Monday, April 16, 2012

Apakah Dajjal Masih Hidup (Sekarang Ini)? Dan Apakah Dia Sudah Ada Pada Zaman Nabi ?


Apakah Dajjal Masih Hidup (Sekarang Ini)? Dan Apakah Dia Sudah Ada Pada Zaman Nabi ?



Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


4. Apakah Dajjal Masih Hidup (Sekarang Ini)? Dan Apakah Dia Sudah Ada Pada Zaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam?
Sebelum menjawab dua pertanyaan ini, hendaknya kita mengetahui keadaan Ibnu Shayyad, apakah dia Dajjal atau bukan?

Jika Dajjal itu bukan Ibnu Shayyad, apakah dia sudah ada sebelum ia menampakkan fitnahnya atau belum?

Dan sebelum menjawab pertanyan-pertanyaan ini, kami akan mengenal-kan Ibnu Shayyad terlebih dahulu.

a. Ibnu Shayyad.
Namanya adalah Shafi -ada juga yang mengatakan ‘Abdullah- bin Shayyad atau Shaa-id.[1]

Ia dari kalangan Yahudi Madinah, ada juga yang mengatakan dari ka-langan Anshar. Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, ia masih kanak-kanak.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ia masuk Islam, dan anaknya adalah ‘Umarah yang termasuk di antara Tabi’in yang terkemuka. Imam Malik rahimahullah dan yang lainnya meriwayatkan darinya.[2]

Imam adz-Dzahabi rahimahullah memuat biografi tentangnya dalam kitab ‘Tajriidu Asmaa-ish Shahaabah’, beliau berkata, “‘Abdullah bin Shayyad, Ibnu Syahin [3] menyebutkan dalam periwayatannya, ia berkata, ‘Dia adalah Ibnu Sha-id, ayahnya seorang Yahudi, ‘Abdullah dilahirkan dalam keadaan buta dan dalam keadaan telah dikhitan, dialah yang dikatakan orang sebagai Dajjal. Kemudian ia masuk Islam, ia termasuk kalangan Tabi’in, dan pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika masih kafir).” [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya al-Ishaabah, menyebutkan biografinya sebagaimana yang diutarakan oleh Imam adz-Dzahabi, selanjutnya ia berkata, “Di antara anaknya adalah ‘Umarah bin ‘Abdullah bin Shayyad, ia termasuk orang terkemuka di antara kaum muslimin, dan termasuk rekan Sa’id bin Musayyib. Imam Malik dan yang lainnya telah meriwayatkan hadits darinya.”

Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan sejumlah hadits tentang Ibnu Shay-yad, sebagaimana akan kita sebutkan pada kesempatan berikutnya.

Selanjutnya beliau berkata, “Secara garis besar, mengkategorikan Ibnu Shayyad dalam golongan Sahabat tidak memiliki arti penting, sebab apabila ia benar-benar Dajjal, maka secara pasti ia tidak mungkin tergolong Sahabat karena kematiannya pasti dalam keadaan kafir. Akan tetapi jika tidak seperti itu, maka keadaan bertemunya dia dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah saat dirinya belum masuk Islam.” [5]

Akan tetapi jika setelahnya ia masuk Islam, maka ia termasuk Tabi’in yang melihat wajah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (sebelumnya), sebagaimana yang dikatakan oleh adz-Dzahabi.

Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdzibut Tahdziib memuat biografi ‘Umarah bin Shayyad dan berkata, “‘Umarah bin ‘Abdillah bin Shayyad al-Anshari, Abu Ayyub al-Madani, ia meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah, Sa’id bin Musayyib, ‘Atha' bin Yasar. Adapun para perawi yang meriwayatkan darinya adalah adh-Dhahhak bin ‘Utsman al-Khuzami, Imam Malik bin Anas dan selainnya. Ibnu Ma’in dan an-Nasa-i berkata, “Ia tsiqah.” Abu Hatim berkata, “Haditsnya baik.” Dan Ibnu Sa’ad berkata, “Ia tsiqah tetapi periwayatannya sedikit.” Imam Malik bin Anas tidak mengunggulkan keutamaan yang lain darinya, dan mereka berkata: kami bani Usyaihib bin an-Najjar, dan terkenal dengan sebutan bani Najjar, dan mereka sekarang sekutunya bani Malik bin an-Najjar, namun tidak diketahui asal-usul mereka [6]
.
b. Prihal Ibnu Shayyad.
Ibnu Shayyad adalah tukang dusta, terkadang ia menjadi dukun yang ucapannya bisa jadi benar atau salah. Kemudian tersebar kabar tentangnya di tengah-tengah manusia bahwasanya dia adalah Dajjal. Sebagaimana akan di-jelaskan berikutnya dalam pembahasan ujian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya.

c. Ujian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Kepadanya.
Ketika tersebar berita tentang Ibnu Shayyad bahwa dia adalah Dajjal, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengetahui keadaannya. Ketika itu beliau pergi dengan sem-bunyi-sembunyi sehingga Ibnu Shayyad tidak merasakannya dengan harapan agar beliau mendengarkan sesuatu darinya. Dan ketika itu beliau mengajukan beberapa pertanyaan yang dapat menjelaskan jati dirinya.

Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ‘Umar pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga sekelompok Sahabat, sehingga mereka mendapati sedang bermain bersama anak-anak di sebuah bangunan tinggi seperti benteng Ibnu Maghalah [7]. Ketika itu Ibnu Shayyad telah mendekati baligh, dia tidak merasakan sesuatu hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menepuknya dengan tangan beliau, lalu berkata kepada Ibnu Shayyad, “Apakah engkau bersaksi bahwasanya aku adalah utusan Allah?” Kemudian Ibnu Shayyad menatapnya, lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusannya orang-orang yang ummi (buta huruf),” selanjutnya Ibnu Shayyad berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah engkau bersaksi bahwasanya aku adalah utusan Allah?” Beliau menolaknya dan berkata, “Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya.” “Apa yang engkau lihat?” Lanjut Nabi. Ibnu Shayyad berkata, “Datang kepadaku seorang yang jujur dan seorang pendusta.” Kemudian Nabi berkata, “Pikiranmu kacau balau, apakah aku menyembunyikan sesuatu darimu?” Kemudian Ibnu Shayyad menjawab, “Ad-Dukh [8].” “Duduklah, sesungguhnya engkau tidak akan pernah melampaui kedudukanmu,” kata Nabi. Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Biarkanlah aku memenggal lehernya!” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Jika dia memang (Dajjal), maka engkau tidak akan bisa mengalahkannya, dan jika dia bukan (Dajjal), maka tidak ada kebaikan bagimu membunuhnya.”[9]

Dalam riwayat lain, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bertanya kepadanya, “Apa yang engkau lihat?” Dia menjawab, “Aku melihat singgasana di atas air, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Engkau melihat singgasana iblis di atas lautan, apa lagi yang engkau lihat?” Dia menjawab, “Aku melihat dua orang yang jujur dan satu orang pendusta, atau dua orang pendusta dan satu orang yang jujur.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Pikirannya telah kacau, tinggalkanlah dia!”[10]

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Setelah itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama Ubay bin Ka’ab bertolak ke sebuah perkebunan kurma yang di dalamnya ada Ibnu Shayyad. Dengan sembunyi-sembunyi beliau berusaha untuk mendengarkan sesuatu dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad melihat beliau. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya sedang berbaring -dengan mengenakan pakaian kasar yang ada tandanya-. Lalu ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang bersembunyi di balik batang pohon kurma, dia berkata kepada Ibnu Shayyad. “Wahai Shafi -nama Ibnu Shayyad- ini adalah Muhammad,” lalu dia meloncat, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Seandainya ibunya membiarkannya, niscaya perkaranya akan jelas.” [11]

Abu Dzarr Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutusku untuk menemui ibunya, beliau berkata, ‘Tanyalah berapa lama dia mengandungnya?’ Lalu aku mendatanginya dan bertanya kepadanya, kemudian dia menjawab, ‘Aku mengandungnya selama 12 bulan.’” (Abu Dzarr) berkata, “Kemudian beliau mengutusku (lagi) kepadanya, ‘Tanyakanlah kepadanya tentang jeritannya ketika lahir?’” (Abu Dzarr) berkata, “Lalu aku kembali kepadanya, dan bertanya, dia menjawab, ‘Dia menjerit bagaikan anak yang berumur satu bulan.’” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya (anak itu), ‘Sesungguhnya aku telah merahasiakan sesuatu kepadamu.’ Dia menjawab, ‘Engkau telah merahasiakan bagian depan dari hidung dan mulut seekor domba yang berwarna hitam (seperti tanah) dan asap (ad-dukhan) dariku.’” (Abu Dzarr) berkata, “Dia hendak mengatakan ad-dukhan, lalu tidak dapat melakukannya, sehingga dia hanya mengatakan ad-dukh, ad-dukh.” [12]

Maka pertanyaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya dengan ad-dukhan (asap) ditujukan untuk mengetahui hakikat dirinya.

