Wednesday, April 17, 2013

BERSEGERA MEMENUHI SERUAN ALLAH AZZA WA JALLA DAN RASUL-NYA


BERSEGERA MEMENUHI SERUAN ALLAH AZZA WA JALLA DAN RASUL-NYA

Oleh
Ustadz Muhammad Ashim Musthofa



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan [Al-Anfâl/8:24]


TAFSIR AYAT
Kewajiban Memenuhi Seruan Allâh Dan Rasul-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu,

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya kaum Mukminin melalui keimanan yang ada pada mereka., yakni perintah untuk istijâbah (memenuhi seruan) Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Maksudnya, hendaknya mereka tunduk terhadap perkara yang diperintahkan dan bersegera menjalankannya, serta mendakwahkannya, dan menjauhi perkara yang dilarang Allâh dan Rasul-Nya serta menahan diri dari perkara itu.[1]

Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Penuhilah seruah Allâh dan Rasul-Nya dengan menjalankan amalan ketaataan jika Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu yang berupa al-haqq (kebenaran)”.[2]

Sementara Imam al-Bukhâri rahimahullah mengatakan, “(Penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu) kepada suatu yang memperbaiki (keadaan) kalian”

Semua seruan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya mempunyai kandungan yang dapat menghidupkan hati dan jiwa. Hal ini lantaran hidupnya hati dan jiwa tiada disebabkan oleh ‘ubudiyyatullâh (penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ), selalu taat kepada-Nya, taat kepada Rasul-Nya secara kontinyu. [3]

Bahaya Berpaling Dari Seruan Allâh Azza Wa Jalla Dan Rasul-Nya

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ

dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh membatasi antara manusia dan hatinya

Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla memperingatkan bahaya dari tindakan menolak atau melecehkan perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah agar bersegera menyambut perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya untuk mengantisipasi saat-saat kemungkinan seorang hamba tidak sanggup melakukannya karena Allâh Azza wa Jalla telah menghalang-halangi hati untuk tunduk. Baik oleh faktar kematian [4] maupun kerusakan atau sesatnya hati sebagai dampak dari perbuatan maksiat maupun sikap i’râdh (keengganan untuk taat). Pada akhirnya, hati seperti ini akan mengalami perubahan pandangan dan kehilangan sensivitasnya, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, atau membenci kebaikan dan menyukai kejelekan. [5]

Bila seseorang berpaling dari seruan Allâh Azza wa Jalla , padahal kondisi sangat mendukung, maka tidak berapa lama Allâh Azza wa Jalla akan menghalangi hatinya sehingga tidak memperoleh taufik untuk menyambut seruan Allâh meskipun menginginkannya. Itu tiada lain akibat efek buruk dari sikap berpaling yang ada pada diri mereka di permulaan. Simaklah firman Allâh Azza wa Jalla :

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka [ash-Shaff/61:5]

Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan dari Abu Sa’îd bin al-Mu’alla Radhiyallahu anhu : ia berkata: “Pernah aku sedang shalat. Kemudian melewatiku dan memanggilku, namun aku tidak memenuhi panggilnannya sampai aku menyelesaikan shalat. (Usai shalat), baru aku mendatangi beliau. Beliau berkata, “Apa yang menghalangi dirimu untuk datang?. Bukankah Allâh berfirman, “Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu”. Kemudian beliau bersabda, “Aku akan benar-benar mengajari engkau surat paling agung dalam al-Qur`ân sebelum engkau keluar (masjid). Rasûlullâh berjalan keluar. Aku pun mengingatkannya. Beliau mengatakan, “(Surat paling agung dalam al-Qur`ân) adalah alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. Ia adalah sab’ul matsâni (surat al-Fâtihah) [HR. al-Bukhâri no. 4647]

Imam as-Suyûthi rahimahullah dalam al-Khashâish al-Kubrâ (2/253) menyatakan, bab bahwa orang yang shalat…..ia wajib memenuhi panggilan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyerunya dan itu tidak menyebabkan shalatnya batal.

Mungkin akan ada orang yang bertanya-tanya dengan keheranan [6] , "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dan tidak kembali ke dunia lagi. Beliau tidak akan menyeru seorang pun dari kita saat kita sedang mengerjakan shalat, mengapa nash-nash ini tetap disampaikan padahal tidak ada kepentingannya?"

Maka jawabannya, kalau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela orang yang tidak memenuhi panggilan beliau padahal sedang dalam shalatnya, maka dapat diketahui tidak ada udzur lagi bagi siapa saja yang menolak memenuhi perintah beliau dan berani menyelisih larangan beliau.

Mengingat pentingnya keteguhan hati di atas ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla, secara khusus Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menekankan pentingnya seorang Mukmin memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar menetapkan dan meneguhkan hatinya di atas agama-Nya. Beliau mengatakan[7], “Hendaknya seorang hamba memperbanyak doa.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan kalbu, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu

يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ اصْرِفْ قَلْبِيْ إِلَى طَاعَتِكَ

Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan kalbu, condongkahlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu[9]

وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan

Allâh Azza wa Jalla sangat berkuasa terhadap hati manusia. Dia k lebih memilikinya daripada manusia itu sendiri. Kepada-Nyalah tempat kembali mereka di hari Kiamat. Allâh Azza wa Jalla akan menyempurnakan balasan semua amalan. Orang yang berbuat baik dibalas kebaikannya dan orang yang jelek dibalas berdasarkan kejelekannya. Karena itu, kata Imam ath-Thabari t , "Bertakwalah kepada-Nya dan merasalah selalu dilihat oleh-Nya dalam seluruh perkara yang di- perintahkan dan yang dilarang, jangan sampai kalian sia-siakan. Janganlah kalian menolak seruan Rasul-Nya ketika menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan bagi kalian. Akibatnya akan mendatangkan kemurkaan-Nya dan kalian mendapatkan siksa-Nya yang pedih ketika dikumpulkan kepada-Nya di hari Kiamat". [10]

Orang yang mengetahui bahwa dirinya akan dikumpulkan di hadapan Allâh Azza wa Jalla , bagaimana mungkin akalnya bisa menerima, dirinya selalu mendengar seruan-Nya berupa perintah atau larangan dari-Nya, akan tetapi ia membiarkan dirinya tetap berpaling dari-Nya [11]

PELAJARAN DARI AYAT:
1. Kewajiban menyambut seruan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan, karena itu merupakan faktor penyebab hidupnya seorang Muslim
2. Keharusan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan kebaikan sebelum hilang
3. Pentinya memohon keteguhan hati di atas iman, karena hati berada di tangan Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla membolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya. Wallâhu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

BENARKAH NABI SULAIMAN ALAIHISSALLAM DAN NABI MUSA ALAIHISSALLAM MEMAKAI JIMAT?

Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA


Alhamdulillâh wahdah wash shalâtu was salâmu 'alâ rasûlillâh.

Barangkali pertanyaan di atas terasa begitu aneh, asing atau mungkin lucu di telinga sebagian besar pembaca, yang telah mendapatkan hidayah untuk mengenal akidah yang murni serta terdidik di atas ajarannya. Namun, lain halnya jika yang membaca adalah orang-orang yang ketergantungan terhadap benda mati (baca: jimat) dan mendarah daging dalam dirinya. Sampai-sampai ketika ada seseorang yang mencoba meluruskan keyakinan paganismenya itu, dia akan amat tersentak dan kaget dengan adanya pemahaman 'baru', yang 180 derajat bertolak belakang dengan apa yang diyakininya selama ini.

Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar, bukan suatu hal yang aneh jika kita berhadapan dengan berbagai fenomena di atas. Seorang Muslim yang cerdas dan memiliki semangat juang tinggi untuk mendakwahkan kebenaran yang telah ia nikmati, tentunya selalu berusaha mempersiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai jenis manusia yang amat heterogen latar belakang pemikiran dan tingkat pendidikannya.

Sebagai agama yang menjadikan penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla sebagai tujuan utamanya, tentu saja Islam tidak membenarkan ketergantungan seorang hamba kepada selain Allah Azza wa Jalla , apalagi kepada benda-benda mati seperti jimat. Namun, ternyata masih ada oknum-oknum kurang bertanggung jawab yang berusaha mencari dalih melegalkan praktek pemakaian jimat. Di antara syubhat yang mereka gunakan adalah kisah Nabi Sulaiman Alaihissallam dan cincinnya, juga kisah Nabi Musa Alaihissallam dan tongkatnya, serta kebatilan kesimpulan mereka dari keduanya.

