Kedudukan Shalat Dalam Islam. Dari Jabir
Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ
تَرْكُ الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan
dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib,
‘Isya', dan Shubuh.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Pada malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke
langit) diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh
waktu. Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru, 'Hai
Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan
sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”[1]
Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia
menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah,
beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau
menjawab:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.
"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin
menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ
إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ،
وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian
bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa
Ramadhan." [3]
A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang
mengingkari wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi
mereka berselisih tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini
kewajiban hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan
shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan
yang bermalas-malasan mengerjakannya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ
تَرْكُ الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan
kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]
Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ،
فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat.
Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]
Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama',
bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak
mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits
tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya:
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ،
مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ
لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ
فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba.
Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena
menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk
memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak
memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya.
Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]
Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat
masih di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada
kehendak Allah.
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya
yang pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat
adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat).
Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah? Jika dia
memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah
tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’”
[7]
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap
sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui
apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam
satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah segolongan
manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami dapati
bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun
mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha
illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat,
puasa, qurban, dan shadaqah?”
Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi
pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada
kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah
yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.” [8]
B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang
telah baligh dan berakal
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.
“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari
orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang
gila hingga kembali sadar.” [9]
Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya
mengerjakan shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia
terbiasa untuk mengerjakan shalat.
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya,
dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ
سَبْعَ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia
tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh
tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Waktu-Waktu Shalat
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu,
bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah didatangi Jibril
Alaihissallam lalu ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Bangun dan shalatlah!” Maka beliau shalat Zhuhur ketika matahari telah
tergelincir. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat ‘Ashar dan berkata,
“Bangun dan shalatlah!” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Ashar
ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya. Kemudian Jibril
mendatanginya lagi saat Maghrib dan berkata, “Bangun dan shalatlah.” Lalu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Maghrib ketika matahari telah terbenam.
Kemudian Jibril mendatanginya saat ‘Isya' dan berkata, “Bangun dan shalatlah!”
Lalu beliau shalat ‘Isya' ketika merah senja telah hilang. Kemudian Jibril
mendatanginya lagi saat Shubuh dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Shubuh ketika muncul fajar, atau Jabir
berkata, “Ketika terbit fajar.”
Keesokan harinya Jibril kembali mendatangi Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam saat Zhuhur dan berkata, “Bangun dan shalatlah!”
Lalu beliau shalat Zhuhur ketika bayangan semua benda sama panjang dengan
aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat ‘Ashar dan berkata, “Bangun dan
shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Ashar ketika panjang bayangan semua benda dua
kali panjang aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat Maghrib pada waktu yang
sama dengan kemarin dan tidak berubah. Kemudian dia mendatanginya saat ‘Isya'
ketika pertengahan malam telah berlalu -atau Jibril mengatakan, sepertiga
malam,- lalu beliau shalat ‘Isya'. Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam saat hari sudah sangat terang dan berkata, “Bangun dan
shalatlah!” Lalu beliau shalat Shubuh kemudian berkata, ‘Di antara dua waktu
tersebut adalah waktu shalat.’” [1]
At-Tirmidzi mengatakan bahwa Muhammad (yaitu Ibnu
Isma'il al-Bukhari) berkata, “Riwayat paling shahih tentang waktu shalat adalah
hadits Jabir.”
1. Zhuhur
Waktunya dari tergelincirnya matahari hingga
bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya.
2. ‘Ashar
Waktunya dari saat bayangan semua benda sama panjang
dengan aslinya hingga terbenamnya matahari.
3. Maghrib
Waktunya dari terbenamnya matahari hingga hilangnya
warna kemerah-merahan pada senja.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
: “Waktu shalat Maghrib selama warna kemerah-merahan pada senja belum hilang.”
[2]
4.‘Isya'
Waktunya dari hilangnya merah senja hingga
pertengahan malam.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu a'alaihi wa
sallam: “Waktu shalat ‘Isya' hingga pertengahan malam.”
5. Shubuh
Waktunya dari terbit fajar hingga terbit matahari.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
:
وَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ
تَطْلُعِ الشَّمْسُ.
“Waktu shalat Shubuh dari terbitnya fajar hingga
sebelum matahari terbit." [4]
A. Apakah yang Dimaksud dengan ash-Shalat al-Wustha
(Pertengahan)?
Allah Ta'ala berfirman:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah)
shalat Wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.”
[Al-Baqarah: 238].
Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa di
hari terjadinya perang al-Ahzab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
شَغَّلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ،
ملأَ اللهُ بُيُوْتَهُمْ وَقُبُوْرَهُمْ نَارًا.
"Mereka telah menyibukkan kita dari shalat
al-Wustha (yaitu) shalat 'ashar. Semoga Allah memenuhi rumah-rumah dan
kubur-kubur mereka dengan api."[5]
B. Disunnahkan Memajukan Shalat Zhuhur di Awal Waktu
Ketika Hari Tidak Terlalu Panas.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى
الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ.
"Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengerjakan shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir (condong ke
barat)." [6]
C. Jika Cuaca Sangat Panas, Disunnahkan Menunda
Shalat Zhuhur sampai Cuaca Agak Dingin (Selama Tidak Keluar dari Waktunya-Ed.)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا بِالصَّلاَةِ، فَإِنَّ
شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْـحِ جَهَنَّمَ.
"Jika hari sangat panas, maka tidaklah shalat
hingga cuaca menjadi agak dingin. Sesungguhnya panas yang sangat itu merupakan
bagian dari didihan Jahannam."[7]
D. Disunnahkan Menyegerakan Shalat 'Ashar
Dari Anas Radhiyallahu anhu:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J كَانَ يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ
مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ، فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْعَوَالِيْ فَيَأْتِي الْعَوَالِيْ
وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ.
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah shalat 'Ashar, sedangkan matahari masih tinggi dan terang. Lalu
seseorang pergi dan mendatangi al-'Awali (tempat di sudut Madinah) sedangkan
matahari masih tinggi." [8]
E. Dosa Orang yang Melewatkan Shalat 'Ashar.
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang melewatkan shalat
'Ashar seperti orang yang berkurang keluarga dan hartanya."
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ.
"Barangsiapa meninggalkan shalat 'Ashar, maka
terhapuslah amalannya." [10]
F. Dosa Orang yang Mengakhirkannya Hingga Menjelang
Senja (Ketika Matahari Akan Terbenam)
Dari Anas Radhiyallahu anhu dia berkata, "Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسُ
حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ
يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً.
'Itulah shalatnya orang munafiq. Dia duduk sambil
mengawasi matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk syaitan
(waktu terbit dan tenggelamnya matahari) ia bangkit dan shalat empat raka'at
dengan cepat. Ia tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit."[11]
G. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Maghrib dan
Dimakruhkan Mengakhirkannya
Dari 'Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, Nabi
Shalallahu a'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ
مَـالَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ.
"Umatku senantiasa dalam kebaikan atau dalam
keadaan fithrah selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga banyak
bintang bermunculan."[12]
Dari Salamah bin al-Akwa' Radhiyallahu anhu : “Dulu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Maghrib jika matahari telah
terbenam dan bersembunyi di balik tirai (tidak nampak).” [13]
H. Disunnahkan Mengakhirkan Shalat 'Isya' Selama
Tidak Memberatkan
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada
suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Isya’,
hingga berlalulah sebagian besar malam dan para penghuni masjid telah tertidur.
Kemudian beliau keluar dan shalat, lalu berkata, 'Sesungguhnya ini adalah
waktunya, hanya saja aku tak ingin memberatkan umatku. [14]
I. Dimakruhkan Tidur Sebelumnya dan Perbincangan
yang Tidak Berguna Sesudahnya.
Dari Abu Barzah Radhiyallahu anhu : “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci tidur sebelum 'isya' dan
berbincang-bincang sesudahnya." [15]
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Suatu
malam kami menunggu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga pertengahan
malam. Lalu beliau datang dan shalat dengan kami, kemudian menasihati kami.
Beliau berkata:
أَلاَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا ثُمَّ رَقَدُوْا، وَإِنَّكُمْ
لَمْ تَزَالُوا فِيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ.
'
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang telah shalat
kemudian tidur. Dan sesungguhnya kalian senantiasa dalam shalat selama kalian
menunggu shalat.'"[16]
J. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Shubuh di Awal
Waktunya (Ketika Masih Gelap)
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu
para wanita mukminat menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan berbungkus pakaian mereka. Kemudian kembali ke
rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun
yang mengenali mereka karena gelapnya malam."[17]
K. Kapankah Seseorang Dianggap Masih Mendapatkan
Waktu Shalat?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ
الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ
أَنْ تَغْرِبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ.
"Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat
Shubuh sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapati shalat Shubuh. Dan
barangsiapa mendapati satu raka'at shalat 'Ashar sebelum matahari terbenam,
maka dia telah mendapati shalat 'Ashar." [18]
Hukum ini tidak di khususkan bagi shalat Shubuh dan
'Ashar saja, tetapi untuk seluruh shalat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ
الصَّلاَةَ.
"Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat,
maka dia telah mendapati shalat itu" [19]
L. Mengqadha Shalat yang Terlewatkan
Dari Anas Radhiyiallahu anhu, dia mengatakan bahwa
Nabi Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا
أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا.
“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat atau
tertidur darinya, maka kaffarat (tebusan)nya adalah melakukan shalat itu jika
ia telah mengingatnya.” [20]
M.Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Dengan
Sengaja Hingga Keluar dari Waktunya Wajib Untuk Mengqadha Shalat Tersebut?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam al-Muhallaa
(II/235), “Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menjadikan waktu tertentu, yaitu
awal dan akhirnya, bagi setiap shalat wajib. Masuk pada waktu tertentu dan
keluar pada waktu tertentu. Tidak ada bedanya antara orang yang shalat sebelum
waktunya dan orang yang shalat sesudah waktunya. Karena keduanya shalat pada
selain waktunya. Qadha adalah kewajiban dari agama. Sedangkan agama tidak boleh
selain dari Allah melalui lisan Rasul-Nya. Jika memang qadha wajib bagi orang
yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka tentu Allah dan
Rasul-Nya tidak akan melalaikan dan melupakannya. Tidak pula sengaja
menyulitkan kita dengan tidak memberi penjelasan mengenainya. “Dan tidaklah
Rabb-mu lupa.” (Maryam: 64). Dan setiap syari'at yang bukan dari al-Qur-an dan
Sunnah adalah bathil."
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Waktu-Waktu Dilarangnya Shalat
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
N. Waktu-Waktu Dilarangnya Shalat
Dari 'Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبَرَ فِيْهِنَّ
مَوْتَانَـا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْـنَ يَقُوْمُ
قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّـى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّفَ الشَّمْسُ لِلْغُرُوْبِ
حَتَّى تَغْرُبَ.