Yang dimaksud dengan ad-dukhan di sini adalah apa yang ada pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ

“Maka tunggulah hari ketika langit membawa asap yang nyata.” [Ad-Dukhaan: 10]

Sementara dalam hadits Ibnu ‘Umar pada riwayat al-Imam Ahmad, “Sesungguhnya aku telah menyembunyikan sesuatu kepadamu.” Beliau meyembunyikan firman Allah:

فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ

“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” [Ad-Dukhaan: 10][13]

Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Sesungguhnya Ibnu Shayyad sebagai penyingkap sesuatu dengan cara dukun, dengan lisan jin-jin yang memutus-mutuskan perkataan, karena itulah dia berkata, ‘Ia adalah ad-dukh,” maksudnya ad-Dukhaan. Ketika itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui sumber perkataannya bahwa itu adalah dari syaithan. Lalu beliau berkata, ‘Duduklah! Karena engkau tidak akan melebihi kedudukanmu.’” [14]

d. Kematiannya.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada peristiwa al-Harrah.” [15]

Ibnu Hajar telah menshahihkan riwayat ini dan melemahkan pendapat yang mengatakan bahwa dia meninggal di Madinah dan mereka (para Sahabat) membuka wajahnya lalu menshalatkannya.[16]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Apakah Ibnu Shayyad Adalah Dajjal Yang Sesungguhnya?



Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


e. Apakah Ibnu Shayyad adalah Dajjal yang Sesungguhnya?
Telah dijelaskan sebelumnya keadaan Ibnu Shayyad dan pertanyaan Nabi kepadanya yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan jati diri Ibnu Shayyad secara detail, karena beliau sama sekali tidak mendapatkan wahyu bahwa dia adalah Dajjal atau yang lainnya.

Sementara ‘Umar pernah bersumpah di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya Ibnu Shayyad adalah Dajjal, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.

Sebagian Sahabat berpendapat dengan apa yang diungkapkan oleh ‘Umar, dan bersumpah bahwasanya Ibnu Shayyad adalah Dajjal, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir, Ibnu ‘Umar, dan Abu Dzarr Radhiyallahu anhum.

Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Muhammad bin al-Munkadir,[1] dia berkata, “Aku melihat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma bersumpah atas Nama Allah bahwasanya Ibnu Shayyad adalah Dajjal.” Aku berkata, “Engkau bersumpah atas Nama Allah?!” Dia berkata, “Sesungguhnya aku mendengar ‘Umar bersumpah terhadap hal itu di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mengingkarinya.”[2]

Diriwayatkan dari Nafi’ rahimahullah [3] , dia berkata, “Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma pernah berkata, ‘Demi Allah aku tidak meragukan bahwa al-Masihud Dajjal adalah Ibnu Shayyad.’” [4]

Diriwayatkan dari Zaid bin Wahb[5], beliau berkata, “Abu Dzarr Radhiyallahu anhu berkata, ‘Bersumpah sepuluh kali dengan menyatakan sesungguhnya Ibnu Shayyad adalah Dajjal lebih aku sukai daripada bersumpah hanya satu kali dengan menyatakan sesungguhnya dia bukan Dajjal.’” [6]

Diriwayatkan dari Nafi’, Ibnu ‘Umar berjumpa dengan Ibnu Sha-id pada salah satu jalan di Madinah, lalu dia mengatakan suatu perkataan yang menjadikannya marah dan naik pitam, sehingga membuat keributan di jalan. Kemudian Ibnu ‘Umar datang kepada Hafshah dan menceritakan kepada, lalu dia (Hafshah) berkata kepadanya, “Semoga Allah merahmatimu! Apa yang engkau inginkan dari Ibnu Sha-id?! Apakah engkau tidak mengetahui bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya ia hanya keluar karena kemarahan yang dibencinya?!’” [7]

Dan pada satu riwayat dari Nafi, dia berkata, Ibnu ‘Umar berkata, “Aku telah menemuinya sebanyak dua kali (pada pertemuan pertama) aku menemuinya, lalu aku berkata kepada sebagian mereka (sahabat Ibnu Shayyad), “Apakah kalian mengatakan bahwa dia Dajjal?” Mereka menjawab, “Tidak, demi Allah.” Nafi berkata, Ibnu Umar mengatakan, “Engkau telah berbohong padaku, demi Allah sebagian dari kalian telah mengabarkan kepadaku sesungguhnya dia tidak akan mati hingga dia menjadi orang yang paling banyak harta dan anaknya di antara kalian, demikianlah anggapan tentangnya sampai hari ini.” Dia berkata, “Lalu kami pun berbincang-bincang, kemudian meninggalkannya.” Dia berkata, “Aku berjumpa dengannya pada kesempatan yang lain sementara matanya telah membengkak.” Aku bertanya, “Sejak kapan matamu seperti yang aku lihat sekarang ini?” Dia menjawab, “Tidak tahu.” Aku menyanggah, “Engkau tidak tahu sementara ia berada di kepalamu sendiri?” Dia berkata, “Jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan menjadikan hal ini pada tongkatmu ini.” Beliau berkata, “Lalu dia mendengus seperti dengusan keledai yang paling keras yang pernah aku dengar.” Beliau berkata, “Lalu sebagian sahabatnya mengira bahwa aku telah memukulnya dengan tongkatku hingga matanya cidera, demi Allah, padahal aku sama sekali tidak merasakan (berbuat seperti itu).” Dia (Nafi) berkata, “Dan dia datang kepada Ummul Mukminin (Hafshah), lalu menceritakannya, beliau bertanya, ‘Apa yang engkau inginkan darinya?! Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau (Nabi) pernah bersabda, ‘Sesungguhnya penyebab awal yang mendorongnya keluar kepada manusia adalah kemarahan yang menyebabkan dia marah.’”[8]

Ibnu Shayyad mendengarkan apa-apa yang dibicarakan manusia tentang-nya, lalu dia merasa sangat terluka karenanya. Dia membela diri bahwa dia bukanlah Dajjal, dan berhujjah bahwa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sifat-sifat Dajjal tidak sesuai dengan keadaannya.

Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Kami pernah keluar untuk melakukan haji atau umrah dan Ibnu Sha-id ikut bersama kami, kemudian kami singgah. Selanjutnya orang-orang berpisah sementara aku bersamanya. Aku merasa sangat takut karena apa yang dikatakan manusia tentangnya.” (Abu Sa’id) berkata, “Dia datang dengan perbekalannya, lalu dia meletakkannya bersama perbekalanku.” Aku berkata kepadanya, “Udara sangat panas, sebaiknya engkau meletakkannya di bawah pohon itu,” (Abu Sa’id) berkata, “Akhirnya dia melakukannya.” Kemudian kami diberikan satu ekor kambing, lalu dia pergi dan kembali dengan membawa satu wadah besar, dia berkata, “Minumlah wahai Abu Sa’id!” Aku berkata, “Sesungguhnya udara sekarang ini panas sekali, dan susu itu juga panas,” sebenarnya tidak ada masalah bagiku, hanya saja aku tidak ingin meminum sesuatu yang berasal dari tangannya, (atau dia berkata) mengambil dari tangannya,” lalu dia berkata, “Wahai Abu Sa’id, sebelumnya aku hendak mengambil tali, lalu menggantung-kannya di pohon, kemudian aku ikat leherku karena (merasa sakit hati) terhadap segala hal yang dikatakan oleh manusia. Wahai Abu Sa’id, siapakah yang tidak mengetahui hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari kalian wahai orang-orang Anshar. Bukankah engkau orang yang paling mengetahui hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam? Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Dia (Dajjal) adalah orang kafir,’ sementara aku adalah seorang muslim? Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa dia (Dajjal) adalah orang yang tidak memiliki anak, sementara aku telah meninggalkan anak-anakku di Madinah? Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa dia (Dajjal) tidak akan pernah memasuki Madinah dan Makkah, sementara aku datang dari Madinah menuju Makkah?” Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Hampir saja aku menerima alasannya,” kemudian dia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya, dan di mana dia sekarang.” Abu Sa’id berkata, “Aku berkata kepadanya, ‘Celakalah engkau pada hari-harimu.’”[9]

Dalam satu riwayat lain, Ibnu Shayyad berkata, “Demi Allah, sesungguh-nya aku mengetahui di mana dia (Dajjal) sekarang, dan mengenal bapak juga ibunya.” (Perawi berkata) dikatakan kepadanya, “Apakah engkau senang jika engkau adalah dia?” Dia menjawab, “Jika ditawarkan kepadaku, maka aku tidak akan membencinya.” [10]

Sebenarnya masih ada beberapa riwayat yang menjelaskan keadaan Ibnu Shayyad. Kami sengaja tidak mengungkapkan agar tidak memperpanjang pem-bahasan, karena sebagian peneliti seperti Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan yang lainnya menolak riwayat-riwayat tersebut karena kelemahan sanadnya.[11]

Masalah Ibnu Shayyad terasa rancu bagi sebagian ulama dan masalahnya menjadi sulit bagi mereka. Sebagian mereka mengatakan bahwa dia adalah Dajjal dan berhujjah dengan dalil sebelumnya, yaitu sumpah sebagian Sahabat yang menyatakan bahwa dia adalah Dajjal, dan dengan peristiwa yang terjadi antara dia dengan Ibnu ‘Umar juga Abu Sa’id Radhiyallahu anhum. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa dia bukanlah Dajjal, mereka berhujjah dengan hadits Tamim ad-Dari Radhiyallahu anhu. Sebelum mengungkapkan pendapat kedua kelompok itu, kami akan menuturkan hadits Tamim ad-Dari yang panjang.

Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya kepada Amir bin Syarahil asy-Sya’bi [12] -kabilah Hamdan- bahwasanya ia bertanya kepada Fathimah binti Qais, saudari adh-Dhahhak bin Qais, -dia adalah salah seorang wanita yang ikut pada hijrah yang pertama- dia berkata, “Ceritakanlah kepadaku satu hadits yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak engkau sandarkan kepada seorang pun selain beliau!” “Jika engkau mau, maka aku akan melakukannya,” Jawabnya. Dia berkata, “Tentu saja, ceritakanlah kepadaku.” Akhirnya dia menceritakan bagaimana dia menjanda dari suaminya, dan bagaimana ia melakukan ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum, kemudian
dia berkata, “Setelah masa ‘iddahku selesai, aku mendengar panggilan penyeru Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Shalat berjama’ah,’ lalu aku pergi menuju masjid dan melakukan shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu aku berada di shaff para wanita yang dekat dengan barisan kaum (pria). Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya, beliau duduk di atas mimbar sambil tersenyum, lalu berkata, “Hendaklah setiap orang tetap pada tempat shalatnya!” Selanjutnya beliau bersabda, “Apakah kalian tahu mengapa aku mengumpulkan kalian?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengumpulkan kalian untuk menyampaikan kabar gembira atau kabar buruk, akan tetapi aku mengumpulkan kalian karena Tamim ad-Dari sebelumnya adalah seorang Nasrani, lalu dia datang, melakukan bai’at dan masuk Islam. Dia menceritakan kepadaku sebuah cerita yang sesuai dengan apa yang aku ceritakan kepada kalian tentang Masihud Dajjal. Dia menceritakan kepadaku bahwa dia pernah menaiki sebuah kapal laut bersama 30 orang yang berpenyakit kulit dan kusta. Mereka terombang ambing oleh ombak selama satu bulan di tengah lautan hingga akhirnya terdampar pada sebuah pulau di arah terbenamnya matahari. Mereka menaiki kapal kecil (sampan), lalu mereka masuk ke dalam pulau. Selanjutnya binatang dengan berbulu lebat menemui mereka, mereka tidak mengetahui mana depan juga mana belakangnya karena bulunya lebat, mereka berkata, ‘Celaka! Siapa engkau?’ Dia menjawab, ‘Aku adalah al-Jassasah.’ Mereka bertanya, ‘Apakah al-Jassasah itu?’ Dia berkata (tanpa menjawab), ‘Wahai kaum! Pergilah kepada orang yang berada di dalam kuil ini, karena dia sangat merindukan berita dari kalian.’ (Tamim ad-Dari) berkata, ‘Ketika binatang itu menyebutkan seseorang kepada kami, maka kami pun meninggalkannya karena kami takut jika dia adalah syaitan.’ Dia berkata, ‘Akhirnya kami cepat-cepat pergi hingga kami memasuki kuil, ternyata di dalamnya ada orang yang sangat besar dan diikat dengan sangat kuat yang pertama kali kami lihat. Kedua tangannya dibelenggu sampai ke lehernya, antara kedua lututnya hingga kedua mata kakinya dirantai dengan besi, kami berkata, ‘Celaka, siapa engkau?’ Dia berkata, ‘Kalian telah ditakdirkan untuk membawa kabar untukku, kabarkanlah siapa kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah manusia dari bangsa Arab, kami menaiki kapal laut, lalu kami mendapati laut dengan ombaknya sedang mengamuk, kami terombang ambing oleh ombak selama satu bulan di tengah lautan hingga terdampar di pulau ini, kemudian kami menaiki sampan, lalu kami masuk ke pulau ini, selanjutnya binatang dengan berbulu lebat menemui kami, kami tidak mengetahui mana depan juga mana belakangnya karena bulunya sangat lebat. Kami berkata, ‘Celaka! Siapa engkau?’ Dia menjawab, ‘Aku adalah al-Jassasah.’ Kami bertanya, ‘Apakah al-Jassasah itu?’ Dia berkata (tanpa menjawab), ‘Pergilah kepada orang yang berada di dalam kuil ini karena dia sangat merindukan berita dari kalian,’ akhirnya kami pun segera mendatangimu. Kami merasa kaget dan takut kepadanya, dan mengira bahwa dia adalah syaitan.’ Dia berkata, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang pohon kurma di Baisan?[13]’ Kami berkata, ‘Apa yang engkau tanyakan tentangnya?’ Dia menjawab, ‘Aku bertanya kepada kalian tentang buahnya, apakah dia masih berbuah?’ Kami menjawab, ‘Ya (masih berbuah).’ ‘Hampir saja dia tidak berbuah lagi,’ katanya. Dia berkata, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang danau Thabariyah?’ Kami berkata, ‘Apa yang engkau tanyakan tentangnya?’ Dia menjawab, ‘Apakah masih ada airnya?’ Mereka menjawab, ‘Danau itu masih banyak airnya.’ “’Hampir saja airnya kering,’ katanya. Dia berkata, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang mata air Zughar ?[14]’ Mereka berkata, ‘Apa yang engkau tanyakan tentangnya?’ Dia menjawab, ‘Apakah mata air tersebut masih mengalir? Dan apakah penduduknya masih bercocok tanam dengan airnya?’ Kami menjawab, ‘Betul, airnya masih banyak dan penduduknya masih bercocok tanam dengan airnya.’ Dia bertanya, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang Nabi orang-orang yang ummi, apa yang dia lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Dia telah berhijrah dari kota Makkah dan singgah di Yastrib (Madinah).’ ‘Apakah orang-orang memeranginya?’ Tanya dia. ‘Betul,’ jawab kami. Dia bertanya, ‘Apa yang dia lakukan terhadap mereka?’ Lalu kami pun mengabarkan kepadanya bahwasanya dia telah menolong orang-orang yang mengikutinya dan mereka pun taat kepadanya.’ Dia berkata kepada mereka, ‘Apakah benar seperti itu?’ Kami menjawab, ‘Betul.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya lebih baik bagi mereka untuk mentaatinya, dan aku kabarkan kepada kalian sesungguhnya aku adalah al-Masih (Dajjal), dan hampir saja aku diizinkan untuk keluar hingga aku bisa keluar, lalu aku akan berkelana di muka bumi, maka aku tidak akan pernah meninggalkan satu kampung pun melainkan aku menyinggahinya dalam waktu empat puluh malam, selain Makkah dan Thaibah (Madinah), keduanya diharamkan atasku. Setiap kali aku hendak masuk ke salah satu darinya, maka para Malaikat akan menghadangku dengan pedang yang terhunus yang menghalangiku dengannya, dan pada setiap lorong-lorong kedua kota tersebut ada seorang Malaikat yang menjaganya.’”

