DISYARI’ATKANNYA SHALAT SUNNAH DAN KEUTAMAANNYA
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
Disyari’atkannya Shalat Sunnah
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyari’atkan shalat sunnah
untuk meningkatkan amal manusia dan menutupi segala kekurangan dan kelalaian
yang ada, sebagaimana hal itu diperintahkan oleh Allah dalam Kitab-Nya yang
agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ
لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi
dan petang) dan pada sebagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat." [Huud/11: 114]
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَإِذَا
فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
"Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Rabb-mulah hendaknya kamu berharap." [Al-Insyirah/94: 7-8]
Ibnu Mas‘ud Radhiyallahu anhu berkata: "Apabila engkau
telah selesai melaksanakan shalat-shalat wajib maka laksanakanlah shalat
malam."[1]
Sementara Mujahid mengatakan, “Jika engkau telah
menyelesaikan urusan duniamu, maka menghadaplah kepada Rabb-mu dengan shalat.”
Juga di antara dalil yang menunjukkan tentang
disyari’atkannya shalat malam, adalah hadits yang menyebutkan:
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ اْلإِسْـلاَمِ، فَقَالَ: (خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي
الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ). فَقَالَ الرَّجُلُ: هَلْ
عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ؟ قَالَ: (لاَ، إِلاَّ
أَنْ تَطَوَّعَ).
"Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang (kewajiban-kewajiban) dalam Islam, lalu beliau menjawab,
'(Melaksanakan) shalat lima waktu dalam sehari semalam.' Orang itu bertanya
lagi, 'Adakah kewajiban lain atas diriku?' Beliau menjawab, 'Tidak ada, kecuali
engkau mengerjakan shalat sunnah.'"[2]
Keutamaan Shalat Sunnah
Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang besarnya
keutamaan dan pahala yang diperoleh dari shalat sunnah. Di antaranya adalah:
1. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ
النَّاسُ بِـهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مِنْ أَعْمَالِهِمْ اَلصَّلاَةُ، قَالَ: يَقُوْلُ رَبُّنَا
-جَلَّ وَعَزَّ- لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: اُنْظُرُوْا
فِيْ صَلاَةِ عَبْدِيْ، أَتَمَّهَا
أَوْ نَقَصَهَا، فَإِنْ كَانَتْ تَامَّـةً
كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ
كاَنَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ:
اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَـبْدِيْ مِنْ
تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كاَنَ لَهُ
تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوْا لِعَبْدِيْ
فَرِيْضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ
تُؤْخَذُ اْلأَعْمَالُ عَلَى ذَلِكَ.
"Sesungguhnya amal manusia yang pertama kali akan
dihisab kelak pada hari Kiamat adalah shalatnya." Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda lagi, "Allah جَلَّ
وَعَزَّ berfirman kepada
para Malaikat-Nya, sedangkan Ia lebih mengetahui, 'Lihatlah shalat hamba-Ku,
sudahkah ia melaksanakannya dengan sempurna ataukah terdapat kekurangan?' Bila
ibadahnya telah sempurna maka ditulis untuknya pahala yang sempurna pula. Namun
bila ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman, 'Lihatlah apakah hambaku
memiliki shalat sunnah?' Bila ia memiliki shalat sunnah, maka Allah berfirman,
'Sempurnakanlah untuk hamba-Ku dari kekurangannya itu dengan shalat sunnahnya.'
Demikianlah semua ibadah akan menjalani proses yang serupa."[3]
Komentar saya (penulis): Hadits ini menjelaskan salah satu
hikmah tentang disyari’atkan-nya shalat sunnah.
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى فِيْ يَوْمٍ،
اِثْنَتَيْ عَشْـرَةَ رَكْعَةً، تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيْضَةٍ، بَنَى
اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي
الْجَنَّةِ.
"Barangsiapa yang melakukan shalat sunnah selain shalat
fardhu dalam sehari dua belas raka'at, maka Allah pasti akan membangunkan
untuknya sebuah rumah di Surga."[4]
3. Rubai'ah bin Ka'ab al-Aslami Radhiyallahu anhu berkata:
كُنْتُ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوْئِهِ
وَحَاجَتِهِ، فَقَالَ لِي: (سَلْ)!
فَقُلْتُ: أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ:
(أَوَ غَيْرَ ذَلِكَ)؟
قُلْتُ هُوَ ذَاكَ، قَالَ:
(فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ
السُّجُوْدِ).
"Suatu hari aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, lalu aku membawakan kepadanya bejana air untuk beliau berwudhu’ dan
segala keperluannya. Beliau berkata kepadaku, 'Mintalah!' Aku berkata, 'Aku
meminta kepadamu untuk dapat menemanimu di Surga kelak.' Beliau bertanya,
'Adakah selain itu?' Aku menjawab, 'Hanya itu saja.' Beliau bersabda, 'Bantulah
aku untuk mewujudkan keinginanmu itu dengan memperbanyak sujud.'"[5]
4. Mi'dan bin Abi Thalhah al-Ya'muri berkata, "Aku
bertemu Tsauban, bekas budak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku
berkata kepadanya, 'Beritahukanlah kepadaku tentang amal ibadah yang jika aku
lakukan, maka Allah akan memasukkanku karenanya ke dalam Surga!' Ia terdiam,
lalu aku bertanya lagi. Ia masih terdiam, lalu aku bertanya lagi ketiga
kalinya. Akhirnya ia berkata, 'Aku telah menanyakan masalah ini kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda:
عَلَيْكَ
بِكَثْرَةِ السُّجُـوْدِ للهِ، فَإِنَّكَ لاَ
تَسْجُدُ ِللهِ سَجْدَةً، إِلاَّ
رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً،
وَحَطَّ بِهَا عَنْكَ خَطِيْئَةً.
"Perbanyaklah sujud kepada Allah, karena tidaklah
engkau bersujud kepada Allah dengan satu kali sujud, melainkan Allah akan
mengangkat bagimu satu derajat karenanya dan menghapuskan bagimu satu dosa karenanya."
Mi'dan berkata: "Lalu aku bertemu Abud Darda' dan aku
tanyakan masalah ini kepadanya juga. Ia menjawab seperti jawaban yang diberikan
Tsauban."[6]
Yang dimaksud dengan sujud dalam hadits ini adalah melakukan
shalat sunnah. Karena bersujud secara terpisah tanpa dilakukan dalam shalat
atau tanpa sebab merupakan sesuatu yang tidak dianjurkan. Bersujud, walaupun
termasuk dalam shalat fardhu, namun melaksanakan shalat fardhu adalah kewajiban
atas setiap muslim. Maka yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam di sini adalah, sesuatu yang khusus yang dengannya Mi'dan dapat
meraih apa yang ia cari.[7] Oleh karena itulah Ibnu Hajar meriwayatkan hadits
Rabi'ah ini dalam bab shalat sunnah.[8]
5. Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu, ia berkata, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَذِنَ اللهُ لِعَـبْدٍ
فِيْ شَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ
رَكْعَتَيْنِ يُصَلِّيْهِمَا، وَإِنَّ الْبِرَّ لَيُذَرُّ
فَوْقَ رَأْسِ الْعَبْدِ مَا
دَامَ فِيْ صَلاَتِهِ.
"Tidak ada sesuatu yang lebih baik yang Allah izinkan
kepada seorang hamba selain melaksanakan shalat dua raka'at dan sesungguhnya
kebajikan akan bertaburan di atas kepala seorang hamba selama ia melakukan
shalat."[9]
Hadits tersebut menunjukkan keutamaan shalat sunnah dan
kebaikan yang didapat darinya.
Disukai Melaksanakan Shalat Sunnah Di Rumah
Muslim meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ
فِي مَسْجِدِهِ، فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْبًا مِنْ صَـلاَتِهِ، فَإِنَّ
اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- جَاعِلٌ
فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ خَيْرًا.
"Apabila salah seorang di antara kalian shalat di
masjid, maka hendaknya ia pun menjadikan sebagian dari shalatnya di rumah,
karena Allah Azza wa Jalla akan memberikan kebaikan dalam rumahnya dari
shalatnya itu."[10]
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit
Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَعَلَيْكُمْ
بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ، فَإِنَّ
خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي
بَيْتِهِ، إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوْبَةَ.
"Shalatlah di rumah-rumah kalian karena sebaik-baik
shalat seseorang adalah yang dilaksanakan di rumahnya kecuali shalat
wajib."[11]
Anjuran dalam hadits-hadits ini bersifat umum yang meliputi
semua jenis shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah secara mutlak kecuali
shalat sunnah yang menjadi bagian dari syi'ar Islam, seperti shalat ‘Id, shalat
gerhana dan shalat Istisqa'. Demikian apa yang dikemukakan oleh Imam
an-Nawawi.[12]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِجْعَلُوْا
مِنْ صَلاَتِكُمْ فِي بُيُوْتِكُمْ، وَلاَ
تَتَّخِـذُوْا قُبُوْرًا.
"Jadikanlah tempat pelaksanaan sebagian shalatmu di
rumah-rumah kalian, dan janganlah jadikan rumah-rumah kalian itu seperti
kuburan."[13]
Saya (penulis) katakan, "Hadits-hadits ini menunjukkan
tentang disunnahkannya shalat sunnah di rumah dan itu lebih baik daripada
melakukannya di masjid sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits."
An-Nawawi rahimahullah berkata, "Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mendorong melakukan shalat sunnah di rumah, karena hal itu
lebih tersembunyi, jauh dari perbuatan riya', terjaga dari segala hal yang bisa
merusak amal, rumah menjadi penuh berkah, rahmat serta Malaikat pun turun dan
syaitan pun menjauh darinya."[14]
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa
Yahja’uun" karya Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh
Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
TAFSIR SURAT AN-NASHR
Oleh
Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ
وَالْفَتْحُ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ
أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong.