“Tiga waktu yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang kami shalat atau mengubur orang-orang mati kami pada saat itu:
ketika matahari terbit hingga naik, ketika pertengahan siang hingga matahari
tergelincir, ketika matahari condong ke barat hingga tenggelam." [1]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan
alasan dilarangnya shalat dalam waktu-waktu ini melalui perkataan beliau kepada
'Amr bin 'Abasah: “Kerjakanlah shalat Shubuh. Kemudian hentikanlah shalat
hingga matahari terbit dan naik. Karena sesungguhnya ketika terbit, matahari
berada di antara dua tanduk syaitan. Pada waktu itu orang-orang kafir sujud
kepada matahari. Setelah itu shalatlah, karena sesungguhnya shalat tersebut
disaksikan dan dihadiri. Hingga bayangan naik setinggi tombak. Kemudian
hentikanlah shalat. Karena waktu itu Jahannam bergolak. Jika bayangan telah
condong ke barat, maka shalatlah, karena sesungguhnya shalat itu dihadiri dan
disaksikan. Hingga engkau shalat 'Ashar. Kemudian hentikanlah shalat hingga
matahari terbenam. Karena sesungguhnya ia terbenam di antara dua tanduk
syaitan. Dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” [2]
O. Dikecualikan dari Larangan Ini Waktu dan Tempat
Tertentu
Adapun waktu, adalah ketika matahari berada tepat di
atas pada hari Jum'at:
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَتَطَهَّرَ
مَـا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيُدَهِّنُ مِنْ دُهْنٍ أَوْ يَمُسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ،
ثُمَّ يَخْـرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ،
ثُمَّ يُنْصِتْ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ، مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى.
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum'at, lantas
bersuci sebaik-baiknya, mengenakan minyak rambut, atau mengenakan minyak wangi
rumahnya. Kemudian keluar dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat
sunnah semampunya. Setelah itu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan
diampuni dosa-dosanya antara Jum'at yang satu dengan Jum'at yang lain."[3]
Beliau menganjurkan shalat sunnah semampunya dan
tidak melarang kecuali setelah keluarnya imam. Oleh sebab itu, banyak ulama
terdahulu, di antaranya 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yang kemudian
diikuti oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa keluarnya imam
menghentikan shalat, dan khutbahnya menghentikan perkataan. Mereka menjadikan
keluarnya imam sebagai penghalang shalat, bukan pertengahan siang.
Adapun pengecualian tempat adalah, Makkah -semoga
Allah menambah kemuliaan dan keagungannya-. Karena Allah Ta'ala telah
melebihkannya dengan kemuliaan dan keagungan. Shalat di sana tidak ada yang
dimakruhkan pada waktu-waktu tadi.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
: “Wahai Bani 'Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi siapa pun yang
melakukan thawaf dan shalat di Baitullah ini kapan saja. Baik malam maupun
siang hari." [4]
Shalat yang dilarang pada waktu-waktu tersebut
adalah shalat sunnah murni yang tidak ada sebabnya. Pada waktu-waktu ini
diperbolehkan untuk mengqadha shalat-shalat yang terlewatkan, baik wajib maupun
sunnah.
Dalilnya adalah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam :
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَكَفَّرَةَ
لَهَا إِلاَّ ذلِكَ.
"Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat, maka
hendaklah ia shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarat baginya kecuali (shalat)
itu." [5]
Shalat setelah selesai wudhu' juga boleh untuk
dilakukan kapan saja.
Dalilnya adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada
Bilal ketika Shubuh, “Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau
harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku
mendengar suara kedua sandalmu berada di depanku dalam Surga." Bilal
menjawab, "Tidaklah aku melakukan suatu amalan yang paling kuharapkan
(pahalanya). Hanya saja, tidaklah aku bersuci, baik saat petang maupun siang,
melainkan aku shalat sunnah dengannya." [6]
Diperbolehkan juga shalat tahiyyatul masjid.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى
يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ.
"Jika salah seorang di antara kalian masuk
masjid, maka janganlah duduk hingga shalat dua raka'at."[7]
P. Dilarang Shalat Sunnah setelah Fajar Terbit dan
Sebelum Shalat Shubuh.
Dari Yasar bekas budak Ibnu 'Umar, dia berkata,
“Ibnu 'Umar melihatku sedang shalat setelah fajar terbit. Lalu dia berkata,
'Wahai Yasar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar
menemui kami ketika kami sedang melakukan shalat ini. Kemudian beliau bersabda,
'Hendaklah orang yang hadir di antara kalian memberitahu yang tidak hadir.
Janganlah kalian shalat setelah fajar kecuali dua raka'at.'" [8]
Q. Dilarang Shalat Sunnah setelah Iqamat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ.
"Jika iqamat shalat sudah dikumandangkan, maka
tidak ada shalat selain shalat wajib." [9]
R. Tempat-Tempat Dilarangnya Shalat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فُضِّلْتُ عَلَى اْلأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيْتُ جَوَامِعُ
الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ
اْلأَرْضُ طَهُوْرًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ
بِيَ النَّبِيُّوْنَ.
"Aku dilebihkan atas para Nabi dengan enam
perkara: (1) aku diberi ucapan yang singkat dan penuh makna, (2) aku ditolong
dengan rasa takut (musuh atasku), (3) dihalalkan bagiku harta rampasan perang,
(4) bumi dijadikan sarana bersuci dan masjid untukku, (5) aku diutus untuk
seluruh makhluk, dan (6) para Nabi ditutup denganku."[10]
Semua bumi adalah masjid selain yang dikecualikan
dalam beberapa hadits di bawah ini:
Dari Jundub bin 'Abdillah al-Bajali Radhiyallahu
anhu, dia berkata, “Lima hari sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
meninggal aku mendengar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَـانَ قَبْلَكُمْ كَـانُوْا يَتَّخِذُوْنَ
قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُرْرَ
مَسَـاجِدَ، إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذلِكَ.
‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian
menjadikan kubur-kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid.
Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid. Sesungguhnya aku
melarang kalian melakukan hal itu.’"[11]
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ.
"Semua bumi adalah masjid kecuali kubur dan
kamar mandi." [12]
Dari al-Barra' bin 'Azib Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang
shalat di penderuman unta. Beliau menjawab:
لاَ تُصَلُّوْا فِي مَبَارِكِ اْلإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ
الشَّيَاطِيْنِ.
“Janganlah kalian shalat di penderuman unta. Karena
ia termasuk syaitan.”
Dan beliau ditanya tentang shalat di penambatan
kambing. Beliau menjawab:
صَلُّوْا فِيْهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ.
"Shalatlah di situ, karena ia adalah
barakah." [13]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Hukum Adzan, Keutamaan Adzan Dan Tata Cara Adzan
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
A. Hukum Adzan
Adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu
shalat dengan lafazh yang khusus [1]. Hukumnya adalah wajib.
Dari Malik bin al-Huwairits, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ
وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.
"Jika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah
salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Dan hendak-lah
yang paling tua di antara kalian mengimami kalian."[2]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
adzan, dan perintah mengandung pewajiban sebagaimana yang telah diketahui.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama kami untuk memerangi sebuah kaum,
tidaklah beliau berperang hingga datangnya pagi. Beliau menunggu, jika
mendengar adzan, beliau tidak memerangi mereka. Sebaliknya, jika tidak
mendengar adzan, maka beliau menyerang mereka." [3]
B. Keutamaan Adzan
Dari Mu'awiyah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ.
“Sesungguhnya para mu-adzin adalah orang yang paling
panjang lehernya pada hari Kiamat.” [4]
Dari 'Abdurrahman bin 'Abdillah bin 'Abdirrahman bin
Abi Sha'sha'ah al-Anshari kemudian al-Mazini dari ayahnya, dia mengabarkan
bahwa Abu Sa'id al-Khudri berkata kepadanya, “Sungguh aku melihat engkau
menyukai kambing dan gurun (pedalaman). Jika engkau berada di antara kambingmu
atau di gurunmu, maka adzanlah untuk shalat dan keraskanlah suaramu dengan
seruan itu. Karena sesungguhnya tidaklah jin, manusia, dan lain-lain mendengar
suara mu-adzin melainkan mereka akan memberikan kesaksian baginya di hari
Kiamat." Abu Sa'id melanjutkan, "Aku mendengarnya dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam." [5]
C. Tata Cara Adzan
Dari 'Abdullah bin Zaid bin 'Abdi Rabbih, dia
berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah sepakat untuk
menabuh lonceng, padahal beliau membencinya karena menyerupai kaum Nasrani, aku
bermimpi berpapasan dengan seorang pria di malam hari. Ia mengenakan dua
pakaian hijau sambil membawa lonceng. 'Aku berkata kepadanya, “Wahai hamba
Allah, apakah engkau menjual lonceng?” Ia bertanya, “Apakah yang kau perbuat
dengannya?" Aku menjawab, "Kami menggunakannya untuk menyeru
shalat." Dia berkata, "Maukah kau kutunjuki (cara) yang lebih baik
dari itu?" Aku berkata: "Tentu." Dia berkata, "Katakanlah:
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ
أَكْبَرُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ
اِلهَ إِلاَّ الله.
أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، أَشهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ.
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ. لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.
Agak lama kemudian dia melanjutkan, "Kemudian
jika engkau hendak mendirikan shalat (mengumandangkan iqamat) engkau
mengucapkan:
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ الله.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.
أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.
Ketika pagi tiba, aku mendatangi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuberitahukan kepada beliau tentang apa yang
telah kulihat (dalam mimpi). Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar insya Allah.” Kemudian beliau
menyuruh adzan. Dan Bilal budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar
mengumandangkan adzan dengan (lafazh tersebut).[6]
Disunnahkan agar mu'adzin menggabungkan dua takbir
dalam satu nafas.
Dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika
mu'adzin mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Maka hendaklah seorang di
antara kalian mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Kemudian jika
mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka dia mengatakan, ‘Asyhadu
allaa ilaaha illallaah.’ ..." [7] Di sini terdapat isyarat yang jelas
bahwa muadzin menggabungkan setiap dua takbir dalam satu nafas. Dan pendengar
juga menjawab seperti itu. [8]
Disunnahkannya at-Tarjiil (Pengulangan).
At-tarjiil adalah mengucapkan kembali dua kalimat
syahadat dengan suara keras sebanyak dua kali, setelah pengucapan dua kalimat
syahadat sebanyak dua kali dengan suara yang pelan. [9]
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengajarinya adzan (dengan cara) ini, “Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna
Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.” Kemudian
mengulang dan mengucapkan, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa
ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullaah. Hayya 'alash Shalaah. dua kali. Hayya 'alal Falaah. dua kali.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” [10]
At-Tatswib (*) Pada Adzan Shubuh Pertama.
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengajarinya adzan, di dalamnya terdapat lafazh, “Hayya 'alal falaah,
hayya 'alal falaah. Ash-shalatu khairun minan nauum, Ash shalatu khairun minan
nauum.” Pada (adzan) awal Shubuh. (Lalu dilanjutkan dengan) “Allaahu akbar,
Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaah.” [11]
Al-Amir ash-Shan'ani berkata dalam Subulus Salaam
(I/120): Ibnu Ruslan berkata, “At-Tatswib hanya disyari'atkan pada adzan Shubuh
pertama. Karena ia berfungsi membangunkan orang tidur. Adapun adzan kedua
berfungsi memberitahukan masuknya waktu dan seruan untuk shalat."
Disunnahkan adzan pada awal waktu dan mendahulukan
khusus untuk shalat Shubuh.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, “Bilal adzan
jika matahari telah tergelincir, dan dia tidak mengurangi (sedikit pun dari
lafazh adzan). Dan dia tidak iqamat hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
keluar. Jika beliau keluar, maka dia mengumandangkan iqamat ketika
melihatnya." [12]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal adzan di malam
hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.” [13]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan
hikmah mendahulukan adzan Shubuh dari waktunya dengan sabdanya, “Janganlah
adzan Bilal menghalangi salah seorang dari kalian dari sahur. Karena
sesungguhnya dia adzan -atau beliau bersabda: menyeru di malam hari agar orang
yang shalat malam di antara kalian kembali (istirahat) dan juga untuk membangunkan
orang yang tidur di antara kalian.” [14]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Apa Yang Harus Diucapkan Ketika Mendengar Adzan Dan
Iqamat.
