (SEBAB DITURUNKANNYA) AYAT
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “orang-orang kafir Quraisy mengatakan kepada orang-orang Yahudi, “Berikanlah kepada kami suatu permasalahan untuk kami tanyakan kepada laki-laki itu (Rasûlullâh)!' Orang-orang Yahudi menjawab, “Tanyakanlah kepadanya tentang Ruh”, mereka pun menanyakan hal itu, maka sebagai jawabannya turunlah ayat :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh maka katakanlah, “Ruh itu urusannya Tuhanku dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit”. [al-Isrâ’/17:85]

Orang-orang Yahudi mengatakan, “Bagaimana (ilmu kami sedikit) padahal telah diturunkan kepada kami Taurat, dan barang siapa yang telah diturunkan Taurat kepadanya maka sungguh dia telah diberi kebaikan (ilmu) yang banyak. Sebagai bantahan atas perkataan mereka ini maka turunlah ayat diatas [1]

B. PENJELASAN AYAT
1. Ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala Sangat Luas Melebihi Lautan Yang Tak Bertepi
Ayat diatas jika dilihat dari sebab turunnya merupakan bantahan bagi orang Yahudi dan setiap orang yang mengaku memiliki ilmu yang luas dan paling tinggi ilmunya [2]. Dalam ayat tersebut Allâh Azza wa Jalla menyuruh Rasul-Nya untuk mengatakan kepada mereka, “Andaikata lautan dijadikan tinta dan seluruh pepohonan yang ada di bumi dijadikan pena, maka lautan tinta tersebut akan habis dan pena-pena tersebut akan rusak, sedangkan kalimat Allâh Azza wa Jalla masih banyak yang belum ditulis [3] meskipun didatangkan lagi lautan tinta yang semisalnya dan semisalnya dan semisalnya sampai seterusnya, kalimat Allâh Azza wa Jalla tidak akan habis ditulis, karena tidak ada batasan bagi ayat-ayat dan kalimat-kalimat-Nya.[4] Ketika menafsirkan ayat tersebut, Hasan Bashri rahimahullah mengatakan, “Andaikata pepohonan yang ada di bumi ini dijadikan sebagai pena dan lautan dijadikan sebagai tinta dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya termasuk urusanku ini dan itu” maka tinta yang ada di lautan tersebut akan habis dan pena-penanya pun akan rusak (karena terlalu banyak yang ditulis)” [5]. Qatâdah rahimahullah juga mengatakan, “Andaikata pepohonan yang ada di bumi ini sebagai pena beserta tujuh lautan sebagai tinta, maka tidak akan habis keajaiban, hikmah, penciptaan dan ilmu Rabbku.[6]

Ayat diatas semakna dengan ayat yang lain, yaitu :

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya kalimat Allâh tidak akan habis ditulis. [Luqmân/31:27]

Ini merupakan analogi untuk menggambarkan betapa luasnya ilmu Allâh Azza wa Jalla yang tercermin dalam kalimat-kalimat-Nya, sehingga tidak dapat ditulis oleh pena dan tinta meskipun jumlahnya sangat banyak.

Oleh sebab itu tidak layak bagi seorang hamba mengaku bahwa ia telah menguasai semua bidang ilmu, dan merasa tidak ada yang sepertinya atau lebih darinya. Karena perasaan ini akan menjadi penghalang baginya untuk menerima kebenaran dari orang lain yang pada hakikatnya kebenaran tersebut datang dari Allâh Azza wa Jalla . Padahal ilmunya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Ilmu Allâh Azza wa Jalla , bahkan ilmu semua manusia di muka bumi ini baik generasi awal maupun akhir jika dikumpulkan dan dibandingkan dengan ilmu Allâh Azza wa Jalla , maka perbandingan itu bagaikan setetes air laut yang jatuh dari jarum yang telah dicelupkan kedalam tujuh lautan atau lebih, sebagaimana yang telah dikatakan oleh ar-Rabi’ bin Anas rahimahullah, “Sesungguhnya perumpamaan ilmu semua manusia jika dibandingkan dengan ilmu Allâh Azza wa Jalla itu ibarat setetes air dari banyak lautan, dan hal itu telah dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firmanNya…”,[7] kemudian beliau menyebutkan ayat di atas.

2. Kalimat-Kalimat Allâh al-Kauniyyah Dan asy-Syar’iyyah
Jika dilihat dari keumuman lafaz ayat tersebut maka yang dimaksud dengan kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla adalah firman-Nya, yang mana itu merupakan sifat Allâh Azza wa Jalla dan bukan makhluk-Nya.

Syaikh as-Sa’di mengatakan, “(Pena-pena dan lautan tinta tersebut musnah ketika menulis kalimat-kalimat Allâh) karena pena dan tinta adalah makhluk dan setiap makhluk adalah fana dan terbatas. Adapun Kalimat-kalimat (firman)-Nya merupakan salah satu dari sifat-sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya bukanlah makhluk, tiada batas akhir baginya. Dan setiap keluasan dan kebesaran menurut pandangan hati manusia tentang Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla lebih dari itu semua. Demikian pula dengan semua sifat-sifat-Nya.[8]

Kalimat-kalimat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan salah satu dari Sifat-sifat-Nya tersebut ada dua macam:
a. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla al-Kauniyyah [9] yang dengannya Allâh Azza wa Jalla menciptakan, mengatur, memerintah dan lain sebagainya, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya, meskipun hal itu jika ditampakkan maka sangat banyak dan luas, dan didalamnya juga tersirat banyak hikmah dan ilmu.

b. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla Syar’iyyah[10] yaitu berupa kitab-kitab-Nya yang telah diturunkan kepada para Rasul-Nya melalui perantara malaikat Jibril Alaihissallam seperti al-Qur’ân, Injîl, Taurat dan Zabur.
Dan yang dimaksud Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla pada ayat diatas adalah yang pertama yaitu Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla al-Kauniyyah.

3. Kalimat-Kalimat Allâh Azza wa Jalla , Apakah Sifat Dzatiyyah Atau Fi’liyyah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu dilihat dari dua sisi :
a. Sisi pertama; dari sisi hubungan sifat tersebut dengan Dzat Allâh Azza wa Jalla , maka dari sisi ini sifat tersebut dapat dikatakan sebagai sifat Dzâtiyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Dia Muttashifun biha (memiliki sifat tersebut), sebagaimana yang diutarakan oleh Syaikh hâfidz al-Hakami, “Adapun jika dilihat dari sisi hubungan erat sifat tersebut dengan Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Dia Muttashifun biha (memiliki sifat tersebut), maka sifat itu adalah Sifat Dzatiyyah-Nya seperti halnya sifat ilmu, bahkan sifat tersebut termasuk Ilmu-Nya, dan diturunkan dengan Ilmu-Nya.[11]

b. Sisi kedua; dari sisi hubungan sifat tersebut dengan kehendak Allâh Azza wa Jalla . Jika dilihat dari sisi ini, maka sifat tersebut merupakan Sifat Fi’liyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh Azza wa Jalla berfirman atas dasar Kehendak-Nya. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh syaikh hâfidz, “Adapun hubungan antara sifat tersebut dengan kehendak dan keinginan Allâh Azza wa Jalla , maka sifat tersebut adalah Sifat Fi’liyyah Allâh Azza wa Jalla..,[12]

Jadi Kalimat-kalimat Allâh adalah sifat dzat dan fi’il. Oleh karena itu para as-salafus shâlih mengatakan, “Sifat tersebut adalah sifat Dzat dan fi’l sekaligus. Allâh Azza wa Jalla sejak dulu dan selama-lamanya memiliki sifat kalam (berfirman), Dia berfirman dengan kehendak dan keinginan-Nya, kapan saja Dia ingin berfirman, dengan cara bagaimana saja yang Ia kehendaki, dan kepada siapa saja yang Ia inginkan, maka hal itu Dia lakukan. Kalam (kalimat-kalimat)-Nya adalah sifat (fi’il)nya yang tidak ada habis-habisnya.”[13]

4. Berlindung Kepada Kalimat-Kalimat Allâh Azza wa Jalla al-Kauniyyah
Tidak boleh meminta perlindungan dari bahaya yang akan menimpa yang makhluk tidak mampu melindunginya dari hal itu kecuali Allâh, maka meminta perlindungan kepada selainNya adalah suatu kesyirikan, karena meminta perlindungan dalam hal ini kepada selain Allâh adalah (ibadah hati); tertujunya hati peminta kepada yang dimintai perlindungan dengan penuh pengharapan dan keyakinan bahwa ia dapat menolak bencana tersebut, jika hal itu ibadah maka tidak diperbolehkan untuk selain Allâh, menyuguhkan ibadah kepada selainNya sama dengan menjadikan makhluk sebagi Tuhan selain Allâh ta’ala.[14]

Dalam hal ini Syari’at memberikan solusi bagi orang yang meminta perlindungan agar meminta perlindungan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja, sebagaimana firman-Nya :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Aku berlindung kepada Rabbnya fajar atau shubuh . [Al-Falaq/113:1]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyuruh Nabi-Nya agar ber-isti’adzah (meminta perlindungan) kepada Allâh Azza wa Jalla , Rabbnya fajar.

Dan diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlindung kepada kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla al-kauniyyah, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ

Barang siapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan, “Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allâh yang sempurna dari kejahatan makhluk yang Ia ciptakan,” maka tidak ada yang dapat membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.[15]

Hadis Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjelaskan tentang keutamaan berlindung kepada Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla , dengan menjadikan makhluk yang jahat sebagai al-musta’âdz minhu (yang seseorang berlindung dari kejahatannya), dan Kalimat-kalimat Allâh sebagai al-musta’adz bihi (yang seseorang memohon berlindungan kepada-Nya).

Syaikh Shâlih Alu Syaikh mengatakan, “Dan yang dimaksud dengan Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla pada hadits ini adalah Kalimat-kalimat-Nya al-Kauniyyah yang orang-orang shaleh maupun orang-orang thâleh (jahat) tidak mampu untuk melampauinya. Dan Kalimat-kalimat itu seperti yang dimaksud dalam firman Allâh Azza wa Jalla.., kemudian beliau menyebutkan ayat diatas.[16]

Beliau juga mengatakan, “Para Ulama Ahlussunnah ketika membantah perkataan Mu’tazilah tentang khalqil Qur’an, mereka membawakan hadits ini, dengan mengatakan bahwa Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla bukanlah makhluk, karena jika ia makhluk maka tidak boleh dijadikan sebagai perlindungan dari kejahatan makhluk, dan menjadikan makhluk sebagai perlindungan adalah suatu kesyirikan, sebagaimana perkataan Imam Ahmad dan para imam ahlussunnah. Dan dari hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Ahlussunnah telah ber-ijma’ (sepakat) menjadikan hadits tersebut sebagai dalil atas larangan meminta perlindungan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , dan bahwa hal itu adalah suatu kesyirikan, dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan ber-isti’âdzah (memohon perlindungan) dengan Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla kecuali karena Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla bukanlah makhluk.[17]

C. PELAJARAN DARI AYAT
Dari uraian diatas dapat dipetik suatu kesimpulan:
1. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla ada dua macam; Kauniyyah dan Syar’iyyah.

2. Ilmu Allâh Azza wa Jalla sangat luas, Kalimat-kalimat Allâh yang Kauniyyah jumlahnya tak terbatas dan itu termasuk ilmu Allâh Azza wa Jalla .

3. Bagi orang yang telah diberi ilmu oleh Allâh Azza wa Jalla hendaknya ia tawaddu’ (merendahkan diri) tidak sombong yaitu menolak kebenaran dan meremehkan manusia, karena pada hakikatnya ilmu yang telah diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla kepadanya tersebut adalah sedikit, dan ingatlah bahwa, “diatas langit masih ada langit”.

4. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla adalah sifat Dzatiyyah dan Fi’liyyah.

5. Wajib bagi kaum muslimin ber-isti’âdzah kepada Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan ber-Isti’adzah kepada makhlukNya.

6. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla adalah sifat dari Sifat-sifatNya bukan makhluqNya, oleh karena itu disyariatkan untuk ber-Isti’adzah kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. A’lâmus Sunnah al-Mansyûrah li’ Tiqâdit Thâ’ifatil Manshûrah. Hafidz bin Ahmad al-Hakami. KSA: Wizaratusy Syu’un al-Islamiyyah wal-Auqaf wad Da’wah wal Irsyad, tanpa cetakan, th. 1422 H.
2. Aisarut Tafâsîr, Abu Bakr Jabir al-Jazâiri. Madinah: Maktabatul ‘Ulum wal-Hikam, Cetakan kelima th.1424 H/2003M.
3. Asbâbun Nuzûl. al-Wahidi, Ali bin Ahmad. Dammam: Darul Ishlah, cet. Kedua, th.1992 M.
4. al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân. Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah Al-Anshari. Riyadl–KSA: Darul Kutub al-Mishriyyah cet. Kedua, th. 1964 M.
5. Lubabun Nuqûl fi Asbâbin Nuzûl. As-Suyuthi, Jalaluddin. Beirut: Darul Kitab al-Araby, tanpa cetakan, 2006 M.
6. al-Qur’an dan terjemahnya.
7. Shahih Muslim. Muslim bin al-Hajjaj An-Naisaburi. Beirut: Darul Jiel dan Darul Afaq al-Jadidah, tanpa cetakan, tanpa tahun.
8. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm. Ibn Katsir, Abul fida’ Isma’il bin Umar Al-Qurasyi. Riyadl-KSA: Darut-Taibah, Cetakan kedua, th.1417 H/ th.1997 M.
9. Taisîrul Karîmir Rahmân fi Tafsîri Kalâmil Mannân,. al-Sa’di, ‘Abdurrahman bin Nashir. Beirut: Muassasat al-Risalah, tanpa cetakan, 1999 M.
10. Tamhid Syarh Kitabut Tauhid. Shaleh bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh. Riyadh: Darut Tauhid, cet. Pertama, th. 2002 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

FENOMENA BERTEKAD TAUBAT KETIKA HENDAK BERMAKSIAT


Ada fenomena ‘aneh’ pada sebagian orang. Ketika akan berbuat maksiat, sudah ditanamkan untuk taubat setelah perbuatan buruk yang ia lakukan. Dalam hatinya ia berbisik, “Nanti setelah aku melakukan maksiat ini, saya akan bertaubat”.

Memang betul, pintu taubat akan tetap terbuka sebelum matahari terbit dari arah barat. Siapa saja bertaubat kepada Allâh dengan taubat sebenarnya (taubat nashuha) dari perbuatan syirik dan perbuatan lain yang lebih rendah darinya, Allâh Azza wa Jalla akan menerima taubatnya.

Taubat nashûhâ ialah taubat yang mencakup beberapa aspek yaitu berhenti dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang diperbuat dan bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi sebagai realisasi dari rasa takutnya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya kepada Allâh Azza wa Jalla dan demi mengharap maaf dan ampunan-Nya.

Syarat sahnya taubat bertambah menjadi empat bila kesalahan seseorang berhubungan dengan hak sesama (orang lain). Yaitu dengan menyerahkan hak-hak orang tersebut yang diambil secara zhalim, baik berupa harta (yang dicuri) atau meminta dibebaskan (dihalalkan) darinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Barang siapa pernah berbuat zhalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, henadaknya meminta orang itu untuk menghalalkan kesalahannya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki kebaikan, maka sejumlah kebaikan akan diambil darinya sebanding dengan perbuatan kezhalimannya (untuk diserahkan kepada orang yang teraniaya). Apabila tidak memiliki kebaikan, maka akan diambilakn dosa saudaranya dan dilimpahkan keapda dirinya [HR. a-Bukhâri no. 2269]

Tekad untuk bertaubat dari perbuatan dosa merupakan tekad baik yang berhak untuk dihargai. Namun ketika bisikan “bertaubat” ini justru mendorongnya untuk mengawali rencana taubatnya dengan perbuatan maksiat, ini yang perlu diwaspadai. Jika ini yang terjadi, tidak diragukan lagi, ini termasuk tipu daya setan pada diri manusia untuk memudahkan berbuat maksiat dengan dalih di kemudian hari ia akan bertaubat usai berbuat maksiat. Tidakkah si pelaku mengkhawatirkan dirinya ? Bisa saja Allâh Azza wa Jalla menyulitkan jalan bertaubat baginya, sehingga akan mengalami penyesalan yang tiada kira dan kesedihan yang tak terukur di saat penyesalan tiada berguna lagi.

Kewajiban seorang Muslim adalah menghindari perbuatan syirik dan hal-hal yang menyeret kepadanya serta menghindari seluruh perbuatan maksiat. Sebab, bisa saja ia dicoba dengan bergelimang dalam maksiat, namun tidak mendapat taufik untuk bertaubat. Oleh karena itu, ia harus selalu menjauhi seluruh perkara yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan memohon keselamatan dari-Nya, tidak menuruti bujukan setan, sehingga berani berbuat maksiat dengan menyisipkan niat di hati untuk bertaubat sebelumnya.

Simaklah firman-firman Allâh Azza wa Jalla berikut yang berisi perintah untuk selalu takut kepada-Nya, ancaman bagi siapa saja yang nekat berbuat maksiat, dan larangan mengikuti bisikan hawa nafsu dan rayuan setan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk) [al-Baqarah/ 2:40]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ

Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya [Ali ‘Imrân/3:28]

Dalam ayat yang lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ﴿٥﴾إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala [Fâthir/35:5-6]

(Diadaptasi dari Majmû Fatâwa wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Bâz, 5/410-411)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


MEMBEDAH DZIKIR PALING AFDHAL MENURUT GOLONGAN SUFI


Termasuk bagian ideologi tarekat Sufi, komitmen mereka dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang telah diciptakan dan ditetapkan oleh para pemimpin mereka. Selanjutnya para jamaah golongan ini terikat untuk membaca dan mengamalkan ketentuan internal tersebut yang –sayangnya- tidak pernah dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

DZIKIR PALING AFDHAL MENURUT GOLONGAN SUFI
Dalam kamus ajaran Sufi, terdapat pengklasifikasian dzikir menjadi tiga jenis; yaitu dzikir ‘âmmah (dzikir orang umum), dzikir khâsh (dzikir orang khusus), dzikir khâshsshatil khâshshah (dzikir orang-orang paling utama). Anehnya dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mereka kategorikan dalam jenis dzikir pertama (dzikir âmmah) yang merupakan tingkatan dzikir paling rendah dalam pandangan mereka. Dzikir yang dimaksud ialah ucapan lâ ilâha illallâh. Level dzikir kedua, berdzikir dengan isim mufrad (nama tunggal) yaitu dengan mengulang-ulang lafzhul jalâlah (Allâh, Allâh….)[1] . Sedangkan tingkat tertinggi dalam berdzikir menurut mereka, mengulang-ulang kata huwa (dibaca hu..hu..hu) yang merupakan isim dhamîr (kata ganti ketiga tunggal) dari lafzhul jalâlah (Allah) yang artinya Dia.[2]

Demikianlah tiga tingkatan dzikir yang mereka miliki beserta contoh-contohnya. Sebelum menilik betapa jauh mereka dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada baiknya menengok landasan mereka dalam masalah ini guna mengetahui awal kesalahan mereka dalam masalah ini.

DALIH KAUM SUFI UNTUK MEMBENARKAN MODEL DZIKIR TERSEBUT
Semua golongan menyimpang mempunyai dalih yang mereka klaim membenarkan apa yang mereka yakini. Dalilh mereka dapat berujud hadits palsu, pemaksaan ayat maupun hadits shahih. Inilah yang menjadi permasalahan sebenarnya. Dalil-dalil yang shahih mutawatir ditarik-tarik untuk mendukung dan mengakomodasi apa yang telah menjadi ketentuan sebuah golongan. Mereka mensahkan dan menetapkan dzikir dengan kata Allâh lebih afdhal dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

Katakanlah :"Allâh-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Qur'ân kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya…[al-An’âm/6: 91]

Mereka berpegangan pada ayat tersebut dimana Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengatakan Allâh (saja) dalam berdzikir. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan berdzikir untuk menyebut nama-Nya dengan nama Allâh (saja), tanpa mentaqyid dengan perintah lain melebihi lafazh ini. Sebab dzikir ini merupakan dizkir orang-orang khusus dari kalangan hamba-Nya yang menjadi lantaran dunia tetap terpelihara [Adh-Dhiyâ al-Mustabîn, Muhammad Fâdhil al-Habîb hlm. 155][3]

Selain itu, menurut mereka terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentalqin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu untuk mengatakan, “Allâh, Allâh Allâh”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Kemudian memerintahkan ‘Ali untuk melakukannya. ‘Ali Radhiyallahu anhu pun mengulang-ulangnya tiga kali.

ULAMA AHLUS SUNNAH MENJAWAB
Ulama Ahlu Sunnah telah menguliti model dzikir yang dianggap terbaik dari yang ada ini. Alasan yang utama, Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai insan yang paling berwenang menjelaskan syariat dari Allâh Azza wa Jalla tidak pernah sama sekali menetapkan dzikir model demikian, apalagi sampai menyebutnya dengan predikat dzikir paling utama?!. Dan kenyataannya tidak ada satu dalil pun pada dalil-dalil syar’i yang menunjukkan anjuran tentang itu. Dan lagi, juga tidak ada atsar dari salah seorang Salaful ummah[4]

Syaikhul Islam rahimahullah telah membeberkan kelemahan dzikir tersebut dengan keterangan yang sangat panjang lebar dan menarik. Di antaranya beliau menegaskan, “Barang siapa menyangka bahwa ini (dzikir dengan membaca lâ ilâha illallâh) adalah dzikir ‘âmmah (dzikir orang-orang umum/awam) dan (berkeyakinan) dzikir khâsh adalah dengan menyebut-nyebut ismul mufrad (menyebut dengan lafazh ‘Allâh, Allâh…) dan dzikir khâshsshatil khâssah adalah dengan mengulang-ulang kata huwa (kata ganti ketiga untuk Allâh yang artinya Dia), ia adalah orang sesat dan terjerumus dalam kesalahan”.

Dzikir tersebut ditinjau dari sisi tata bahasa Arab saja sudah salah, karena bukan merupakan jumlah mufîdah [5] . Penyebutan satu isim mufrad (nama sesuatu) saja, baik dengan penyebutan nama itu atau menggunakan kata gantinya (dia, ia) bukanlah kalimat sempurna juga bukanlah jumlah mufîdah. Ketika orang mengulang-ulang nama Allâh, Allâh, Allâh, sekian banyak kali, pengulangan ini tidak mendatangkan sebuah pemahaman apapun. Di samping itu, satu nama yang diucap berulang-ulang tidak berpengaruh pada keimanan, kekufuran dan hidayah, karena belum tuntas memberikan keterangan apapun.

Oleh karena itu, ahli bahasa dari seluruh jenis bahasa yang ada sepakat bahwa tidak tepat orang mengucapkan satu nama dan setelah itu berhenti dan diam. Sebab, nama yang ia sebutkan itu tidak lazim disebut perkataan yang sempurna. Bahkan Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang mengulang-ulang nama Allah sejuta kali, itu tidak membuatnya beriman, juga tidak berhak memperoleh pahala dari Allah dan syurga-Nya…”.[6]

Adapun istidlâl mereka dengan ayat untuk menguatkan pendapat mereka, dikatakan oleh Syaikhul Islam t sebagai kesalahan yang tampak jelas. Sementara Syaikh al-Fauzân hafizhahullâh dalam Haqîqatut Tashawwuf menilainya sebagai bentuk istidlâl (pengambilan dalil) yang termasuk tahrîfil kalim (penyimpangan perkataan/dalil) dari tempat semestinya. Seandainya mereka merenungi lebih jauh firman Allâh Azza wa Jalla sebelumnya maka akan jelas maksudnya. Ayat yang mereka jadikan pegangan merupakan jawaban permulaan ayat. Sebab di awal ayat surat al-An'âm ayat 91 berfirman :

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَىٰ بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَىٰ نُورًا وَهُدًى لِلنَّاسِ ۖ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا ۖ وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ

Dan mereka tidak menghormati Allâh dengan penghormatan semestinya dikala mereka berkata: "Allâh tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya)".

Jadi maksudnya katakanlah Allâh lah yang menurunkan kitab yang dibawa oleh Musa. Dengan ini, maka istidlâl mereka dengan ayat menjadi gugur. Sementara hadits yang mereka sampaikan berderajat maudhu' (palsu) berdasarkan kesepakatan Ulama, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Fatawânya. Dengan ini, berarti dzikir dengan isim mufrad atau isim dhamîr tidak memiliki dasar sama sekali dalam syariat Islam.

DZIKIR PALING AFDHAL DALAM HADITS RASULULLAH MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam urusan dzikir, beliau telah menyampaikan dzikir-dzikir terbaik yang sangat jelas muatan tauhidnya. Bahkan dalam beberapa riwayat hadits, beliau sendiri yang menyatakan dzikir-dzikir tertentu merupakan dzikir paling utama dan afdhal. Di antaranya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَفْضَلُ الدُّ عَاءِ الْحَمْدُ للهِ

Sebaik-baik dzikir adalah (membaca) lâ ilâha illallâh. Dan sebaik-baik doa yaitu alhamdulillah [HR. al-Bukhari no.99]

Inilah dzikir terbaik yang diucapkan seorang Muslim. Ini juga yang beliau minta kepada pamannya, Abu Thâlib untuk mengatakannya dalam sakit yang membawanya kepada kematian. Terdiri dari kalimat yang ringan, namun maknanya sangat agung dan kedudukannya sangat tinggi

Lâ ilâha illallâh sudah merupakan kalimat sempurna, bila dikatakan maka tidak menyisakan tanda tanya pada pendengar. Masih banyak contoh dzikir dari Nabi yang penuh dengan keutamaan dan seluruhnya merupakan bentuk kalimat sempurna. Tidak seperti dzikir Sufi di atas, masih menyisakan kebingungan bagi orang-orang yang mendengarkannya. Coba Anda bayangkan, bila Anda menyaksikan seseorang menyebut-nyebut suatu nama misalnya Ahmad dengan berulang-ulang, apa yang Anda simpulkan dari dirinya?. Atau bila ia menyebut kata 'dia, dia, dia' seratus kali, apa pendapat Anda tentang orang tersebut??.

PENUTUP
Sungguh model dzikir yang mereka tekuni yang tidak ada asalnya dalam syariat dengan meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dzikir-dzikir yang syar'i menimbulkan pertanyaan mengenai motivasi sebenarnya yang mendorong mereka berbuat demikian?. Kenapa mereka berdzikir dengan wirid yang tidak pernah diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla , meski demikian mereka sangat mengagungkan dan komitmen dengannya, bahkan mengecilkan arti dzikir yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepada kita sekalian untuk memahami dan mengamalkan petunjuk Nabi Muhammad dalam setiap segi kehidupan. (Ustadz Abu Minhal)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Sumber: http://almanhaj.or.id/