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat. [an-Nasr/110 :
1-3]
Surat an-Nashr, dikenal juga dengan sebutan surat at-Taudi’
(perpisahan) [1]. Surat yang berjumlah tiga ayat ini disepakati oleh para ulama
sebagai madaniyyah. Maksudnya, turun setelah peristiwa hijrah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah, dan termasuk surat yang terakhir
diturunkan. [2]
Dalilnya yaitu:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ
تَعْلَمُ ( وفي لفظ: تَدْرِي
) آخِرَ سُورَةٍ نَزَلَتْ مِنْ
الْقُرْآنِ نَزَلَتْ جَمِيعًا قُلْتُ : نَعَمْ . إِذَا جَاءَ نَصْرُ
اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ صَدَقْتَ
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari
al Qur`an yang turun secara keseluruhan?" Ia menjawab: “Ya, idza ja`a
nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”.[3]
Secara pasti, terdapat silang pendapat di kalangan ulama
tafsir. Ibnu Rajab rahimahullah menyimpulkan bahwa surat ini turun sebelum
Fathu Makkah. Karena firman Allah :
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ
وَالْفَتْحُ
Menunjukkan dengan sangat jelas kalau penaklukan kota Mekkah
belum terjadi [4].
PENJELASAN AYAT
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ
وَالْفَتْحُ
1. (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan).
Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).[5]
Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, menurut Ibnu
Rajab rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil beliau
menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku
Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya. [6]
Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira)
bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh
‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,"Dalam surat ini terdapat
bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya n pada saat kemunculannya. Kabar gembira
ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan peristiwa penaklukan kota
Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah lSubhanahu wa Ta'ala dengan berbondong-bondong."[7]
Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr
al Jazairi mengungkapkan: "Jika telah datang pertolongan Allah bagimu
wahai Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap
peperangan yang engkau jalani, dan datang anugerah penaklukkan, yaitu
penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi wilayah
Islam, yang sebelumnya merupakan daerah kekufuran”. [8]
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu
Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah
berkata,"Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan)
sebuah pendapat yang sudah bulat.” [9]
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah,
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan
pendapat senada. [10]
وَرَأَيْتَ
النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ
أَفْوَاجًا
2. (Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong).
Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia
berkata:
وَكَانَتْ
الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ
فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا
كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ
كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ
أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan
kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: "Biarkanlah dia
(Rasulullah) dan kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang
seorang nabi yang jujur". Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah,
setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya
Shallallahu 'alaihi wa sallam.[11]
Menurut Imam al Qurthubi, peristiwa tersebut terjadi ketika
kota Mekkah berhasil dikuasi.
Bangsa Arab berkata: "Bila Muhammad berhasil
mengalahkan para penduduk kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi
oleh Allah dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk
menahannya). Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”. [12]
Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir
rahimahullah juga memberi penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan
Mekkah, orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat
dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di
seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.[13]
Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus
berlangsung bagi agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya
tasbih, tahmid dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini
merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada masa
khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.
Pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala itu akan berlangsung
terus-menerus sampai Islam masuk ke daerah yang belum pernah dirambah oleh
agama lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke
agama lainnya. Sampai akhirnya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini
terhadap perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yaitu berupa
perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.[14]
فَسَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
3. (Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya:
"Jika engkau shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas
limpahan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”.
Inilah keterangan yang beliau rajihkan.[15
.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ
عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ
اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا
سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Tidaklah
Rasulullah n mengerjakan shalat setelah turunnya surat ini, kecuali membaca
Subhanaka Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian
kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)". [16]
Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata:
"(Maksudnya) Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan
kepada-Nya, manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan
(daerah-daerah) bagi kita". Pernyataan ini muncul, saat 'Umar bin al
Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka mengenai
kandungan surat an-Nashr.[17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan
berkata: "Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama
Umar Radhiyallahu 'anhum ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan
bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan
benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan memohon
ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat. Terdapat bukti
penguat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat delapan raka'at
pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa beliau
mengucapkan salam pada setiap dua raka'at di hari penaklukan kota Mekkah.
Demikianlah yang dilakukan Sa’ad bin Abil Waqqash Radhiyallahu 'anhu pada hari
penaklukan kota Mada-in".[18]
إِنَّهُ
كَانَ تَوَّابًا
4. (Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang
bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima
taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja yang sudah
ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka
bagaimanakah dengan orang lain?[19]
ISYARAT LAIN DARI MAKNA KEMENANGAN
Selain makna yang sudah dikemukakan di atas, juga terdapat
pengertian lain yang terkandung dalam surat yang mulia ini.
Menurut Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah, ayat ini
menjadi isyarat mengenai (datangnya) ajal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang sudah dekat dan hampir tiba. Bahwa umur beliau adalah umur yang
mulia, Allah bersumpah dengannya. Sudah menjadi kebiasaan pada perkara-perkara
yang mulia ditutup dengan istighfar, misalnya shalat, haji dan ibadah lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengucapkan pujian dan
istighfar dalam keadaan seperti ini, sebagai isyarat tentang ajal beliau yang
akan berakhir. (Maksudnya), hendaknya beliau bersiap-siap untuk menjumpai
Rabbnya dan menutup usianya dengan amalan terbaik yang ada pada beliau alaihis
shalatu wassalam.
Ibnul Jauzi rahimahullah sendiri memberikan pandangannya
mengenai ayat ini. Beliau rahimahullah berkata,"Para ulama tafsir
mengatakan, telah disampaikan dan diberitahukan kabar wafat beliau, dan sungguh
waktu ajal beliau sudah dekat. Maka diperintahkan untuk bertasbih dan istighfar
guna menutup usia dengan tambahan amalan shalih.” [20]
Begitu pula yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakr al
Jazairi: “Ayat ini membawa tanda dekatnya ajal bagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam." [21]
Imam al Bukhari rahimahullah dan lainnya meriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia bercerita:
Dahulu ‘Umar memasukkan diriku bersama orang-orang tua yang
ikut serta dalam perang Badar. Sepertinya sebagian mereka kurang menyukai
kehadiranku. Ada yang berkata: "Kenapa (anak) ini masuk bersama kita.
Padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?"
‘Umar menjawab,"Sungguh, kalian
mengetahui (siapa dia)," maka suatu hari ‘Umar Radhiyallahu 'anhu
memanggilku dan memasukkanku bersama mereka. Tidaklah aku berpikir alasan
beliau mengundangku, selain ingin memperlihatkan kapasitasku kepada mereka.
Beliau berkata (kepada orang-orang): “Apakah pendapat kalian
tentang firman Allah:"idza ja`a nashrullahi wal fath”.
Mereka menjawab,"Allah memerintahkan kami untuk memuji
dan memohon ampunan kepada-Nya manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah
menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita.” Sebagian orang terdiam (tidak
menjawab). Kemudian ‘Umar Radhiyallahu 'anhu beralih kepadaku: “Apakah demikian
pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma )
menjawab,"Tidak!”
‘Umar bertanya,"Apa
pendapatmu?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menjawab,"Itu
adalah (kabar tentang) ajal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah
Subhanahu wa Ta'ala memberitahukannya kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman ""idza ja`a nashrullahi wal fath”. Dalam keadaan seperti
itu terdapat tanda ajalmu, maka bertasbihlah dan mintalah ampunan kepada-Nya,
sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.”
‘Umar Radhiyallahu 'anhu
berkomentar: “Tidaklah yang kuketahui darinya (surat itu), kecuali apa yang
engkau sampaikan”.[22]
Imam Muslim meriwayatkan dari 'Aisyah, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ
أَنْ يَمُوتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ
أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ قَالَتْ قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ
الْكَلِمَاتُ الَّتِي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا
تَقُولُهَا قَالَ جُعِلَتْ لِي
عَلَامَةٌ فِي أُمَّتِي إِذَا
رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ
اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ
Sebelum wafat, Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa
bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Aisyah bertanya,"Wahai Rasulullah
untuk apakah kata-kata yang aku melihat engkau tidak biasa engkau ucapkan?"
Beliau menjawab,"Telah ditetapkan bagiku sebuah tanda pada umatku. Bila
aku telah menyaksikannya, aku akan mengucapkannya (kata-kata tadi) : idza ja`a
nashrullahi wal fath …dst." [23]
Dalam riwayat lain:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ
اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ
اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
فَقَالَ خَبَّرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى
عَلَامَةً فِي أُمَّتِي فَإِذَا
رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ
اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
فَقَدْ رَأَيْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ
اللَّهِ وَالْفَتْحُ فَتْحُ مَكَّةَ ...
Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika
astaghfiruka wa atubu ilaik. Maka aku bertanya: "Aku melihatmu
memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik,"
Beliau menjawab,"Rabbku telah memberitahukan kepadaku, bahwasanya aku akan
menyaksikan tanda pada umatku. Jika aku melihatnya, aku akan memperbanyak
ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Sungguh aku telah
menyaksikannya idza ja`a nashrullahi wal fath." Al fathu, maksudnya
penaklukan kota Mekkah…dst. [24]
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa
Ibnu 'Abbas mengatakan tentang surat an-Nashr ini: "Ketika diturunkan, ia
(surat an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka beliau lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat".[25]
APA YANG DIAMPUNI DARI DIRI RASULULLAH n YANG MULIA?
Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih tetap
memanjatkan permohonan ampunan, padahal dosa-dosa beliau sudah terampuni, baik
yang sudah berlalu maupun yang akan datang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya mengangkat
pandangan Ibnu Katsir yang menggambarkan kesempurnaan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Ibnu Katsir berkata: "Pada seluruh urusannya, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berada dalam ketaatan, kebaikan, istiqamah yang
tidak terdapat pada manusia lainnya, baik dari kalangan orang-orang terdahulu,
maupun generasi kemudian. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia
paling sempurna secara mutlak, dan pemimpin manusia di dunia dan akhirat”. [26]
Al Qadhi Ibnul ‘Arabi mengungkapkan alasannya, para ulama
hadits meriwayatkan, bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa,
beliau memanjatkan doa yang berbunyi:
رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي
وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ
وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ
مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ
وَعَمْدِي وَجَهْلِي وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا
قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا
أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ
الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
Ya Allah, ampunilah kesalahanku, tindak kebodohanku, sikap
berlebihanku dalam seluruh urusanku, dan yang Engkau lebih mengetahuinya. Ya
Allah, ampunilah kesalahan-kesalahanku, kesengajaanku dan kebodohanku,
gurauanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah apa yang sudah aku
kerjakan dan apa yang belum aku kerjakan, apa yang aku sembunyikan dan apa yang
aku tampakkan. Engkaulah Dzat Yang mendahulukan (dan menempatkannya pada
tempatnya), dan Engkau Dzat yang mengundurkan (dan menempatkannya pada
tempatnya) dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.[27]
Selanjutnya, Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Semua itu
ada pada diriku begitu banyak. Adapun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
(beliau) terbebas darinya. Hanya saja, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menganggap (amalan) pribadinya sedikit, lantaran begitu besarnya curahan nikmat
yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada beliau. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam memandang "kekurangan" dalam menjalankan hak
kenikmatan tersebut (dengan beribadah) sebagai dosa-dosa. Sementara
dosa-dosaku, aku lakukan dengan penuh kesengajaan, tak acuh, dan merupakan
pelanggaran yang nyata. Semoga Allah l masih sudi membuka pintu taubat dan
menganugerahkan perlindungan dengan karunia, kemurahan dan rahmat-Nya, tiada
Rabb selain-Nya”. [28]
Al Imam al Qurthubi, selain mengemukakan alasan senada di
atas, beliau juga membawakan beberapa keterangan lain. Bahwa maksud permohonan
ampunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah: (1) Memintakan ampunan
bagi umatmu. (2) Istighfar merupakan ibadah yang harus dikerjakan, bukan untuk
memohon ampunan, akan tetapi untuk ta’abbud (ibadah). (3) Untuk mengingatkan
umat beliau, agar jangan merasa aman (dari dosa) sehingga meninggalkan
istighfar. [29]
Al Qadhi ‘Iyadh berpendapat, permohonan ampunan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut merupakan cermin ketawadhuan, ketaataan
dan ketundukan, serta ungkapan syukur beliau kepada Rabbnya, lantaran
mengetahui dosa-dosanya sudah diampuni.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengutip keterangan Imam ath-Thabari
rahimahullah tentang masalah ini, yang menyampaikan alasan, bahwasanya beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam beristighfar ialah untuk melaksanakan perintah
Allah yang ditujukan kepada beliau, yaitu agar bertasbih dan memohon ampunan,
bila datang pertolongan dari Allah dan penaklukan (kota Mekah). Selain itu, al
Hafizh juga menukil penjelasan al Qurthubi (penulis al Mufhim), bahwasannya
terjadinya dosa dari para nabi adalah mungkin, karena mereka juga orang-orang
mukallaf, hingga khawatir kalau itu terjadi pada diri mereka, dan akibatnya
tersiksa karenanya. Pendapat lainnya, yaitu agar umatnya meneladani beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.[31]
SEBAB-SEBAB DITURUNKAN AMPUNAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Mengenai faktor-faktor yang dapat mendatangkan turunnya
maghfirah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di
rahimahullah menghitungnya berjumlah empat.
Pertama : Taubat. Yaitu kembali kepada Allah dari keadaan
yang tidak disukai-Nya, baik zhahir maupun batin, menuju keadaan yang dicintai
oleh-Nya zhahir dan batin. Taubat ini akan menghapus dosa-dosa, besar kecil
sebelumnya.
Kedua : Keimanan. Yaitu pengakuan dan pembenaran yang mantap
lagi menyeluruh terhadap semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang
mengharuskan pelaksanaan amalan-amalan hati, yang diikuti dengan amalan-amalan
jawarih (anggota tubuh). Tidak disangsikan, kadar keimanan dapat menghapus
dosa-dosa yang sudah terjadi dan dapat menghalanginya dari terjerumus ke dalam
dosa. Sesungguhnya seorang mukmin, dengan keimanan dan pancaran keimanan yang
tertancap kuat di dadanya, ia tidak sudi menyatu dengan
kemaksiatan-kemaksiatan.
Ketiga : Amalan Shalih. Ini mencakup seluruh amalan, amalan
hati, amalan jawarih, ucapan-ucapan lisan. Sebab kebaikan akan menghapuskan
kesalahan-kesalahan.
Keempat : Istiqamah di atas keimanan dan hidayah serta
berusaha mendulang tambahannya.
Siapa saja yang berhasil menempuh empat langkah ini,
bergembiralah dengan mendapatkan ampunan dari Allah yang menyeluruh.[32]
Pijakan yang dipakai sebagai landasan Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di
rahimahullah atas keterangan tersebut, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَإِنِّي
لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ
وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ
"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang
bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar"
[Thaha/20:82]
PELAJARAN DARI SURAT AN-NASHR
- Banyaknya anugerah Allah yang dikaruniakan kepada umat
Islam.
- Kewajiban bersyukur manakala kenikmatan tercurahkan. Di
antaranya dengan sujud syukur.
- Kewajiban untuk selalu beristighfar setiap saat.
Maraji`:
1. Aisar at-Tafasir li Kalamil-'Aliyyil-Kabir, Abu Bakar
Jabir al Jazairi, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M, Maktabah al Ulum wal-
Hikam, al Madinah al Munawwarah, KSA.
2. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu 'Abdillah Muhammad bin
Ahmad al Qurthubi, Tahqiq Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999
M, Dar al Kitab al ‘Arabi.
3. Fathul-Bari Syarhu Shahihil-Bukhari, al Hafizh Ibnu
Hajar.
4. Ikmalul-Mu’lim bi Fawaidi Muslim, al Qadhi ‘Iyadh, Tahqiq
Dr. Yahya Isma’il, Darul Wafa, Cetakan I, Tahun 1419 H / 1998 M.
5. Tafsir ath-Thabari (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil
Ayil-Qur`an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H), Cetakan
I, Tahun 1423 H/2002 M, Dar Ibni Hazm.
6. Tafsiru Suratin-Nashar, al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali,
Tahqiq 'Abdullah al 'Ajmi.
7. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar
bin Katsir (700-774 H), Tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun
1422 H/2002 M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.
8. Taisir al Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan,
Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Abdur-Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq,
Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M, Dar as-Salam, Riyadh, KSA.
9. Taisirul-Lathifir Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an,
'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Cetakan III, Tahun 1414H /1993M.
10. Zadul-Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Abul Faraj Abdur-Rahman
bin ‘Ali (Ibnul Jauzi), Tahqiq 'Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan I, Tahun 1422
H/2001M, Darul Kitabil ‘Arabi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun
XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
KEUTAMAAN SHALAT MALAM DAN ANJURANNYA
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam
al-Qur-an pada banyak ayat dan juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam banyak hadits tentang besarnya pahala yang diperoleh dari melaksanakan
shalat malam. Bahkan, ketahuilah wahai pembaca yang budiman –sebelum kami
memaparkan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut– bahwa shalat yang paling baik
setelah shalat wajib adalah shalat malam, dan hal ini telah menjadi ijma'
(kesepakatan) ulama.[1]
Ayat-Ayat Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan
kepada Nabi-Nya yang mulia untuk melakukan shalat malam. Antara lain adalah:
وَمِنَ
اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ
"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah
kamu...." [Al-Israa'/17: 79]
وَاذْكُرِ
اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا
طَوِيلًا
"Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi dan
petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah
kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari." [Al-Insaan/76: 25-26].
وَمِنَ
اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ
"Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan
setiap selesai shalat." [Qaaf/50: 40].
وَاصْبِرْ
لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
ۖ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ
رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ وَمِنَ
اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ
"Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji
Rabb-mu ketika kamu bangun berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada be-berapa
saat di malam hari dan waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)."
[Ath-Thuur/52: 48-49]
Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah selesai melakukan shalat wajib agar
melakukan shalat malam,[2] hal itu sebagaimana terdapat pada firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا
فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Rabb-mu-lah hendaknya kamu berharap." [Asy-Syarh/94 : 7-8)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memuji para hamba-Nya yang
shalih yang senantiasa melakukan shalat malam dan bertahajjud, Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
كَانُوا
قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا
يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di
akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)."
[Adz-Dzaariyaat/51: 17-18]
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhumamengatakan, "Tak ada
satu pun malam yang terlewatkan oleh mereka melainkan mereka melakukan shalat
walaupun hanya beberapa raka'at saja."[3]
Al-Hasan al-Bashri berkata, "Setiap malam mereka tidak
tidur kecuali sangat sedikit sekali."[4]
Al-Hasan juga berkata, "Mereka melakukan shalat malam
dengan lamanya dan penuh semangat hingga tiba waktu memohon ampunan pada waktu
sahur."[5]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam memuji dan
menyanjung mereka:
تَتَجَافَىٰ
جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ
رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ
مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ
أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang
mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka
menafkah-kan sebagian dari rizki yang Kami berikan ke-pada mereka. Seorang pun
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam
nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan." [As-Sajdah/32: 16-17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Yang dimaksud
dengan apa yang mereka lakukan adalah shalat malam dan meninggalkan tidur serta
berbaring di atas tempat tidur yang empuk."[6]
Al-'Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
"Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka
lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni
yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa
gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk
melakukan shalat malam dengan kesenangan jiwa di dalam Surga."[7]
Dari Asma' binti Yazid Radhiyallahu anha, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَعَ اللهُ اْلأَوَّلِيْنَ
وَاْلآخِرِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، جَاءَ
مُنَادٍ فَنَادَى بِصَوْتٍ يَسْمَعُ الْخَلاَئِقُ: سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ اَلْيَوْمَ
مَنْ أَوْلَى بِالْكَرَمِ، ثُمَّ
يَرْجِعُ فَيُنَادِي: لِيَقُمَ الَّذِيْنَ كاَنَتْ (تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ) فَيَقُوْمُوْنَ وَهُمْ قَلِيْلٌ.