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
D. Apa Yang Harus Diucapkan Ketika Mendengar Adzan
dan Iqamat.
Disunnahkan bagi yang mendengar adzan dan iqamat
untuk mengucapkan sebagaimana yang diucapkan muadzin.
Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah
sebagaimana yang diucapkan muadzin." [1]
Dari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika
muadzin mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Maka hendaklah salah
seorang di antara kalian (juga) mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’
Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka ia
mengucapkan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Kemudian jika muadzin
mengucapkan, ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.’ Maka ia mengucapkan,
‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan,
‘Hayya 'alash shalaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa haula walaa quwwata illaa
billaah.’ Kemudian jika mu-adzin mengucapkan, ‘Hayya 'alal falaah.’ Maka ia
mengucapkan, ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah.’ Kemudian jika muadzin
mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Maka ia mengucapkan, ‘Allaahu
akbar, Allaahu akbar.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Laa ilaaha
illallaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah,’ dengan hati yang tulus,
maka dia akan masuk Surga."[2]
Barangsiapa mengucapkan sebagaimana ucapan mu-adzin,
atau ketika muadzin mengucapkan hayya 'alatain ("Hayya 'alash
shalaah" dan "hayya 'alal falaah"), ia mengucapkan, "Laa
haula walaa quwwata illaa billaah," atau menggabungkan antara apa yang
diucapkan oleh muadzin dan hauqalah ("Laa haula walaa quwwata illaa
billaah."), maka dia telah berbuat benar insya Allah.
Jika muadzin selesai adzan dan iqamat serta
pendengar telah menjawabnya, maka hendaklah mengucapkan apa yang ada dalam dua
hadits berikut ini:
Dari 'Abdullah bin 'Amr, dia mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا
يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّـى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ بِهَا
عَلَيْهِ عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ
فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ
أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةِ.
"Jika kalian mendengar mu-adzin, maka
ucapkanlah sebagaimana yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena
barangsiapa yang bershalawat untukku sekali, maka dengannya Allah akan
bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah al-wasilah kepada Allah
untukku. Ia adalah sebuah tempat di Surga yang tak diraih kecuali oleh seorang
hamba di antara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap ia adalah aku. Barangsiapa
memintakan untukku wasilah kepada Allah, maka dia layak mendapat
syafa'atku." [3]
Dari Jabir, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ قَالَ عِنْدَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: "اَللّهُمَّ
رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَـائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا
اَلْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ،"
حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa yang ketika mendengar adzan
mengucapkan, ‘Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini serta shalat yang
didirikan hammad wasilah dan keutamaan. Tempatkanlah ia pada kedudukan yang mulia
sebagaimana Kau janjikan.’ Maka dia layak mendapat syafa'atku pada hari
Kiamat.” [4]
Catatan:
Disunnahkan bagi seorang muslim agar memperbanyak
do’a antara adzan dan iqamat. Karena do’a pada waktu itu dikabulkan.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّعَاءُ لاَيُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ.
"Do’a antara adzan dan iqamat tidak
ditolak." [5]
E. Hal yang Disunnahkan Bagi Mu-adzin [6]
Disunnahkan bagi mu-adzin untuk mengikuti hal-hal
berikut:
1. Mengharap wajah Allah dengan adzannya, maka
janganlah ia mengambil upah.
Dari 'Utsman bin Abi al-'Ash Radhiyallahu anhu, dia
berkata, “Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam bagi kaumku'.
Beliau bersabda, 'Engkau adalah imam mereka. Ikutilah orang yang terlemah di
antara mereka (jadikan ia sebagai patokan-ed.), dan angkatlah seorang mu-adzin
yang tidak mengambil upah dari adzannya." [7]
2. Suci dari hadats besar dan kecil
Sebagaimana yang telah diulas dalam pembahasan
"hal-hal yang disunnahkan wudhu' di dalamnya."
3. Berdiri menghadap Kiblat
Ibnul Mundzir berkata, “Telah disepakati bahwa
berdiri saat mengumandangkan adzan termasuk sunnah. Karena adzan tersebut
menjadi lebih terdengar. Dan termasuk sunnah adalah menghadap kiblat saat
mengumandangkan adzan. Karena para mu-adzin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dulu adzan sambil menghadap Kiblat."
4. Menolehkan kepala dan lehernya ke kanan saat
mengucapkan, "Hayya 'alash shalaah," dan ke kiri saat mengucapkan:
"Hayya 'alal falaah."
Dari Abu Juhaifah, dia melihat Bilal sedang adzan.
Dia berkata, “Aku mengikuti mulutnya ke sana kemari saat adzan.”[8]
5. Memasukkan dua jarinya ke telinga
Berdasarkan perkataan Abu Juhaifah Radhiyallahu
anhu, “Aku melihat Bilal sedang adzan sambil memutar dan mengikuti mulutnya ke
sana kemari. Sedangkan kedua jarinya ada di dalam kedua telinganya." [9]
6. Mengeraskan suaranya ketika menyeru
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, “Tidaklah jin, manusia, dan yang lainnya mendengar suara mu-adzin
melainkan akan memberikan kesaksian baginya di hari Kiamat.” [10]
F. Berapa Lamakah Jarak Antara Adzan dan Iqamat?
Antara adzan dan iqamat sebaiknya dipisahkan waktu
yang cukup untuk persiapan menghadiri shalat. Itulah tujuan disyari'atkannya
adzan. Jika tidak demikian, hilanglah hikmahnya.
Ibnu Baththal berkata [11], “Tidak ada batasan dalam
hal ini kecuali kepastian tentang masuknya waktu dan berkumpulnya orang-orang
yang hendak shalat.”
G. Dilarang Keluar dari Masjid setelah Adzan
Dari Abu Sya'tsa', dia berkata, “Kami pernah
duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu maka mu-adzin pun
mengumandangkan adzan. Lantas ada seorang laki-laki yang bangkit dan berjalan
keluar masjid. Kemudian Abu Hurairah mengikutinya dengan pandangannya hingga ia
keluar masjid. Lalu Abu Hurairah berkata, 'Orang ini telah mendurhakai Abul
Qasim (Nabi Muhammad). Shallallahu 'alaihi wa sallam'”[12]
H.Adzan dan Iqamat Untuk Shalat yang Terlewatkan
Barangsiapa tertidur dari shalatnya atau lupa, maka
disyari'atkan baginya untuk adzan dan iqamat.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam kisah tertidurnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
pada suatu perjalanan hingga shalat Shubuh terlewatkan. Bahwasanya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Bilal (untuk adzan dan iqamat), lalu
Bilal pun adzan dan iqamat."[13]
Jika shalat yang terlewatkan lebih dari satu, maka
adzan sekali dan iqamat untuk setiap shalat.
Berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu,
dia berkata, "Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari mengerjakan empat shalat pada
hari berlangsungnya perang Khandaq. Hingga berlalulah malam menurut kehendak
Allah. Maka beliau menyuruh Bilal untuk adzan kemudian iqamat lalu shalat
Zhuhur. Kemudian iqamat lalu shalat ‘Ashar. Kemudian iqamat lalu shalat
Maghrib. Kemudian iqamat lalu shalat ‘Isya'."[14]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Syarat-Syarat Sahnya Shalat
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:
A. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَّوْقُوتًا
“... Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa': 103].
Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya
waktu ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.
B. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Berdasarkan firman Allah:
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah...” [Al-Maa-idah: 6].
Dan hadits Ibnu 'Umar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.
"Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan)
tanpa bersuci." [1]
C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan
Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah
firman Allah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ،
وَلِيَنْظُرْ فِيْهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا، فَلْيَمْسَحْهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ
فِيْهِمَا.
"Jika salah seorang di antara kalian mendatangi
masjid, maka hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika ia melihat
najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia
shalat dengannya."[2]
Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan
adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Ali. Dia menanyai
beliau tentang madzi dan berkata:
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ.
"Wudhu' dan basuhlah kemaluanmu." [3]
Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:
اِغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّيْ.
"Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah."
[4]
Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya di saat seorang
Badui kencing di dalam masjid:
أَرِيْقُوْا عَلى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ.
“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.” [5]
Catatan:
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau
dia terkena najis, maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia
mengetahuinya ketika shalat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya
-seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia
harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan untuk
itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib mengulang.
Berdasarkan hadits Abu Sa'id: “Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah shalat lalu melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang
pun turut melepas sandal-sandal mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan
badan dan berkata, 'Kenapa kalian melepas sandal kalian?' Mereka menjawab,
'Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun melepasnya.' Beliau berkata,
'Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku
terdapat najis. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka
hendaklah membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah
ia gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.'”[6]
D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) mesjid...” [Al-A'raaf: 31].
Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu
thawaf di Baitullah dengan telanjang.
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh
(baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]
Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana
dalam hadits ‘Amr bin Syu'aib Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya,
secara marfu’:
مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]
Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam lewat ketika aku mengenakan kain yang tersingkap hingga
pahaku terlihat. Beliau bersabda:
غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.
"Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha
adalah aurat." [9]
Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah
aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.
“Wanita adalah aurat.” [10]
Juga sabda beliau:
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah
pernah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup." [11]
E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ
مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“... maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram.
Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya...” [Al-Baqarah: 150].
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ
ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.
“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu'lah dengan
sempurna. Kemudian menghadaplah ke Kiblat...” [12]
Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat
ketika dalam keadaan takut yang sangat dan ketika shalat sunnat di atas
kendaraan sewaktu dalam perjalanan.
Allah berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah
sambil berjalan atau berkendaraan...” [Al-Baqarah: 239].
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap
ke Kiblat atau tidak menghadap ke sana.”
Nafi' berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam.” [13]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya menghadap
ke arah mana saja dan shalat Witir di atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib
di atasnya.” [14]
Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia
shalat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun
ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.
Dari 'Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia
berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah
Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya masing-masing.
Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
“... maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah...” [Al-Baqarah: 115].”[15]
F. Niat
Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan
menentukan shalat yang hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti
(meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak
disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
pernah mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk
shalat, beliau mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun
sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak
pula mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat
raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau
qadha'...”
Ini semua adalah bid'ah. Tidak seorang pun
meriwayatkannya dengan sanad shahih atau dha'if, musnad atau pun mursal. Tidak
satu lafazh pun. Tidak dari salah seorang Sahabat beliau, dan tidak pula
dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang empat. [17]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Tata Cara Shalat
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berdiri untuk shalat, beliau menghadap ke arah Kiblat dan berdiri mendekat ke
pembatas (sutrah).
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan
sesungguh-nya setiap orang hanya mendapat (balasan) berdasarkan niatnya.”
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai shalat
dengan ucapan:
اَللهُ أَكْبَرُ.
“Allah Mahabesar.”
Beliau mengangkat kedua tangannya lalu meletakkan
yang kanan di atas yang kiri di atas dada. Beliau mengarahkan pandangannya ke
tanah (tempat sujud). Kemudian membuka bacaan dengan berbagai macam do’a (do’a
istiftah), beliau memuji, menyanjung dan memuliakan Allah. Kemudian beliau
memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk
(ta’awwudz).
Kemudian membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah dan
Maha Penyayang.”
Dengan tidak nyaring.
Kemudian membaca al-Faatihah dengan berhenti pada
tiap-tiap ayat (tartil). Seusai membaca al-Faatihah, beliau mengucapkan:
“Aamiin,” dengan menjaharkan (mengeraskan) dan memanjang-kan suaranya. Setelah
membaca al-Faatihah, beliau membaca surat lainnya. Terkadang memanjangkannya,
dan terkadang memendekkannya.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan
bacaan pada shalat Shubuh dan dua raka'at pertama dari shalat Maghrib dan
‘Isya'. Serta memelankan bacaan pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, raka’at ketiga dari
shalat Maghrib serta dua raka’at terakhir dari shalat ‘Isya'.
Beliau juga mengeraskannya pada shalat Jum’at, dua
Hari Raya, Istisqa', dan Gerhana.
Beliau menjadikan dua raka'at terakhir lebih pendek
dari dua raka'at pertama kira-kira separuhnya, sekitar lima belas ayat, atau
mencukupkan dengan al-Faatihah.
Kemudian jika beliau selesai membaca, beliau diam
sejenak. Setelah itu beliau mengangkat kedua tangannya, bertakbir, dan ruku'.
Beliau letakkan kedua telapak tangannya pada kedua lutut lalu meregangkan
jari-jemarinya. Beliau tekankan kedua tangannya pada kedua lututnya seakan-akan
menggenggamnya.
Beliau regangkan kedua sikunya ke samping sambil
meratakan dan meluruskan punggungnya. Hingga andaikata dituangkan air di
atasnya, niscaya air itu tetap tenang (tidak tumpah).
Beliau berdiam agak lama saat ruku' dan mengucapkan:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ (ثَلاَثًا)
“Mahasuci Engkau, wahai Rabb-ku Yang Mahaagung.”
(Diucapkan sebanyak tiga kali).
Dalam rukun ini beliau mengucapkan banyak macam
dzikir dan do’a. Terkadang mengucapkan ini, terkadang pula yang itu. Beliau
melarang membaca al-Qur-an dalam ruku' dan sujud.
Setelah itu beliau mengangkat punggungnya dari ruku’
sambil mengucapkan:
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
“Allah mendengar orang yang memuji-Nya.”
Ketika i’tidal ini beliau mengangkat kedua tangannya
sambil membaca:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ.
“Ya Rabb kami, hanya bagi-Mu-lah segala
pujian."
Terkadang beliau membaca do’a lebih dari itu.
Kemudian beliau bertakbir dan menyungkur sujud.
Beliau meletakkan kedua tangannya di atas tanah
sebelum kedua lututnya. Beliau bertelekan pada kedua telapak tangannya dan
membuka (lengan)nya. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam merapatkan
jari-jemarinya dan menghadapkannya ke Kiblat. Beliau meletakkan sejajar dengan
kedua bahunya dan terkadang sejajar kedua telinganya. Beliau menempelkan hidung
dan dahinya ke tanah.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى
الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ، وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ
الْقَدَمَيْنِ.
“Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh
tulang: dahi -sambil menunjuk hidungnya dengan tangan- kedua tangan dan kedua
lutut, serta ujung jari-jemari kedua kaki.”
Beliau juga pernah mengatakan:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ اْلأَرْضِ
مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ.
“Tidak (sempurna) shalat orang yang tidak
menempelkan hidungnya ke tanah sebagaimana menempelkan dahinya.”
Beliau berdiam sejenak dalam sujudnya sambil
mengucapkan:
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى. (ثَلاَثًا)
“Mahasuci Rabb-ku Yang Mahatinggi.” (Diucapkan tiga
kali)
Terkadang beliau juga membaca berbagai macam dzikir dan
do’a, terkadang ini dan terkadang itu. Beliau memerintahkan untuk
bersungguh-sungguh dan memperbanyak do’a pada rukun ini.
Kemudian beliau mengangkat kepala sambil bertakbir,
lantas menggelar kaki kirinya dan mendudukinya (duduk iftirasy) dengan tenang.
Beliau tegakkan telapak kaki kanannya sambil menghadapkan jari-jari telapak
kaki kanan tersebut ke Kiblat. Lalu beliau mengucapkan:
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِـي وَارْحَمْنِى، وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي،
وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي.
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, cukupilah
kekurangan-ku, angkatlah derajatku, tunjukilah aku, maafkanlah aku, dan berilah
rizki kepadaku.”
Kemudian beliau bertakbir dan melakukan sujud kedua
sebagaimana yang pertama lalu mengangkat kepalanya sambil bertakbir.
Kemudian bangkit duduk tegak di atas kaki kirinya
hingga tulang-tulang kembali pada tempatnya semula (duduk istirahat). Kemudian
bangkit ke raka'at kedua dengan bertumpu pada tanah.
Beliau melakukan raka’at kedua sebagaimana raka’at
pertama. Hanya saja beliau melakukannya lebih singkat daripada yang pertama.
Kemudian beliau duduk tasyahhud seusai raka'at
kedua. Jika shalat terdiri dari dua rak'at, maka duduk iftirasy sebagaimana
duduk di antara dua sujud. Begitupula pada raka'at kedua dari shalat yang
berjumlah tiga atau empat raka'at. Jika beliau duduk tasyahhud, beliau letakkan
telapak tangan kanannya di atas paha kanannya dan meletakkan telapak tangan
kirinya di atas paha kirinya. Beliau buka tangan kirinya dan menggenggamkan
tangan kanannya di atas paha kanannya sambil menunjuk dengan jari telunjuknya
dan memusatkan pandangan padanya. Jika beliau mengangkat telunjuknya, beliau
menggerak-gerakkannya dan berdo’a dengannya. Beliau bersabda, "Dia
memiliki (pengaruh) yang lebih dahsyat terhadap syaitan daripada besi.”
Maksudnya telunjuk tadi.
Beliau lantas membaca tahiyyat pada setiap dua
raka'at. Beliau bershalawat bagi dirinya sendiri pada tasyahhud awal maupun
yang seterusnya. Dan beliau mensyari'atkan hal ini pada umatnya. Dalam
shalatnya beliau mengucapkan banyak do’a yang beraneka ragam.
Beliau kemudian mengucap salam sambil menoleh ke
kanan dan mengucap: "اَلسَّـلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ (semoga
kesejahteraan dan rahmat Allah terlimpahkan atas kamu sekalian."
Begitupula pada yang kiri. Beliau terkadang menambah kalimat "وَبَرَكَاتُهُ
(dan berkah-Nya)" pada salam pertama.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Rukun-Rukun Shalat
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
A. Rukun-Rukun Shalat
Shalat memiliki beberapa kewajiban dan rukun yang
hakekat shalat itu tersusun darinya. Sehingga, jika satu rukun saja tertinggal,
maka shalat tersebut tidak terealisir dan secara hukum tidak di-anggap (batal).
Berikut adalah rukun-rukunnya:
1. Takbiratul ihram
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَتَحْرِيْمُهَـا التَّكْبِيْرُ،
وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.
"Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya
adalah takbir dan penghalalnya adalah salam."[1]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata pada orang yang buruk shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ.
"Jika engkau hendak shalat, maka
bertakbirlah." [2]
2. Berdiri bagi yang mampu saat mengerjakan shalat
wajib
Allah berfirman:
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“... Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)
dengan khusyu'.” [Al-Baqarah: 238]
Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat
sambil berdiri. Beliau juga menyuruh 'Imran bin Hushain untuk mengerjakan yang
demikian. Beliau berkata kepadanya:
صَلِّ قَـائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ
لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.
"Shalatlah sambil berdiri. Jika engkau tidak
bisa, maka (shalatlah) sambil duduk. Jika tidak bisa, maka (shalatlah) dengan
(tidur) miring (yaitu di atas tubuh bagian kanan dengan wajah menghadap
kiblat.-ed." [3]
3. Membaca al-Faatihah pada setiap raka'at
Dari 'Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
"Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca
fatihatul kitab (al-Faatihah)."[4]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang
yang buruk shalatnya untuk membacanya kemudian berkata, "Kemudian
lakukanlah yang seperti itu pada seluruh shalatmu." [5]
4, 5. Ruku' secara thuma'ninah (tenang)
Berdasarkan firman Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.” [Al-Hajj: 77]
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
orang yang buruk shalatnya:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَعِنَّ رَاكِعًا.
"Kemudian ruku'lah hingga kau merasa tenang
dalam ruku'mu." [6]
6, 7. Berdiri
tegak setelah ruku' sambil thuma'ninah di dalamnya
Dari Abu Mas'ud al-Anshari Radhiyallahu anhuma. Dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak
diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan punggungnya dalam ruku' dan
sujud." [7]
Beliau juga berkata kepada orang yang buruk
shalatnya:
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا.
"Kemudian bangkitlah hingga kau tegak
berdiri." [8]
8, 9. Sujud dan thuma'ninah di dalamnya
Berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu,
sujudlah kamu...” [Al-Hajj: 77]
.
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm
terhadap orang yang buruk shalatnya, "Kemudian bersujudlah hingga engkau
thuma’ninah dalam sujudmu. Lalu bangkitlah hingga engkau thuma’ninah dalam
dudukmu. Lantas bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu." [9]
Anggota sujud:
Dari Ibnu 'Abbas, dia mengatakan bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى
الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ، وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ
الْقَدَمَيْنِ.
"Aku diperintah untuk bersujud di atas tujuh
tulang: di atas dahi, -sambil menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua
lutut, serta ujung jari-jemari kedua kaki." [10]
Juga dari Ibnu 'Abbas, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ اْلأَرْضِ
مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ.
"Tidak (sempurna) shalat orang yang tidak
menempelkan hidungnya ke tanah sebagaimana menempelkan dahinya." [11]
10, 11. Duduk di antara dua sujud serta thuma'ninah
padanya
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, "Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan
(meluruskan) punggungnya dalam ruku' dan sujud."
Juga berdasarkan perintah beliau pada orang yang
buruk shalatnya agar melakukan hal ini, sebagaimana telah dibicarakan dalam
pembahasan sujud.
12. Tasyahhud akhir
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Sebelum diwajibkan tasyahhud, dulu kami mengucapkan:
"اَلسَّلاَمُ عَلَـى اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَـى جِبْرِيْلَ
وَمِيْكَـائِيْلَ،" فَقَـالَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: لاَ تَقُوْلُوْا هكَذَا، وَلكِنْ قُوْلُوْا: اَلتَّحِيَّاتُ للهِ...
"Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Allah.
Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Jibril dan Mikail." Lalu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Janganlah kalian mengucapkan seperti
itu. Tapi ucapkanlah, 'Segala penghormatan... [12]
Catatan:
Riwayat paling shahih tentang tasyahhud adalah
riwayat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengajariku tasyahhud secara langsung sebagaimana mengajariku
surat al-Qur-an.
"التَّحِيَّاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ،
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ."
“Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitupula
seluruh pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas
engkau, wahai Nabi. Begitu pula kasih sayang Allah dan berkahNya. Mudah-mudahan
kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya."[13]
Catatan lain:
Sabda beliau:
"اََلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ."
"Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau,
wahai Nabi. Begitupula kasih sayang Allah dan barakah-Nya."
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h (II/314),
"Terdapat pada sejumlah jalur hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu ini adanya konsekuensi
perbedaan antara zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan kita) sehingga
(pada waktu itu) diucapkan dengan lafazh kalimat langsung. Adapun (zaman)
selanjutnya, maka diucapkan dengan lafazh tidak langsung. Dalam kitab
"al-'Isti'dzan" pada Shahiih al-Bukhari dari jalur Abu Ma’mar, dari
Ibnu Mas'ud. Setelah menyebutkan hadits tasyahhud dia berkata, "Beliau
(masih) berada di antara kami. Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ،
يَعْنِيْ عَلىَ النَّبِيِّ (semoga kesejahteraan terlimpahkan, -maksudnya- atas
Nabi), maksudnya kepada Nabi." Seperti itulah disebutkan dalam al-Bukhari.
Abu 'Awwanah juga mengeluarkannya dalam kitab Shahiihnya. Begitu pula as-Siraj,
al-Jauzaqi, Abu Nu'aim al-Ashbahani, dan al-Baihaqi dari berbagai jalur menuju
Abu Nu'aim guru al-Bukhari. Di situ disebutkan dengan lafazh, "Ketika
beliau meninggal, kami mengucapkan "اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ"
tanpa lafazh: يعنى (maksudnya). Begitupula riwayat Abu Bakr bin Abi Syaibah
dari Abu Nu'aim.
As-Subki berkata dalam Syarh al-Minhaaj setelah
menyebutkan riwayat ini dari jalur Abu 'Awwanah secara sendiri, "Jika
benar ini dari Sahabat, maka menunjukkan bahwa kalimat langsung dalam salam
setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak wajib. Maka dikatakan: “اَلسَّلاَمُ
عَلَى النَّبِيِّ”. Saya berkata (al-Hafizh), “Riwayat tersebut shahih tidak
diragukan lagi. Saya telah menemukan jalur lain yang menguatkan. 'Abdurrazzaq
berkata, "Ibnu Juraij memberitahu kami, dia berkata, 'Atha’ memberitahuku
bahwa dulu semasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup para Sahabat
mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَـا النَّبِيُّ”. Ketika beliau sudah
meninggal, mereka mengatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Ini adalah sanad
yang shahih.
Al-Albani berkata dalam Shifatush Shalaah (hal.
126), "Itu pasti berdasarkan petunjuk langsung dari beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Hal ini juga diperkuat oleh riwayat 'Aisyah Radhiyallahu
anhuma yang menyatakan bahwa dia mengajari mereka tasyahhud dalam shalat: “اَلسَّلاَمُ
عَلَى النَّبِيِّ” diriwayatkan as-Siraj dalam Musnadnya (II/1/9) dan Mukhallash
dalam al-Fawaa-id (I/54/11) dengan dua sanad yang shahih dari ‘Aisyah.
13. Shalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
setelah tasyahhud akhir
Berdasarkan hadits Fadhalah bin 'Ubaid al-Anshari:
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang
sedang shalat. Dia tidak memuji dan mengagungkan Allah. Tidak pula bershalawat
atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia lalu pergi. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam lantas berkata, "Orang ini terlalu tergesa-gesa."
Kemudian beliau memanggilnya lalu berkata kepadanya dan kepada selainnya,
"Jika salah seorang di antara kalian shalat, hendaklah ia memulai dengan
sanjungan dan pujian pada Rabb-nya lalu bershalawat atas Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Setelah itu dia boleh berdo’a sesuka hatinya." [14]
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Seorang laki-laki datang dan duduk di depan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, sedangkan kami berada di sisi beliau. lalu dia berkata,
"Wahai Rasulullah, adapun mengucap salam atas engkau, maka kami sudah
tahu. Lalu bagaimanakah kami bershalawat atas engkau jika kami bershalawat atas
engkau dalam shalat-shalat kami? Semoga Allah mencurahkan keselamatan-Nya atas
engkau?" Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, "Beliau terdiam hingga kami
berharap laki-laki itu tak pernah menanyainya (seperti itu)." Beliau
kemudian berkata, "Jika kalian bershalawat atasku, maka ucapkanlah:
"اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ..."
“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, Nabi yang
buta huruf, serta kepada keluarga Muhammad...” [15]
Catatan:
Kalimat shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang terbaik adalah yang diriwayatkan Ka'b bin 'Ujrah, dia mengatakan bahwa
kami berkata, "Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui atau mengenal
bagaimana mengucap salam atas engkau. Lalu bagaimana dengan shalawatnya?"
beliau berkata, "Ucapkanlah:
"اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللّهُمَّ بَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ."
"Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, dan
kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung. Serta berilah
berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah
memberikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan
Mahaagung.” [16]
14. Salam
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
:
مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَالتَّحْرِيْمُهَا
التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.
"Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya
adalah takbir dan penghalalnya adalah salam."[17]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Kewajiban-Kewajiban Shalat
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
B. Kewajiban-Kewajiban Shalat
1. Takbir al-intiqal (takbir yang mengiringi
perubahan gerakan) dan ucapan:
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri hendak shalat, maka
beliau bertakbir ketika berdiri. Kemudian bertakbir ketika ruku', kemudian mengucapkan:
“سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)” ketika
mengangkat punggungnya dari ruku'. Kemudian mengucapkan, "رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
(Rabb kami, untuk-Mu segala puji)" sambil berdiri. Kemudian bertakbir
ketika menyungkur sujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya.
Kemudian bertakbir ketika bersujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat
kepalanya. Kemudian melakukan semua itu pada semua shalatnya hingga selesai.
Beliau bertakbir ketika bangkit dari raka'at kedua setelah duduk
(tasyahhud)." [1]
Beliau juga bersabda:
"صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ."
"Shalatlah sebagaimana kalian melihatku
shalat." [2]
Beliau juga menyuruh orang yang tidak menyempurnakan
shalatnya dan berkata, "Sesungguhnya belumlah sempurna shalat seseorang
dari manusia hingga ia berwudhu' kemudian meletakkan air wudhu'nya (tempat
wudhu’nya) kemudian bertakbir dan memuji dan menyanjung Allah Azza wa Jalla.
Lalu membaca (beberapa ayat) al-Qur-an sesuka hatinya. Kemudian mengucapkan: “اللهُ
أَكْبَرُ (Allah Mahabesar)." Kemudian ruku' hingga persendiannya tenang.
Lalu mengucapkan: “سَـمِعَ اللهُ لِـمَنْ حَـمِِدَه” hingga berdiri tegak.
Kemudian mengucapkan: “اللهُ أَكْبَرُ”. Kemudian sujud hingga persendiannya
tenang. Kemudian mengucapkan: “اللهُ أَكْبَـرُ” sambil mengangkat kepalanya
hingga duduk tegak. Kemudian mengucap-kan: “اللهُ أَكْبَرُ”. Kemudian bersujud
hingga tenang persendiannya. Kemudian mengangkat kepalanya lalu bertakbir. Jika
dia melakukan itu, maka telah sempurnalah shalatnya." [3]
2. Tasyahhud awal
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia mengatakan
bahwa sesungguhnya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika
kalian duduk pada setiap raka'at, maka katakanlah:
"اَلتَّحِيَّـاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَـاتُ،
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَـاتُهُ، اَلسَّلاَمُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْـنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ، وَأَشْـهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ."
‘Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitu pula
semua pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpah-kan atas engkau,
wahai Nabi. Begitu pula kasih sayang Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan
kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku
ber-saksi tidak ada ilah yang layak diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.’ Setelah itu hendaklah salah seorang
di antara kalian memilih do’a yang ia sukai. Lalu hendaklah ia menyeru Rabb-nya
Azza wa Jalla dengannya (do’a itu)." [4]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm juga menyuruh
orang yang buruk shalatnya dan mengatakan, "Jika engkau duduk dalam
pertengahan shalat, maka tenangkanlah dirimu, gelarlah paha kirimu kemudian
bertasyahhudlah." [5]
3. Wajib meletakkan sutrah (pembatas) di hadapannya
jika hendak shalat. Pembatas itu untuk menghalangi orang yang lewat dan
membatasi pandangannya dari melihat apa yang berada di baliknya
Dari Sahl bin Abi Hatsmah Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِِِِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ،
وَلِيَدْنُ مِنهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ.
"Jika salah seorang di antara kalian shalat,
maka hendaklah shalat menghadap ke pembatas dan mendekat padanya agar syaitan
tidak memutus shalatnya." [6]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ.
"Janganlah engkau shalat kecuali menghadap ke
pembatas. Dan janganlah engkau biarkan seorang pun lewat di depanmu. Jika dia
membantah, maka perangilah (lawanlah) ia. Karena sesungguhnya ia bersama
syaitan." [7]
Pembatas bisa berupa tembok, drum, tongkat yang
dibenamkan, dan hewan tunggangan yang ditambatkan. Hendaklah ia shalat dengan
menghadap ke sana. Ukuran minimalnya adalah seperti pelana tunggangan.
Berdasarkan hadits Musa bin Thalhah dari ayahnya,
dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ
الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذلِكَ.
"Jika salah seorang telah meletakkan (pembatas)
seukuran pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat. Dan janganlah ia
hiraukan siapa saja yang lewat di belakang (pembatas) itu." [8]
C. Jarak Kedekatan Antara Orang yang Shalat dan
Pembatasnya
Dari Bilal Radhiyallahu anhu, dia mengatakan:
أَنَّهُ صَلَّّى وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ نَحْوَ
مِنْ ثَلاَثَةِ أَذْرَعِ.
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat.
Sedangkan antara dia dan tembok berjarak tiga siku (hasta)." [9]
Juga dari Sahl bin Sa'd Radhiyallahu anhu, dia
berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ.
"Jarak antara tempat sujud Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok adalah selebar jalan kambing."
[10]
Jika telah meletakkan pembatas, maka janganlah
membiarkan seorang pun lewat antara dia dan pembatas.
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَـانَ
يُصَلِّي فَمَرَّتْ شَاةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَسَاعَاهَا إِلَى الْقِبْلَةِ حَتَّى أَلْزَقَ
بَطْنَهُ بِالْقِبْلَةِ.
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang
shalat. Kemudian seekor kambing lewat di hadapannya, maka beliau pun
mendahuluinya ke kiblat hingga beliau tempelkan perutnya ke kiblat." [11]
Juga dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلاَ يَدَعْ أَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهَ، وَلْيَدْرَأُهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ
فَإِنَّمَا هُوَ الشَّيْطَانُ.
"Jika kalian shalat, maka janganlah membiarkan
seorang pun lewat di depannya. Dan hendaklah ia tahan semampunya. Jika dia
membangkang, maka perangilah (lawanlah), karena sesungguhnya ia adalah
syaitan." [12]
Jika tidak meletakkan pembatas, maka shalatnya dapat
terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam (yang lewat di depannya-ed.):
Dari 'Abdullah bin ash-Shamit, dari Abu Dzar, dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَـامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يُسْتَرَهُ
إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ
يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ
وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ. قُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ مَا بَالُ الْكَلْبِ اْلأَسْوَدِ
مِنَ الْكَلْبِ اْلأَحْمَرِ وَمِنَ الْكَلْبِ اْلأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا ابْنَ أَخِيْ
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِيْ فَقَالَ:
"اَلْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ شَيْطَانٌ."
"Jika salah seorang dari kalian shalat, maka
dia terbatasi jika di hadapannya terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan
tunggangan. Jika di hadapannya tidak terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan
tunggangan, maka shalatnya terputus oleh keledai, wanita, dan anjing
hitam." Aku berkata, "Wahai Abu Dzarr, apa bedanya antara anjing
hitam dengan anjing merah atau anjing kuning?" dia berkata, "Wahai
anak saudaraku, aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam sebagaimana engkau bertanya kepadaku. Lalu beliau menjawab, "Anjing
hitam adalah syaitan." [13]
Diharamkan lewat di depan orang yang sedang shalat.
Dari Abu Juhaim Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا
عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ
يَدَيْهِ.
"Seandainya orang yang lewat di depan orang
yang shalat mengetahui balasan yang menimpanya, niscaya berdiri selama empat
puluh lebih baik baginya daripada lewat di depannya." [14]
Pembatas imam adalah pembatas bagi makmum
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَـانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ
قَدْ نَـاهَزْتُ اْلاِحْتِلاَمَ وَرَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنَى. فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ
اْلأَتَانِ تَرْتَعُ. وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ. فَلَمْ يُنْكِرْ ذلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ.
"Aku tiba dengan mengendarai unta betina.
Sedangkan aku pada waktu itu telah baligh. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam sedang mengimami manusia di Mina. Lalu aku lewat di depan shaff, maka
aku turun dan melepaskan unta betina agar makan. Aku masuk shaff dan tak
seorang pun mencelaku atas perbuatan itu." [15]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Sunnah-Sunnah Shalat : Sunnah Ucapan
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
D. Sunnah-Sunnah Shalat
Sunnah-sunnah shalat terbagi dua; sunnah ucapan dan
sunnah perbuatan.
1. Sunnah-Sunnah Ucapan:
a. Membaca do’a istiftah
Do’a istiftah yang paling baik adalah yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dia berkata, "Jika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat, beliau diam
sejenak sebelum membaca (al-Faatihah). Aku berkata, "Wahai Rasulullah,
ayah ibuku menjadi penebusmu. Saya melihat Anda terdiam antara takbir dan membaca
(al-Faatihah). Apakah yang Anda baca? Beliau berkata, "Aku membaca:
"اَللّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ
كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ
كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اَللّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ
خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ الْبَرَدِ."
"Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan dosaku
sebagaimana Kau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari
dosa-dosaku sebagaimana kain putih tersuci dari noda. Ya Allah, basuhlah aku
dari dari dosa-dosaku dengan salju, air, dan es (embun)." [1]
b. Membaca isti'adzah
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca al-Qur-an, hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” [An-Nahl: 98]
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Jika hendak shalat, beliau membaca
do’a istiftah lalu membaca:
"أَعُوْذُ بِـاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفَثِهِ."
"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat dari syaitan yang terkutuk, dari bisikan, tiupan,
dan godaannya." [2]
c. Mengucapkan amin
Dari Wa-il bin Hujr Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca: “وَلاَ الضَّالّيِنْ”
beliau mengucap “آمِيْن” sambil mengeraskan suaranya."[3]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَمَّنَ اْلإِمَامُ فَأَمِّنُوْا، فَإِنَّهُ مَنْ
وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ تَأْمِيْنَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
"Jika imam mengucap amin, maka ucapkanlah amin.
Sesungguhnya orang yang ucapan aminnya bertepatan dengan ucapan amin para
Malaikat akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." [4]
d. Membaca (surat) setelah al-Faatihah
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Pada dua raka'at pertama shalat Zhuhur, Nabi Shallallahu 'alaihim membaca
al-Faatihah dan dua surat. Beliau memanjangkan raka'at pertama dan memendekkan
raka'at kedua. Terkadang beliau memperdengarkan (bacaan) ayatnya. Pada dua
raka'at pertama shalat 'Ashar beliau juga membaca al-Faatihah dan dua surat.
Beliau memanjangkan raka'at pertama shalat Shubuh dan memendekkan raka'at
kedua." [5]
Juga dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia
berkata, "Pada dua raka'at pertama shalat Zhuhur dan 'Ashar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca al-Faatihah dan surat. Beliau terkadang
memperdengarkan (bacaan) ayatnya. Pada dua raka'at terakhir beliau membaca
al-Faatihah." [6]
Disunnahkan membaca (surat) pada dua raka'at
terakhir, jika dilakukan secara temporer (kadang-kadang)
Berdasarkan hadits Abu Sa'id: "Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam membaca (surat) pada dua raka'at shalat Zhuhur. Pada dua
raka’at pertama sekitar tiga puluh ayat. Dan pada dua raka'at terakhir sekitar
lima belas ayat. Atau dia berkata, "Separuhnya." Dan pada shalat
'Ashar pada dua raka'at pertama setiap raka'atnya membaca sekitar lima belas
ayat. Sedang pada dua raka'at terakhir sekitar setengahnya." [7]
Disunnahkan mengeraskan bacaan dalam shalat Shubuh
dan dua raka'at pertama pada shalat maghrib dan 'isya'. Serta memelankannya
pada shalat Dzuhur dan 'Ashar, juga pada raka'at ketiga dari shalat Maghrib dan
dua raka'at terakhir pada shalat 'Isya'."
e. Membaca tasbih saat ruku' dan sujud
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Aku shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam ruku'nya
beliau membaca:
"سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ."
"Mahasuci Rabb-ku Yang Mahaagung."
Dan dalam sujudnya beliau membaca:
"سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى."
“Mahasuci Rabb-ku Yang Mahatinggi.” [8]
Dari 'Utbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, dia
berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ruku', beliau
membaca:
"سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ."
‘Mahasuci Rabb-ku Yang Mahaagung dan dengan
memuji-Nya,’ tiga kali'.
Dan jika sujud membaca:
"سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ."
‘Mahasuci Rabb-ku Yang Mahatinggi dan dengan
memuji-Nya,’ tiga kali." [9]
f. Menambah do’a bangkit dari ruku'
"رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ."
Dengan salah satu tambahan berikut ini:
"مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا،
وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ."
Jika suka, dibolehkan cukup sampai pada tambahan
ini. Namun jika mau dibolehkan menyempurnakannya dengan ucapan:
"أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ
الْعَبْدُ، وُكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ
لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ."
"Yang Maha berhak atas sanjungan dan kemuliaan.
Serta Yang paling berhak atas ucapan seorang hamba. Dan kami semua adalah
hamba-Mu. Tidak ada yang menghalangi apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada
yang mampu memberi apa yang Engkau tahan. Sehingga tidak bermanfaatlah bagi pemilik
kekayaan. Karena dari-Mu-lah kekayaan itu." [10]
"رَبَّنَـا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا
مُبَارِكًا فِيْهِ (مُبَارَكًا عَلَيِهِ)، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى."
"Ya Rabb kami, bagi-Mu-lah segenap pujian yang
baik dan penuh berkah. Sebagaimana yang disukai Rabb kami dan di-ridhai-Nya."
[11]
g. Membaca do’a di antara dua sujud
Dari Hudzaifah, dia berkata, "Pada saat berada
di antara dua sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan:
"رَبِّ اغْفِرْ لِيْ، رَبِّ اغْفِرْ لِيْ."
"Ya Rabb-ku, ampunilah aku. Ya Rabb-ku,
ampunilah aku." [12]
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Pada saat berada di antara dua sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengucap:
"اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ
وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ."
"Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku,
cukupilah kekuranganku, tunjukilah aku dan karuniakanlah rizki kepadaku."
[13]
h. Mengucapkan shalawat atas Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam setelah tasyahhud awal. Berdasarkan perbuatan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Dahulu kami menyiapkan siwak dan air wudhu' untuk Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kemudian Allah membangunkan beliau pada malam hari menurut
kehendak-Nya. Beliau kemudian bersiwak dan wudhu' lalu shalat sembilan raka'at
tanpa duduk kecuali pada raka'at ke delapan. Kemudian beliau berdo’a kepada
Rabb-nya dan bershalawat atas Nabi-Nya. Setelah itu bangkit tanpa salam lalu
(melanjutkan) shalat (raka’at) kesembilan lantas duduk. Kemudian memuji
Rabb-nya, dan bershalawat atas Nabi-Nya, berdo’a, lalu salam... [14]
i. Membaca do’a baik setelah tasyahhud awal maupun
kedua
Adapun pada tasyahhud awal, maka dalilnya adalah:
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia mengatakan
bahwa sesungguhnya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"إِذَا قَعَدْتُمْ فِيْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَقُوْلُوا:
اَلتَّحِيَّاتُ للهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَـاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلى عِبَادِ
اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْـهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. ثُمَّ لِيَتَّخِيْرَ أَحَدُكُمْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبُهُ
إِلَيْهِ، فَلْيَدْعُ رَبَّهُ عزوجل."
"Jika kalian duduk pada setiap dua raka'at,
maka ucapkanlah: ‘Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitupula seluruh
pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai
Nabi. Begitupula kasih sayang Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan
tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi
tidak ada ilah yang layak diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.’ Setelah itu, hendaklah salah seorang di
antara kalian memilih do’a yang paling ia sukai lalu hendaklah ia berdo’a kepada
Rabb-nya Azza wa Jalla." [15]
Sedangkan pada tasyahhud yang kedua, maka dalilnya
adalah:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ اْلآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ
بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ
فِتْنَةِ الْمَحْيَـا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.
"Jika salah seorang di antara kalian selesai
dari tasyahhud akhir, maka hendaklah ia berlindung dari empat perkara: dari
siksa Jahannam, siksa kubur, fitnah kehidupan dan fitnah kematian, serta
kejahatan al-Masih ad-Dajjal." [16]
j. Mengucapkan salam yang kedua
Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm dulu
mengucapkan dua kali salam. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Mas'ud
Radhiyallahu anhuma : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucap salam
ke kanan dan ke kiri:
"اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ."
“Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas kamu
sekalian, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya.”
Dan:
"اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ."
“Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurahkan
kepada kamu sekalian.”
Hingga tampaklah putih pipinya." [17]
Terkadang beliau mengucapkan salam sekali saja,
sebagaimana diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma: "Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucap salam dalam shalat dengan sekali salam dari
depan wajahnya dengan sedikit miring ke sisi kanan." [18]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Sunnah-Sunnah Shalat : Sunnah Perbuatan
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
2. Sunnah-Sunnah Perbuatan:
a. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram
Begitupula ketika ruku', i'tidal, serta bangkit dari
tasyahhud awal.
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma : "Ketika
memulai shalat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua
tangannya setinggi bahu, begitupula saat takbir hendak ruku'. Beliau juga
mengangkat keduanya saat mengangkat kepala dari ruku'." [1]
Juga dari Nafi': "Jika Ibnu 'Umar Radhiyallahu
anhuma memulai shalat, dia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika
hendak ruku', dia angkat kedua tangannya. Dan saat mengucapkan: "سَمِعَ اللهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ" dia angkat kedua tangannya. Dan jika bangkit dari dua
raka'at, dia angkat kedua tangannya. Dia menisbatkannya kepada Nabi Allah
Shallallahu 'alaihi wa sallam." [2]
Disunnahkan mengangkat kedua tangan secara
kadang-kadang ketika turun dan bangkit.
Berdasarkan hadits Malik bin al-Huwairits: “Dia
melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dalam
shalat ketika ruku', ketika mengangkat kepala dari ruku', ketika sujud, dan
ketika mengangkat kepala dari sujud. Hingga beliau menyejajarkan kedua
tangannya dengan bagian atas telinganya.” [3]
b. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di
atas dada
Dari Sahl bin Sa'd, dia berkata, "Dulu
orang-orang diperintahkan agar masing-masing mereka meletakkan tangan kanannya
di atas tangan kirinya dalam shalat." Abu Hazim berkata, "Aku tidak
mengetahui melainkan hal itu dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam." [4]
Juga dari Wa-il bin Hujr, dia berkata, "Aku
shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada." [5]
c. Melihat ke tempat sujud
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki Ka'bah, tidaklah
pandangannya bergeser dari tempat sujudnya. Hingga beliau keluar darinya."
[6]
d. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits-hadits berikut ini ketika ruku'
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ruku', beliau tidak
mendongakkan kepalanya dan tidak pula merundukkannya. Akan tetapi di antara
keduanya." [7]
Dan dari Abu Humaid ketika menggambarkan shalat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berkata, "Jika ruku', beliau tekankan
kedua tangannya pada kedua lutut. Kemudian beliau rentangkan punggungnya dengan
lurus." [8]
Juga dari Wa-il bin Hujr, "Ketika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ruku', beliau rentangkan jari-jemarinya."
[9]
Dari Abu Humaid: "Ketika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam ruku', beliau letakkan kedua tangannya di atas lututnya
seakan-akan mengenggamnya. Kemudian beliau merenggangkan (sedikit
membengkokkan) kedua tangannya dan menjauhkannya dari lambung." [10]
e. Mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut
ketika turun sujud
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ
الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.
"Jika salah seorang dari kalian sujud, maka
janganlah men-derum sebagaimana menderumnya unta. Hendaklah ia meletakkan kedua
tangannya sebelum kedua lututnya." [11]
f. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebut
dalam hadits-hadits berikut ini ketika sujud
Dari Abu Humaid ketika menggambarkan shalat Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata: "Jika sujud, beliau meletakkan
kedua tangannya tanpa menggelarnya (di atas lantai) dan tidak pula
menggenggamnya. Beliau hadapkan ujung jari-jemari kedua kakinya ke arah
kiblat." [12]
Dari al-Bara', ia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ.
"Jika engkau sujud, maka letakkanlah kedua
telapak tanganmu. Dan angkatlah kedua siku tanganmu." [13]
Dari 'Abdullah bin Malik bin Buhainah Radhiyallahu
anhu, "Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, beliau rentangkan
kedua tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya." [14]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Aku mencari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tadi bersamaku
di ranjang. Lalu aku mendapatkannya sedang sujud sambil menggabungkan
(merapatkan) kedua tumitnya dan menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat."
[15]
Dari Wa-il bin Hujr Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Aku datang ke Madinah dan berkata, "Sungguh aku akan melihat shalat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." Dia kemudian menyebutkan
beberapa hadits dan berkata, "Kemudian beliau menyungkur sujud dan
kepalanya berada di antara kedua telapak tangannya…" [16]
Dari Wa-il bin Hujr Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sujud, beliau rapatkan
jari-jemarinya." [17]
Dari al-Barra', dia berkata, "Jika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salalm sujud dan meletakkan kedua tangannya di atas
lantai, beliau hadapkan kedua telapak tangan dan jari-jemarinya ke
kiblat." [18]
g. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits-hadits berikut ini ketika duduk di antara dua sujud
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Beliau menggelar (membentangkan) kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya."[19]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu ahuma, dia berkata,
"Termasuk sunnah shalat adalah menegakkan kaki kanan dan menghadapkan
jari-jemarinya ke kiblat serta duduk di atas kaki kiri." [209]
Dari Thawus rahimahullah, dia berkata, "Kami
berkata kepada Ibnu 'Abbas tentang duduk di atas kedua telapak kaki." Dia
berkata, "Itu termasuk sunnah." Kami berkata padanya, "Tetapi
kami memandangnya tidak pantas bagi laki-laki." Ibnu 'Abbas lalu berkata,
"Bahkan, itulah sunnah Nabimu." [21]
h. Tidak bangkit dari sujud melainkan setelah duduk
tegak
Dari Abu Qilabah, dia mengatakan bahwa kami
diberitahu Malik bin al-Huwairits al-Laitsi, "Dia melihat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam sedang shalat. Jika beliau berada pada raka'at ganjil dari
shalatnya, beliau tidak bangkit melainkan setelah duduk tegak." [22]
i. Bertumpu pada lantai ketika berdiri dari sebuah
raka'at
Dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dia berkata,
"Malik bin al-Huwairits mendatangi kami. Lalu dia mengimami kami shalat
dalam masjid kami ini. Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak ingin
mengimami kalian dan tidak ingin shalat. Akan tetapi aku ingin menunjukkan pada
kalian bagaimana aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat.’
Ayyub berkata, "Aku berkata pada Abu Qilabah, "Bagaimanakah shalat
beliau?" Dia berkata, "Seperti shalat syaikh kita ini, yaitu 'Amr bin
Salamah." Ayyub berkata, "'Amr bin Salamah menyempurnakan takbir.
Jika mengangkat kepalanya dari sujud kedua, dia duduk dan bertumpu pada lantai
kemudian berdiri." [23]
j. Melakukan duduk pada dua tasyahhud sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.
Dari Abu Humaid, dia berbicara tentang cara shalat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Jika duduk pada dua raka'at, beliau
duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Dan jika duduk pada
raka'at terakhir, beliau masukkan kaki kirinya, menegakkan kaki yang satunya,
dan duduk di atas pantatnya." [24]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma : "Jika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk dalam shalat, beliau letakkan
telapak tangan kanannya di atas paha kanannya. Beliau genggam semua
jari-jemarinya dan menunjuk dengan jari yang dekat ibu jari (jari telunjuk).
Dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya." [25]
Dari Nafi', dia berkata: "Jika 'Abdullah Ibnu
'Umar Radhiyallahu anhuma duduk dalam shalat, dia letakkan kedua tangannya di
atas kedua lututnya. Dia menunjuk dengan jarinya dan mengikutinya dengan
pandangannya. Kemudian dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
لَهِيَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيْدِ.
"Bagi syaitan, ia memiliki pengaruh yang lebih
dahsyat dari-pada besi.”
Maksudnya jari telunjuk. [26]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Dzikir Dan Do’a Yang Disyari'atkan Setelah Shalat
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
E. Dzikir Dan Do’a yang Disyari'atkan Setelah Shalat
1. Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, beliau
beristighfar tiga kali dan mengucap:
"اَللّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ
تَبَـارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَام."
"Ya Allah, Engkaulah Pemberi keselamatan, dan
dari-Mu keselamatan. Mahasuci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan
kemuliaan."
Al-Walid berkata, "Aku berkata pada al-Auza'i:
"Bagaimana istighfar itu?" Dia berkata: "Ucapkanlah [1]: "أَسْتَغْفِرُ
اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ.”
2. Dari Abu az-Zubair, dia berkata, "Dulu,
ketika Ibnu az-Zubair selesai salam pada akhir shalat, dia mengucap:
"لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ،
لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ."
"Tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain
Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya seluruh kerajaan dan bagi-Nya
segala puji. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi
melainkan Allah. Kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Bagi-Nya nikmat,
anugerah, dan pujian yang baik. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan
Allah, dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir benci.”
Dia berkata, "Dahulu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bertahlil dengan do’a tersebut pada akhir setiap
shalat." [2]
3. Dari Warrad bekas budak al-Mughirah bin Syu'bah, dia
berkata, "Al-Mughirah bin Syu'bah menulis surat kepada Mu'awiyah, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika selesai shalat dan salam, beliau
mengucap:
"لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، اَللّهُمَّ
لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ
مِنْكَ الْجَدُّ."
"Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
haq selain Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya-lah segala kerajaan dan
bagi-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala se-suatu. Ya Allah, tidak
ada yang menghalangi apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang mampu memberi
apa yang Engkau tahan. Tidaklah bermanfaat bagi pemilik kekayaan. Karena dari-Mu-lah
kekayaan itu." [3] *
4. Dari Ka'b bin 'Ujrah, dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa salalm, beliau bersabda:
مُعَقَّبَاتٌ لاَ يُخِيْبُ قَائِلُهُنَّ -أَوْ فَاعِلُهُنَّ-
: ثَلاَثَ وَثَلاَثُوْنَ تَسْبِيْحَةٍ، وَثَلاَثُ وَثَلاَثُوْنَ تَحْمِيْدَةٍ، وَأَرْبَعُ
وَثَلاَثُوْنَ تَكْبِيْرَةٍ، فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ.
"Do’a setelah shalat yang tidak akan merugi
orang yang membacanya atau yang melakukannya: tigapuluh tiga tasbih, tigapuluh
tiga tahmid, dan tigapuluh empat takbir, pada akhir setiap shalat." [4]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ سَبَّحَ اللهَ ِفِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا
وَثَلاَثِيْنَ، وَحَمَّدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا
وَثَلاَثِيْنَ، فَتِلْكَ تِسْعَةُ وَتِسْعُوْنَ، وَقَالَ: تَمَامُ الْمِائَةِ:
"لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ ْالْمُلْكُ وَلَهُ
الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلـى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ،" غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ
كَانَتْ مِثْلُ زُبَدِ الْبَحْرِ.
"Barangsiapa bertasbih kepada Allah tigapuluh
tiga kali pada akhir setiap shalat, bertahmid kepada Allah tigapuluh tiga kali,
dan bertakbir kepada Allah tigapuluh tiga kali, hingga semua itu mencapai
sembilan puluh sembilan. Kemudian menyempurnakan seratus dengan membaca:
"Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan haq selain Allah. Tiada
sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dan
Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." Maka di-ampunilah dosa-dosanya
meskipun sebanyak buih di lautan."[5]
5. Dari Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, dia
berkata, "Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memegang tanganku dan berkata, ‘Wahai Mu'adz, demi Allah, sesungguhnya aku
benar-benar mencintaimu.’ Lalu aku berkata, "Ayah-ibuku menjadi penebus
engkau, demi Allah, sesungguhnya aku juga benar-benar mencintaimu." Beliau
berkata, ‘Wahai Mu'adz, sesungguhnya aku berwasiat kepadamu. Janganlah engkau
tinggalkan untuk mengucapkan pada akhir tiap shalat:
"اَللّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ
وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ."
"Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa
mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan
sebaik-baiknya." [6]
6. Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِـيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ
مَكْتُوْبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ الْجَنَّةِ إِلاَّ أَنْ يَمُوْتَ.
"Barangsiapa membaca ayat Kursi pada akhir tiap
shalat wajib, maka tidak ada yang menghalanginya masuk Surga kecuali
mati." [7]
Muhammad bin Ibrahim menambahkan dalam haditsnya:
"Dan (surat) Qul Huwwallahu Ahad.”
7. Dari 'Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, dia
berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm menyuruhku membaca
al-mu'awwidzat (surat al-Falaq dan an-Naas) pada setiap akhir shalat." [8]
8. Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhu. Dahulu, jika
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai salam shalat Shubuh, beliau membaca:
"اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا،
وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً."
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang
bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima." [9]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Dimakruhkan Dalam Shalat, Diperbolehkan Dalam Shalat
Dan Yang Membatalkan Shalat
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
F. Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Shalat:
1. Bermain-main dengan pakaian atau anggota badan
tanpa keperluan
Dari Mu'aiqib Radhiyallahu anhu : "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada orang yang mengusap debu ketika
sujud, ‘Jika engkau melakukannya, maka cukup sekali saja.’" [1]
2. Berkacak pinggang
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:
نُهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصَرًا.
"Dilarang shalat sambil berkacak
pinggang." [2]
3. Mengangkat pandangan ke langit
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ
عِنْدَ الدُّعَاءِ فِي الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.
"Hendaklah orang-orang berhenti mengangkat
pandangan mereka ke langit ketika berdo’a dalam shalat atau mata mereka akan
tersambar." [3]
4. Menoleh tanpa keperluan
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang
menoleh dalam shalat. Lalu beliau bersabda:
هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ
الْعَبْدِ.
"Ia merupakan sebuah curian yang dilakukan
syaitan terhadap shalat seorang hamba." [4]
5. Memandang pada sesuatu yang memalingkan
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan pakaian yang ada tandanya. Kemudian
beliau bersabda:
شَغَلَتْنِيْ أَعْلاَمُ هذِهِ، اِذْهَبُوْا بِهَـا إِلَى
أَبِيْ جَهْمٍ، وَأْتُوْنِـيْ بِأَنْبِجَانِيَّةِ.
"Tanda pada pakaian ini telah menyibukkanku.
Bawalah ia ke Abu Jahm dan bawakan aku anbijaniyyah (pakaian tebal dari wol
yang tidak ada tandanya)."[5]
6. Sadl dan menutup mulut
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يَغْطِيَ الرَّجُلُ فَاهُ.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang sadl dan menutup mulut ketika shalat."[6]
Syamsul Haq berkata dalam 'Aunul Ma'buud (II/347):
Al-Khaththabi berkata: As-sadl adalah menjulurkan pakaian hingga menyentuh
tanah.
Disebutkan dalam an-Nailul Authaar: Abu 'Ubaidah
berkata tentang makna as-sadl adalah menjulurkan pakaian tanpa menyatukan kedua
sisinya ke depan. Jika disatukan ke depan, maka tidak dinamakan sadl. Pengarang
kitab an-Nihaayah berkata: Maknanya adalah berkemul dengan pakaiannya dan
memasukkan kedua tangan dari dalam lalu ruku' dan sujud dalam keadaan seperti
itu. Ini berlaku pada gamis dan jenis pakaian yang lain. Ada pula yang
mengatakan: meletakkan bagian tengah sarung di atas kepala dan menjulurkan
kedua tepiannya ke kanan dan ke kiri tanpa meletakkannya di atas kedua bahu.
Al-Jauhari berkata: sadala tsaubahu yasduluhu sadlan, dengan dhammah artinya
arkhahu (menjulurkannya). Tidak masalah mengartikan hadits pada semua arti ini,
karena sadl mengandung banyak arti. Membawa kalimat yang mengandung banyak arti
pada semua maknanya adalah madzhab yang kuat.
7. Menguap
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلتَّثَـاؤُبُ فِي الصَّلاَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا
تَثَـاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ.
"Menguap dalam shalat adalah dari syaitan. Jika
salah seorang dari kalian menguap, maka tahanlah sebisa mungkin." [7]
8. Meludah ke arah kiblat atau ke kanan
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى قِبَلَ وَجْهِهِ، فَلاَ يَبْصُقَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ وَلاَ عَنْ يَمِيْنِهِ.
وَلِيَبْصُقْ عَنْ يَسَـارِهِ تَحْتَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى، فَإِنْ عَجِلَتْ بِهِ بَادِرَةٌ
فَلْيَقُلْ بِثَوْبِهِ هكَذَا. ثُمَّ طَوَى ثَوْبَهُ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ.
"Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian
berdiri untuk shalat, maka sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala berada di
hadapannya. Maka janganlah ia meludah ke arah depan atau ke kanan. Hendaklah ia
meludah ke sebelah kiri di bawah kaki kirinya. Dan jika terlanjur keluar, maka
hendaklah ia tumpahkan ke pakaiannya." Beliau kemudian melipat bajunya
satu sama lain.[8]
9. Menyilangkan jari-jemari
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى
الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ، فَلاَ يَقُلْ هكَذَا، وَشَبَكَ بَيْنَ
أَصَابِعِهِ.
"Jika salah seorang di antara kalian wudhu' di
rumahnya kemudian mendatangi masjid, maka dia berada dalam sebuah shalat hingga
pulang. Janganlah ia melakukan seperti ini." Beliau menyilangkan
jari-jemarinya. [9]
10. Menggulung rambut dan pakaian
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ، لاَ أَكِفَّ شَعْرًا
وَلاَ ثَوْبًا.
"Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh
(anggota sujud) dan tidak menggulung rambut maupun pakaian."
11. Mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan
ketika sujud
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ
الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.
"Jika salah seorang di antara kalian hendak
sujud, maka janganlah turun sebagaimana unta menderum. Hendaklah ia letakkan
kedua tangannya sebelum kedua lututnya."
12. Membentangkan kedua tangan (menempel dengan
lantai) ketika sujud
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اِعْتَدِلُوْا فِـي السُّجُوْدِ، وَلاَ يَبْسُطُ أَحَدُكُمْ
ذِرَاعَيْهِ اِنْبِسَاطَ الْكَلْبِ.
"Bersikaplah pertengahan ketika sujud, dan
janganlah salah seorang di antara kalian membentangkan tangannya sebagaimana
anjing." [10]
13. Shalat ketikan hidangan sudah disajikan atau
menahan buang air besar dan kecil
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ
اْلأَخْبَثَانِ.
"Tidak (sempurna) shalat ketika hidangan sudah
disajikan, dan tidak (sempurna) pula shalat orang yang menahan buang air besar
atau kecil." [11]
14. Mendahului imam
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ
اْلإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللهُ صُوْرَتَهُ
صُوْرَةَ حِمَارٍ.
"Tidakkah salah seorang di antara kalian takut,
Allah menjadikan kepalanya seperti kepala keledai bila dia mengangkat kepalanya
sebelum imam. Atau menjadikan rupanya seperti rupa keledai." [12]
G. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Shalat
1. Berjalan untuk keperluan
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di dalam rumah
sedangkan pintunya tertutup. Lalu aku datang dan minta dibukakan. Kemudian
beliau berjalan dan membukakan pintu untukku. Setelah itu beliau kembali ke
tempat shalatnya. ‘Aisyah menyifatkan bahwa pintu tersebut berada di arah
Kiblat." [13]
2. Menggendong anak kecil
Dari Abu Qatadah: "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, puteri Zainab binti
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu al-'Ash bin ar-Rabi'. Jika
beliau berdiri, beliau menggendongnya. Namun jika sujud, beliau
meletakkannya." [14]
3. Membunuh al-aswadain (kalajengking dan ular)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh agar membunuh dua
binatang hitam dalam shalat, yaitu kalajengking dan ular." [15]
4. Menoleh dan memberi isyarat untuk keperluan
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menderita sakit. Lalu kami
shalat di belakang beliau yang shalat dalam keadaan duduk. Kemudian beliau menoleh
dan melihat kami berdiri. Ke-mudian beliau mengisyaratkan kepada kami (untuk
duduk), lalu kami pun duduk."[16]
5. Meludah di baju atau mengeluarkan sapu tangan
dari saku
Dalilnya telah disebutkan dalam hadits Jabir tentang
larangan meludah ke arah kiblat.
6. Memberi isyarat untuk menjawab salam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia
berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju Quba'
untuk shalat di sana. Tak lama kemudian datanglah orang-orang Anshar dan
mengucapkan salam kepada beliau yang sedang shalat. Lalu aku berkata pada
Bilal, "Bagaimana engkau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab salam ketika mereka memberi salam kepada beliau padahal beliau sedang
shalat?" Dia berkata, "Beliau memberi isyarat seperti ini." Dia
membuka telapak tangannya. Ja'far bin 'Aun (perawi hadits) pun membuka telapak
tangannya. Ia jadikan bagian dalamnya menghadap ke bawah dan bagian luarnya ke
atas."[17]
7. Mengucapkan tasbih bagi laki-laki dan bertepuk
tangan bagi wanita jika terjadi sesuatu dalam shalat
Dari Sahl bin Sa'd Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَا لَكُمْ حِيْنَ نَابَكُمْ شَيْءٌ
فِي الصَّلاَةِ أَخَذْتُمْ فِي التَّصْفِيْقِ، إِنَّمَا التَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ،
مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللهِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُهُ
أَحَدٌ حِيْنَ يَقُوْلُ سُبْحَانَ اللهِ إِلاَّ الْتَفَتْ...
"Wahai manusia, kenapa jika terjadi sesuatu
dalam shalat kalian bertepuk tangan? Sesungguhnya bertepuk tangan adalah untuk
wanita. Barangsiapa menemui kejadian dalam shalatnya, hendaklah ia mengucapkan:
subhaanallah. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mendengarnya ketika ia
mengucap: subhaanallah melainkan ia telah berpaling...[18]
8. Mengingatkan imam
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma : "Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan suatu shalat lalu membaca surat dan bacaannya
tercampur (keliru). Ketika selesai beliau berkata pada Ubay, "Apakah
engkau shalat bersama kami?" Dia berkata, "Ya." Beliau berkata,
"Lalu, apakah yang menghalangimu (untuk membenarkan bacaanku tadi?"
[19]
9. Mencolek kaki orang yang sedang tidur
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Aku menyelonjorkan kakiku pada kiblat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang sedang shalat. Jika sujud, beliau mencolekku dan aku pun mengangkatnya.
Jika beliau berdiri aku menyelonjorkannya lagi." [20]
10.Menahan orang yang ingin lewat di depannya
Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ
النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يُجْتَـازُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ،
فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ.
"Jika salah seorang di antara kalian shalat
menghadap ke sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian
seseorang hendak lewat di depannya, maka doronglah pada lehernya. Jika dia
menolak, maka perangilah (lawanlah) dia. Karena sesungguhnya dia adalah
syaitan." [21]
11. Menangis
Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata,
"Tidak ada seorang penunggang kuda pun di antara kami pada hari perang
Badar selain al-Miqdad. Aku tidak melihat seorang pun di antara kami melainkan
sedang tidur (malam). Kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
shalat sambil menangis di bawah sebuah pohon hingga Shubuh." [22]
H. Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
1. Yakin adanya hadats
Dari 'Abbad bin Tamim Radhiyallahu anhu, dari
pamannya: “Ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang sesuatu (hadats) yang seolah-olah terjadi dalam shalatnya. Lalu
beliau bersabda:
لاَ يَنْفَتِلْ -أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ- حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا.
"Janganlah ia membubarkan (membatalkan
shalatnya) atau berpaling hingga dia mendengar suara atau mencium
bau."[23]
2. Meninggalkan salah satu rukun atau syarat dengan
sengaja atau tanpa alasan
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada orang yang buruk shalatnya:
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ.
"Kembali dan shalatlah, karena engkau belum
shalat." [24]
Juga perintah beliau terhadap orang yang pada
punggung telapak kakinya terdapat sedikit bagian yang tidak terkena air wudhu’
agar mengulang wudhu' dan shalatnya.
3. Makan dan minum dengan sengaja
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, "Para ahlul
ilmi sepakat bahwa orang yang makan atau minum dengan sengaja ketika shalat
wajib, maka dia wajib mengulang shalatnya.[25] " Begitupula pada shalat
sunnah menurut jumhur (mayoritas ulama. Karena apa yang membatalkan shalat wajib,
juga membatalkan shalat sunnah.
4. Berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan
shalat
Dari Zaid bin Arqam, dia berkata, "Dulu kami
berbicara dalam shalat. Seseorang di antara kami bercakap-cakap dengan kawan di
sebelahnya yang sedang shalat. Hingga turunlah ayat:
.وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
‘... Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)
dengan khusyu'.’ [Al-Baqarah: 238]. Kami pun diperintah diam dan dilarang
berbicara." [26]
5. Tertawa
Ibnul Mundzir rahimahullah menukil ijma' bahwa
tertawa membatalkan shalat.
6. Lewatnya perempuan baligh, keledai, atau anjing
hitam di antara orang yang shalat dan tempat sujudnya
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
:
إِذَا قَـامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ
إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ
يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ
وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَد.ُ
"Jika salah seorang dari kalian shalat, maka
dia terbatasi jika di hadapannya terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan
tunggangan. Jika di hadapannya tidak terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan
tunggangan, maka shalatnya terputus oleh keledai, wanita, dan anjing
hitam."
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Sumber: http://almanhaj.or.id
_______
_______
No comments:
Post a Comment