Dia (Fathimah) berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda -sambil menusukkan tongkat kecilnya di mimbar-, ‘Inilah Thaibah, inilah Thaibah, inilah Thaibah -yakni Madinah- ingatlah bukankah aku pernah mengatakan hal itu kepada kalian?” Lalu orang-orang berkata, “Benar.” “Sungguh cerita yang diungkap-kan oleh Tamim telah membuatku kagum karena ia sesuai dengan apa yang pernah aku ceritakan kepadanya, tentang Madinah dan Makkah. Ketahuilah sesungguhnya dia (Dajjal) berada di lautan Syam, atau lautan Yaman. Oh tidak, tetapi berada dari arah timur, dari arah timur, dari arah timur,’ (dan beliau memberikan isyarat dengan tangannya ke arah timur).”

Dia (Fathimah) berkata, “Maka aku hafal hal ini dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [15]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebagian ulama beranggapan bahwa hadits Fathimah ini gharib yang hanya diriwayatkan oleh perorangan. Padahal tidak demikian. Sebab, selain Fathimah juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, ‘Aisyah, dan Jabir Radhiyallahu anhum.” [16]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Beberapa Pendapat Ulama Tentang Ibnu Shayyad


Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


f. Beberapa Pendapat Ulama Tentang Ibnu Shayyad
Abu ‘Abdillah al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Pendapat yang benar bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal, berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu, dan tidak mustahil bahwa dia telah ada sebelumnya di pulau tersebut, dan ada di depan para Sahabat di waktu yang lain.” [1]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah berkata, ‘Kisahnya itu musykil (sulit difahami), dan perkaranya samar-samar, apakah dia itu Masihud Dajjal yang terkenal atau yang lainnya? Akan tetapi tidak diragukan bahwa dia termasuk Dajjal di antara para Dajjal

Para ulama berkata, ‘Nampak di dalam hadits-hadits tersebut bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diberikan wahyu apakah dia itu Dajjal atau yang lainnya. Beliau hanya diwahyukan tentang sifat-sifat Dajjal, sementara Ibnu Shayyad memiliki ciri-ciri yang memungkinkan. Karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyatakan secara pasti bahwa dia adalah Dajjal atau yang lainnya, dan karena itu pula beliau berkata kepada ‘Umar, ‘Jika dia memang Dajjal, maka engkau tidak akan pernah bisa membunuhnya.

Adapun alasan yang dikemukakan Ibnu Shayyad bahwa dia adalah seorang muslim sementara Dajjal adalah seorang kafir, Dajjal tidak memiliki keturunan sementara dia (Ibnu Shayyad) memiliki keturunan, dan Dajjal tidak akan bisa memasuki Makkah dan Madinah padahal dia bisa memasuki Madinah dan pergi menuju Makkah, semua ini bukan merupakan dalil karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya memberikan sifat-sifatnya ketika fitnahnya muncul dan ketika dia keluar mengelilingi bumi.

Di antara kerancuan kisahnya bahwa dia salah satu Dajjal pembohong adalah perkataannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?!’ Dan pengakuannya bahwa dia didatangi orang yang jujur dan orang dusta, dia melihat singgasana di atas air, tidak benci kalau ia Dajjal, dia mengetahui tempatnya, dan perkataannya, ‘Sesungguhnya aku mengenalnya, mengetahui tempat kelahirannya dan mengetahui di mana dia sekarang,’ dan kesombongannya yang memenuhi jalan.

Adapun sikapnya yang menampakkan keislaman, hajinya, jihadnya, dan pengingkarannya akan tuduhan yang ditujukan kepadanya sama sekali bukan dalil yang menunjukkan secara tegas bahwa dia bukan Dajjal.” [2]

Perkataan Imam Nawawi ini bisa difahami bahwa beliau rahimahullah memperkuat pendapat yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal.

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Orang-orang berbeda pendapat ten-tang Ibnu Shayyad dengan perbedaan yang sangat tajam, dan masalahnya sangat rumit hingga dikatakan banyak pendapat tentangnya, dan zhahir hadits yang telah diungkapkan bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ragu-ragu, apakah dia Dajjal atau bukan?...”

Keragu-raguan tersebut telah dijawab dengan dua jawaban:
Pertama: Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ragu-ragu sebelum Allah memberitahukan kepadanya bahwa dia adalah Dajjal. Ketika dia telah diberi tahu tentangnya, maka beliau tidak mengingkari sumpah yang diucapkan oleh ‘Umar (bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal).

Kedua: Orang Arab terkadang mengucapkan kata-kata yang mengandung nada keraguan, walaupun di dalam kabar tersebut tidak ada keraguan.

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa dia adalah Dajjal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq[3] dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Pada suatu hari aku berjumpa dengan Ibnu Shayyad -dia bersama seseorang dari kalangan Yahudi- ternyata cahaya sebelah matanya telah padam dan menonjol bagaikan mata keledai. Ketika aku melihatnya, aku berkata, “Sungguh, wahai Ibnu Shayyad! Sejak kapan cahaya sebelah matamu padam?” Dia menjawab, “Demi Allah aku tidak tahu.” Aku berkata, “Engkau telah berbohong, padahal dia ada di kepalamu.” Dia (Ibnu ‘Umar) berkata, “Lalu dia mengusapnya dan mendengus sebanyak tiga kali.”[4]

Kisah seperti ini telah disebutkan sebelumnya dalam riwayat Imam Muslim.[5]

Nampak bagi kami dari perkataan asy-Syaukani bahwa beliau rahimahullah bersama orang-orang yang berpendapat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal besar.

Imam al-Baihaqi rahimahullah [6] berkata untuk mengomentari hadits Tamim, “Di dalamnya dinyatakan bahwa Dajjal besar yang akan keluar pada akhir zaman bukanlah Ibnu Shayyad, sementara Ibnu Shayyad adalah salah satu dari para Dajjal (pendusta) yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka akan keluar, dan kebanyakan dari mereka telah keluar.”

Seakan-akan orang yang memastikan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal tidak pernah mendengar kisah Tamim, jika tidak demikian sebabnya, penggabungan di antara keduanya (kedua dalil yang nampak bersebrangan,-penj.) adalah sesuatu yang sangat jauh (tidak mungkin), karena bagaimana mungkin orang yang hidup pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan menjelang aqil baligh, bertemu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ditanya oleh beliau, lalu di akhir umurnya menjadi tua dan dipenjara di suatu pulau, terikat dengan besi dan bertanya kepada mereka tentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah dia telah keluar atau belum?!

Maka pendapat yang lebih tepat adalah tidak adanya penjelasan (keterangan) yang pasti (dari Rasulullah) dalam masalah ini

Adapun sumpah ‘Umar Radhiyallahu anhu, maka kemungkinan sumpah ini beliau lakukan sebelum mendengar kisah Tamim Radhiyallahu anhu, lalu setelah beliau mendengarnya, maka beliau tidak kembali kepada sumpah yang disebutkan.