"Bila Allah mengumpulkan semua manusia dari yang
pertama hingga yang terakhir pada hari Kiamat kelak, maka datang sang penyeru
lalu memanggil dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk, 'Hari ini semua
yang berkumpul akan tahu siapa yang pantas mendapatkan kemuliaan!' Kemudian
penyeru itu kembali seraya berkata, 'Hendaknya orang-orang yang 'lambungnya
jauh dari tempat tidur' bangkit, lalu mereka bangkit, sedang jumlah mereka
sedikit."[8]
Di antara ayat-ayat yang memuji orang-orang yang selalu
melakukan shalat malam adalah firman Allah:
أَمَّنْ
هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ
سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung)
ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia
takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..."
[Az-Zumar/39: 9].
لَيْسُوا
سَوَاءً ۗ مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ
آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ
وَهُمْ يَسْجُدُونَ
"Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu
di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat)." [Ali ‘Imraan/3: 113]
وَالَّذِينَ
يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan
berdiri untuk Rabb mereka." [Al-Furqaan/25: 64]
سِيمَاهُمْ
فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
"Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud...." [Al-Fat-h/48: 29]
الصَّابِرِينَ
وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
"(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap
taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di
waktu sahur." [Ali-'Imran/3: 17].
Dan lain sebagainya dari ayat-ayat al-Qur-an.
Saya katakan, "Barangsiapa yang menginginkan
pengetahuan yang bermanfaat dan faidah yang banyak, hendaknya menelaah
penafsiran ayat-ayat ini dalam kitab-kitab tafsir, karena di sana terdapat
manfaat dan faidah yang amat besar. Saya sengaja tidak memaparkannya di sini,
semata karena komitmen saya untuk membahas secara ringkas dan tidak
mendalam."
Hadits-Hadits Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan
kepada para Sahabatnya untuk melakukan shalat malam dan membaca al-Qur-an di
dalamnya. Hadits-hadits yang mengungkapkan tentang hal ini sangat banyak untuk
dapat dihitung. Namun kami hanya akan menyinggung sebagiannya saja, berikut
panda-ngan para ulama sekitar masalah ini.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ
الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ،
صَلاَةُ اللَّيْلِ.
"Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah
shalat yang dilakukan di malam hari."[9]
Al-Bukhari rahimahullah berkata: "Bab Keutamaan Shalat
Malam." Selanjutnya ia membawakan hadits dengan sanadnya yang sampai
kepada Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa ia berkata: "Seseorang di
masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bermimpi
menceritakannya kepada beliau. Maka aku pun berharap dapat bermimpi agar aku
ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat aku muda aku
tidur di dalam masjid lalu aku bermimpi seakan dua Malaikat membawaku ke
Neraka. Ternyata Neraka itu berupa sumur yang dibangun dari batu dan memiliki
dua tanduk. Di dalamnya terdapat orang-orang yang aku kenal. Aku pun ber ucap,
'Aku berlindung kepada Allah dari Neraka!' Ibnu 'Umar melanjutkan ceritanya,
'Malaikat yang lain menemuiku seraya berkata, 'Jangan takut!' Akhirnya aku
ceritakan mimpiku kepada Hafshah dan ia menceritakannya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
نِعْمَ
الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ، لَوْ
كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ.
'Sebaik-baik hamba adalah ‘Abdullah seandainya ia melakukan
shalat pada sebagian malam.'
Akhirnya 'Abdullah tidak pernah tidur di malam hari kecuali
hanya beberapa saat saja."[10]
Ibnu Hajar berkata: "Yang menjadi dalil dari masalah
ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 'Sebaik-baik hamba adalah
'Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.' Kalimat ini
mengindikasikan bahwa orang yang melakukan shalat malam adalah orang yang
baik."[11]
Ia berkata lagi, "Hadits ini menunjukkan bahwa shalat
malam bisa menjauhkan orang dari adzab."[12]
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan shalat malam
hingga kedua telapak kakinya pecah-pecah."[13]
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَعْقِدُ
الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ
أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ
ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ
عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ!
فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ،
فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ
عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ
أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ.
"Syaitan mengikat di pangkal kepala seseorang darimu
saat ia tidur dengan tiga ikatan yang pada masing-masingnya tertulis, 'Malammu
sangat panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir kepada Allah,
maka satu ikatan lepas, bila ia berwudhu’ satu ikatan lagi lepas dan bila ia
shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi hari ia dalam keadaan semangat
dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka di pagi hari
jiwanya kotor dan ia menjadi malas."[14]
Ibnu Hajar berkata: "Apa yang terungkap dengan jelas
dalam hadits ini adalah, bahwa shalat malam memiliki hikmah untuk kebaikan jiwa
walaupun hal itu tidak dibayangkan oleh orang yang melakukannya, dan demikian
juga sebaliknya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا
وَأَقْوَمُ قِيلًا
"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat
(untuk khusyu') dan bacaan di waktu itu lebih terkesan." [Al-Muzzammil/73:
6]
Sebagian ulama menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa
orang yang melakukan shalat malam lalu ia tidur lagi, maka syaitan tidak akan
kembali untuk mengikat dengan beberapa ikatan seperti semula."[15]
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْـدَ رَمَضَانَ شَهْرُ
اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ
اللَّيْلِ.
"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah
(berpuasa pada) bulan Allah yang mulia (Muharram) dan shalat yang paling utama
setelah shalat wajib adalah shalat malam."[16]
An-Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi
dalil bagi kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari adalah lebih
baik daripada shalat sunnah di siang hari."[17]
Ath-Thibi berkata: "Demi hidupku, sungguh, seandainya
tidak ada keutamaan dalam melakukan shalat Tahajjud selain pada firman Allah:
وَمِنَ
اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ
عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ
مَقَامًا مَحْمُودًا
"Dan pada sebagian malam hari bershalat ta-hajjudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengang-katmu
ke tempat yang terpuji." [Al-Israa’/17: 79]
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
تَتَجَافَىٰ
جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ
رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ
مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ
أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang
mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam
nikmat) yang menyedapkan pandangan mata..." [As-Sajdah/32: 16-17].
Juga ayat-ayat yang lainnya, maka hal itu sudah cukup
menjadi bukti keistimewaan shalat ini."[18]
Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhuma ia
menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ
الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ
دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ
دَاوُدَ: كاَنَ يَنَامُ نِصْفَ
اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.
"Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi
Dawud Alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah juga puasa Nabi Dawud
Alaihissallam. Beliau tidur setengah malam, bangun sepertiga malam dan tidur
lagi seperenam malam serta berpuasa sehari dan berbuka sehari."[19]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Al-Mahlabi
mengatakan Nabi Dawud Alaihissallam mengistirahatkan dirinya dengan tidur pada
awal malam lalu ia bangun pada waktu di mana Allah menyeru, 'Adakah orang yang
meminta?, niscaya akan Aku berikan permintaannya!' lalu ia meneruskan lagi
tidurnya pada malam yang tersisa sekedar untuk dapat beristirahat dari lelahnya
melakukan shalat Tahajjud. Tidur terakhir inilah yang dilakukan pada waktu
Sahur. Metode seperti ini lebih dicintai Allah karena bersikap sayang terhadap
jiwa yang dikhawatirkan akan merasa bosan (jika dibebani dengan beban yang
berat,-ed) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ
حَتَّى تَمَلُّوْا.
'Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merasa bosan sampai
kalian sendiri yang akan merasa bosan.'
Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin selalu melimpahkan
karunia-Nya dan memberikan kebaikan-Nya."[20]
Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَـةً،
لاَ يُوَافِقُهَا رَجُـلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ
اللهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ،
وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ.
"Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu,
yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat
pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut
ada di setiap malam."[21]
An-Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini menetapkan
adanya waktu dikabulkannya do’a pada setiap malam, dan mengandung dorongan untuk
selalu berdo’a di sepanjang waktu malam, agar mendapatkan waktu itu."[22]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رَحِمَ
اللهُ رَجُـلاً، قَامَ مِنَ اللَّيْلِ
فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ اِمْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ
فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ اِمْرَأَةً، قَامَتْ
مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَ أَيْقَظَتْ زَوْجَهَا،
فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِيْ
وَجْهِهِ الْمَاءَ.
"Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di
waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan isterinya lalu sang istri juga
shalat. Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah
merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun
membangunkan suaminya. Bila si suami enggan untuk bangun ia pun memercikkan air
ke wajahnya."[23]
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu ia menuturkan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ
أَهْلَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ
اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.
"Barangsiapa yang bangun di waktu malam dan ia pun
membangunkan isterinya lalu mereka shalat bersama dua raka'at, maka keduanya
akan dicatat termasuk kaum laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir kepada
Allah."[24]
Al-Munawi berkata, "Hadits ini seperti dikemukakan oleh
ath-Thibi menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan kebaikan seyogyanya
menginginkan untuk orang lain apa yang ia inginkan untuk dirinya berupa
kebaikan, lalu ia pun memberikan kepada yang terdekat terlebih
dahulu."[25]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia menuturkan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ
جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ، صَحَّابٍ فِي اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ
بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ
بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ.
"Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang
perilakunya kasar, sombong, tukang makan dan minum serta suka berteriak di
pasar. Ia seperti bangkai di malam hari dan keledai di siang hari. Dia hanya
tahu persoalan dunia tapi buta terhadap urusan akhirat.'"[26]
Dari Anas Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جَعَلَ
اللهُ عَلَيْكُمْ صَلاَةَ قَوْمٍ أَبْرَارٍ
يَقُوْمُوْنَ اللَّيْلَ وَيَصُوْمُوْنَ النَّهَارَ، لَيْسُوْا بِأَثَمَةٍ وَلاَ فُجَّارٍ.