Menurut anggapan mereka, cincin Nabi Sulaiman Alaihissallam dan tongkat Nabi Musa Alaihissallam , adalah benda mati yang diisi Allah Azza wa Jalla kekuatan, yang dimanfaatkan kedua Nabi itu. Menurut mereka, hal itu bukanlah perbuatan syirik, sebab benda-benda itu hanya media perantara. Begitu pula halnya jimat, hanya sekedar media perantara saja, berupa benda mati yang telah Allah Azza wa Jalla isi kekuatan. Berdasarkan analogi ini, penggunaannya tidaklah dianggap sebagai tindak kesyirikan.[1]

Meskipun syubhat (keraguan) di atas sangat lemah, namun tidak sedikit kaum Muslimin yang termakan syubhat tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bagaimana kejahilan masih sangat menyelimuti mereka. Salah satu langkah terbaik untuk mengatasi fenomena menyedihkan itu adalah dengan upaya semaksimal mungkin menebarkan ilmu syar'i yang benar. Tulisan ini, diharapkan merupakan salah satu bentuk sumbangsih upaya tersebut.

Pembahasan tentang hal ini terbagi menjadi dua yaitu :

PEMBAHASAN KISAH NABI SULAIMAN ALAIHISSALLAM DENGAN CINCINNYA
Kisah aneh ini disebutkan dalam beberapa literatur tafsir, tatkala memasuki pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan fitnah (ujian) yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,

وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَىٰ كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ

Artinya: "Sungguh Kami telah menguji Sulaiman dan kami letakkan sebuah jasad di atas singgasananya. Kemudian dia bertaubat". [Shâd/38:34]

Redaksi kisah tersebut cukup panjang, intinya: "Konon Nabi Sulaiman Alaihissallam menikahi seorang wanita yang sangat beliau cintai, namanya Jarâdah. Hanya saja ia menyembah berhala di rumah Nabi Sulaiman Alaihissallam , tanpa sepengetahuan beliau.

Dikisahkan bahwa kekuatan Nabi Sulaiman Alaihissallam , baik yang berkenaan dengan kerajaan maupun kenabian beliau, terletak pada cincin yang ia pakai. Pada suatu hari ketika hendak memasuki kamar kecil, beliau menitipkan cincinnya kepada salah seorang istrinya; Amînah. Sebelum beliau menyelesaikan hajatnya, datanglah setan yang menyamar dalam bentuk Nabi Sulaiman Alaihissallam dan mengambil cincin tersebut lalu menduduki singgasana Nabi Sulaiman Alaihissallam . Sehingga Nabi Sulaiman Alaihissallam kehilangan kekuatannya, dan berubah bentuk, kemudian terusir dari kerajaannya. Si iblis berkuasa dan 'menggagahi' para istri Nabi Sulaiman Alaihissallam , sampaipun pada masa haidh mereka. Hingga akhirnya Nabi Sulaiman Alaihissallam menemukan cincinnya kembali, dalam perut seekor ikan yang dia dapatkan dari seorang nelayan tempat beliau bekerja, dst".[2]

Komentar Para Ulama Atas Kisah Tersebut:
Para pakar tafsir klasik dan kontemporer serta selain mereka, memvonis batilnya kisah tersebut seraya menyebutkan, kisah ini tidak lebih hanyalah isrâiliyyât (dongeng-dongeng yang dinukil dari bani Israil) yang batil.
Berikut statemen mereka [3] :

1. Ibnu Hazm rahimahullah (w. 456 H) menegaskan, "Ini semua khurafat kisah palsu dan dusta. Isnâdnya sama sekali tidak shahîh".[4]

2. Al-Qâdhî 'Iyâdh rahimahullah (w. 544 H) berkata, "Tidak shahîh".[5]

3. Ibn al-Jauzî rahimahullah (w. 597 H) menyebutkan kisah di atas "tidak absah dan tidak disebutkan oleh orang yang terpercaya"[6].

4. Al-Qurthubî rahimahullah (w. 671 H) mengomentari pendapat orang yang menafsirkan "ujian" dengan kisah di atas, "Pendapat ini dilemahkan (para Ulama)"[7].

5. An-Nasafî rahimahullah (w. 710 H) menegaskan, "Ini termasuk kebatilan (yang dikarang) orang Yahudi".[8]

6. Abu Hayyân rahimahullah (w. 745 H) bertutur, "Kisah ini tidak halal untuk dinukil dan termasuk karangan orang-orang Yahudi serta kaum zindiq"[9].

7. Ibn Katsîr rahimahullah (w. 774 H) menerangkan, "Ini termasuk isrâîliyyât [10] , nampaknya ini termasuk kedustaan Bani Israil. Oleh karena itu di dalamnya banyak terdapat hal-hal munkar"[11].

8. Al-Îjî rahimahullah (w. 894 H) menjelaskan, "Ketahuilah, tidak ada satupun hadits shahîh yang menyebutkan perincian kisah tersebut. Adapun apa yang dinukil dari salaf, kemungkinan besar termasuk isrâîliyyât".[12]

9. Al-Alûsî Abu ats-Tsanâ rahimahullah (w. 1270 H) berkata, "Allahu akbar! Ini kedustaan yang besar dan perkara yang serius. Keabsahan penisbatan cerita ini kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak kita terima"[13].

Dan masih banyak komentar lain yang senada [14] , sengaja tidak kami nukil semua; khawatir berdampak pada terlalu panjangnya tulisan ini.

Adapun pernyataan sebagian Ulama yang menyebutkan bahwa sanad (jalur periwayatan) kisah tersebut hingga Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu kuat, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsîr rahimahullah[15] , Ibnu Hajar al-'Asqalânî rahimahullah [16] dan as-Suyûthî rahimahullah [17] ; hal tersebut tidaklah menafikan kebatilan kisah ini. Sebab andaikan sanad tersebut memang shahîh sampai ke Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , beliau hanyalah menukil kisah batil tersebut dari Ahlul Kitab yang masuk Islam [18]. Jadi kisah tersebut tidak diambil Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Buktinya pada kesempatan lain, Ibnu Katsîr rahimahullah dan as-Suyûthî rahimahullah menegaskan bahwa kisah tersebut termasuk khurafat isrâîliyyât.[19]

Bedakan antara keabsahan penisbatan kisah tersebut kepada seseorang dengan kebatilan kisah itu sendiri. Perbedaan ini bisa kita analogikan dengan pemikiran-pemikiran sesat yang bermunculan di zaman ini. Penisbatan pemikiran tersebut kepada para kreatornya memang absah, tapi pemikiran itu sendiri sesat dan batil.[20]

Kebatilan-Kebatilan Yang Terkandung Dalam Kisah Tersebut.
Selain kisah tersebut diragukan keabsahan sanadnya, alur ceritanya juga mengandung kebatilan-kebatilan yang berkonsekuensi menodai kesucian kenabian dan keyakinan-keyakinan batil lainnya:

1. Penyamaran setan dalam bentuk Nabiyullâh.

2. Setan berhasil 'menggagahi' para istri Nabiyullâh, bahkan di saat mereka haidh!

3. Kekuatan dan kenabian Sulaiman Alaihissallam tergantung pada cincin yang ia pakai dan bersumber darinya. Akan abadi jika cincin itu ada dan akan musnah jika cincin tersebut hilang.

4.Perubahan bentuk Nabi Sulaiman Alaihissallam .

5.Adanya penyembahan terhadap berhala di dalam rumah Nabiyullâh[21].

Tafsir Yang Benar Untuk Ayat 34 Dari Surat Shâd Di Atas.
Jika kita telah mengetahui bahwa kisah Nabi Sulaiman Alaihissallam dengan cincinnya batil, maka kisah tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai tafsir dari ayat al-Qur'ân. Namun timbul pertanyaan, "Tafsir seperti apakah yang benar dari ayat tersebut?".

Para Ulama pakar[22] menyebutkan, tafsir yang paling pas untuk "ujian" yang disebut ayat tersebut di atas, adalah hadits shahîh yang diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ سُلَيْمَانُ: َلأََطُوْفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى تِسْعِينَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ تَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ: قُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَطَافَ عَلَيْهِنَّ جَمِيعًا فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ، وَايْمُ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ".

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "(Pada suatu hari) Nabi Sulaiman Alaihissallam berkata, "Malam ini aku akan berhubungan badan dengan sembilan puluh istriku. Masing-masing (pasti) akan melahirkan lelaki penunggang kuda yang kelak berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla . Malaikat berkata padanya, "Katakan insyaAllah!". Tetapi Nabi Sulaiman k tidak mengucapkan insyaAllah. Lalu beliau berhubungan badan dengan seluruh istrinya tersebut, namun tidak seorangpun dari mereka yang mengandung, kecuali hanya satu. Itupun tatkala bersalin, melahirkan bayi hanya setengah badan [HR. Bukhâri dan Muslim]

Demi Allah, andaikan Nabi Sulaiman Alaihissallam mengucapkan insyaAllah; niscaya (akan lahir sembilan puluh anak laki-laki) seluruhnya menjadi penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah"[23].

Kesimpulannya: kisah yang menyebutkan bahwa 'kesaktian' Nabi Sulaiman Alaihissallam bersumber dari cincin yang ia pakai, tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari sisi sanad maupun alur ceritanya. Sehingga otomatis, tidak bisa dijadikan dalih untuk melegalisasi praktek pemakaian jimat.

STUDI KRITIS KISAH NABI MUSA ALAIHISSALLAM DENGAN TONGKATNYA
Jika pada studi kritis kisah Nabi Sulaimân Alaihissallam dan cincinnya, pembahasannya lebih banyak menitikberatkan pada keabsahan kisah tersebut; maka studi kritis kisah Nabi Mûsa Alaihissallam dan tongkatnya, tidak menempuh metode serupa. Sebab kisah tersebut sudah tidak diragukan lagi keabsahannya. Berhubung nash kisah penggunaan tongkat Nabi Mûsa Alaihissallam telah disebutkan dalam al-Qur'ân.

Pembahasan kita kali ini akan cenderung mengkritisi sisi istidlâl (penarikan kesimpulan) dari kisah tersebut, yang digunakan para pendukung pemakaian jimat. Hal itu bisa diuraikan sebagai berikut :

Analogi Mereka Yang Keliru.
Perlu diketahui bahwa Nabi Mûsa Alaihissallam memakai tongkatnya tersebut, berdasarkan perintah dan wahyu dari Allah Azza wa Jalla . Sebagaimana jelas disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ

Artinya: "Lalu Kami wahyukan kepada Mûsa, "Pukullah laut itu dengan tongkatmu!". Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar". [asy-Syu'arâ/26:63]

Juga dalam firman-firman Allah Azza wa Jalla lainnya.

Yang menjadi pertanyaan: "Apakah para penjaja jimat itu mengatakan, bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk memakai jimat, sebagaimana Allah Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Mûsa Alaihissallam untuk memakai tongkatnya? "

Jika mereka menjawab, "Ya" ; berarti mereka telah mendustakan dalil-dalil syar'i yang begitu gamblang melarang pemakaian jimat.

Sebaliknya, jika mereka mengatakan, "Tidak" ; maka analogi mereka tentang pemakaian jimat dengan pemakaian tongkat Nabi Mûsa, dikategorikan sebagai analogi keliru; karena kondisi keduanya berbeda.

Silahkan memilih salah satu dari dua jawaban di atas, kedua-duanya tidak lain hanyalah bagaikan memakan buah simalakama.

Dari Manakah 'Kesaktian' Jimat Bersumber?
Klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat bersumber dari Allah Azza wa Jalla ; sehingga tidak masalah memanfaatkan kekuatan tersebut, adalah klaim yang murni berisi kedustaan atas Allah Azza wa Jalla . Karena jimat-jimat tersebut benda mati yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. 'Kesaktian' yang mereka klaim dimiliki oleh jimat tersebut hanyalah ilusi dan khayalan yang mereka yakini.

Andaikata jimat tersebut memang memiliki kekuatan, maka kekuatan itu bukanlah dari Allah Azza wa Jalla , tetapi dari para setan yang disembah oleh pembuat jimat tersebut, sebagai bentuk timbal balik atas peribadatan mereka terhadap setan-setan itu.

Pernyataan bahwa kekuatan dan tenaga yang ada dalam jimat tersebut bersumber dari Allah Azza wa Jalla , adalah pernyataan yang keliru, kecuali jika dipandang dari sisi takdir Allah Azza wa Jalla , bukan dari sisi syar'i. Sebab Allah Azza wa Jalla melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah melarang pemakaian jimat. Sehingga dipandang dari sisi syariat, dia dibenci, namun secara takdir, terkadang bisa saja terjadi.

Bukankah Allah Azza wa Jalla telah melarang para hamba-Nya untuk melakukan tindak sihir dalam banyak ayat?[24] Namun meskipun demikian, Allah Azza wa Jalla menghendaki kejahatan sihir tersebut menimpa hamba-Nya yang paling mulia; yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, [25] sebagai hikmah yang dikehendakinya!?

Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak untuk menakdirkan terjadinya sesuatu, maka pasti hal itu akan terjadi. Namun kehendak Allah Azza wa Jalla tersebut, tidak serta merta menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla mencintai dan meridhai sesuatu yang terjadi itu. Inilah keyakinan yang dianut Ahlus Sunnah dalam memahami takdir [26].

Keyakinan ini dibangun di atas banyak dalil syar'i. Antara lain, firman Allah Azza wa Jalla :

مَنْ يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Artinya: "Barangsiapa yang dikehendaki Allah (dalam kesesatan); niscaya akan disesatkan-Nya. Dan barangsiapa dikehendaki Allah (untuk diberi petunjuk); niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus". [al-An'âm/6:39]

Dan firman-Nya:

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

Artinya: "Dan Allah tidak mencintai kerusakan". [al-Baqarah/2:205]

Ayat pertama menunjukkan bahwa apa yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Adapun ayat kedua menunjukkan adanya berbagai hal yang dibenci Allah Azza wa Jalla , tidak Dia cintai dan ridhai. Hal ini membuktikan adanya perbedaan antara kehendak dengan kecintaan dan keridhaan.[27]

Hubungan prinsip ini dengan klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat bersumber dari Allah Azza wa Jalla , adalah bahwa andaikan jimat tersebut memang mempunyai kekuatan yang bersumber dari Allah Azza wa Jalla, maka semua itu tidak menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla meridhai dan mencintai pemakaian jimat. Karena terkadang Allah Azza wa Jalla menakdirkan terjadinya sesuatu yang sebenarnya tidak ia cintai. Dan hal ini salah satu contoh nyatanya.

Argumentasi Mereka Termasuk Tindak Melawan Dalil Dengan Rasio.
Dalih para pemakai jimat tersebut, bisa dikategorikan dalam tindak melawan dalil syar'i dengan argumen akal belaka. Sebab dalil-dalil dari al-Qur'ân dan Sunnah telah begitu gamblang menjelaskan haramnya pemakaian jimat, bahkan sebagiannya memvonis syirik perbuatan tersebut. Alangkah naifnya jika dalil-dalil shahîh tersebut dilawan dengan argumen akal-akalan!

Sebegitu banyaknya hadits yang melarang pemakaian jimat dan beraneka ragam metode Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam penyampaiannya, sampai-sampai hadits-hadits tersebut bisa diklasifikasikan menjadi beberapa macam[28]:

Jenis pertama: Hadits-hadits yang menyebutkan vonis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan tersebut sebagai tindak kesyirikan.

Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

"Barangsiapa menggantungkan jimat; berarti berbuat syirik"[29].

Jenis kedua: Hadits-hadits yang menyebutkan pemberitahuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihwal terputusnya pertolongan Allah Azza wa Jalla dan perhatian-Nya dari pemakai jimat.

Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

"Barangsiapa menggantungkan sesuatu; dijadikan ketergantungannya ada padanya".[30]

As-Suyûthî menjabarkan hadits di atas, "Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam "dijadikan ketergantungannya ada padanya" merupakan kiasan akan tidak adanya pertolongan Allah Azza wa Jalla bagi orang tersebut"[31].

Jenis ketiga: Hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keburukan bagi orang yang memakai jimat.

Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

"Barang siapa menggantungkan jimat, semoga Allah tidak menjadikan ia mencapai apa yang diinginkan. Dan barang siapa menggantungkan wada'ah (salah satu jenis jimat), semoga Allah tidak menjadikan dirinya tenang"[32].

Jenis keempat: Hadits-hadits yang menyebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat untuk memotong jimat yang digantung di leher hewan ternak.

Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabat:

أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ

"Janganlah kalung yang terbuat dari tali (jimat) dibiarkan tergantung di leher onta, melainkan dipotong"[33].

Jenis kelima: Hadits-hadits yang menyebutkan penegasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi siapa saja yang mati dalam keadaan memakai jimat; maka ia tidak akan beruntung selamanya.

Di antara jenis hadits tersebut, adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihat salah seorang Sahabat memakai jimat:

فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا

"Jika engkau mati dalam keadaan jimat ini masih engkau pakai; niscaya engkau tidak beruntung selamanya"[34].

Jenis keenam: Hadits-hadits yang menyebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang-orang yang memakai jimat.

Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِيْ؛ فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ، أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا، أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيْعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ؛ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ بَرِيْءٌ

"Wahai Ruwaifi', nampaknya sepeninggalku, engkau akan panjang umur. Beritahukanlah kepada orang-orang, barang siapa yang mengepang jenggotnya, atau mengalungkan tali (sebagai jimat), atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang; maka Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya"[35].

Lihatlah dalil-dalil syar'i yang amat beragam metode penyampaiannya, begitu jelas menunjukkan haramnya pemakaian jimat. Apakah seluruh dalil di atas dan dalil-dalil lain yang senada akan di'adu' dengan argumentasi akal belaka?! Tidakkah mereka merasa khawatir tertimpa ancaman Allah Azza wa Jalla :

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: "Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih". [an-Nûr/24:63]

Kita tutup tulisan ini dengan merenungi ulasan yang disampaikan asy-Syâthibî (w. 790 H), tatkala beliau menggambarkan bagaimanakah generasi terbaik umat ini menyikapi dalil-dalil syar'i?

Beliau bertutur, "Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi sesudah mereka, tidak pernah melawan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pendapat-pendapat mereka. Baik mereka mengetahui maknanya ataupun tidak, sejalan dengan apa yang mereka ketahui ataupun tidak. Itulah konsekuensi penyampaian hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hendaklah oknum yang gemar mengedepankan sesuatu yang penuh kekurangan –yaitu akal– atas sesuatu yang sempurna –yaitu syariat–; mengambil pelajaran dari hal itu".[36]

Wallâhu ta'âla a'la wa a'lam. Wa shallallâhu 'ala nabiyyina muhammadin wa 'alâ alihi wa shahbihi ajma'în.

Kota Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Ahad 25 Rabi'ul Awwal 1430

Daftar Pustaka:
1. Al-Qur'ân dan Terjemahannya.
2. Al-I'tishâm, karya Ibrâhim bin Mûsa asy-Syâthibî, tahqîq Masyhûr bin Hasan, Amman: ad-Dâr al-Atsariyyah, cet II, 1428/2007.
3. Al-Jâmi' ash-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr an-Nadzîr, karya Jalaluddin as-Suyûthî, Beirut: Dâr al-Fikr, cet I, 1401/1981.
4. Al-Qadhâ' wal-Qadar fî Dhau'il-Kitâb was-Sunnah wa Madzâhibun-Nâs fîhi, karya Dr. Abdurrahmân bin Shâlih al-Mahmûd, Riyâdh: Dâr al-Wathan, cet II, 1418/1997.
5. Ghâyatul-Marâm fî Takhrîj Ahâdîtsil-Halâl wal-Harâm, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albânî, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet I, 1400/1980.
6. Madârijus-Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în, karya Ibnu al-Qayyim, tahqîq Muhammad Hâmid al-Faqî, Beirût: Dâr al-Kitâb al-'Arabî, 1393/1973.
7. Mazhâhirul-Inhirâf fî Tauhîd al-'Ibâdah ladâ Ba'dhi Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islâm minhâ, karya Abdullâh Zaen, tesis di Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, 1428/2008.
8. Mazhâhirul-Inhirâf fî Tauhîd al-'Ibâdah ladâ Ba'dh Muslimî Uganda wa Subul Mu'âlajatihâ 'alâ Dhau'il-Islâm, karya Husain Muhammad Buwa, tesis di Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, 1412/1992.
9. Shahîhul-Bukhârî, karya Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, bersama Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, cetakan al-Maktabah as-Salafîyyah.
10. Shahîhul-Jâmi' ash-Shaghîr wa Ziyâdatuh (al-Fath al-Kabîr), karya Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet III, 1408/1988.
11. Shahîh Ibn Hibbân dengan tartîb Ibn Balbân yang berjudul Al-Ihsân fî Taqrîb Shahîh Ibn Hibbân, tahqîq Syu’aib al-Arna’ûth, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, cet I, 1408/1988.
12. Shahîh Muslim, karya Imâm Muslim bin al-Hajjâj, tahqîq Muhammad Fu’âd Abdul Bâqi, Beirût: Dâr Ihya’ at-Turâts al-‘Arabî.
13. Sunan an-Nasâ'î, karya an-Nasâ'i, bersama Syarh al-Hafîzh Jalâluddin as-Suyûthi dan Hâsyiyah al-Imam as-Sindî, Beirut: Dârul-Ma'rifah, cet I, 1411/1991.
14. Sunan at-Tirmidzî, karya Abû Îsâ at-Tirmidzî, ‘inâyah Masyhûr Salmân, Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, cet I.
Sunan Ibn Mâjah, karya Muhammad bin Yazîd al-Qazwînî, bersama Mishbâh az-Zujâjah fi Zawâ'id Ibn Mâjah, karya Syihâbuddin al-Bûshîrî, Riyâdh: Maktabah al-Ma'ârif, cet I, 1419/1998.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


AS-SHAMAD, PENGUASA YANG MAHA SEMPURNA DAN TEMPAT BERGANTUNG SEGALA SESUATU

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A



DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang agung ini disebutkan dalam ayat berikut ini :

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ

Katakanlah: Dialah Allâh Yang Maha Esa, Allâh adalah ash-Shamad (Penguasa Yang Maha Sempurna dan bergantung kepada-Nya segala sesuatu) [al-Ikhlâsh/112:1-2]

Dan dalam sebuah hadits yang shahîh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabat Radhiyallahu anhum: “Apakah kalian tidak mampu membaca sepertiga (dari) al-Qur`ân dalam satu malam?” Maka para Sahabat Radhiyallahu anhum merasakan hal itu sangat berat sehingga berkata: “Siapa di antara kami yang mampu (melakukan) hal itu, wahai Rasûlullâh?”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Surat) Allâh al-Wâhid (Yang Maha Esa) ash-Shamad (Penguasa Yang Maha Sempurna dan bergantung kepada-Nya segala sesuatu) adalah (sebanding dengan) sepertiga al-Qur`ân”[1].

MAKNA ASH-SHAMAD SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah al-qashdu (tujuan). Maksudnya, orang yang dinamakan dengan ini adalah pemimpin yang dituju (dijadikan rujukan) dalam semua urusan. Kemudian Ibnu Fâris rahimahullah menyatakan, “Allâh yang maha agung kemuliaan-Nya adalah ash-Shamad karena semua doa dan permohonan hamba-Nya ditujukan kepada-Nya”[2].

Al-Fairûz Abâdi rahimahullah menjelaskan bahwa termasuk makna ash-Shamad secara bahasa adalah as-sayyid (pemimpin) karena selalu dituju (dijadikan rujukan), juga berarti yang kekal dan mulia [3].

Demikian juga Ibnu Manzhûr rahimahullah menyebutkan bahwa makna ash-Shamad adalah yang dituju dan dijadikan sandaran [4].

Sementara itu, Ibnul Atsîr rahimahullah berkata, “Nama Allâh ash-Shamad artinya as-sayyid (penguasa) yang mencapai puncak kemahakuasaan. Ada yang berpendapat: artinya adalah yang maha kekal abadi…Dan ada yang mengatakan: artinya adalah yang dituju (oleh semua makhluk) dalam segala kebutuhan mereka.”[5]

Oleh karena itu, (dahulu) bangsa Arab menamakan para pemimpin mereka dengan ‘ash-shamad’ karena menjadi tempat tujuan orang-orang yang mempunyai keperluan dan (sifat) kepemimpinan terhimpun pada (diri) mereka”[6] .