Sementara Jabir Radhiyallahu anhu, di mana dia mempersaksikan sumpahnya di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena mencontoh sumpah yang dilakukan ‘Umar di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[7]

Kami katakan: Akan tetapi Jabir Radhiyallahu anhu adalah salah seorang perawi hadits Tamim, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud, di mana dia menceritakan kisah al-Jassasah juga Dajjal seperti kisah Tamim. Kemudian Ibnu Abi Salamah rahimahullah [8] berkata, “Sesungguhnya di dalam hadits ini ada sesuatu yang tidak aku hafal.” Dia[9] berkata, “Jabir bersaksi bahwasanya dia adalah Ibnu Sha-id.” Aku (Ibnu Abi Salamah) berkata, “Sesungguhnya dia telah mati.” Dia berkata, “Walaupun dia telah mati.” “Dia telah masuk Islam,” kataku. “Walaupun dia telah masuk Islam,” katanya. Aku berkata, “Dia telah masuk ke Madinah.” “Walaupun dia telah masuk ke Madinah,” dia menyangkal. [10]

Jabir Radhiyallahu anhu bersikeras menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal, walaupun dikatakan, “Sesungguhnya dia telah masuk Islam, telah masuk Madinah, dan telah mati.”

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa diriwayatkan dengan shahih dari Jabir Radhiyallahu anhu, bahwasanya dia berkata, “Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada peristiwa al-Harrah.” [11]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah [12] meriwayatkan dalam kitab Taariikh Ashbahaan[13] sesuatu yang memperkuat bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Dia menuturkannya dari jalan Syabil bin ‘Urzah, dari Hassan bin ‘Abdirrahman, dari bapaknya, dia berkata, ‘Ketika kami menaklukkan Ashbahan, jarak antara tentara kami dengan tentara Yahudi sejauh satu Farsakh. Biasanya kami mendatanginya dengan jalan yang kami pilih. Lalu aku mendatanginya pada suatu hari, ternyata orang-orang Yahudi sedang menari dan memukul gendang, kemudian aku bertanya kepada salah seorang temanku dari kelompok mereka. Dia berkata, ‘Raja kami yang kami meminta tolong kepadanya untuk menaklukkan orang Arab telah masuk,” lalu aku bermalam di atas loteng rumahnya, selanjutnya aku melakukan shalat Shubuh. Ketika matahari terbit, tiba-tiba saja ada keributan di tengah-tengah pasukan, aku memperhatikannya ternyata ada seseorang yang mengenakan mahkota dari tumbuh-tumbuhan yang harum, dan orang-orang Yahudi memukul gendang dan menari (berpesta), setelah aku memperhatikannya, ternyata dia adalah Ibnu Shayyad, kemudian dia masuk ke Madinah dan tidak akan kembali hingga tiba hari Kiamat.” [14

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Cerita Jabir ini (yaitu mereka kehilangan Ibnu Shayyad pada peristiwa al-Harrah) tidak sesuai dengan cerita dari Hassan bin ‘Abdirrahman, karena penaklukan kota Ashbahan terjadi pada masa kekhilafahan ‘Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Tariikhnya sementara jarak antara terbunuhnya ‘Umar dengan masa perang Harrah adalah sekitar 40 tahun.”

Bisa juga difahami bahwa kisah ini disaksikan oleh bapaknya Hassan setelah penaklukan kota Ashbahan dengan lamanya waktu tersebut, dan jawaban dari kata (لَمَّا) ketika di dalam ungkapan, “لَمَّا افْتَتَحْنَا أَصْبَهَانَ (Ketika kami menaklukkan Ashbahan),” adalah dibuang dan ditakdirkan (diperkirakan) menjadi, “Aku mengadakan perjanjian dengannya dan bolak balik ke sana (dengan pemahaman seperti ini) mulailah kisah Ibnu Shayyad. Dengan ini maka zaman penaklukan Ashbahan dan zaman masuknya Ibnu Shayyad ke Madinah bukan dalam satu waktu.[15]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menuturkan bahwa masalah Ibnu Shayyad telah menjadi sesuatu yang rumit bagi sebagian Sahabat. Mereka mengira bahwa dia adalah Dajjal, sementara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tawaqquf (berdiam diri) sehingga jelas bagi beliau setelah itu bahwa dia bukan Dajjal. Dia hanya salah seorang dukun yang memiliki kemampuan-kemampuan syaitan, karena itulah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi untuk mengujinya.”[16]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya bahwa Ibnu Shayyad bukanlah Dajjal yang akan keluar di akhir zaman, berdasarkan dalil hadits Fathimah
binti Qais al-Fihriyyah, hadits ini merupakan penentu dalam masalah ini.”[17]

Inilah sejumlah pendapat ulama mengenai Ibnu Shayyad, yang saling bersebrangan dengan masing-masing dalilnya.

Karena itulah al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah berijtihad untuk menselaraskan antara hadits-hadits yang bertentangan, dia berkata, “Cara yang paling dimengerti dalam menggabungkan makna yang dikandung dalam hadits Tamim Radhiyallahu anhu dan keberadaan Ibnu Shayyad sebagai Dajjal dan sesungguhnya Dajjal pada hakikatnya adalah yang disaksikan dalam keadaan terikat oleh Tamim. Sedangkan Ibnu Shayyad adalah syaitan yang menampakkan diri dalam bentuk Dajjal ketika itu, sehingga dia pergi ke Ashbahan, lalu ber-sembunyi bersama kawannya hingga dia datang pada masa yang ditakdirkan oleh Allah untuk keluar di sana. Mengingat rumitnya masalah ini, maka Imam al-Bukhari berusaha menempuh jalan Tarjih (menentukan yang paling kuat di antara yang lemah,-penj.), maka beliau mencukupkannya dengan hadits Jabir dari ‘Umar tentang Ibnu Shayyad, dan tidak meriwayatkan hadits Fathimah binti Qais tentang kisah Tamim.” [18]

g. Ibnu Shayyad Aadalah Hakiki dan Bukan Khurafat
Abu ‘Ubayyah beranggapan bahwa kepribadian Ibnu Shayyad hanyalah cerita bohong (khurafat) yang tidak masuk akal, kisahnya terus berlanjut pada sebagian kitab dan dinisbatkan kepada Rasulullah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengeluarkan perkataan atau perbuatan kecuali yang berisi kebenaran, dan telah tiba masanya agar kita menghayati ruh dan makna hadits, petunjuk dan sasarannya, sebagaimana kita mempelajari sanad dan jalan periwayatannya agar pengetahuan Islam kita selamat dari kesalahan dan kebohongan.” [19]

Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Abu ‘Ubayyah dalam komentarnya terhadap hadits-hadits tentang Ibnu Shayyad

Pendapatnya itu dapat ditolak dengan pernyataan bahwa hadits-hadits tentang Ibnu Shayyad adalah shahih, diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunnah, seperti Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim juga yang lainnya. Di dalam hadits-hadits tentang Ibnu Shayyad sama sekali tidak ada yang bertentangan dengan ruh hadits dan kebenaran, karena sesungguhnya Ibnu Shayyad -seperti telah dijelaskan sebelumnya- telah menjadi sesuatu yang rancu bagi kaum muslimin, dia adalah salah satu Dajjal di antara para Dajjal, Allah menampakkan kebohongannya dan kebathilannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin.

Sebaliknya ungkapan Abu ‘Ubayyah sendirilah yang saling bertabrakan pada sebagian komentarnya terhadap hadits-hadits Ibnu Shayyad, dia berkata, “Sebenarnya Ibnu Shayyad mengatakan satu kalimat yang sama sekali tidak mengandung makna, sebagaimana kebiasaan para dukun, dengan kata-katanya yang sama sekali tidak memiliki maksud. Maka dia adalah seorang tukang sulap yang suka bohong.” [20]

Perkataannya ini mengandung pengakuan bahwa Ibnu Shayyad hanyalah seorang tukang sulap yang suka bohong! Maka bagaimana mungkin pada satu kesempatan dia mengatakan bahwa Ibnu Shayyad hanyalah cerita khurafat, se-mentara di kesempatan lainnya dia mengatakan bahwa dia adalah sang tukang sulap?!

Maka tidak diragukan lagi bahwa perkataan Abu ‘Ubayyah saling bertentangan.
Orang-orang yang mencermati komentar Syaikh Abu ‘Ubayyah terhadap kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim, karya al-Hafizh Ibnu Katsir, niscaya dia akan mendapati keanehan dari sikapnya. Abu ‘Ubayyah telah melepaskan kendali akalnya terhadap hadits-hadits yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir; apabila dia mengambil sesuatu yang sesuai dengan pendapatnya, maka itulah yang haq; adapun yang lainnya dia takwil dengan penakwilan yang bertentangan dengan zhahir hadits, atau menghukumi hadits-hadits shahih dengan maudhu’ (palsu) tanpa mengungkapkan dalil atau bukti yang benar.

Abu ‘Ubayyah berkata tentang hadits-hadits Ibnu Shayyad, “Apakah anak kecil itu sudah mukallaf? Apakah perhatian Rasul sampai kepada mendatangi dan menanyakannya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Apakah masuk akal bahwa beliau menunggu sehingga mendapatkan jawabannya? Apakah masuk akal jika beliau memberikan kesempatan kepadanya dengan jawaban seorang kafir yang mengaku sebagai Nabi dan Rasul? Dan Apakah Allah mengutus anak-anak? Pertanyaan-pertanyaan ini kami tujukan kepada orang-orang yang melumpuhkan akal mereka dari berfikir yang benar dan lurus.” [21]

Ungkapan Abu ‘Ubayyah dapat dijawab bahwa tidak ada seorang pun yang mengatakan, “Sesungguhnya anak kecil mukallaf, tidak pula bahwa Allah mengutus anak-anak, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meneliti masalah Ibnu Shayyad, apakah dia Dajjal secara hakiki atau bukan?” Karena telah tersebar di sekitar Madinah bahwa dia adalah Dajjal yang diberikan peringatan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan beliau sendiri tidak diberikan wahyu tentang Ibnu Shayyad. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat bahwa yang dapat membuka identitasnya sebagai Dajjal -sementara dia adalah seorang mumayyiz yang dapat memahami dengan bertanya padanya- adalah ungkapan: “Apakah engkau bersaksi bahwasanya aku adalah utusan Allah...? Sampai perkataan beliau, “Sesungguhnya aku menyembunyikan sesuatu kepadamu?” Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang diarahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya.

Ungkapan ini sama sekali tidak ditujukan untuk membebankan Ibnu Shayyad dengan keislaman. Tujuannya hanyalah berusaha untuk menampakkan hakikat dari perkaranya. Jika tujuannya adalah seperti yang kami utarakan, maka tidak aneh jika Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menunggu jawaban darinya, dan telah nampak dari jawabannya bahwa dia adalah salah satu dari para Dajjal (pendusta).

Demikian pula, tidak ada satu penghalang pun yang menghalangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menawarkan keislaman kepada anak kecil. Bahkan Imam al-Bukhari rahimahullah menuturkan kisah Ibnu Shayyad dengan memberikan judul untuknya dengan ungkapan, “Bab bagaimana Islam ditawarkan kepada anak kecil.” [22]

Adapun sikap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak menghukum pengakuan Ibnu Shayyad sebagai Nabi, maka itu adalah kerancuan yang dipengaruhi oleh tidak adanya penelitian yang dilakukan oleh Abu ‘Ubayyah terhadap pendapat para ulama dalam masalah itu. Padahal mereka telah menjawab pernyataan yang semisal dengan beberapa jawaban di antaranya:

Pertama : Bahwa Ibnu Shayyad adalah orang Yahudi yang berada di Madinah atau di antara sekutu mereka. Sedangkan di antara Nabi dan mereka ada perjanjian damai saat itu, yaitu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah. Maka beliau menulis sebuah perjanjian dengan mereka, juga melakukan perdamaian yang isinya agar mereka tidak dicela juga dibiarkan memeluk agama mereka.

Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma tentang kisah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang pergi kepada Ibnu Shayyad dan pertanyaan yang diajukan kepadanya, juga perkataan ‘Umar Radhiyallahu anhu tentangnya, “Izinkanlah aku untuk membunuhnya wahai Rasulullah!” lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Jika dia memang (Dajjal), maka bukan engkau bagiannya, karena yang akan membunuhnya hanyalah ‘Isa bin Maryam عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ, dan jika dia bukan (Dajjal), maka engkau tidak berhak membunuh seseorang yang ada di dalam perjanjian.” [23]

Jawaban inilah yang dipegang oleh al-Khaththabi[24] dan [25] al-Baghawi رحمهما الله.

Ibnu Hajar berkata, “Inilah pendapat yang jelas.” [26]

Kedua: Ibnu Shayyad ketika itu masih kecil, belum baligh.
Jawaban ini diperkuat oleh riwayat al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma tentang kisah kepergian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ibnu Shayyad, di dalamnya ada ungkapan, “Sehingga beliau mendapatinya sedang bermain bersama anak-anak di sebuah bangunan tinggi bani Maghalah, saat itu Ibnu Shayyad telah hampir baligh.” [27]

Dan al-Qadhi ‘Iyadh memilih jawaban ini.[28]

Ketiga : Masih ada jawaban ketiga yang diungkapkan oleh a-Hafizh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Shayyad tidak mendakwahkan dirinya sebagai Nabi dengan terang-terangan, ia hanya mendakwahkan risalah, dan pengakuan terhadap risalah tidak mesti memberi arti adanya pengakuan terhadap kenabian, sebab Allah Ta’ala berfirman:

أَلَمْ تَرَ أَنَّا أَرْسَلْنَا الشَّيَاطِينَ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengutus (irsaal) syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir...” [Maryam: 83]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

 Keluarbiasaan Dajjal Adalah Hal Yang Sebenarnya


Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


10. Keluarbiasaan Dajjal Adalah Hal Yang Sebenarnya
Telah diuraikan sebelumnya berbagai keluarbiasaan yang menyertai Dajjal dalam pembahasan tentang fitnah yang dilakukannya. Semua keluarbiasaan ini adalah sesuatu yang hakiki, bukan khayalan atau tipuan, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian ulama.

Ibnu Katsir rahimahullah telah menukil dari Ibnu Hazm juga ath-Thahawi, ke-duanya berkata bahwa yang menyertai Dajjal bukanlah hakiki.

Demikian pula yang dinukil dari Abu ‘Ali al-Juba-i[1] tokoh Mu’tazilah sebuah ungkapan, “Tidak selayaknya bahwa hal itu merupakan hakikat, agar keluarbiasaan dari tukang sihir tidak serupa dengan keluarbiasaan seorang Nabi.”[2]

Setelah mereka datanglah Syaikh Rasyid Ridha, beliau mengingkari bahwa Dajjal memiliki keluarbiasaan. Beliau mengatakan bahwa hal ini bertentangan dengan Sunnatullah pada makhluk-Nya. Beliau berkata ketika mengomentari berbagai hadits tentang Dajjal, “Sesuatu yang diungkapkan di dalamnya menandingi mukjizat paling besar yang Allah berikan kepada Ulul ‘Azmi dari para Rasul, atau bahkan melebihinya dan dianggap sebagai sebuah kerancuan karenanya, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama kalam. Sementara sebagian ulama hadits menganggap bahwa hal itu termasuk hal bid’ah dari kalangan mereka (ahlul kalam), maklum adanya bahwa Allah tidak memberikan mukjizat tersebut kecuali agar bisa dijadikan petunjuk bagi makhluk-Nya yang sesuai dengan ketetapan-Nya bahwa kasih sayang-Nya mendahului kemarahan-Nya. Maka bagaimana mungkin Allah memberikan keluarbiasaan yang paling besar untuk memberikan fitnah bagi kelompok paling besar (umat Islam) dari kalangan hamba-Nya?! Karena dari riwayat-riwayat tersebut dijelaskan bahwa dia mengelilingi bumi hanya dalam waktu empat puluh hari kecuali Makkah dan Madinah....”

Sampai pada ungkapannya, “Sesungguhnya semua keluarbiasaan yang dinisbatkan kepadanya adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnatullah pada makhluk-Nya, dan telah tetap dalam nash-nash al-Qur-an bahwa Sunnatullah tidak akan dapat dirubah juga diganti, sementara riwayat-riwayat ini mudhtharib (goncang) lagi saling bertabrakan, sehingga tidak layak untuk dijadikan pengkhusus atas nash-nash qath’i apalagi menjadikannya sebagai penentang.”[3]

Beliau memperkuat adanya kontradiksi di antara berbagai hadits tentang Dajjal bahwa di dalam sebagian riwayat -sebagaimana telah dijelaskan- Dajjal memiliki gunung roti juga sungai-sungai air dan madu, dia memiliki Surga juga Neraka... dan yang lainnya. Hal ini jelas bertentangan dengan sebuah hadits dalam ash-Shahiihain, dari al-Mughirah bin Syu’bah, dia berkata, “Tidak seorang pun bertanya kepada Nabi J seperti pertanyaan yang telah aku ajukan, dan sesungguhnya beliau berkata kepadaku:

مَا يَضُرُّكَ مِنْهُ؟ قُلْتُ: لأَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ: إِنَّ مَعَهُ جَبَلَ خُبْزٍ، وَنَهْرُ مَاءٍ. قَالَ: بَلْ هُوَ أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ ذَلِكَ.

“Apakah yang dapat membahayakanmu darinya?” Aku menjawab, “Ka-rena sesungguhnya mereka berkata bahwa dia memiliki gunung roti, dan sungai air.” Beliau bersabda, “Bahkan dia lebih mudah bagi Allah dari hal itu semua. (yakni, daripada menjadikan ayat untuk menyesatkan kaum muslimin).”[4]

Dan di antara orang yang mengingkari keluarbiasaan yang dimiliki oleh Dajjal adalah Abu ‘Ubayyah. Beliau berkata di dalam komentarnya terhadap berbagai hadits yang membahasnya, “Apakah banyak manusia yang akan menghadapi fitnah yang sangat besar dan banyak ini?! Dia menghidupkan dan mematikan orang di hadapan banyak manusia dan (kata-katanya) bisa didengar oleh manusia, kemudian Allah mencampakkan para hamba-Nya ke dalam api Neraka karena terkena fitnahnya!! Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya daripada memberikan cobaan yang besar ini kepada mereka yang tidak mungkin ada yang sanggup meng-hadapinya kecuali orang yang dikaruniai ketetapan keimanan yang sempurna dan kekuatan ‘aqidah yang sangat kokoh, dan sesungguhnya Dajjal lebih mudah bagi Allah daripada hanya sekedar memberikannya kekuasaan terhadap makhluk-Nya, dan diberi-Nya berbagai senjata yang membahayakan lagi menggoyahkan ‘aqidah dan agama di dalam hati manusia di alam semesta.” [5]

11. Bantahan Terhadap Mereka Dapat Diringkas dengan Beberapa Per-nyataan Berikut
Pertama: Sesungguhnya berbagai hadits yang menjelaskan tentang keluarbiasaan Dajjal (خَوَارِقُ الدَّجَّالِ) adalah tetap lagi shahih, tidak bisa ditolak juga ditakwil dan anggapan adanya keserupaan, tidak ada idhthirab (kegoncangan) di dalamnya, juga tidak adanya kontradiksi di antara hadits.

Sedangkan yang dijadikan dalil oleh Rasyid Ridha bahwa hadits al-Mu-ghirah yang diriwayatkan dalam ash-Shahiihain bertentangan dengan hadits-hadits tentang Dajjal, maka hal itu bisa dijawab dengan pernyataan bahwa makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “بَلْ هُوَ أَهْوَنُ عَلَـى اللهِ مِنْ ذَلِكَ (bahkan lebih mudah bagi Allah dari yang demikian itu)” adalah bahwa lebih mudah bagi Allah daripada menjadikan keluarbiasaannya untuk menyesatkan kaum mukminin juga mem-berikan keraguan di dalam hati mereka, bahkan hal itu juga untuk menambah keimanan orang yang beriman dan menambah keraguan bagi orang-orang yang di dalam hatinya telah tertanam penyakit, hal itu seperti perkataan seseorang yang telah dibunuh oleh Dajjal, “Aku lebih yakin tentang kedustaanmu hari ini.” Jadi sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Bahkan lebih mudah bagi Allah dari yang demikian” tidak bermakna bahwa dia tidak memiliki hal-hal seperti itu sedikit pun, akan tetapi maknanya adalah hal itu lebih mudah bagi Allah daripada menjadikan sesuatu sebagai bukti akan kebenarannya, terutama Allah telah menjadikan sebuah tanda yang jelas akan kebohongan juga kekufurannya yang bisa dibaca oleh setiap muslim baik yang bisa membaca ataupun tidak, sebagai bukti tam-bahan bagi orang yang diajak bicara olehnya [6], sebagaimana telah dijelaskan di dalam pembahasan tentang sifat-sifatnya.

Kedua: Seandainya kita menerima hadits tersebut secara zhahir, maka perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya sebelum turunnya penjelasan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang segala macam keluarbiasaannya berdasarkan dalil perkataan al-Mughirah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sebab mereka berkata, sesungguhnya dia memiliki...” dia tidak berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya engkau telah berkata tentangnya ini dan itu (tentang Dajjal).” Kemudian datang wahyu setelah itu yang menjelaskan segala macam keluarbiasaan yang dimiliki oleh Dajjal, maka tidak ada pertentangan antara hadits al-Mughirah dengan hadits-hadits tentang Dajjal yang lainnya.”

Ketiga: Sesungguhnya segala macam keluarbiasaan yang dimiliki oleh Dajjal adalah hakiki, bukan khayalan juga bukan cerita bohong, dan segala macam keluarbiasaan ini merupakan sesuatu yang Allah tentukan sebagai fitnah dan cobaan bagi para hamba, sementara Dajjal sama sekali tidak mungkin bisa menyerupai keadaan para Nabi, karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa dia mengaku sebagai Nabi ketika ia memunculkan berbagai ke-luarbiasaan di tangannya kepada manusia. Bahkan keluarnya segala keluar-biasaan terjadi ketika dia mengaku sebagai tuhan.”[7]

Keempat: Sesungguhnya sikap Rasyid Ridha yang menganggap mustahil bahwa Dajjal bisa mengelilingi dunia hanya dalam waktu empat puluh hari kecuali Makkah dan Madinah sama sekali tidak berlandaskan dalil. Bahkan dalil yang ada menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ia katakan. Karena dijelaskan di dalam riwayat Muslim bahwasanya sebagian hari-hari Dajjal dirasakan seperti satu tahun, sebagiannya lagi terasa seperti satu bulan, yang lainnya seperti satu pekan... sebagaimana telah dijelaskan.

Kelima: Sesungguhnya segala macam keluarbiasaan yang diberikan ke-pada Dajjal sama sekali tidak bertentangan dengan Sunnatullah di alam ini. Karena jika kita memahami perkataan Rasyid Ridha secara zhahirnya niscaya kita akan membatalkan segala macam kemukjizatan para Nabi dengan alasan bertentangan dengan Sunnatullah di alam ini. Maka segala macam yang di-katakan kepada para Nabi bahwa segala macam keluarbiasaannya tidak ber-tentangan dengan Sunnatullah bisa kita katakan pula kepada semua keluarbiasaan yang diberikan kepada Dajjal dengan alasan bahwa hal itu merupakan fitnah, cobaan, dan ujian

Keenam: Jika kita menerima sangkaan bahwa segala macam keluarbiasaan yang dimiliki oleh Dajjal bertentangan dengan Sunnatullah di alam ini, maka kita katakan bahwa zaman keluarnya Dajjal memang zaman yang luar biasa, dan saat akan terjadi berbagai peristiwa besar yang mengisyaratkan kehancuran alam semesta, hancurnya dunia dan dekatnya Kiamat. Dan jika dia keluar ketika zaman fitnah yang Allah kehendaki, maka tidak benar jika dikatakan, “Sesungguhnya Allah Mahalembut kepada hamba-Nya (sehingga tidak pantas) untuk memberikan fitnah kepada mereka dengan segala keluarbiasaan yang dilimpahkan kepadanya (Dajjal), karena sesungguhnya Dia Mahalembut dan Mahatahu. Akan tetapi dengan hikmah-Nya Dia memberikan cobaan kepada hamba-Nya, karena sebelumnya Allah telah memberikan peringatan kepada mereka akan hal itu.”

Setelah menyebutkan jawaban ringkas ini, maka pantas kiranya jika kami menukil beberapa ungkapan para ulama yang menetapkan adanya keluarbiasaan Dajjal. Sesungguhnya ia terjadi secara hakiki, yang Allah jadikan sebagai fitnah juga cobaan bagi para hamba-Nya.

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ini yang diriwayatkan oleh Muslim juga yang lainnya merupakan hujjah bagi madzhab yang haq dalam menetapkan keberadaannya (Dajjal). Sesungguhnya dia adalah manusia secara hakiki, Allah memberikan ujian kepada para hamba-Nya melaluinya dengan segala hal yang telah Allah tentukan; berupa kemampuan untuk menghidup-kan orang yang telah ia bunuh, dan nampaknya segala macam gemerlap dunia juga kesuburan bersamanya, Surga dan Nerakanya, dua sungainya, segala simpanan bumi yang mengikutinya, perintahnya agar langit menurunkan hujan sehingga turunlah hujan, dan perintahnya agar bumi menumbuhkan tumbuhan sehingga tumbuh, semuanya terjadi atas kekuasaan Allah Ta’ala dan kehendak-Nya. Kemudian Allah melemahkannya setelah itu, lalu dia tidak sanggup untuk membunuh orang tersebut juga yang lainnya, dan Allah membatalkan urusannya, setelah itu ‘Isa Alaihissallam dapat membunuhnya, dan Allah menetapkan keimanan orang-orang yang beriman.

Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan semua ulama hadits, para ulama fiqih dan para pemikir, berbeda dengan orang yang mengingkari dan membathilkan keberadaannya seperti Khawarij, Jahmiyyah, sebagian kaum Mu’tazilah... dan selainnya yang mengakui keberadaannya akan tetapi segala macam keluarbiasaannya hanyalah khayalan belaka bukan hakiki, dan mereka menyangka, seandainya hal itu memang hakiki; maka hal itu mengakibatkan tidak bisa dipercayainya keberadaan mukjizat para Nabi.

Ini adalah kesalahan dari mereka semua, karena sesungguhnya dia (Dajjal) sama sekali tidak mengaku sebagai Nabi, maka apa yang menyertainya sebagai bukti kebenaran (atas apa-apa yang diserukannya), dia hanya mengaku sebagai tuhan, disamping itu di dalam pengakuannya sendiri ada sesuatu yang mendustakannya, yaitu keadaannya sendiri, (yaitu) adanya bukti-bukti yang terjadi padanya, seperti kekurangan yang ada pada dirinya, kelemahannya dalam menghilangkan aib pada kedua matanya, dan kelemahan dalam menghilangkan bukti kekufuran yang tertulis di antara kedua matanya.

Adanya bukti-bukti ini dan yang lainnya menjadikan seseorang tidak akan tertipu kecuali orang-orang rendah yang ingin menutupi segala kebutuhan juga kefakirannya karena ingin menutupi kelaparan, atau hanya sebatas ngaku-ngaku karena takut dari perbuatan jelek yang dilakukannya, karena dia adalah fitnah yang sangat besar, yang menjadikan hati tercengang dan membingungkan fikiran, selain itu dia berjalan di atas bumi dengan sangat cepat, dia tidak akan diam sehingga memberikan kesempatan kepada orang-orang lemah untuk mengamati keadaannya dan bukti-bukti yang ditunjukkannya dan kekurangannya, pada akhirnya banyak orang membenarkannya dalam keadaan seperti ini.

Dan karena itu pulalah para Nabi memberikan peringatan (kepada seluruh umatnya) dari fitnahnya dan bukti-bukti kebathilannya.

Adapun orang-orang yang diberikan taufik oleh Allah, maka sesungguhnya mereka tidak akan pernah terbuai, juga tidak akan pernah tertipu dengan segala hal yang dia bawa. Sebagaimana telah kami jelaskan tentang bukti-bukti kebohongannya, demikian pula pengetahuan tentangnya yang telah dijelaskan. Oleh karena itu orang yang telah dibunuh dan dihidupkannya kembali berkata, “Tidaklah ada sesuatu yang bertambah di dalam diriku kecuali keyakinan (bahwa engkau adalah Dajjal).” [8]

Dan al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Dajjal merupakan ujian yang Allah berikan kepada para hamba-Nya dengan segala keluarbiasaan yang bisa disaksikan pada zamannya, sebagaimana telah dijelaskan bahwa orang yang menjawab seruannya, maka Dajjal akan memerintahkan langit untuk menurunkan hujan sehingga turunlah hujan, dan bumi agar menumbuhkan tumbuhan sehingga tumbuhlah segala macam tumbuhan yang dimakan oleh mereka juga oleh hewan-hewan ternak mereka, maka hewan ternak mereka akan kembali gemuk. Sementara orang yang tidak menjawab seruannya dan menolaknya niscaya akan tertimpa kekeringan, kelaparan, kefakiran, matinya binatang ternak dan sedikitnya harta, jiwa-jiwa dan buah-buahan berkurang. Dia akan diikuti oleh simpanan bumi bagaikan pemimpin lebah yang diikuti oleh pasukannya, dia akan membunuh pemuda dan meng-hidupkannya, semua ini bukanlah khayalan, akan tetapi hakiki, sebagai ujian yang Allah berikan kepada para hamba-Nya di akhir zaman. Maka akan ba-nyak orang yang tersesat, demikian pula akan banyak orang yang berjalan di atas hidayah karenanya, orang-orang yang ragu akan menjadi kafir, sementara orang-orang yang beriman akan bertambah keimanannya.” [9]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dan di dalam diri Dajjal beserta segala keluarbiasaan yang ia miliki ada sebuah bukti nyata bagi orang yang memikirkannya karena ia memiliki kemampuan yang luar biasa (ha-hal yang digunakan) yang mempengaruhi manusia juga nampak cacat-cacatnya seperti buta kedua matanya, lalu jika dia mengaku bahwa dia adalah tuhan mereka, maka sejelek-jeleknya keadaan orang yang melihatnya dari kalangan orang yang berakal, dia akan mengetahui bahwa dia (Dajjal) tidak akan pernah bisa me-nyempurnakan penciptaan yang lainnya, merubahnya, memperindahnya, demikian pula dia sama sekali tidak bisa menolak kekurangan di dalam diri-nya, maka sekurang-kurangnya dia berkata, “Wahai orang yang mengaku dirinya sebagai pencipta langit dan bumi! Sempurnakanlah rupamu, rapihkan-lah dan hilangkanlah segala aib darinya, lalu jika engkau mengira bahwa tuhan tidak dapat menciptakan sesuatu di dalam dirinya, maka hilangkanlah sesuatu yang tertulis di antara kedua matamu!” [10]

Dan Ibnul ‘Arabi rahimahullah[11] berkata, “Semua keluarbiasaan yang nampak di tangan Dajjal berupa kemampuan untuk menurunkan hujan, memberikan kesuburan bagi orang yang membenarkan (perkataan)nya, juga kekeringan bagi orang yang mendustakannya, simpanan bumi yang mengikutinya, Surga, Neraka, dan sungai-sungai yang ia miliki, semuanya adalah cobaan yang Allah berikan, juga ujian agar orang-orang yang ragu menjadi celaka, sementara orang-orang yang yakin akan selamat, semuanya adalah perkara yang ditakuti, karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ فِتْنَةَ أَعْظَمُ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ.

‘Tidak ada fitnah yang lebih besar daripada fitnah Dajjal.’”[12]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

sumber: http://almanhaj.or.id/
_______

No comments:

Post a Comment