“Allah telah menjadikan pada kalian
shalat kaum yang baik; mereka shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu
siang. Mereka bukanlah para pelaku dosa dan orang-orang yang jahat.”[27]
Dari 'Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Yang pertama kali aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sabda beliau:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا اْلأَرْحَـامَ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.
"Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan,
sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat manusia tertidur,
niscaya kalian akan masuk ke dalam Surga dengan selamat."[28]
'Abdullah bin Qais mengatakan, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahun
anhuma berkata: "Janganlah kalian meninggalkan shalat malam karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Jika
beliau sakit atau malas, beliau shalat dalam keadaan duduk."[29]
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَضْلُ
صَلاَةِ اللَّـيْلِ عَلَى صَلاَةِ النَّهَارِ،
كَفَضْلِ صَدَقَةِ السِّرِّ عَلَى صَدَقَةِ الْعَلاَنِيَةِ.
"Keutamaan shalat malam atas shalat siang, seperti
keutamaan bersedekah secara sembunyi atas bersedekah secara
terang-terangan."[30]
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan pula,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ إِنَّ اللهَ يَضْحَكُ
إِلَى رَجُلَيْنِ: رَجُلٌ قَـامَ فِيْ
لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ مِنْ فِرَاشِهِ وَلِحَافِهِ
وَدِثَارِهِ، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ إِلَى
الصَّلاَةِ، فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
لِمَلاَئِكَتِهِ: مَا حَمَلَ عَـبْدِيْ
هَذَا عَلَى مَا صَنَعَ؟
فَيَقُوْلُوْنَ: رَبُّنَا رَجَاءً مَا عِنْدَكَ
وَشَفَقَةً مِمَّا عِنْدَكَ، فَيَقُوْلُ:
فَإِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا
رَجَا وَأَمَّنْتُهُ مِمَّا يُخَافُ.
"Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua
orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan
selimutnya, lalu ia berwudhu’ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka
menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di
sisi-Mu dan takut dari apa yang ada di sisi-Mu pula.' Allah berfirman,
'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan
memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'"[31]
Masih banyak lagi hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, dorongan terhadapnya
dan kedudukan orang-orang yang senantiasa melakukannya.
Atsar Sahabat Dan Kaum Salaf Tentang Keutamaan Shalat Malam
Dan Anjurannya
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata,
"Sesungguhnya di dalam Taurat tertulis, 'Sungguh Allah telah memberikan
kepada orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur apa yang tidak pernah
terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah
terlintas dalam hati manusia, yakni apa yang tidak di-ketahui oleh Malaikat
yang dekat kepada Allah dan Nabi yang diutus-Nya.'"[32]
Dari Ya’la bin ‘Atha' ia meriwayatkan dari bibinya Salma,
bahwa ia berkata, "'Amr bin al-'Ash berkata, 'Wahai Salma, shalat satu
raka'at di waktu malam sama dengan shalat sepuluh raka'at di waktu
siang."[33]
'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata,
"Seandainya tidak ada tiga perkara; seandainya aku tidak pergi berjihad di
jalan Allah, seandainya aku tidak mengotori dahiku dengan debu karena ber-sujud
kepada Allah dan seandainya aku tidak duduk bersama orang-orang yang mengambil
kata-kata yang baik seperti mereka mengambil kurma-kurma yang baik, maka aku
merasa senang berjumpa dengan Allah."[34]
Saat menjelang wafatnya Ibnu 'Umar, ia berkata, "Tidak
ada sesuatu yang sangat aku sedihkan di dunia ini selain rasa dahaga di siang
hari dan kelelahan di malam hari."
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, "Kemulian
seseorang terletak pada shalatnya di malam hari dan sikapnya menjauhi apa yang
ada pada tangan orang lain."[35]
Thalhah bin Mashraf berkata, "Aku mendengar bila
seorang laki-laki bangun di waktu malam untuk melakukan shalat malam, Malaikat
memanggilnya, 'Berbahagialah engkau karena engkau telah menempuh jalan para
ahli ibadah sebelummu.'" Thalhah mengatakan lagi, "Malam itu pun
berwasiat kepada malam setelahnya agar membangunkannya pada waktu di mana ia
bangun." Thalhah mengatakan lagi, "Kebaikan turun dari atas langit ke
pembelahan rambutnya dan ada penyeru yang berseru, 'Seandainya seorang yang
bermunajat tahu siapa yang ia seru, maka ia tidak akan berpaling (dari
munajatnya).’”[36]
Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Kami tidak mengetahui amal
ibadah yang lebih berat daripada lelahnya melakukan shalat malam dan
menafkahkan harta ini.”[37]
Al-Hasan juga pernah ditanya, “Mengapa orang yang selalu
melakukan shalat Tahajjud wajahnya lebih indah?” Ia menjawab, “Sebab mereka
menyendiri bersama ar-Rahman (Allah), sehingga Allah memberikan kepadanya
cahaya-Nya.”[38]
Syuraik berkata, “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam
hari, maka wajahnya akan tampak indah di siang hari."[39]
Yazid ar-Riqasyi berkata, "Shalat malam akan menjadi
cahaya bagi seorang mukmin pada hari Kiamat kelak dan cahaya itu akan berjalan
dari depan dan belakangnya. Sedangkan puasa seorang hamba akan menjauhkannya
dari panasnya Neraka Sa'ir."[40]
Wahab bin Munabih berkata, "Shalat di waktu malam akan
menjadikan orang yang rendah kedudukannya, mulia, dan orang yang hina,
berwibawa. Sedangkan puasa di siang hari akan mengekang seseorang dari dorongan
syahwatnya. Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin tanpa masuk
Surga."[41]
Al-Awza'i berkata, "Aku mendengar barangsiapa yang lama
melakukan shalat malam, maka Allah akan meringankan siksanya pada hari Kiamat
kelak."[42]
Ishaq bin Suwaid berkata, "Orang-orang Salaf memandang
bahwa berekreasi adalah dengan cara puasa di siang hari dan shalat di malam
hari."[43]
Saya katakan, "Dari pemaparan terdahulu jelaslah bahwa
shalat malam memiliki keutamaan yang besar dan hanya orang yang merugi yang
meninggalkannya."
Kita berlindung kepada Allah dari kerugian dan hanya Dia-lah
tempat memohon pertolongan.
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa
Yahja’uun" karya Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh
Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Hukum Shalat Malam, Tata Cara Melakukan Shalat Malam
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum shalat malam adalah
sunnah mu'akkadah (yang sangat) ditekankan berdasarkan al-Qur-an, as-Sunnah dan
ijma' kaum muslimin. [1]
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menuturkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya dan kepada putri
beliau, Fathimah, di malam hari, lalu beliau berkata, "Mengapa kalian
tidak shalat?" Aku ('Ali) berkata, "Wahai Rasulullah, jiwa kami ada
di tangan Allah, jika Allah berkehendak membangunkan kami (untuk shalat) tentu
kami akan bangun." Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu pergi ketika
kami mengatakan begitu dan beliau sama sekali tidak membalas kami hingga
kemudian aku mendengarnya mengatakan sambil memukul pahanya.
وَكَانَ
اْلإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً
"Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak
membantah." [Al-Kahfi: 54].[2]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada suatu malam di masjid lalu
orang-orang bermakmum dengannya. Kemudian beliau shalat lagi pada malam
berikutnya dan orang-orang yang shalat bersamanya bertambah banyak. Kemudian
pada malam ketiga atau keempat orang-orang telah berkumpul, namun Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika
di pagi hari beliau berkata, "Aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan
dan aku tidak keluar menemui kalian melainkan karena aku takut shalat ini akan
diwajibkan atas kalian." Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan.[3]
Berdasarkan kedua hadits ini dan hadits-hadits lainnya
al-Bukhari membuat sebuah bab dengan judul “Tahriidhin Nabiy Shallallahu
‘alaihi wa sallam 'ala Qayaamil Laili min Ghairi Iijaab" (Dorongan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan shalat malam tanpa
mewajibkannya.)
Ibnu Hajar berkata, "Ibnu al-Munir mengatakan, judul
bab ini mengandung dua hal; dorongan (untuk melakukan shalat malam) dan tidak
mewajibkannya."[4]
Komentar saya, Pada mulanya shalat malam diwajibkan lalu
hukum itu dihapuskan, (berikut penjelasannya):
Dari Sa'ad bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada
Ummul Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, "Wahai Ummul Mukminin,
ceritakanlah kepadaku tentang shalat malam yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam?" ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata,
"Bukankah kamu telah membaca ayat ini,
يَآأَيُّهَا
الْمُزَّمِّلُ
'Wahai orang yang berselimut?'"
Aku menjawab, "Ya." ‘Aisyah berkata,
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan shalat malam di awal surat ini, lalu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya melakukannya selama
setahun hingga telapak kaki mereka pecah-pecah. Akhir surat ini Allah tahan di
atas langit selama dua belas bulan, lalu barulah Allah menurunkan keringanan di
akhir surat ini, maka jadilah shalat malam tersebut shalat yang sunnah, untuk
melengkapi shalat-shalat yang wajib."[5]
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma menafsirkan firman Allah, (قُمِ الَّيْلَ إِلاَّ
قَلِيلاً )
"Bangunlah untuk shalat di malam hari kecuali sedikit daripadanya"
dengan mengatakan, "Allah memerintahkan Nabi-Nya dan kaum mukmin untuk
melakukan shalat di malam hari kecuali sedikit daripadanya, lalu hal itu membuat
berat mereka sehingga Allah meringankannya dan mengasihani mereka dengan
menurunkan ayat,
عَلِمَ
أَن سَيَكُونُ مِنكُمْ مَّرْضَى
"Allah tahu bahwa di antara kalian ada orang-orang yang
sedang sakit."
Dengan turunnya ayat ini Allah telah membuat mereka merasa
lapang dan tidak sempit. Masa di antara turunnya dua ayat itu adalah setahun,
yakni antara ayat,
يَآأَيُّهَا
الْمُـزَّمِّلُ قُـمِ الَّيْلَ
"Wahai orang yang berselimut, bangunlah untuk melakukan
shalat di malam hari."
Dan ayat
فَاقْرَءُوا
مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
"Bacalah apa yang mudah bagimu" [6] hingga akhir
surat.
Dalil-Dalil Lain Yang Menunjukkan Bahwa Shalat Malam Adalah
Sunnah.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menceritakan, bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada suatu malam lalu beliau berkata:
سُبْحَانَ
اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ
مِنَ الْفِتْنَةِ، مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ
الْخَـزَائِنِ، مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ
الْحُجُرَاتِ، يَا رُبَّ كَاسِيَةٍ
فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي اْلآخِرَةِ.
"Subhanallah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini
dan simpanan apa yang Dia turunkan bagi orang yang membangunkan wanita-wanita
yang tengah tidur di kamarnya. Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang berpakaian
di dunia tetapi telanjang di akhirat."[7]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Tidak wajibnya
melakukan shalat malam, diambil dari sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang tidak mewajibkan para wanita tersebut melakukannya."[8]
Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ
بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ،
وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ
لِلسَّيِّئَاتِ، مَنْهَاةٌ عَنِ اْلإِثْمِ.
"Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu
merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan
kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah dari
perbuatan dosa." [9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia meriwayatkan sebuah
hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang di antara sabdanya adalah:
تَعَلَّمُوْا
الْقُرْآنَ، وَاقْرَأُوْهُ، وَإِنْ لَمْ تَقُوْمُوْا
بِهِ، فَإِنَّ مَثَلَ الْقُرْآنِ
لِمَنْ تَعَلَّمَهُ فَقَرَأَهُ وَقَامَ بِهِ كَمَثَلِ
جَرَابٍ مَحْشُوٍّ مِسْكًا، يَفُوْحُ رِيْحُهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ،
وَمَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَهُ وَرَقَدَ
وَهُوَ فِي جَوْفِهِ، كَمَثَلِ
جَرَابٍ أُوْكِيَ عَلَى مِسْكٍ.
"Pelajarilah oleh kalian al-Qur-an dan bacalah,
walaupun kalian tidak melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu,
karena sesungguhnya perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an lalu
membacanya dan melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu, seperti
kantung yang berisi minyak misik dan semerbaknya menyebar ke seluruh tempat. Sedangkan
perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an dan ia tidur (tidak bangun untuk
melakukan shalat malam) sedang al-Qur-an itu ada dihafalannya, seperti kantung
yang ditutup dengan minyak misik." [10]
Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
anhuma, "Sesungguhnya aku ingin melakukan shalat Tahajjud karena Allah,
tapi aku tidak mampu karena lemah." Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
berkata, "Wahai anak saudaraku, tidurlah semampumu dan bertakwalah kepada
Allah semampumu pula." [11]
Sufyan rahimahullah berkata, "Seburuk-buruk keadaan
seorang mukmin adalah saat ia tidur dan sebaik-baik keadaan orang yang jahat
adalah saat ia tidur. Karena seorang mukmin bila ia terbangun ia selalu dalam
keadaan taat kepada Allah dan itu lebih baik daripada ia tidur. Sedangkan orang
yang jahat bila ia terbangun ia selalu dalam keadaan bermaksiat kepada Allah,
maka tidurnya lebih baik daripada terjaganya." [12]
TATA CARA MELAKUKAN SHALAT MALAM
Tidak ada tata cara khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang cara melakukan shalat malam, tetapi tata cara yang ada adalah
beragam, sehingga seorang muslim boleh melakukan cara yang mana saja.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya Zaadul Ma'aad [13]
membuat pasal dengan judul: "Pasal tentang tuntunan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat malam" Di sini ia menyebutkan
tata cara yang banyak tentang shalat malam yang bersumber dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Antara lain adalah:
Pertama: Cara yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada malam hari lalu
melakukan shalat dua raka'at dengan memperlama berdiri, ruku' dan sujud.
Kemudian beliau pergi lalu tidur hingga meniup-niup. [14] Kemudian beliau
melakukan itu sebanyak tiga kali dengan enam raka'at. Pada tiap kalinya beliau
bersiwak dan berwudhu’ dan beliau membaca,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ
(hingga akhir surat). Kemudian beliau melakukan shalat Witir
tiga raka'at, lalu muadzin adzan dan beliau keluar untuk melakukan shalat
Shubuh… (dan seterusnya hingga akhir hadits).[15]
Kedua: Cara yang disampaikan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,
yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan
mengerjakan dua raka'at yang pendek, lalu beliau menyempurnakan rutinitasnya
melakukan shalat sebanyak sebelas raka'at. Pada tiap dua raka'at beliau salam
dan melakukan witir satu raka'at.
Ketiga: Tiga belas raka'at seperti cara yang kedua.
Keempat: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
shalat malam sebanyak delapan raka'at dengan salam pada tiap-tiap dua raka'at,
lalu shalat Witir sebanyak lima raka'at sekaligus, tanpa duduk kecuali pada
raka'at akhir.[16]
Kelima: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
sebanyak sembilan raka'at dengan melakukannya secara bersambung pada delapan
raka'at tanpa duduk kecuali pada raka'at yang kedelapan, di mana di akhir
raka'at ini beliau duduk untuk berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdo’a
kepada-Nya, lalu beliau bangun tanpa salam dan meneruskan raka'at yang
kesembilan, lalu setelah itu duduk, membaca tasyahud dan salam. Se-telah salam
beliau shalat lagi dua raka'at dengan duduk.[17]
Keenam: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
tujuh raka'at seperti cara melakukan sembilan raka'at sebelumnya, (yaitu enam
raka'at dilakukan secara bersambung tanpa duduk kecuali pada raka'at akhir, di
mana beliau duduk untuk berdzikir, memuji Allah dan berdo’a kepada-Nya dan
setelah itu bangun tanpa salam untuk melakukan raka'at yang ketujuh dan setelah
itu baru beliau salam), lalu setelah salam beliau shalat dua raka'at dengan
duduk.
Ketujuh: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua
raka'at-dua raka'at lalu beliau shalat Witir tiga raka'at tanpa dipisahkan di
antara tiga raka'at itu dengan salam (salam setelah tiga raka'at). Imam Ahmad
meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat Witir tiga raka'at tanpa dipisah-kan di antara
raka'at-raka'at itu.[18]
Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata:
"Cara yang kami pilih bagi orang yang melakukan shalat malam adalah,
melakukannya dua raka'at-dua raka'at, dengan salam pada tiap-tiap dua raka'at
itu, dan terakhir ditutup dengan satu raka'at, berdasarkan hadits-hadits
ini." Perkataannya, "Ini pendapat kami" merupakan pilihan dan
bukan sebuah kewajiban. Sebab telah diri-wayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bahwa beliau shalat lima raka'at tanpa salam kecuali di akhirnya.
Dengan demikian, maka sabda Nabi yang berbunyi, "Shalat itu dilakukan dua
raka'at-dua raka'at," adalah sebuah pilihan. Sedangkan bagi yang
menginginkan melakukannya tiga raka'at, atau lima raka'at, atau tujuh raka'at,
atau sembilan raka'at tanpa salam kecuali di akhirnya, maka hal itu boleh,
tetapi yang baik adalah, salam pada tiap dua raka'at dan witir satu raka'at.
[19]
Berdiri Dengan Lama:
Di antara tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
bahwa beliau memperlama berdiri dalam shalat.
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku
shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memperlama
berdirinya hingga aku ingin berbuat buruk." Ia ditanya, "Apa yang
kamu akan lakukan?" Ia mengatakan, "Aku ingin saja duduk dan
meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[20]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini
menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih memperlama berdiri
dalam melakukan shalat malam, dan Ibnu Mas'ud adalah seorang yang kuat yang
selalu mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak ingin duduk,
kecuali setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lama sekali yang
tidak biasanya beliau dilakukan."[21]
Berdiri Dan Duduk Dalam Shalat
Ibnul Qayyim mengemukakan, bahwa shalat malam yang dilakukan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tiga cara: [22]
Pertama : Shalat dengan berdiri dan ini yang paling sering
beliau lakukan.
Kedua : Shalat dalam keadaan duduk dan ruku' dalam keadaan
duduk pula.
Ketiga : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
surat dalam keadaan duduk dan bila bacaannya tinggal sedikit beliau bangun lalu
ruku' dalam keadaan berdiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Ketiga cara itu
bersumber secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[23]
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa
Yahja’uun" karya Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh
Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
ETIKA SHALAT MALAM
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
Sesungguhnya shalat malam memiliki beberapa etika yang
merupakan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukannya. Di
antaranya adalah:
1. Niat Bangun Untuk Shalat Ketika Akan Tidur
Hal itu agar seseorang mendapatkan pahala shalat malam jika
ia tidak melakukannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.
"Sesungguhnya segala amal perbuatan ditentukan oleh
niat."[1]
An-Nasa-i dan lainnya meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ، وَهُوَ
يَنْوِي أَنْ يَقُوْمَ يُصَلِّي
مِنَ اللَّيْلِ، فَغَلَبَهُ النَّوْمُ حَتَّى يُصْبِحَ، كُتِبَ
لَهُ مَا نَوَى، وَكَانَ
نَوْمُهُ صَدَقَةً مِنْ رَبِّهِ عَزَّ
وَجَلَّ.
"Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia
telah berniat untuk bangun melakukan shalat di malam hari, namun ia tertidur
hingga waktu Shubuh, maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan
tidurnya itu adalah sedekah dari Rabb-nya."[2]
2. Berdzikir ketika bangun tidur
Apabila seseorang bangun dari tidurnya untuk melakukan
shalat Tahajjud ia disunnahkan berdzikir kepada Allah.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: "Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangun pada waktu malam untuk melakukan
shalat Tahajjud beliau membaca:
اَللَّهُمَّ
لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ
الْحَمْدُ، لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ
الْحَمْدُ، أَنْتَ نُوْرُ السَّمَوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ
الْحَمْدُ، أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ
الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ
حَقٌّ، وَلِقَاءُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ،
وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ،
وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ،
اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ
آمَنْتُ، وَعَلَـيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ
حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ
وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا
أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ
الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ
أَنْتَ.
"Ya Allah bagi-Mu segala puji, Engkau Yang mengurus
langit dan bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji,
milik-Mu kerajaan langit dan bumi dan makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu
segala puji, Engkau cahaya langit dan di bumi dan apa yang ada di dalamnya.
Bagi-Mu segala puji, Engkau Raja di langit dan di bumi dan bagi semua makhluk
yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau adalah haq, janji-Mu adalah
haq, berjumpa dengan-Mu adalah haq, firman-Mu adalah haq, Surga adalah haq,
Neraka adalah haq, para Nabi adalah haq, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah haq dan hari Kiamat juga haq. Ya Allah hanya kepada-Mu aku pasrah,
kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali, dengan
hujjah-Mu aku bertikai, kepada-Mu aku memohon putusan hukuman. Ampuni-lah
dosaku yang lalu dan akan datang, yang tersembunyi dan yang terang-terangan.
Engkau Yang mendahulukan dan Yang meng-akhirkan. Tidak ada ilah yang berhak di-
ibadahi kecuali Engkau."[3]
Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, "Aku
bertanya kepada ‘Aisyah tentang apa yang pertama dibaca Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam memulai shalatnya ketika beliau shalat malam?' ‘Aisyah
menjelaskan, 'Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila melakukan shalat malam
memulai shalatnya dengan membaca:
اَللَّهُمَّ،
رَبَّ جَبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ،
عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّـهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ
عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ
يَخْتَلِفُوْنَ، اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْـهِ
مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ
تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
"Ya Allah, Rabb Malaikat Jibril, Mika’il dan Israfil,
Pencipta langit dan bumi dan Yang Mengetahui yang tersembunyi dan yang
terlihat, Engkau yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu apa yang mereka
perselisihkan. Tunjukkanlah kepadaku pada apa yang benar dari apa yang
diperselisihkan itu dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau yang menunjukan kepada
siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus."[4]
An-Nawawi rahimahullah berkata dalam al-Majmuu',
"Disunnahkan bagi setiap orang yang bangun untuk melakukan shalat malam,
mengusap (menghilangkan) rasa kantuk dari wajahnya, bersiwak, memandang ke atas
langit dan membaca ayat terakhir dari surat Ali 'Imran (إِنَّ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ ), (hingga akhir
surat). Cara ini dijelaskan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[5]
3. Bersiwak Ketika Bangun Untuk Melakukan Shalat Malam
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Hudzaifah Radhiyallahu
anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangun di malam hari
untuk melakukan shalat Tahajjud beliau menggosok mulutnya dengan siwak.[6]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa ia
tidur dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia bangun, lalu
bersiwak dan berwudhu’.[7]
4. Membangunkan Keluarga Untuk Melakukan Shalat Tahajjud
Hal ini demi menjalankan firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa..." [Al-Maa-idah: 2].
Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada suatu malam lalu beliau
berkata:
سُبْحَانَ
اللهِ، مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ
مِنَ الْفِتْنَةِ، مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ
الْخَزَائِنِ، مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ
الْحُجُـرَاتِ، يَا رُبَّ كَاسِيَةٍ
فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
"Subhanallaah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini
dan simpanan apa yang Dia turunkan untuk orang yang membangunkan
istri-istrinya.Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang berpakaian di dunia tapi
telanjang pada hari Kiamat kelak."[8]
'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, menuturkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya dan kepada Fathimah
pada suatu malam, "Tidakkah kalian melaksanakan shalat?"[9]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Ibnu Bathal
menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terkandung keutamaan shalat malam dan
membangunkan orang-orang yang masih tidur dari anggota keluarga dan kerabat
untuk juga melakukannya."[10]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada malam hari dan bila beliau
melakukan shalah witir beliau berkata: 'Bangunlah dan shalat Witirlah wahai
‘Aisyah!'"[11]
5. Mengawali Shalat Malam Dengan Melakukan Shalat Dua
Raka'at Yang Pendek
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, "Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangun di malam hari untuk
melakukan shalat, beliau mengawalinya dengan shalat dua raka'at yang
pendek."[12]
Dari Zaid bin Khalid al-Juhani Radhiyallahu anhu, ia
berkata, "Demi Allah aku melihat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di malam hari. Beliau shalat dua raka'at yang pendek dan kemudian shalat
dua raka'at yang panjang."[13]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ
اللَّيْلِ، فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ.
"Bila seseorang dari kalian bangun di malam hari
hendaklah ia mengawali shalatnya dengan melakukan shalat dua raka'at yang
pendek."[14]
An-Nawawi rahimahullah berkomentar, "Hadits ini
menunjukkan disunnahkannya mengawali shalat Tahajjud dengan melakukan dua raka'at
yang pendek agar seseorang semangat untuk melakukan raka'at-raka'at
selanjutnya."[15]
6. Menangis Saat Membaca Al-Qur-an Dan Merenungkannya
Adapun menangis, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bila shalat terdengar darinya suara seperti suara periuk, karena tangisan.[16]
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata:
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, 'Bacakanlah
al-Qur-an kepadaku!' Aku berkata, 'Apakah aku pantas membacakan al-Qur-an
kepadamu, sedangkan kepadamulah al-Qur-an itu diturunkan?' Beliau berkata,
'Sesungguhnya aku senang mendengarkannya dari orang lain.' Maka akhirnya aku
pun membacakan kepadanya ayat dalam surat an-Nisaa', hingga saat sampai pada
ayat:
فَكَيْفَ
إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ
أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَاؤُلآءِ
شَهِيدًا
'Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan
ka-mu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (se-bagai umatmu).'
[An-Nisaa'/4: 41].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Cukuplah!'
Ketika aku mengangkat kepalaku, aku melihat air mata mengalir dari
matanya."[17]
Al-Hasan berkata, "‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
anhu membaca ayat yang rutin ia baca pada malam hari, lalu ia menangis hingga terjatuh
dan ia tetap berada di rumah sampai ia dijenguk karena sakit."[18]
Adapun merenungkan dan menghayati bacaan ayat-ayat al-Qur-an
maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan dalam masalah ini.
Bahkan kadang beliau shalat di malam hari hanya membaca satu ayat saja
sebagaimana yang tersebut dalam riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma.[19]
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: "Demi Allah
membaca surat al-Baqarah dengan tartil dan merenungkannya lebih aku sukai
daripada membaca seluruh al-Qur-an dalam satu malam."[20]
7. Berdo’a Dalam Shalat Malam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa
memperbanyak do’a dalam shalatnya dan juga dalam Tahajjudnya, karena pada
waktu-waktu tersebut kemungkinan besar dikabulkannya do’a.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً،
لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ
اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا
وَاْلآخِرَةِ، إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ،
وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ.
'Sesungguhnya di malam hari terdapat suatu waktu, yang
apabila seorang muslim memohon kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat
bertepatan dengan waktu itu, Allah pasti mengabulkannya dan waktu itu ada di
setiap malam.'"[21]
8. Tidak Memberatkan Jiwa Dalam Menjalankan Ketaatan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ
الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ،
فَسَدِّدُوْا، وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.
"Sesungguhnya agama ini mudah dan siapapun yang
memberatkannya pasti akan kepayahan, oleh karenanya bersikap adillah
(sedang-sedang saja dalam beribadah), men-dekatkan dirilah, berbahagialah dan
jadikanlah waktu pagi, siang dan sebagian waktu malam untuk melakukan
ibadah."[22]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia bercerita, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya dan ketika itu ia tengah bersama
seorang wanita. Beliau bertanya, "Siapakah ini?" ‘Aisyah menjawab,
"Ini Fulanah yang dikenal sangat giat dalam shalat." Beliau berkata:
"Mah (hentikanlah), lakukanlah apa yang kalian mampu melakukannya! Demi
Allah, Allah tidak pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang bosan, dan
beragama yang paling dicintai Allah adalah yang dijalankan seseorang secara
terus-menerus."[23]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Kata 'mah' merupakan
isyarat dimakruhkannya hal itu, karena khawatir kelemahan dan kebosanan akan
menimpa si pelakunya. Tujuannya adalah agar ia tidak berhenti dari menjalankan
amal ibadah yang biasa ia lakukan, sehingga ia menarik diri dari apa yang telah
ia berikan kepada Rabb-nya."[24]
9. Tidak Melakukan Shalat Tahajjud Jika Mengantuk
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي
الصَّلاَةِ، فَلْيَنَمْ حَتَّى يَعْلَمَ مَا
يَقْرَأُ.
"Bila seseorang dari kalian mengantuk dalam shalatnya,
maka hendaklah ia tidur agar ia mengetahui apa yang yang dibacanya."[25]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي
الصَّلاَةِ، فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ
النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَـدَكُمْ إِذَا
صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ، لَعَلَّهُ
يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ.
"Bila seseorang dari kalian mengantuk dalam shalatnya,
hendaklah ia tidur agar rasa kantuknya hilang. Sebab bila seseorang dari kalian
shalat dalam keadaan mengantuk bisa jadi dia memohon ampunan kepada Allah, lalu
ia mencaci dirinya sendiri."[26]
An-Nawawi rahimahullah memberikan komentarnya, "Di
dalam hadits ini terdapat dorongan shalat dalam keadaan khusyu', konsentrasi
hati dan semangat. Di dalamnya juga terdapat perintah tidur kepada orang yang
mengantuk atau yang sejenisnya yang bisa menghilangkan rasa kantuk
itu."[27]
10. Tidur Setelah Melakukan Shalat Tahajjud
Disunnahkan bagi seorang mukmin setelah melakukan shalat
Tahajjud untuk tidur. Yaitu pada waktu sahur dan inilah salah satu tuntunan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
'Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, "Aku tidak
mendapati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu Sahur di rumahku
atau di dekatku melainkan dalam keadaan tidur."[28]
'Abdul Qadir al-Jailani al-Hanbali, seseorang yang hidup
zuhud pada masanya berkata, "Disunnahkan bagi orang yang melakukan shalat
Tahajjud untuk tidur pada akhir malam karena dua hal: (1) Hal itu dapat
melenyapkan rasa kantuk di pagi hari. (2) Tidur di akhir malam dapat
menghilangkan warna kekuningan di wajah. Karena bila seseorang kelelahan dan
tidak tidur maka akan ada warna kekuningan di wajahnya. Seyogyanya seseorang
menghilangkannya, karena itu merupakan pintu yang samar dan termasuk bentuk
popularitas yang tersembunyi serta termasuk syirik yang samar. Sebab ia akan
mendapat acungan jempol (dipuji orang) dan akan dikira sebagai orang yang
shalih yang senantiasa bergadang (untuk beribadah), berpuasa dan takut kepada
Allah karena ada warna kekuningan di wajahnya. Kita berlindung kepada Allah
dari perbuatan syirik dan riya' serta hal-hal yang membawa kepadanya."[29]
11. Berdo’a Seusai Shalat
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap usai shalat Witir membaca:
اَللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ
مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ
أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ
كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
"Ya Allah sesungguhnya aku berlindung dengan
keridhaan-Mu dari murka-Mu, dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu dan aku berlindung
kepada-Mu dari-Mu. Aku tak mampu menghitung pujian terhadap-Mu, Engkau adalah
sebagaimana yang Engkau pujikan terhadap diri-Mu sendiri."[30]
Syamsul Haqqil ‘Azhim Abadi berkata, "Yakni berdo’a
setelah salam, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain."[31]
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa
Yahja’uun" karya Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh
Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Manfaat Shalat Malam, Meninggalkan Shalat Tahajjud
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
Di antara manfaat shalat Tahajjud adalah:
Pertama: Seorang manusia bila ia berdiri melakukan shalat
Tahajjud karena Allah, maka ia akan mudah berdiri pada hari di mana semua manusia
akan berdiri menghadap kepada Rabb alam semesta. Namun bila seseorang
bersenang-senang dan menghabiskan hari-harinya dengan kesia-siaan maka ia akan
mendapatkan kesulitan di akhirat sana. Maka seseorang yang lelah di dunia ini,
akan senang, bahagia dan menikmati suasana di akhirat sana.
Kedua: Laki-laki yang senantiasa melakukan shalat Tahajjud
akan diberikan oleh Allah pada hari Kiamat kelak istri-istri yang banyak dari
kalangan bidadari. Balasan adalah sesuai dengan amal perbuatan manusia.
Ketiga: Mendapatkan kesehatan badan. Seseorang yang bangun
di waktu malam untuk melakukan shalat Tahajjud wajahnya akan dijadikan oleh
Allah berwibawa, bersinar dan bercahaya.
Keempat: Hidayah, taufik dan bimbingan manusia kepada
kebaikan segala urusannya ada-lah bila ia menunaikan hak-hak Allah. Maka Allah
akan menunjukinya kepada jalan-jalan kebaikan tanpa ia sadari dan berbagai
faidah, pe-mahaman dan karunia datang di tengah gelapnya malam. Bila manusia
tidak mampu memahami sesuatu lalu ia bangun untuk melakukan shalat malam maka
Allah akan membukakan pemaha-man kepadanya.
Kelima: Ini adalah manfaat yang paling besar dan agung,
yaitu melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila para ahli ibadah mengetahui bahwa
mereka tidak akan melihat Rabb-nya pada hari Kiamat kelak, maka mereka akan
binasa sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan al-Bashri.[2]
MENINGGALKAN SHALAT TAHAJJUD
Keadaan orang yang meninggalkan shalat Tahajjud dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Pertama: Orang yang meninggalkan rutinitas shalat
Tahajjudnya
Yaitu orang yang tidak bisa melakukan shalat Tahajjud karena
ada suatu halangan, seperti sakit, atau ketiduran, atau lainnya. Orang seperti
ini dengan izin Allah, tetap dituliskan pahala untuknya sebagaimana hadits yang
telah dikemukakan sebelumnya. Namun demikian mereka disunnahkan mengqadha’
shalat Tahajjudnya yang tertinggal itu di siang hari dengan tanpa melakukan
witir.
Dari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ
أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ،
فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلاَةِ
الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ، كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا
قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ.
"Barangsiapa yang tertidur dari wiridnya atau dari
kebiasaannya yang lain, lalu ia membaca bacaannya tersebut pada waktu antara
shalat Fajar dan shalat Zhuhur, maka dituliskan untuknya pahala seperti ia
membacanya di malam hari."[3]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan:
أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَانَ إِذَا
نَامَ مِنَ اللَّيْلِ مِنْ
وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ، فَلَمْ
يُصَلِّ بِاللَّيْلِ، صَلَّى مِنَ النَّهَارِ
اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.
"Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila di
malam hari tidur karena sakit atau lainnya sehingga beliau tidak melakukan
shalat Tahajjud, maka di siang harinya beliau shalat sebanyak dua belas
raka'at."[4]
Kedua: Orang yang meninggalkan shalat Tahajjud setelah
sebelumnya rutin melakukannya
Ketahuilah semoga Allah merahmati kita dan Anda, bahwa tidak
seyogyanya Anda meninggal-kan shalat Tahajjud, bila anda termasuk orang yang
suka melakukannya. Sebab itu mengindikasikan Anda berpaling dari ibadah.
'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash mengatakan, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata kepadaku:
ياَ عَبْـدَ اللهِ لاَ
تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ، كَانَ
يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.
'Wahai ‘Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan, dahulunya
ia suka melakukan shalat Tahajjud, lalu tidak melakukannya lagi."[5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini
menunjukkan disunnahkannya melakukan kebaikan yang biasa dilakukan secara
terus-menerus tanpa mengabaikannya. Dari hadits ini juga dapat dipetik
kesimpulan tentang dimakruhkannya menghentikan ibadah, walaupun ibadah tersebut
bukan ibadah yang wajib."[6]
Ketiga: Orang yang tidak pernah melakukan shalat malam sama
sekali
Tanpa diragukan lagi, bahwa orang yang tidak melakukan
shalat Tahajjud telah mengabaikan menjalin komunikasi dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Bagaimana seorang mengaku mencintai Allah, lalu ketika terbuka
kesempatan baginya untuk ber-khalwah (menyendiri menunajat kepada Allah), ia
justru meremehkannya, bermalas-malasan dan tidur. Ia tidak mau untuk menerima
shalat Tahajjud ini, yang mana ia merupakan tempatnya berlindung. Ia justru
menyia-nyiakan keutamaan dan pahala yang besar serta dorongan Allah untuk
melakukan shalat Tahajjud. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan atas
minimnya bagian yang diperoleh dan hilangnya taufik-Nya.
Perhatikanlah sangsi yang diterima oleh orang yang meninggalkan
shalat malam!
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diceritakan tentang seseorang yang tidur, tidak
bangun-bangun hingga pagi hari, lalu beliau bersabda,
ذَاكَ رَجُلٌ بَالَ الشَّيْطَانُ
فِي أُذُنِهِ.
'Itu adalah seseorang yang telinganya di-kencingi
syaitan!'"[7]
Al-Bukhari rahimahullah berkata, “'Aqdusy Syaithaani 'ala
Qaafiyatir Ra’-si idza lam Yushalli bil Lail, "Bab: Ikatan syaitan
mengikat ikatan di pangkal kepala seseorang, apabila ia tidak melakukan shalat
Tahajjud." Kemudian ia meriwayatkan hadits melalui sanadnya yang sampai
kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
يَعْقِدُ
الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ
أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ
ثَلاَثَ عُقَدٍ، يَضْرِبُ كُلَّ
عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ،
فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ،
فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ
عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ
أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ.
"Syaitan mengikat sebanyak tiga ikatan di pangkal
kepala seseorang dari kalian ketika ia tidur, yang pada masing-masing ikatan
itu tertulis, 'Malammu panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir
kepada Allah, maka satu ikatan lepas, lalu bila ia berwudhu’ satu ikatan lagi
lepas, lalu bila ia shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi harinya ia
memiliki semangat dan dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan hal
itu, maka jiwanya dalam keadaan buruk dan ia pemalas."[8]
Sebagian kaum Salaf mengatakan, "Bagaimana mungkin
seseorang bisa selamat dari buruknya hisab, sedangkan di malam hari ia tidur
dan di siang hari ia bermain-main?"
Berusahalah wahai saudaraku -semoga Allah melindungi Anda-
untuk melakukan shalat Tahajjud, walaupun hanya dua raka'at yang ringan
(pendek) sebelum Fajar, karena di dalamnya terdapat keberkahan. Raka'at yang
sedikit dari shalat di malam hari adalah terhitung banyak. Bersabarlah atas hal
itu dan lakukanlah secara kontinyu, karena dengan bersabar, khusyu', meminta
dan merendah kepada Allah engkau akan mendapat keteguhan, pertolongan dan
hilangnya kelelahan serta beban yang berat.
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa
Yahja’uun" karya Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh
Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Sumber:
http://almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment