Kaidah Ke. 26 : Jika Terjadi Perselisihan
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Enam
يُقْبَلُ قَوْلُ اْلأُمَنَاءِ فِي الَّذِي تَحْتَ أَيْدِيْهِمْ
مِنَ التَّصَرُّفَاتِ وَاْلإِتْلاَفِ وَغَيْرِهَا إِلاَّ مَا خَالَفَ الْحِسَّ وَالْعَادَةَ
Perkataan Orang Yang Diserahi Amanah Berkaitan
Dengan Pengelolaan, Kerusakan Dan Masalah Lain Yang Berhubungan Dengan Harta
Yang Diamanahkan Kepadanya Diterima, Kecuali Apabila Menyelisihi Realita Dan
Kebiasaan[1]
Kaidah ini sangat penting untuk menyelesaikan
perselisihan antara pemilik harta dan orang yang diserahi amanah[2] untuk
mengelola harta tersebut. Dalam akad mudharabah atau yang semisalnya, pemilik
harta (pemodal) mempercayakan hartanya kepada orang lain untuk kelola, baik
dalam perdagangan, sewa atau lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila terjadi
perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah berkaitan
dengan harta tersebut, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang
diserahi amanah. Karena pemilik harta telah mempercayakan harta kepadanya dan
telah menposisikannya seperti dirinya.
Namun, apabila pernyataan orang yang diserahi amanah
tersebut menyelisihi kebiasaan atau tidak selaras dengan realita yang ada, maka
pernyataannya tidak diterima. Misalnya, apabila seseorang yang dititipi barang
mengatakan bahwa barang tersebut telah hancur karena musibah kebakaran.
Sedangkan secara realita tidak ada indikasi musibah kebakaran, maka
perkataannya tidak diterima. Apabila ada tanda-tanda musibah kebakaran,
kemudian terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang dititipi
harta, misalnya, si pemilik harta bersikeras bahwa barang yang dititipkan itu
tidak ikut terbakar, sementara orang yang diserahi amanah menyatakan bahwa
barang itu juga terbakar, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang
yang diserahi amanah.[3]
Kasus-kasus lain yang bisa menjadi contoh
implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :
1. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain
untuk menjual sejumlah barang. Beberapa waktu berselang, barang itu rusak. Lalu
ia berkata kepada yang diserahi amanah, "Engkau wajib mengganti karena
engkau tidak menjaga harta itu!" Sementara orang yang diserahi amanah
menyanggahhh, "Saya sudah sungguh-sungguh menjaganya. Karenanya, saya
tidak wajib mengganti." Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang
diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena kedudukannya
sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan
kerusakan barang, diterima.
2. Apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk
menjual sejumlah pakaian. Beberapa waktu kemudian terjadi perselisihan. Si
pemilik harta berkata, "Engkau belum menawarkan pakaian itu !" Dan
orang yang diserahi amanah berkata, "Saya telah menawarkannya." Maka,
dalam kasus ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi
amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga
perkataannya berkaitan dengan pengelolaan harta, diterima.
3. Apabila seseorang meminjam suatu barang kepada
orang lain. Setelah beberapa waktu, pemilik barang mendatangi orang yang
meminjam untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si peminjam
mengatakan bahwa barang tersebut telah rusak karena musibah. Maka dalam hal
ini, perkataan si peminjam tersebut asalnya diterima karena kedudukannya
sebagai orang yang diserahi amanah, dan sebelumnya memang ia telah mendapatkan
izin dari pemilik harta untuk membawa ataupun memanfaatkan barang tersebut.
Adapun berkaitan dengan ganti rugi kerusakan, para
ulama berbeda pendapat apakah si peminjam wajib mengganti barang tersebut
ataukah tidak. Dan pendapat yang kuat adalah bahwa si peminjam tidak wajib
mengganti atau membayar ganti rugi kecuali apabila ia tidak benar-benar
menjaganya (tafrith) atau berlebihan dalam pemanfaatannya (ta'addi).[4]
4. Apabila ada akad sewa menyewa antara dua orang.
Kemudian setelah masa sewa selesai, pemilik barang mendatangi si penyewa untuk
meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si penyewa berkata bahwa barang
tersebut rusak karena suatu kecelakaan. Maka perkataan si penyewa diterima
karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah.[5]
5. Dalam akad mudahrabah,[6] perkataan mudharib
(pengelola barang mudharabah) berkaitan dengan keuntungan ataupun kerugian dari
pengelolaan barang, diterima. Demikian pula perkataannya berkaitan dengan
penjualan barang, baik secara tunai, kredit, syarat-syarat akad yang ia lakukan
dan sebagainya. Karena hal itu berkaitan dengan pengelolaan barang yang
diamanahkan kepadanya.[7]
Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa pembahasan
kaidah ini berkisar pada perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang
diserahi amanah berkaitan dengan pengelolaan dan kerusakan harta yang
diamanahkan. Di sisi lain, terkadang timbul perselisihan berkaitan dengan
pengembalian barang, apakah barang tersebut sudah dikembalikan atau belum.
Yaitu, apabila orang yang diserahi amanah mengatakan bahwa harta yang
diamanahkan sudah dikembalikan kepada pemilik harta, namun si pemilik
menyangkalnya. Maka, dalam kasus seperti ini para ulama menjelaskan, apabila si
penerima amanah tidak memiliki kepentingan sama sekali pada harta tersebut,
maka perkataannya diterima. Namun apabila dia memiliki kepentingan, maka
perkataannya ditolak.(apabila harta yang diamanahkan tersebut semata-mata untuk
maslahat si pemilik harta maka asalnya perkataan orang yang diserahi amanah
diterima. Namun, apabila orang yang diserahi amanah mengambil manfaat dari
harta yang diamanahkan kepadanya, maka asalnya perkataannya tidaklah
diterima).[8]
Implementasinya sebagai berikut :
1. Apabila Ahmad menitipkan sejumlah uang kepada
Hasan. Selang beberapa waktu kemudian, Ahmad menemui Hasan untuk meminta uang
yang dititipkannya itu. Kemudian Hasan berkata bahwa uang tersebut sudah
dikembalikan kepada Ahmad. Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang
diterima adalah perkataan Hasan dan ia tidak dituntut untuk mendatangkan bukti
pengembalian. Karena Hasan membawa harta tersebut semata-mata untuk kepentingan
Ahmad dan tidak berkepentingan dengannya. Dalam hal ini, ia juga telah berbuat ihsan
ketika membantu Ahmad membawakan uangnya. Sementara Allah k berfirman berkaitan
dengan orang yang berbuat ihsan :
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
[at-Taubah/9:91]
2. Apabila seseorang menyelamatkan harta orang lain
dari kehancuran karena ada bencana alam atau semisalnya. Setelah itu, pemilik
harta menyatakan bahwa seluruh harta tersebut atau sebagiannya belum
dikembalikan kepadanya. Sedangkan orang yang menyelamatkan mengatakan bahwa ia
telah mengembalikan semua harta yang ia selamatkan kepada pemiliknya. Maka
dalam kasus seperti ini, perkataan berpihak kepada si penyelamat harta. Karena
ia membawa harta tersebut demi kemaslahatan pemilik harta. Dan ini masuk juga
dalam keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’aladalam surah at-Taubah di
atas.[9]
3. Apabila Ahmad meminjam barang dari Hasan. Setelah
beberapa lama, terjadi perselisihan. Ahmad mengaku telah mengembalikan barang
tersebut, sementara Hasan menyangkal. Maka dalam kasus seperti ini, hukum
berpihak kepada Hasan. Karena Ahmad membawa barang tersebut adalah untuk
kepentingan dirinya serta untuk mengambil manfaat darinya. Maka pengakuan Ahmad
tidak diterima kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti pengembalian barang
tersebut.
4. Apabila Ahmad menyewa sebuah mobil dari Hasan.
Setelah masa sewa habis, Hasan menemui Ahmad untuk meminta mobilnya
dikembalikan. Lalu Ahmad mengatakan bahwa mobil telah ia kembalikan ke Hasan.
Maka dalam hal ini, perkataan Ahmad tidak diterima, karena ia membawa mobil
untuk kemaslahatannya dan ia mengambil manfaat darinya. [10]
Wallohu A'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Kaidah Ke. 25 : Pengundian Disyariatkan Apabila Yang
Berhak Tidak Diketahui
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh lima
تُشْرَعُ الْقُرْعَةُ إِذَا جُهِلَ الْمُسْتَحِقُّ وَتَعَذَّرَتِ
الْقِسْمَةُ
Pengundian Disyariatkan Apabila Orang Yang Berhak
Tidak Diketahui
Dan Pembagian Tidak Mungkin Untuk Dilakukan
Telah disebutkan dalil disyariatkannya pengundian[1]
-saat tidak diketahui siapa yang berhak- dalam al-Qur`ân dan Hadits.. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ
Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk
orang-orang yang kalah dalam pengundian [ash-Shâffât/37:141]
Ayat ini berkaitan dengan kisah Nabi Yûnus
Alaihissallam ketika meninggalkan kaumnya yang tidak mau beriman kepada beliau,
sehingga sampailah beliau di tepi pantai dan melihat kapal yang akan berlayar,
maka beliau pun naik ke kapal tersebut. Ternyata muatan kapal tersebut terlalu
penuh muatannya, sehingga saat berada di tengah lautan kapal tidak bisa
bergerak ke depan maupun ke belakang di tengah-tengah lautan. Bila muatan tidak
dikurangi, seluruh penumpang akan tenggelam. Untuk itu, mereka mengadakan
pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan dikeluarkan dari
kapal. Setelah dilakukan undian, keluarlah nama Nabi Yunus Alaihissallam. Selanjutnya
beliau dilemparkan keluar dari kapal. Dan masuklah beliau ke mulut seekor ikan
dan tinggal beberapa waktu di perut ikan itu sampai diselamatkan Allâh
Subhanahu wa Ta’ala.[2]
Contoh lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ
أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika
mereka melemparkan pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka
yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka
bersengketa. [Ali ‘Imrân/3:44]
Ayat ini berkaitan dengan kisah para pengemuka bani
Israil yang berselisih untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak
mengasuh Maryam. Maka, mereka bersepakat pergi ke suatu sungai untuk mengundi
siapa yang berhak mengasuhnya dengan melemparkan pena-pena mereka, dengan
kesepakatan bahwa siapa di antara mereka yang penanya tidak hanyut terbawa arus
sungai, maka dia lah yang berhak mengasuh Maryam. Ternyata pena Nabi Zakariya
Alaihissallam lah yang tidak hanyut terbawa air sungai, sehingga beliau lah
yang berhak mengasuh Maryam.[3]
Adapun dalil dari Sunnah, disebutkan dalam hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ,
فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهَ.
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata : Dahulu
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ingin bepergian, maka beliau
mengundi para isterinya. Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka
beliau akan pergi bersamanya [4]
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup
banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun muamalah. Dia
antaranya adalah sebagai berikut :
1. Apabila ada dua orang berebut untuk
mengumandangkan adzan, sedangkan keduanya bukan muadzin râtib[5] dan tidak ada
kelebihan salah satu dari yang lain, baik dari sisi keindahan dan kenyaringan
suara, ataupun karakteristik lain yang diperhatikan dalam adzan, maka penentuan
yang berhak mengumandangkan adzan dilakukan dengan pengundian.
2. Apabila ada dua orang atau lebih sama-sama
berkeinginan menjadi imam sholat, sedangkan mereka setara dari sisi keindahan
bacaan, kedalaman ilmu agama, hijrah, dan usia, maka yang berhak menjadi imam
ditentukan dengan pengundian.
3. Apabila seseorang ingin memberikan suatu barang
tertentu, baik berupa air, pakaian, bejana, atau selainnya kepada orang yang
paling layak mendapatkan barang tersebut di antara sekelompok orang. Ternyata
sekelompok orang tersebut mempunyai sifat latar belakang yang sama, dan sulit
ditentukan siapa di antara mereka yang paling layak mendapatkan barang
tersebut. Maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan dengan pengundian.
4. Apabila ada beberapa jenazah yang akan
disholatkan maka jenazah orang yang paling berilmu diletakkan paling dekat
dengan imam [6]. Namun apabila semua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dari
sisi keilmuan, tidak ada yang lebih utama salah satu dari yang lainnya, maka
yang diletakkan paling dekat dengan imam ditentukan dengan pengundian.
5. Apabila ada dua jenazah yang terpaksa dikuburkan
dalam satu liang lahat karena tempat yang sempit, waktu yang sempit, atau
tenaga pengubur yang sedikit, maka yang lebih didahulukan dimasukkan ke liang
lahat dan diletakkan lebih dekat ke arah kiblat adalah jenazah orang yang
paling utama di antara mereka. Yaitu, jenazah orang yang paling berilmu dan
paling banyak menghafal al Qur’ân [7] Namun, apabila kedua jenazah tersebut mempunyai
kesetaraan dalam ilmu dan hafalan, maka yang berhak dimasukkan lebih dahulu ke
liang lahat ditentukan dengan undian.
6. Apabila ada dua orang sama-sama menyatakan bahwa
suatu barang tertentu adalah miliknya, dan tidak ada qarinah (tanda-tanda) yang
menguatkan salah satunya lebih berhak atas barang tersebut, maka orang yang
berhak memilikinya ditentukan dengan pengundian. Namun demikian, apabila barang
tersebut bisa dibagi dan keduanya bersepakat untuk membagi barang tersebut
menjadi dua bagian dan masing-masing mendapatkan separuh bagian yang sama, ini
diperbolehkan.[8]
7. Apabila ada dua orang berebut untuk mendapatkan
suatu barang atau perkara mubâhât[9] , dan barang tersebut tidak mungkin
dimiliki secara bersama, maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan
dengan pengundian Misalnya, apabila ada dua orang berbarengan dan sama-sama
berkeinginan untuk duduk di suatu tempat tertentu di dalam masjid, maka dalam
hal ini penentuan yang berhak duduk di tempat tersebut dilakukan dengan
pengundian.
8. Apabila seorang wanita akan melangsungkan
pernikahan dan seluruh karib kerabat yang berhak menikahkannya berkeinginan
menjadi wali nikahnya, padahal mereka semua sederajat, maka penentuan wali
nikah dilakukan dengan pengundian.
9. Apabila seseorang mempunyai beberapa budak,
kemudian ia membebaskan salah satu budaknya, tetapi ia lupa budak manakah yang
ia bebaskan, maka penentuannya ditetapkan dengan pengundian.
Kemudian, berkaitan dengan pembahasan kaidah ini,
perlu dipahami bahwa apabila kadar kepemilikan dua orang atau lebih terhadap
suatu harta ataupun piutang sudah diketahui secara jelas, kemudian mereka
melakukan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan
mendapatkan harta atau piutang tersebut secara penuh, maka ini termasuk
perjudian yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân, Sunnah, dan Ijmâ'.
Di antara contohnya dapat diketahui melalui dua kasus berikut:
1. Apabila sebuah mobil dimiliki secara bersama oleh
dua orang. Kemudian keduanya melakukan pengundian dengan kesepakatan bahwa
siapa di antara keduanya yang keluar namanya dalam undian, maka ia berhak
memiliki mobil tersebut secara penuh, pengundian seperti ini tidak
diperbolehkan karena termasuk dalam kategori perjudian.
2. Apabila ada dua orang sama-sama mempunyai piutang
kepada si Fulan (seseorang), kemudian kedua orang tersebut melakukan
pengundian, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang namanya
keluar dalam pengundian, maka seluruh piutang si Fulan, baik dari orang pertama
ataupun orang kedua, menjadi miliknya. Maka pengundian seperti ini termasuk
dalam kategori perjudian. [10] Wallâhu a'lam.[11]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun
XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Kaidah Ke. 24 : Yang Tercepat Yang Lebih Baik
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Empat
مَنْ سَبَقَ إِلَى الْمُبَاحَاتِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Barangsiapa Lebih Dahulu (Menemukan Atau
Mendapatkan) Yang Mubahat Maka Dia Yang Lebih Berhak Atas Perkara Tersebut
Kaidah yang mulia ini menjelaskan bahwa siapa saja
yang terlebih menemukan atau mendapatkan yang mubahat, maka dia lebih berhak
untuk mendapatkan atau memanfaatkannya. Mubâhât maksudnya segala yang tidak ada
hak kepemilikan secara khusus atasnya, baik berupa tanah, tempat tertentu,
tanaman yang tumbuh di bumi atau yang lainnya.
Dalil yang menunjukkan keabsahan kaidah ini yaitu
hadits yang diriwayatkan dari Asmar bin Mudharris Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ
فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
Barangsiapa lebih dahulu sampai kepada suatu perkara
daripada orang muslim lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu
tersebut.[1]
Juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمَّرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ
بِهَا
Barangsiapa mengelola tanah yang tidak dimiliki
siapa pun, maka ia lebih berhak terhadap tanah itu.[2]
Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang lebih
dahulu mendapatkan dan mengelola tanah yang tidak bertuan, maka dia yang lebih
berhak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah itu. Kemudian perkara mubâhât
lainnya diqiyaskan dan dihukumi sama seperti tanah yang disebutkan dalam hadits
diatas.
Adapun implementasi kaidah ini, dapat diketahui dari
contoh-contoh berikut :
1. Berkaitan dengan pengairan sawah dari air sungai.
Apabila para pemilik sawah berselisih tentang sawah manakah yang paling
didahulukan untuk mendapatkan pengairan dari sungai tersebut. Maka dalam hal
ini yang paling didahulukan adalah sawah yang posisinya paling tinggi, karena
biasanya posisinya lebih dekat dengan suangi. Setelah sawah tersebut dialiri
air dan telah cukup maka barulah dialirkan ke sawah di bawahnya.
2. Berkaitan dengan hewan buruan, baik di darat
maupun di laut. Siapa saja yang lebih dahulu menangkapnya atau senjatanya lebih
dahulu mengenainya maka dia yang lebih berhak untuk memiliki hewan tersebut.
Adapun sebatas melihat hewan tersebut, maka kepemilikannya belum bisa
ditentukan. Demikian pula keberadaan kayu di hutan, rerumputan yang ada di
padang rumput, barangsiapa lebih dahulu sampai kepadanya maka dia lah yang
lebih berhak mendapatkannya.
3. Berkaitan dengan tempat-tempat yang disediakan
untuk kepentingan umum, seperti masjid atau selainnya. Tidak boleh seseorang
menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di
tempat orang tersebut. Misalnya Ahmad sedang duduk di suatu tempat di masjid
mendengarkan pengajian. Kemudian Zaid datang dan menyuruh Ahmad berdiri,
kemudian Zaid duduk di tempat tersebut. Maka seperti ini tidak diperbolehkan.
Karena Ahmad lebih dahulu sampai di tempat tersebut sehingga dia yang lebih
berhak untuk duduk di sana.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dijelaskan bahwasanya Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ
يَجْلِسُ فِيْهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا
Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain berdiri
dari tempat duduknya kemudian ia duduk di sana, akan tetapi hendaklah kalian
memberi kelonggaran dan keluasan.[3]
4. Berkaitan dengan harta-harta yang diwakafkan,
baik berupa tanah, rumah, atau barang-barang lainnya yang dalam pemanfaatannya
tidak memerlukan persetujuan dari nâzhir (pengurus) barang yang diwakafkan.
Maka siapa saja yang lebih dahulu sampai pada barang-barang tersebut, dia lebih
berhak untuk memanfaatkannya. Misalnya seseorang mewakafkan sebuah rumah untuk
ditempati oleh fakir miskin, maka fakir miskin mana saja yang lebih dahulu
sampai ke rumah tersebut, dia yang lebih berhak untuk memanfaatkannya, sampai
kebutuhannya terhadap rumah itu selesai.
Ini berkaitan dengan harta-harta wakaf yang tidak
ada nâzhirnya secara khusus. Adapun jika harta-harta wakaf itu diurusi oleh
nâzhir (pengurus) yang khusus maka pemanfaatannya tergantung pada persetujuan
nâzhir tersebut, tidak berdasarkan siapa yang lebih dahulu sampai pada
barang-barang itu.
5. Berkaitan dengan lahan mati, yaitu tanah yang
tidak bertuan secara khusus. Siapa saja yang lebih dahulu menghidupkan tanah
tersebut dan mengelolanya, maka dia yang lebih berhak memiliki tanah tersebut.
Dalam hal ini, seseorang dikatakan menghidupkan
tanah yang mati di antaranya dengan membuat pagar pembatas sehingga tanah itu
tidak dimasuki hewan-hewan liar, atau dengan membangun sumur di area tanah tersebut
sehingga bisa mengairinya. Demikian pula bisa dilakukan dengan mengalirkan air
ke tanah tersebut baik dari sungai, atau selainnya untuk mengairi tanah
tersebut. Atau dengan membersihkan tanah tersebut dari bebatuan, genangan air,
atau benda-benda lain yang menghalangi pemanfaatan tanah tersebut. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
Barangsiapa menghidupkan lahan mati, maka lahan itu
menjadi miliknya.[4]
6. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar
wanita yang telah dilamar orang lain, selama lamaran tersebut belum ditolak
oleh si wanita atau tidak ada izin dari si pelamar pertama. Hal ini dikarenakan
orang yang pertama lebih dulu melamarannya sehingga dia lebih berhak,
Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ, حَتَّى
يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ, أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
Janganlah salah seorang di antara kalian melamar
wanita yang telah dilamar orang lain sampai pelamar itu meninggalkannya atau
mengizinkannya.[5]
7. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengabarkan tentang pahala yang besar yang akan didapatkan oleh seseorang
apabila berdiri di shaf pertama dalam shalat berjama’ah. Sebagaimana sabda
beliau :
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ
اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا
Seandainya manusia mengetahui besarnya pahala
mengumandangkan adzan dan pahala berdiri di shaf pertama sementara mereka tidak
bisa memperolehnya kecuali dengan berundi tentulah mereka akan berundi.[6]
Dalam hal ini, seseorang yang lebih dahulu sampai di
shaf pertama tersebut, dia yang paling berhak untuk menempati posisi tersebut
daripada orang lain setelahnya. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun
XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Kaidah Ke. 23 : Kaum Muslimin Harus Memenuhi
Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Tiga [1]
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ
حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang
Telah Mereka Sepakati Kecuali Syarat Yang Mengharamkan Suatu Yang Halal Atau
Menghalalkan Suatu Yang Haram
Sebagaimana kaidah sebelumnya, kaidah yang mulia ini
sesuai dengan lafadz hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا
حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang
telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau
menghalalkan suatu yang haram.[2]
Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum asal dari
persyaratan-persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin dalam berbagai
akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung maslahat dan
tidak ada larangan syari’at tentang hal itu. Tentunya, selama syarat-syarat itu
tidak menyeret pelakunya terjerumus kedalam suatu yang diharamkan Allah Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila mengandung unsur
haram sehingga bisa menyeret pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram maka
syarat-syarat tersebut tidak diperbolehkan.
Syarat-syarat yang diperbolehkan sebagaimana hukum
asalnya itu banyak, diantara contohnya :
1. Dalam akad jual beli.
a. Seseorang menjual barangnya dan menetapkan syarat
agar ia masih diberi hak untuk menggunakan barang tersebut dalam jangka waktu
tertentu sebelum diserahkan kepada pembeli. Misalnya Ahmad menjual rumahnya
kepada Zaid dengan harga tertentu. Ahmad mensyaratkan bahwa ia masih menempati
rumah itu selama satu bulan sebelum diserahkan kepada Zaid.
b. Seseorang membeli barang dengan syarat
pembayarannya ditunda sampai jangka waktu tertentu. Misalnya Ahmad membeli
sebuah rumah dari Zaid dengan harga tertentu, dengan syarat setengah dari harga
tersebut langsung dibayarkan ketika akad, sedangkan setengahnya dibayarkan
sebulan kemudian.
c. Pembeli mensyaratkan bahwa barang yang akan
dibelinya harus memiliki sifat-sifat tertentu. Misalnya seseorang yang ingin
membeli budak dan ia mensyaratkan bahwa budak yang akan ia beli tersebut harus
mempunyai keahlian tertentu, seperti bisa membaca dan menulis atau keahlian
lainnya. Demikian pula apabila seseorang ingin membeli hewan ternak dan ia
mensyaratkan kepada si penjual bahwa hewan yang akan ia beli tersebut produksi
susunya banyak atau selainnya.
2. Dalam akad hutang piutang, apabila orang yang
menghutangi menetap syarat harus ada jaminan berupa barang tertentu kepada
orang yang berhutang. Misalnya Ahmad ingin berhutang sejumlah uang kepada Zaid.
Kemudian Zaid berkata, “Saya mau meminjami uang kepadamu dengan syarat ada jaminan.”
3. Berkaitan dengan akad wakaf, apabila seseorang
mewakafkan suatu barang disertai dengan syarat tertentu. Maka dalam pemanfaatan
barang wakaf itu harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan oleh si
pewakaf, selama syarat tersebut tidak menyelisihi syari’at. Misalnya seseorang
mewakafkan sebidang tanah dengan syarat digunakan untuk pembangunan masjid.
Maka pemanfaatan tanah tersebut harus disesuaikan dengan syarat yang telah
ditentukan pewakaf.
4. Demikian pula syarat-syarat yang dibuat oleh
pasangan suami isteri dalam ikatan pernikahannya. Misalnya, seorang wanita
berkata kepada calon suaminya, “Saya mau menjadi isterimu dengan syarat saya
tetap tinggal di kampung kelahiran saya.” Atau si wanita tersebut mensyaratkan
supaya tidak dipoligami atau syarat-syarat semisalnya. Maka hokum asal dari
persyaratan-persyaratan tersebut diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ
بِهِ الْفُرُوْجَ
Sesungguhnya syarat yang paling wajib kalian
tunaikan adalah syarat-syarat untuk menghalalkan pernikahan.[3]
Adapun syarat-syarat yang menyebabkan pelakunya
terjerumus dalam perkara yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka syarat-syarat tersebut tidak boleh dipenuhi
dan tidak boleh dilaksanakan. Di antara contohnya adalah dalam kasus jual beli
budak. Apabila seseorang menjual budak miliknya dengan syarat kalau budak itu
nantinya dimerdekakan oleh si pembeli (tuannya yang baru) maka wala’nya [4]
untuk si penjual tersebut. Syarat seperti ini tidak diperbolehkan karena
bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
Sesungguhnya wala’ itu adalah milik orang yang
memerdekakan budak.[5]
Syarat-syarat yang diharamkan itu terbagi menjadi
dua :
1. Syarat-syarat yang haram dan menyebabkan akad
tidak sah.
Misalnya adalah syarat mut’ah dalam pernikahan.
Yaitu pernikahan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu
tersebut selesai maka pasangan suami isteri tersebut bercerai. Misalnya,
seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat pernikahan tersebut berlangsung
selama satu bulan dan setelah itu pernikahan mereka berakhir.
Demikian pula syarat tahlîl dalam pernikahan.
Apabila seorang wanita telah ditalak sebanyak tiga kali oleh suaminya, maka si
suami tidak bisa ruju’ bekas isterinya tersebut kecuali apabila wanita tersebut
telah dinikahi laki-laki lain, telah berhubungan suami isteri dengan suaminya
yang baru tersebut dan telah diceraikan lagi oleh suaminya yang baru itu, tanpa
ada unsur rekayasa. Jika ada rekayasa, misalnya ada laki-laki lain yang melamar
wanita tersebut, kemudian si wanita ini mau tapi dengan syarat setelah menikah
dan berhubungan suami isteri, dia harus dicerai, supaya bisa menikah kembali
dengan bekas suaminya yang pertama. Inilah yang dimaksud dengan syarat tahlîl
dalam perrnikahan.
Syarat mut’ah dan syarat tahlîl adalah syarat yang
fâsid (rusak) yang menyebabkan pernikahan tersebut tidak sah. Karena syarat ini
bertentangan dengan tujuan awal pernikahan disyari’atkan.
2. Syarat-syarat yang haram tetapi tidak menyebabkan
akadnya batal.
Misalnya, pernikahan dengan syarat tanpa mahar.
Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat tanpa
memberikan mahar kepada isterinya.
Demikian pula apabila seorang laki-laki menikahi
seorang wanita dengan syarat tidak memberikan nafkah kepada isterinya, atau
dengan syarat bahwa isterinya tersebut mendapatkan giliran lebih banyak atau
lebih sedikit daripada isteri-isterinya yang lain.
Maka syarat-syarat semacam ini termasuk syarat yang
fasid (rusak) namun tidak sampai menyebabkan akad pernikahan itu batal. Karena
syarat-syarat itu tidak bertentangan dengan tujuan awal pernikahan, baru
sebatas menafikan hal-hal yang wajib ditunaikan dalam pernikahan berupa hak-hak
isteri atas suaminya. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun
XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Kaidah Ke. 22 : Shulh (Berdamai) Dengan Sesama Kaum
Muslimin Itu Boleh
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Dua
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا
أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً
Shulh (berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu
Boleh Kecuali Perdamaian Yang Menghalalkan Suatu Yang Haram Atau Mengharamkan
Suatu Perkara Yang Halal
Kaidah mulia yang sangat bermanfaat ini diambil dari
lafadz hadits yang telah dishahihkan oleh beberapa ahli hadits. Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا
حَرَّّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ
شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan
kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu
yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka
sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan
suatu yang haram.[1]
Hadits ini menjelaskan bahwa seluruh macam shulh
(perdamaian) antara kaum muslimin itu boleh dilakukan, selama tidak menyebabkan
pelakunya terjerumus ke dalam suatu yang diharamkan oleh Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasûl-Nya.
Berikut beberapa contoh penerapan kaidah diatas :
1. Shulhul iqrâr atau as-shulh ma’al iqrâr
(perdamaian yang disertai pengakuan)
Misalnya, seseorang melihat barang yang diakuinya
sebagai milik dia, misalnya jam, namun jam itu berada di tangan orang lain.
lalu dia mengatakan : “Jam ini milikku !” Orang yang sedang membawa jam itu
mengatakan : “Ya, ini memang jammu. Namun aku ingin berdamai denganmu dengan
cara memberikanmu sejumlah uang lalu jam ini menjadi milikku.” Jika si pemilik
setuju, maka shulh ini sah dan inilah disebut as-shulh ma’al iqrâr atau shulhul
iqrâr.
Apabila Ahmad menyetujui tawaran Zaid tersebut maka
ini diperbolehkan. Ini termasuk kategori Shulhul Iqrâr.
2. Shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr
(perdamaian yang disertai pengingkaran)
Contohnya, kasus jam diatas. Jika yang membawa jam
itu mengingkari pengakuan orang itu dengan mengatakan : “Jam ini bukan milikmu
tapi milikku.” Kemudian dia khawatir permasalahan ini akan berkepanjangan,
akhirnya dia ingin menyelesaikannya dengan mengajak damai. Dia mengatakan :
“Kita damai saja, saya akan memberikanmu sejumlah uang dan jam ini tetap di
tanganku sebagai milikku.” Jika orang pertama setuju, maka shulh ini sah dan
disebut dengan shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr. Melihat dalam peristiwa
ini ada indikasi bohong, syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah
mengatakan : “Bagi yang berbohong, maka akadnya tidak sah.”
3. Berdamai dalam khiyâr 'aib (hak pembeli untuk
membatalkan transaksi karena ada cacat pada barang)
Apabila seseorang membeli sesuatu dengan harga
tertentu, kemudian ia mengetahui ada cacat pada barang itu dan ia ingin
mengembalikannya kepada penjualnya. Ketika mengembalikan barang tersebut, si
penjual mengatakan, "Bagaimana jika barang ini tidak dikembalikan dan aku
akan berikan ganti rugi kepadamu berupa uang sebesar sekian sebagai kompensasi
dari kerusakan tersebut ?"
Apabila si pembeli setuju tawaran ini, maka ini
termasuk kategori berdamai yang diperbolehkan.
4. Berdamai dalam khiyâr Syarth (hak pembeli untuk
membatalkan atau meneruskan transaksi dengan syarat-syarat tertentu yang telah
disepakati antara penjual dan pembeli)
Misalnya, Ahmad hendak membeli rumah dari Zaid
dengan kesepakatan si pembeli diberi waktu sepekan. Dalam waktu ini, dia berhak
untuk membatalkan atau meneruskan jual beli tersebut. Namun kemudian, sebelum
lewat waktunya, Zaid mendatangi Ahmad dan mengatakan, "Bagaimana jika jual
beli ini kita jadikan dan kita tuntaskan saja tanpa menunggu waktunya habis ?
Sebagai kompensasi, aku akan berikan kepadamu sejumlah uang."
Apabila Zaid menerima tawaran Ahmad ini, maka shulh
ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan dan masuk dalam
keumuman kaidah di atas.
5. Berdamai dalam hak syuf'ah.
Apabila ada suatu barang dimiliki secara bersama
oleh Ahmad dan Zaid, misalnya tanah atau rumah. Kemudian Ahmad menjual
bagiannya kepada Yasir. Dalam hal ini Zaid bisa menggunakan hak syuf'ahnya
untuk membatalkan jual beli tersebut. Zaid berhak menarik bagian yang sudah
dijual Ahmad dan merubah statusnya menjadi milik Zaid atau membelinya dengan
harga yang sudah disepakati oleh Ahmad dan Yasir. Dalam peristiwa ini, saat
Zaid akan menggunakan hak syuf’ahnya, Yasir berkata, “Bagaimana jika engkau
tidak menggunakan hak syuf’ahmu ? Karena aku ingin memiliki barang ini. Sebagai
konsekuensinya aku akan memberikan sejumlah uang kepadamu.”
Apabila Zaid setuju dengan tawaran Yasir ini, maka
ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan.
6. Berdamai dalam diyât pembunuhan atau yang lain.
Apabila terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan
secara sengaja dan zalim, maka keluarga korban bisa menuntut hukum qishâsh atau
menuntut diyât (ganti rugi atas pembunuhan tersebut). Jika menuntut diyât, maka
jumlahnya telah ditentukan dalam syari'at yaitu sejumlah 100 ekor onta dengan
memenuhi berbagai ketentuan lainnya. Dalam hal ini, apabila keluarga korban
mengusulkan kepada keluarga si pembunuh supaya memberikan diyât lebih dari 100
ekor lalu keluarga si pembunuh menyetujuinya, maka ini termasuk shulh
(berdamai) yang diperbolehkan.
7. Perdamaian dalam hutang yang tidak diketahui
jumlahnya.
Apabila Ahmad berhutang sejumlah uang kepada Zaid.
Setelah beberapa waktu, keduanya sama-sama lupa nominalnya. Dalam kondisi ini,
apabila Zaid mengatakan, "Bagaimana kalau kita tentukan saja nominalnya
yaitu Rp. 100.000,-, jika nominal sebenarnya lebih dari itu, maka aku
merelakannya, namun jika nominal sebenarnya kurang dari seratus ribu, maka
engkau yang merelakannya ?" Apabila Ahmad menerima tawaran Zaid tersebut
maka ini termasuk shulh (perdamaian) yang diperbolehkan.
8. Perdamaian dalam hak-hak suami isteri.
Apabila seorang isteri khawatir akan diceraikan oleh
suaminya, kemudian si isteri tersebut berkata kepada suaminya, "Aku ingin
tetap menjadi isterimu, sebagai konsekuensinya aku relakan nafkahku
dikurangi." Apabila si suami setuju, maka ini termasuk perdamaian yang
diperbolehkan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ
إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ
خَيْرٌ
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka.
[an Nisâ'/4:128]
Demikian pula, seluruh perdamaian yang dilakukan
untuk menyelesaikan perselisihan dan persengketaan di antara manusia, maka hal
tersebut diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah ini, baik lewat
perantara hakim atau yang lain. Kesimpulannya, hukum asal dari perdamaian itu
adalah boleh selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara yang
haram.
Diantara shulh (perdamaian) yang tidak diperbolehkan
karena ada unsur haram di dalamnya dapat diketahui dari beberapa contoh berikut
:
1. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp.
100.000 kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, Zaid lupa nominal, sementara Ahmad
masih ingat nominalnya, tetapi ia tidak mau memberitahukannya kepada Zaid.
Dalam hal ini, apabia Ahmad berkata kepada Zaid, "Aku juga lupa berapa
jumlah hutangku itu. Bagaimana kalau kita tentukan saja jumlahnya Rp. 50.000 ?
Aku rela jika jumlah hutang sebenarnya lebih kecil dari itu. Dan relakanlah
jika jumlah hutang sebenarnya lebih besar dari itu." Kemudian Zaid
menyetujui tawaran Ahmad tersebut. Maka perdamaian tersebut haram bagi Ahmad,
karena ia telah menghalalkan perkara yang haram.
2. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp.
100.000 kepada Zaid, dengan jangka waktu pengembalian selama satu pekan.
Setelah berlalu satu pekan, ternyata Ahmad belum bisa melunasi hutangnya.
Kemudian Ahmad berkata kepada Zaid, "Berilah tenggang waktu kepadaku
selama tiga hari untuk melunasi hutangku. Dan sebagai konsekuensinya, aku akan
membayar hutangku sebesar Rp 100.000 dengan tambahan Rp. 20.000 untukmu."
Jika Zaid setuju, maka perdamaian seperti itu tidak diperbolehkan karena
mengandung riba.
Wallâhu a'lam.
(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq
wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq:
Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun
1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits الْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُُرُوْطِهِمْ
diriwayatkan oleh imam Bukhâri 4/451 secara mu'allaq dengan shighah jazm. Dan
diriwayatkan secara maushul oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu
Jârud no. 637, al Hâkim 2/45, Ibnu 'Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu lewat jalur riwayat Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabâh. Dan
dalam riwayat Imam Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillah bin 'Amr bin 'Auf
al Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا
حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ
شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Lafadz ini dibawakan juga oleh Thabrani dalam al
Kabîr no. 30, Ibnu 'Adiy no. 2081, Dâruquthni 3/27, al Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah
no. 2353 tanpa kalimat yang akhir. Hadits ini dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah,
Anas, Abdullâh bin Umar, Râfi' bin Khadîj Rahiyallahu anhum. Dengan
mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya, maka hadits diatas itu tsâbit atau
sah.
Lalai Dari Mohon Petunjuk, Bahaya Sombong, Iri,
Emosi Dan Nafsu Syahwat
LALAI DARI MEMOHON PETUNJUK
Oleh
Hamd bin Ibrâhim al-‘Utsmân
Jika seseorang berpikir tentang orang-orang yang
tersesat, baik orang yang telah mendahuluinya maupun yang semasa dengannya,
maka dia akan mendapati banyak di antara mereka itu ternyata orang-orang yang
cerdas.
Kecerdasan semata tidaklah menjamin pemiliknya untuk
meraih petunjuk dan kebenaran, akan tetapi Allâh Azza wa Jalla lah yang memberikan
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Akan tetapi Allâh menunjuki siapa yang Dia kehendaki
[al-Baqarah/2:272]
Inilah yang diakui oleh orang-orang yang telah
memperoleh hidayah, yang mensyukuri nikmat Allâh Azza wa Jalla dan
keutamaan-Nya pada mereka. Al-Barâ’ bin ‘Azib berkata, “Dahulu pada perang
Ahzâb, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ikut bersama kami memikul
tanah, dan aku melihat perut beliau yang putih terkotori tanah, seraya
mengucapkan,
لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا
صَلَّيْنَا
Ya Allâh, sekiranya bukan karena-Mu pasti kami tidak
akan mendapat petunjuk, dan kami akan bersedekah dan menunaikan shalat [HR.
al-Bukhâri Muslim]
Allâh Azza wa Jalla telah berfirman tentang para
penduduk surga :
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا
وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ
Para penduduk surga berkata, “Segala puji bagi Allâh
yang telah menunjuki kami surga ini, kami tidak akan mendapat petunjuk kiranya
Allâh tidak menunjuki kami” [al-A’râf /7:43]
Ada banyak hal yang menimbulkan masalah, perbedaan
pendapat dan pertentangan. Akibatnya, kebenaran pun menjadi begitu samar bagi
orang yang mencarinya. Karena itu, kita harus memohon petunjuk kepada Allâh
Dzat yang Maha pemberi Petujuk, Maha mengetahui, dan Maha memutuskan urusan
yang diperselisihkan oleh manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Terkadang suatu perkara menjadi samar di permulaannya, kemudian Allâh Azza wa
Jalla menunjuki orang-orang yang beriman kepada kebenaran dalam hal yang mereka
perselisihkan dengan seizin-Nya setelah (dia) memohon pertolongan dan petunjuk
kepada Allâh Azza wa Jalla , serta merasa butuh kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla
akan menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.”[1]
Beliau juga menegaskan, “Pada dasarnya, seorang
hamba sangat membutuhkan ilmu dan petunjuk yang dia mohon dan minta dari Allâh
Azza wa Jalla . Maka, dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla dan merasa butuh
kepada-Nya, Allâh Azza wa Jalla akan memberinya petunjuk, sebagaimana
firman-Nya dalam hadits qudsi,
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ
فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ
Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali
yang aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan
menunjuki kalian [HR. Muslim no. 4674]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan
permohonan hidayah dalam doa berikut:
اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ
فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ
بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ
مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Ya Allâh, Rabb Jibrîl, Mikâil, dan Isrâfîl, pencipta
langit dan bumi, yang Maha mengetahui hal yang gaib maupun yang nampak.
Engkaulah yang memutuskan perkara yang diperselisihkan para hamba-Mu, maka
tunjukilah aku kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan dengan
izin-Mu. Sesungguhnya engkau menunjuki kepada siapa pun yang engkau kehendaki
ke jalan yang lurus [HR. Muslim no. 1289]
Beliau juga mengatakan, “Jika seorang hamba merasa
butuh kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh
Azza wa Jalla dan sabda Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam
kaum Muslimin, maka akan terbuka jalan petunjuk baginya.”[3]
Beliau pun berkata, “Barang siapa yang telah melihat
kebenaran dengan jelas, maka dia harus mengikutinya, dan barangsiapa yang masih
samar, maka dia harus diam sampai Allâh Azza wa Jalla memberikan kejelasan
baginya. Hendaklah dia mencari pertolongan dengan berdoa kepada Allâh Azza wa
Jalla.
Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang Nabi Mûsâ
Alaihissallam :
عَسَىٰ رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ
Mudah-mudahan Rabbku menunjuki aku jalan yang benar
[al-Qashash/28:22]
Al’allâmah as-Sa’di rahimahullah berkata, “Seseorang
yang mendalami sebuah ilmu, ketika hendak mengamalkannya atau berbicara
tentangnya, jika belum jelas baginya kebenaran salah satu dari dua pendapat
setelah menginginkan kebenaran dengan hatinya dan mencarinya, sesungguhnya
Allâh Azza wa Jalla tidak akan menyia-nyiakan orang yang demikian. Ini seperti
yang telah terjadi pada Nabi Mûsâ Alaihissallam, tatkala hendak pergi menuju
kota Madyan dalam keadaan tidak tahu jalan menuju ke sana, beliau memanjatkan
doa yang artinya ‘mudah-mudahan Rabbku menunjuki aku jalan yang benar’ dan
Allâh Azza wa Jalla telah menunjuki dan mewujudkan harapan serta impiannya.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika tujuan itu
semakin besar, dan rekan yang berilmu lagi pemberi nasehat telah bersamamu,
maka berangkatlah dengan segenap semangat di hadapan pendahulumu, dan hendaklah
kamu senantiasa ingat dengan Dzat yang telah mengajarkan kebenaran pada Ibrâhim
Alaihissallam.”[4]
(Diadaptasi dari ash-Shawârif ‘Anil Haqqi, Hamd bin
Ibrâhim al-‘Utsmân, Dar Imâm Ahmad Cet. II Th).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun
XIII/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ash-Shafadiyyah hlm. 1/295
[2]. Majmû Fatâwa 4/39
[3]. Majmû Fatâwa 5/118
[4]. Miftâhu Dâris Sa’âdah 1/32
BAHAYA SOMBONG, IRI, EMOSI DAN NAFSU SYAHWAT
Sendi-sendi kekufuran itu ada empat : al-kibr
(kesombongan), al-hasad (rasa iri), al-ghadab (marah atau emosi) dan
asy-syahwat (nafsu syahwat)
Kesombongan akan menghalangi seseorang dari berbuat
taat. Rasa iri menghalangi seseorang dari menerima atau memberikan nasehat.
Marah menghalangi seseorang dari berbuat adil. Nafsu menghalangi seseorang dari
memfokuskan diri pada ibadah. Artinya, jika sendi kesombongan itu sirna, maka
seseorang akan dengan mudah melakukan ketaatan. Jika tidak ada rasa iri dengki,
maka seseorang akan mudah menerima atau memberikan nasehat. Jika tidak emosi,
maka seseorang bisa berlaku adil dan tawaddhu’ (merendahkan diri) dengan mudah.
Jika syahwat tidak ada, maka dengan mudah seseorang bisa bersabar, menahan diri
dan memfokuskan diri untuk beribadah.
Keempat sifat tercela ini tidak bisa hilang begitu
saja. Gunung yang kokoh lebih mudah sirna dibandingkan empat sifat ini.
Terutama jika sifat-sifat ini sudah menjadi perangai yang melekat, maka tidak
ada satu amalan pun yang bisa dilakukan dengan konsisten serta jiwa pelakunya
tidak bisa bersih selama sifat-sifat buruk ini masih melekat meskipun dia
melakukan amal shalih. Tiap kali berusaha melakukan amal shalih, empat sifat
ini datang merusaknya. Dan semua bencana yang menimpa seseorang bermula dari
empat sifat ini. Jika sifat-sifat sudah bertengger di hati, dia akan mengubah
pandangan hati, yang bathil terlihat haq dan yang haq terlihat bathil, yang
ma’rûf terlihat mungkar dan begitu sebaliknya. Sifat-sifat ini akan mendekatkan
pelakunya kepada dunia dan menjauhkannya dari akhirat.
Jika kita merenungi kekufuran berbagai umat, kita
akan dapati bahwa kekufuran mereka itu berawal dari sifat-sifat tercela ini.
Sifat-sifat inilah yang menyebabkan adzab. Berat atau ringannya adzab
tergantung pada berat atau ringannya sifat-sifat buruk ini pada seseorang.
Barangsiapa memberi kesempatan kepada sifat-sifat ini untuk bertengger
dihatinya, berarti dia telah membuka seluruh pintu keburukan bagi dirinya, di
dunia dan akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang menutup celah bagi sifat-sifat
ini, berarti dia telah menutup semua jalan keburukan. Sifat-sifat buruk ini
menghalangi seseorang dari ketaatan, ikhlas, taubat, menerima kebenaran,
menerima nasehat serta menghalangi dari tawaddhu’ kepada Allah Azza wa Jalla
dan sesama makhluk.
Sifat-sifat buruk ini bisa muncul disebabkan oleh
ketidak-tahuan seorang hamba terhadap Rabb-nya dan ketidak-tahuannya terhadap
dirinya. Orang yang mengenal Rabb-nya dengan berbagai sifat keagungan dan
kesempurnaan-Nya, juga mengenal dirinya sendiri dengan berbagai aib dan
kekurangannya, maka dia tidak akan sombong, tidak akan emosi dan tidak akan
merasa iri dengan nikmat yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada orang
lain. Memendam rasa iri sebenarnya termasuk pembangkangan terhadap Allah Azza
wa Jalla . Karena dia membenci anugerah Allah Azza wa Jalla yang ada pada
seorang hamba, padahal Allah Azza wa Jalla menyukai pemberian ini. Si pendengki
ini menginginkan anugerah Allah Azza wa Jalla itu lenyap dari si hamba, padahal
Allah Azza wa Jalla sebaliknya. Dengan demikian, berarti si pendengki menentang
Allah Azza wa Jalla dalam qadha’, mahabbah dan kemurahan-Nya. Dengan sebab
sifat sombong dan iri dengki inilah, setan menjadi musuh hakiki bagi Allah Azza
wa Jalla .
Kedua sifat tercela ini bisa ditakhlukkan dengan
mengenal Allah Azza wa Jalla , mentauhidkan-Nya, merasa ridha dengan Allah Azza
wa Jalla serta bertaubat kepada-Nya.
Sifat murka atau emosi bisa ditundukkan dengan
mengenal diri sendiri dan menyadari bahwa dia tidak pantas untuk murka demi
membela hawa nafsu. Jika dia marah demi membela hawa nafsu, berarti dia lebih
memilih menyenangkan hawa nafsunya dan murka terhadap Allah Azza wa Jalla .
Padahal, seorang Mukmin tidak boleh seperti itu. Cara paling jitu untuk
menghilangkan sifat marah yaitu membiasakan diri untuk merasa marah hanya
karena Allah Azza wa Jalla atau ridha hanya karena Allah Azza wa Jalla . Karena
setiap kali marah dan ridha seperti ini datang, maka lawannya akan menghilang,
begitu pula sebaliknya.
Sedangkan obat hawa nafsu yaitu dengan meyakini
bahwa mengikuti semua keinginan nafsu sebenarnya menjadi penyebab utama
terhalangnya nafsu kepada kenikmatan hakiki; dan memelihara nafsu itu menjadi
penyebab utama bagi terhalangnya nafsu untuk mendapatkan kenikmatan. Setiap
kali engkau membuka pintu syahwat berarti sama saja engkau berusaha
menghalanginya dari kenikmatan yang hakiki, dan setiap kali engkau
menghalanginya nafsu syahwat berarti engkau berusaha untuk menghantarkan nafsu
agar bisa mencapai kenikmatan yang hakiki.
Rasa marah terhadap takdir itu sama seperti binatang
buas. Jika dilepas, dia akan mulai menerkam pemiliknya.
Syahwat itu ibarat api. Ketika dinyalakan, dia siap
membakar orang yang menyalakannya. Rasa sombong itu seperti kaum pemberontak,
jika dia tidak berhasil membunuhmu, maka dia akan mengusirmu dari wilayah
kekuasaanmu, dan rasa iri itu sama seperti pembangkang terhadap Dzat yang lebih
berkuasa darimu (yaitu Allah Azza wa Jalla )
Jika orang yang berhasil menaklukkan syahwat dan
emosinya, maka setan akan menjauhinya; sedangkan orang yang bertekuk lutut
terhadap nafsu syahwat dan emosinya, maka dia takut terhadap bayang-bayangnya
sendiri.
Ya Allah, jadikanlah jiwa-jiwa kami jiwa yang
bertakwa, bersihkanlah ia. Engkaulah Dzat terbaik yang bisa membersihkan
jiwa-jiwa kami
(Diangkat dari Fawâidul Fawâid, karya Ibnul Qayyim
rahimahullah, tahqîq Syaikh Ali Hasan bin `Ali bin `Abdul Hamîd al-halaby
al-atsary, hlm. 288-290)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XIII/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
http://almanhaj.or.id/
_
No comments:
Post a Comment