PENJABARAN MAKNA NAMA ASH-SHAMAD
Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah dalam tafsir beliau [7] meriwayatkan keterangan seorang Sahabat yang mulia, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu yang berkata, “Ash-Shamad adalah penguasa yang maha sempurna kekuasaan-Nya, maha mulia yang sempurna kemuliaan-Nya, maha agung yang sempurna keagungan-Nya, maha penyantun yang sempurna sifat kesantunan-Nya, maha kaya yang sempurna kekayaan-Nya, maha perkasa yang sempurna keperkasaan-Nya, maha mengetahui yang sempurna pengetahuan-Nya, dan maha bijaksana yang sempurna hikmah/kebijaksanaan-Nya. Dialah yang maha sempurna dalam semua bentuk kemuliaan dan kekuasaan. Dialah Allâh yang maha suci dan sifat-sifat ini hanyalah pantas (diperuntukkan) bagi-Nya.”[8]

Lebih lanjut, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah memaparkan, “ash-Shamad adalah penguasa yang sempurna kekuasaannya. Oleh karena itu, dulu orang Arab menamakan pemimpin mereka dengan nama ini, karena banyaknya sifat terpuji (yang terkumpul) pada diri orang (tokoh) tersebut…Jadi, ash-Shamad adalah dzat yang dituju (dijadikan sandaran) oleh hati manusia dalam ketakutan dan pengharapan (mereka), karena banyaknya sifat baik dan terpuji (yang terhimpun) padanya. Karenanya, mayoritas Ulama Salaf, di antaranya ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata: “ash-Shamad adalah penguasa yang maha sempurna kekuasaan-Nya…”[9]

Senada dengan itu, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala Dialah penguasa tunggal, tempat menyandarkan segala kesulitan dan kebutuhan, Dialah Yang Maha Suci dan Tinggi dari (menyerupai) sifat-sifat makhluk, seperti makan, minum dan sebagainya…”[10]

Keterangan di atas menunjukkan bahwa ash-Shamad adalah termasuk nama Allâh yang menunjukkan makna beberapa sifat (kemuliaan), dan bukan hanya satu sifat. Ini sekaligus menggambarkan betapa banyak sifat keagungan dan kesempurnaan milik Allâh Azza wa Jalla. [11]

Atas dasar itu, keterangan para Ulama Salaf dalam mengartikan nama Allâh yang agung ini (ash-Shamad) berbeda-beda, sebagaimana yang disampaikan oleh imam Ibnu Jarîr ath-Thabari dan Imam Ibnu Katsîr [12]. Dan semua makna yang dipaparkan adalah benar dan hanya pantas diperuntukkan bagi Allâh Azza wa Jalla.

Hal ini ditegaskan oleh Imam Abul Qâsim ath-Thabrâni rahimahullah dalam pernyataannya: “Semua makna tersebut adalah benar dan merupakan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla.”[13]

Imam al-Bagawi rahimahullah berkata, “Yang lebih tepat adalah mengartikan kata ash-Shamad dengan semua makna yang diterangkan (oleh para Ulama), karena kata ini mencakup (semua) makna tersebut. Maka, ini mengandung kensekuensi tidak ada (yang berhak disebut) ash-Shamad kecuali Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Yang Maha Agung dan Kuasa atas segala sesuatu. Nama ini khusus (diperuntukkan) bagi-Nya semata. Dialah yang memiliki nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat yang maha tinggi.”[14]

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ASH-SHAMAD
Jika seorang hamba mengetahui bahwa Rabbnya Allah Subhanahu wa Ta’ala , memiliki semua sifat mulia dan sempurna, Dia Maha Perkasa dan tidak ada sesuatu pun yang bisa mengalahkan-Nya, Dialah tempat bersandar dan bergantung semua makhluk-Nya, sehingga tidak ada cara untuk menyelamatkan diri dari kemurkaan-Nya kecuali dengan kembali kepada-Nya, dan Dialah satu-satunya yang dituju oleh semua makhluk untuk memenuhi segala kebutuhan, permintaan dan pengharapan mereka, maka ini akan menjadikan hamba tersebut selalu bersandar kepada-Nya semata, tidak meminta pemenuhan hajatnya kecuali kepada-Nya, tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya, serta tidak meminta pertolongan dan berserah diri dalam segala urusannya kecuali hanya kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya) [an-Naml/27:62][15].

Inilah makna sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allâh, dan jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada-Nya”[16].

Bahkan ini merupakan inti kandungan dari al-Qur’ân yang suci, yang tertuang pada firman Allâh Azza wa Jalla :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan [al-Fâtihah/1:5]

Salah seorang Ulama Salaf berkata, “Surat al-Fâtihah adalah rahasia (inti kandungan) al-Qur’ân dan rahasia (inti kandungan) al-Fâtihah adalah kalimat (ayat) ini”[17] .

PENUTUP
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya dan memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan kandungan dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


PENYIMPANGAN DALAM NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH AZZA WA JALLA

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA


Pembahasan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla memiliki kedudukan yang agung dan tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tonggak utama dan landasan iman kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan seorang hamba tidak mungkin dapat menunaikan ibadah yang sempurna kepada Allâh Azza wa Jalla sampai dia benar-benar memahami pembahasan ini dengan baik[1] .

Oleh karena itu, penyimpangan dalam memahami masalah ini, akibatnya sangatlah fatal, karena kerusakan pada landasan iman ini akan mengakibatkan rusaknya semua bangunan agama seorang hamba yang berdiri di atasnya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya, hendaknya menguatkan dan mengokohkan pondasinya, dan bersungguh-sungguh memperhatikannya. Karena sesungguhnya ketinggian bangunan sesuai dengan kadar kekuatan dan kekokohan pondasinya. Maka amal perbuatan dan (tinggi-rendahnya) derajat (dalam Islam) adalah bangunan yang pondasinya adalah keimanan. Semakin kuat pondasi tersebut, maka akan (mampu) menopang bangunan yang berdiri di atasnya. Kalaupun (terjadi) sedikit kerusakan pada bangunan itu , maka (akan) mudah diperbaiki. Namun jika pondasinya tidak kuat, maka bangunan tidak akan (bisa) berdiri tegak (di atasnya) dan tidak kokoh. Dan jika (terjadi) sedikit (saja) kerusakan pada pondasi tersebut, maka bangunan akan roboh atau (minimal) hampir roboh.

Orang yang mengenal (Allâh Azza wa Jalla dan agama-Nya), perhatian (utama)nya (tertuju pada upaya) perbaikan dan penguatan pondasi (imannya). Sedangkan orang yang jahil (tidak paham agama) akan (berusaha) meninggikan bangunan, tanpa (memperhatikan perbaikan) pondasi, sehingga tidak lama kemudian bangunan tersebut akan roboh.[2]

PENGERTIAN AL-ILHAD(PENYIMPANGAN) DALAM NAMA DAN SIFAT ALLAH AZZA WA JALLA
Perbuatan penyimpangan dalam nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla dikenal dengan istilah al-ilhaad. Asal makna al-ilhad secara bahasa adalah menyimpang dan berpaling dari sesuatu[3] . Imam Ibnu Katsir berkata, “Asal (makna) al-ilhad dalam bahasa Arab adalah berpaling dari tujuan, dan (berbuat) menyimpang, aniaya dan menyeleweng. Di antara (contoh penggunaannya) adalah (kata) al-lahd (liang lahad) dalam kuburan. (Dinamakan demikian) karena liang lahad tersebut menyimpang dari pertengahan (lubang) kuburan ke arah kiblat”[4] .

Sedangkan pengertian al-Ilhad (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla adalah seperti yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam ucapan beliau: “Hakikat al-ilhad dalam masalah ini adalah menyelewengkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dari (pemahaman) yang benar, atau memasukkan makna asing yang bukan artinya ke dalam makna nama-nama dan sifat-sifat tersebut, atau memalingkannya dari maknanya yang sebenarnya. Inilah hakikat al-ilhad (dalam masalah ini). Barangsiapa melakukan perbuatan ini, sungguh dia telah berdusta (besar) atas (nama) Allâh”[5] .

ANCAMAN KERAS DAN DOSA YANG SANGAT BESAR KARENA MENYIMPANG DALAM MASALAH INI
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan” [al-A’râf/7:180]


Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Azza wa Jalla menyampaikan dua ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dalam memahami nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat maha sempurna yang dikandung nama-nama tersebut [6] :

1. Ancaman yang pertama, tertuang dalam bentuk perintah: “tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya” [7] . Perintah di sini berarti ancaman keras bagi orang-orang yang melakukan perbuatan buruk ini, sebagaimana makna firman-Nya:

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka) [al-Hijr/15:3][8]

2. Ancaman yang kedua: dalam firman-Nya: “Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan” [9] . Maksudnya, mereka akan mendapat balasan azab dan siksaan yang pedih di dalam neraka karena penyimpangan mereka tersebut[10] .

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah:"Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa alasan yang benar, (mengharamkan perbuatan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan argumentasi (dalil) untuk itu dan (mengharamkan perbuatan) berkata (atas nama) Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui (tidak dilandasi dengan pengetahuan yang benar)” [al-A’râf/ 7:33]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Azza wa Jalla menyebutkan urutan perbuatan-perbuatan yang diharamkan-Nya dalam empat tingkatan, mulai dari yang paling ringan (dibandingkan tiga tingkatan berikutnya), yaitu perbuatan keji (yang nampak maupun tersembunyi), kemudian (tingkatan) ke dua yang lebih besar larangannya dari yang pertama, yaitu perbuatan dosa dan kezhaliman (aniaya), kemudian (tingkatan) ke tiga yang lebih besar larangannya dari dua tingkatan sebelumnya, yaitu menyekutukan Allâh Azza wa Jalla (dengan makhluk), kemudian (tingkatan) ke empat yang lebih besar larangannya dari semua tingkatan sebelumnya, yaitu berkata atas (nama) Allâh tanpa (landasan) ilmu. Dan ini meliputi (semua bentuk) ucapan atas (nama) Allâh Azza wa Jalla tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami) nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, juga dalam (memahami) agama dan syariat-Nya”[11] .

BENTUK-BENTUK ILHAD (PENYIMPANGAN) DALAM MEMAHAMI NAMA DAN SIFAT ALLAH AZZA WA JALLA
Bentuk ilhâd (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla bermacam-macam. Sebagian hukumnya sampai pada tingkat kesyirikan dan ada yang sampai pada tingkat kekafiran, sesuai dengan petunjuk dalil-dalil syariat yang ada [12] .

Macam-macam bentuk ilhâd tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengingkari sebagian dari nama-Nya atau mengingkari sifat-sifat dan hukum-hukum yang dikandung nama-nama tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu ta’thil (orang-orang yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla ) dari kelompok jahmiyah dan selain mereka.

Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd, karena kita wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla serta sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya yang dikandung nama-nama tersebut. Maka mengingkari hal tersebut termasuk penyimpangan dalam masalah ini.

2. Menjadikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya menyerupai nama-nama dan sifat-sifat makhluk, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu tasybih (orang-orang yang menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk).

Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd karena perbuatan menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk adalah kebatilan dan keburukan yang besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [asy-Syuurâ/42:11]

فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka janganlah kamu mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui [an-Nahl/16:74]

3. Menetapkan bagi Allâh Azza wa Jalla nama yang tidak ditetapkan-Nya bagi diri-Nya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Nashrani yang menamakan Allâh Azza wa Jalla dengan nama bapak. Juga seperti perbuatan kaum filosof (ahli filsafat) yang menamakan Allâh Azza wa Jalla dengan al-‘illatul fâ’ilah (penyebab yang berbuat).

Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad, karena penetapan nama-nama Allah bersifat tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil dari al-Qur’ân dan hadits yang shahih, tidak boleh ditambah dan dikurangi). Sebab, Allâhlah yang maha mengetahui nama-nama dan sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

4. Menamai berhala dengan mengambil dari nama-nama Allâh Azza wa Jalla , seperti perbuatan orang-orang musyrik yang mengambil nama untuk berhala mereka al-‘uzza dari nama Allâh al-‘Aziz (Yang Maha Mulia dan Perkasa), demikian juga nama al-lata dari nama-Nya “al-Ilah” (Dzat yang berhak diibadahi)

Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad karena nama-nama yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan bagi diri-Nya adalah khusus untuk diri-Nya semata-mata, sebagaimana firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu [al-A’râf/7:180]

Sebagaimana hak untuk diibadahi dan disembah khusus milik Allâh Azza wa Jalla semata, karena hanya Dia-lah semata yang menciptakan, memberi rezki, memberi kemanfaatan, mencegah kemudharatan, dan mengatur alam semesta, maka hanya Dia-lah yang khusus memiliki nama-nama yang maha indah, dan tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya[13] .

5. Menyebut Allâh Azza wa Jalla dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dan celaan, padahal Allâh Azza wa Jalla adalah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua sifat tersebut, sebagaimana ucapan sangat kotor dari orang-orang Yahudi yang mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ

Sesungguhnya Allâh miskin dan kami kaya [Ali-‘Imrân/3:181]

Juga ucapan kotor mereka:

يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ

Tangan Allâh terbelenggu [al-Mâidah/5:64] [14] .

CONTOH-CONTOH PENYIMPANGAN DALAM NAMA DAN SIFAT ALLAH AZZA WA JALLA YANG TERSEBAR DI MASYARAKAT
Banyak contoh perbuatan ini yang terjadi di masyarakat, karena ketidakpahaman mereka terhadap urusan agama mereka, terutama masalah yang berhubungan dengan keyakinan dasar dan keimanan mereka, meskipun kebanyakan penyimpangan tersebut tidak separah dan tidak sampai pada tingkat kekafiran seperti bentuk-bentuk penyimpangan di atas. Meskipun demikian, tentu semua ini harus dijauhi karena sedikit banyak akan merusak keimanan dan mendangkalkan keyakinan seorang Muslim terhadap Allâh Azza wa Jalla .

Beberapa contoh penyimpangan tersebut, di antaranya:
1. Keyakinan sebagian orang yang tidak paham agama bahwa masing-masing dari Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh yang maha indah) mempunyai khasiat khusus untuk mengobati penyakit tertentu.

Perbuatan ini jelas merusak keyakinan, bahkan mengandung pelecehan terhadap nama-nama Allâh yang maha indah, disamping itu juga merupakan perbuatan bid’ah[15] yang sesat serta memalingkan manusia dari dzikir dan ruqyah[16] yang bersumber dari al-Qur’ân dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

2. Menjadikan nama-nama Allâh sebagai jimat dengan menulisnya pada kertas atau manik-manik kemudian di gantung pada kendaraan atau rumah, dengan tujuan untuk penjagaan dan perlindungan dari pandangan mata jahat, kedengkian, gangguan setan dan lain sebagainya.

Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka sungguh dia telah berbuat syirik”[17]

3. Menulis nama-nama Allâh Azza wa Jalla pada pigura yang indah dengan tulisan yang dihiasi (kaligrafi) untuk dijadikan sebagai hiasan dinding, sehingga orang yang melihatnya akan kagum dengan keindahan tulisan dan hiasannya, bukan pada keindahan nama-nama-Nya apalagi untuk meningkatkan keimanan.
Perbuatan ini jelas tidak disyariatkan, karena perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat . Juga karena nama-nama Allâh Azza wa Jalla terlalu agung dan mulia untuk dijadikan sebagai hiasan dinding dan rumah.

4. Menjadikan Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh yang maha indah) sebagai bahan dzikir sehari-hari dengan membaca semua nama tersebut. Ada yang membacanya di waktu pagi dan sore, atau setelah shalat lima waktu, bahkan terkadang ada yang membacanya berulang-ulang sampai ratusan kali.

Adapun makna 'berdoa dengan nama-nama Allâh' seperti yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam surat al-A'râf ayat 180, juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yang barangsiapa menghafal (dan memahami kandungan)nya maka dia akan masuk surga”[18] , adalah menghapal nama-nama tersebut, memahami kandungan maknanya, dan mengamalkannya serta berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama-Nya yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya.

5. Termasuk kesalahan besar dalam masalah ini adalah memberi nama seseorang dengan nama yang berarti penghambaan kepada selain Allâh Azza wa Jalla, seperi ‘abdun nabi (hambanya Nabi) atau ‘abdul ka’bah (hambanya ka’bah), 'abdul Husain (banyak terdapat di kalangan Syiah) dan lain-lainnya.

Perbuatan ini diharamkan dalam Islam berdasarkan konsensus para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah, karena manghambakan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla adalah perbuatan syirik.

6. Juga termasuk kesalahan dalam masalah ini adalah membuang kertas, buku ataupun majalah yang bertulisakan nama-nama Allâh di sembarang tempat ataupun di tempat sampah yang bercampur dengan kotoran dan barang-barang buangan.

Perbuatan ini diharamkan dalam Islam, karena menunjukkan sikap tidak memuliakan dan mengagungkan nama-nama-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak menjawab salam seorang Sahabat ketika beliau sedang berada di WC[19] , dalam rangka memuliakan nama Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyebutkannya sewaktu berada di tempat yang kotor dan najis [20] .

CARA UNTUK MENYELAMATKAN DIRI DARI PENYIMPANGAN DAN DOSA BESAR INI
Satu-satunya cara untuk selamat dari penyimpangan besar ini adalah dengan berdoa memohon taufik kepada Allâh Azza wa Jalla agar kita terhindar dari semua bentuk penyimpangan dan kesesatan dalam memahami dan mengamalkan agama ini.

Kemudian dengan berusaha mengikuti metode yang benar dalam memahami dan mengamalkan agama Islam, yaitu manhaj ulama Salaf, Ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah direkomendasikan kebenaran pemahaman dan pengamalam Islam mereka oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [at-Taubah/9:100]

Oleh karena itulah manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah digambarkan oleh para ulama sebagai metode berislam yang a’lam wa ahkam wa aslam [21] (yang paling sesuai dengan ilmu yang bersumber dari al-Qur’ân dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang paling bijaksana dan sesuai dengan hikmah yang agung, serta paling selamat dari kemungkinan menyimpang dan tersesat dari kebenaran)

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk selalu berpegang teguh dengan metode Ahlus sunnah wal jama’ah dalam berislam agar kita terhindar dari segala bentuk kesesatan dan penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan agama ini. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya. Wallâhu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al-Qawâ‘idul Mutslâ hlm. 17
[2]. Al Fawâ-id hlm. 175
[3]. An-Nihâyah fi Gharîbil Hadîtsi wal Atsar 4/450
[4]. Tafsir Ibnu Katsîr 2/357
[5]. Madârijus Sâlikîn 1/30
[6]. Adhwâul Bayân 2/146
[7]. Ibid
[8]. Tafsir Ibnu Jarîr ath-Thabari 13/285
[9]. Adhwâul Bayân 2/146
[10]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 309
[11]. I’lâmul Muwaqqi’în 1/38
[12]. al-Qawâ-‘idul Mutslâ hlm. 50
[13]. Keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam al-Qawâ-‘idul Mutslâ hlm. 49-50 dengan ringkas dan penyesuaian. Lihat juga keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Badâ-i’ul Fawâ-id hlm.179-180
[14]. Lihat Badâi’ul Fawâid hlm.179
[15]. Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jallayang tidak dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[16]. Bacaan yang dibacakan kepada orang yang sakit untuk menyembuhkan penyakitnya dengan izin Allâh Azza wa Jalla
[17]. HR. Ahmad (4/156) dan al-Hâkim no. 7513. Lihat Ash-Shahîhah no. 492
[18]. HR. al-Bukhâri no. 2585 dan Muslim no. 2677
[19]. Hadits hasan shahih riwayat Abu Dâwud no. 16 dan at-Tirmidzi no.90
[20]. Keterangan Syaikh ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdul Muhsin al-Badr dalam Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 66-69 dengan ringkas dan penyesuaian
[21]. Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Dar-u Ta’ârudhil ‘Aqli wan Naqli 3/95 dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ash-Shawâ’iqul Mursalah 3/1134

RESIKO MURTAD

Oleh
Ustadz Imam Wahyudi Lc



Islam adalah anugerah yang tiada tara. Satu-satunya agama yang diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla di dunia dan akherat . Perbuatan seseorang akan diakui bila ia telah memeluk Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi [Ali-‘Imrân/3: 85]

Dan sebaliknya, agama selain Islam merupakan penghalang diterimanya perbuatan baik seseorang, bahkan perbuatan baik tersebut akan sia-sia dan sirna di sisi Allah Azza wa Jalla kelak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا

Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi air itu, dia tidak mendapati sesuatu pun [an-Nûr/24:39]

Juga firman-Nya:

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan [al-Furqân/25:23]

Suatu ketika ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullâh tentang seorang dermawan yang hidup di zaman Jahiliyyah yang bernama Ibnu Jud’ân. Dia sangat gemar menyambung tali silaturahmi dan memberi makan kaum miskin, apakah kebaikan tersebut akan bermanfaat baginya? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:

لاَ يَا عَائِشَةُ ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا : رَبِّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِيْ يَوْمَ الدِّينِ

Tidak wahai ‘Aisyah, karena dia tidak pernah sekalipun mengatakan: Rabb-ku ampunilah kesalahan-kesalahanku di hari kiamat kelak [HR. Muslim]

Nikmat ini harus selalu senantiasa disyukuri, dengan senantiasa menjaganya agar tetap menetap kuat dalam jiwa dan dan mengisi hidup dengan beramal saleh sebanyak mungkin, agar semakin bertambah dan kokoh, serta jangan sampai berkurang apalagi sirna dari diri kita, alias murtad. Na’ûdzubillah min dzâlik.

Semangat ini hendaknya terus kita pupuk, diantaranya dengan memahami resiko yang bakal ditanggung oleh seorang murtad, keluar dari Islam. Untuk itu, marilah kita simak uraian berikut ini. Semoga bermanfaat.

1.DEFINISI MURTAD
Istilah murtad dalam bahasa Arab diambil dari kata ( ارْتَدَّ) yang bermakna kembali berbalik ke belakang. Sedangkan menurut syariat, orang murtad adalah seorang Muslim yang menjadi kafir setelah keislamannya, tanpa ada paksaan, dalam usia tamyiiz (sudah mampu memilah dan memilih perkara, antara yang baik dari yang buruk-pen.) serta berakal sehat.

Seorang yang menyatakan kekufuran karena terpaksa, tidak dikategorikan sebagai orang murtad, sebagaimana yang terjadi pada diri Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu yang dipaksa dan disiksa agar mau mengingkari kenabian Rasûlullâh dan mencela Islam. Akhirnya terpaksa menuruti mereka, padahal hatinya tetap yakin akan kebenaran ajaran Rasûlullâh. Setelah dibebaskan, dengan menangis dia mendatangi Rasulullah seraya menceritakan peristiwa tersebut, dan ternyata Rasûlullâh memaafkannya. Kemudian turunlah firman Allâh Azza wa Jalla :

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barang siapa yang kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh menimpanya dan baginya adzab yang besar [an-Nahl/16:106]

2. SANKSI-SANKSI MORAL BAGI ORANG MURTAD
Pada kesempatan kali ini, paparan bahasan ini terfokuskan pada dampak-dampak buruk orang yang murtad di dunia dan akherat, sebuah fenomena yang cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian orang begitu mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan ekonomi, anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan, ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa bahaya besar akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya, mungkin mereka tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh tersebut.

Para Ulama Islam (kalangan Fuqaha) telah membahas konsekuensi hukum yang berlaku pada orang Islam yang pindah agama dalam buku-bukum fiqih mereka dalam pasal ar-riddah. Berikut ini konsekuensi buruk dari perbuatan mencampakkan Islam – satu-satunya agama yang diridhai Allâh Azza wa Jalla – dengan memeluk agama lainnya, menjadi seorang nasrani atau pemeluk agama lainnya.

a. Amal Ibadahnya Terhapus
Banyaknya ibadah yang telah dilakukan, tidak akan pernah bermanfaat bagi pelakunya, bahkan berguguran tanpa ada hasil yang bisa dipetik, apabila di kemudian hari dia kufur kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan tempat kembalinya adalah neraka kekal abadi di dalamnya, jika mati dalam kekufuran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya [al-Baqarah/2:217]

b. Haknya Sebagai Seorang Muslim Sirna
Seorang Muslim wajib menunaikan orang Muslim lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَاِئزِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ،
وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ

Hak seorang Muslim yang wajib ditunaikan oleh orang Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi yang sedang sakit, mengiringi jenazahnya, memenuhi undangannya, mendoakan yang bersin [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Berdasarkan hadits tersebut, maka seorang Muslim tidak wajib menjawab lontaran salam dari orang yang murtad dari Islam, tidak perlu menengoknya tatkala sakit, tidak perlu menghormati dan mengiringi jenazahnya bila mati, tidak boleh mendatangi undangannya, dan tidak boleh mendoakannnya ketika si murtad bersin.

c. Haram Menikahi Seorang Muslimah. Apabila Telah Menikah, Maka Otomatis Pernikahannya Batal Demi Hukum
Islam melarang umatnya menikah dengan non-muslim secara umum, serta merupakan syarat sah suatu pernikahan Islami adalah kedua mempelai beragama Islam – kecuali dengan wanita Ahli Kitab dengan persyaratan yang ketat - . Adapun pernikahan seorang Muslim dengan seorang wanita musyrik selain Ahli Kitab, pernikahan itu tidak sah. Wanita Muslimah pun tidak boleh menikah dengan lelaki kafir, termasuk lelaki yang berstatus murtad. Sebab pernikahan seorang Muslimah (atau lelaki Muslim) dengan orang yang murtad pernikahan yang telah terjalin menjadi putus dan batal secara otomatis. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran [Al-Baqarah/2:221]

Demikian juga Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka [al-Mumtahanah/60:10]

Dengan demikian, dalam Islam tidak halal lagi bagi pasangan yang salah satunya telah murtad untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.

d.Tidak Boleh Menjadi Wali Dalam Pernikahan
Seorang wanita muslimah apabila hendak menikah, maka memerlukan seorang wali untuk menikahkannya, baik bapaknya, pamannya dan seterusnya. Akan tetapi, misalnya bapak atau walinya murtad, maka tidak berhak menikahkan anak atau kemenakannya yang Muslimah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain [at-Taubah/9:71]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin. Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim [al-Mâ’idah/5:51]

Hal ini dipertegas oleh sabda yang menyatakan bahwa, tidak ada pernikahan yang sah kecuali atas izin seorang wali dan disaksikan oleh dua orang lelaki yang adil sebagai saksi pernikahan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا نِكاَحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Tidaklah suatu pernikahan itu (sah) kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil [HR. al-Baihaqi dan Ibnu Hibbân dengan sanad yang shahih]

Pengertian orang adil di sini ialah orang yang jauh dari dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil. Atas dasar itu, seorang yang telah murtad dari Islam lebih tidak berhak lagi untuk menjadi wali dan saksi dalam pernikahan.

e. Tidak Mewarisi Dan Tidak Diwarisi Hartanya
Apabila seorang bapak meninggal dunia dalam keadaan kafir (termasuk orang yang mati dalam keadaan murtad), maka anak dan ahli warisnnya yang beragama Islam tidak boleh mewarisi harta peninggalan bapaknya tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa harta orang seperti ini menjadi fai’ dan masuk ke Baitul Mal kaum Muslimin dan digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

Tidaklah seorang Muslim boleh mewarisi (harta) orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi (harta) seorang Muslim [Muttafaqun’alaih]

Pada kasus yang lain, apabila seorang bapak yang beragama Islam meninggal dunia, kemudian di antara anaknya atau ahli warisnya ada yang non-Muslim (termasuk murtad) maka dia tidak berhak mendapatkan bagian dari harta ayahnya.

f. Jika Mati, Tidak Dishalati, Tidak Dikafani Serta Tidak Boleh Didoakan
Apabila seseorang mati dalam keadaan murtad dari Islam, maka dia tidak boleh dishalati, dikafani maupun didoakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allâh dan Rasûl-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik [al-Taubah/9:84]

g. Jika Mati, Tida Boleh Dimakamkan Di Pemakaman Muslimin
Sejak zaman Nabi, kaum Muslimin berinteraksi dan hidup berdampingan dengan orang-orang non-Muslim. Namun dalam masalah pemakaman, beliau memisahkan lokasi pemakaman kaum Muslimin dengan orang-orang kafir, sebagaimana dalam sebuah riwayat sahabat Ibnul Khashâshiyah menceritakan: Suatu ketika Rasûlullâh mendatangi pemakaman kaum Muslimin seraya mengatakan, "Mereka telah memperoleh kebaikan yang banyak". Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau mendatangi pemakaman kaum musyrikin seraya mengatakan, "Mereka telah melewatkan kebaikan yang banyak". Beliau mengatakannya tiga kali. [HR. Abu Dâwud, an-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah dengan sanad yang shahih. Dishahihkan al-Albâni dalam Ahkâmul al-Janâ’iz]

h. Jika Mati Dalam Keadaan Murtad, Tidak Boleh Dimintakan Ampunan Baginya
Betapapun cinta kita terhadap orang lain, tapi apabila dia meninggal dalam keadaan tidak memeluk Islam, maka kita tidak diperkenankan memintakan ampunan atas dosa-dosanya, sebagaimana teguran Allâh Azza wa Jallaepada Nabi-Nya dalam firman-Nya:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allâh) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam [at-Taubah/9:113]

i. Kaum Muslimin Memberikan Berita Buruk Ketika Melewati Kuburnya
Islam mengajarkan kepada untuk tidak memberi salam dan tidak mendoakan kebaikan ketika melewati makam orang kafir. Bahkan kita diperintahkan untuk mengabarkan kepadanya tentang neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ

Dimanapun anda melewati makam orang kafir, maka beritakanlah kepadanya tentang neraka. [HR. Ibnu Mâjah, at-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabiir]

j. Sembelihannya Haram Bagi Kaum Muslimin
Islam melarang segala sembelihan yang tidak disebutkan nama Allâh Azza wa Jalla di dalamnya, termasuk sembelihan kaum musyrikin maupun seorang ateis, terkecuali Ahli Kitab. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka [al-Mâ’idah/5:5]

k. Persaksiannya Ditolak
Telah kita ketahui bahwa sifat adil yang dimaksud adalah jauhnya seseorang dari perbuatan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Dari sini, orang yang murtad lebih tidak berhak lagi orang murtad, sehingga dia tidak boleh menjadi saksi dalam peradilan Islam, dan juga dalam pernikahan seorang Muslim, sebagaimana perintah Allâh Azza wa Jalla :

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian, dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir [ath-Thalâq/65:2]

Maksudnya, dari kalangan kaum Muslimin, bukan yang lain.

l. Tidak Boleh Memasuki Tanah Suci (Tanah Haram)
Tanah suci atau tanah haram memiliki kehormatan yang tidak boleh direndahkan dan dilanggar, di antara tidak boleh seorang kafir pun memasukinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَدْخُلُ مَكَّةَ مُشْرِكٌ بَعْدَ عَامِنَا هَذَا أَبَدًا

Tidak boleh seorang musyrik pun memasuki kota Mekah setelah tahun ini selamanya [HR. al-Bukhâri]

3. HUKUM PIDANA BAGI ORANG MURTAD
Apabila seseorang murtad dengan berpindah ke agama lain atau memilih untuk menjadi seorang ateis, langkah yang ditempuh adalah mendakwahinya untuk kembali ke pangkuan Islam dalam tempo tiga hari. Jika tetap dalam kemurtadannya, maka ia dihukum bunuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

Siapa saja yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh dia [HR. al-Bukhâri]

Permasalahan jangka waktu penyadaran melalui dakwah agar ia bertaubat selama tiga hari, kami belum menemukan dalil yang kuat untuk dijadikan pijakan, kecuali dalil logika yang dikemukakan oleh sebagian ulama, bahwa kemurtadan mayoritasnya disebabkan kerancuan pikiran dan syubhat dalam diri orang tersebut, sehingga diharapkan dengan dakwah khusus secara personal kepadanya, kerancuan dan syubhat tersebut bisa dihilangkan dari pikirannya, sehingga mau dengan sukarela kembali ke pangkuan Islam. Wallâhu a’lam. .

4. KESIMPULAN
Kemurtadan adalah bencana bagi pelaku baik di dunia terlebih di akhirat, sehingga setiap Muslim harus ekstra hati-hati darinya, agar tidak terjerumus ke dalamnya. Melalui pembahasan ini pula seyogyanya seorang Muslim bersikap tegas (bersikap proporsional) terhadap orang-orang yang rela menanggalkan akidah Islamnya. Karena sebagian umat menyikapi keluarganya yang murtad dengan dingin-dingin saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Semoga kita dijauhkan dari bencana seperti ini dan diwafatkan dalam keadaan memegangi akidah Islamiyyah, sehingga kelak dikumpulkan dengan penduduk Jannah. Amin

DAFTAR PUSTAKA
a.’Uqûbâtuz Zâni wal Murtad wa Daf’isy Syubuhât fî Dhauil Kitâb was Sunnnah, ‘Imâd al-Sayyid Muhammad Ismâ’il asy-Syarbini
b. Kifâyatul Akhyâr, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi
c. Minhâjul Muslim, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri
d. Al-Wajîz fîi Fiqhis Sunnah wal Kitâbil ‘Azîz, ‘Abdul 'Azhîm al-Badawi
e. Al-Tahqîiqâtul Mardhiyyah fii al-Mabâhits al-Fardhiyyah, Shaleh Fauzân al-Fauzân
f. Ahkâmul Janâiz, Muhammad Nâshiruddin al-Albâni

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment