Sunday, July 28, 2013

MENYIKAPI REZEKI YANG DIBERIKAN OLEH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA


MENYIKAPI REZEKI YANG DIBERIKAN OLEH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc



Ketahuilah ! Rezeki bagaikan hujan yang tidak terbagi secara merata. Hujan, terkadang turun di daerah pegunungan, tidak di padang sahara atau sebaliknya; Terkadang turun di pedesaan tidak di perkotaan atau sebaliknya dan begitu seterusnya.

Hujan bisa membawa rahmat, tapi terkadang bisa mendatangkan derita. Ingatlah ketika Allâh Azza wa Jalla menenggelamkan kaum Nabi Nûh Alaihissallam yang membangkang! Dengan apa Allâh Subhanahu wa Ta’ala membinasakan mereka? Dengan hujan yang menyebabkan banjir dahsyat.

Begitulah harta atau bahkan dunia secara umum ! Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak membagikannya merata kepada setiap orang. Ada yang kaya, ada yang miskin dan ada yang berkecukupan. Harta, terkadang bermanfaat bagi hamba, terkadang harta bisa menyeretnya kelembah nista yang berujung derita.

Jika kita semua sudah mengetahui dan menyadari bahwa rezeki telah diatur oleh Allâh Azza wa Jalla , semua telah dibagi oleh Allâh Azza wa Jalla , lalu apa yang harus kita lakukan ? Buat apa kita mengeluh dengan rezeki yang sedikit ? Buat apa kita iri dengan orang lain ? Buat apa merasa hina ? Apakah harta bisa menjamin pemiliknya akan masuk surga ? Apakah dunia bisa menjamin untuk mendapatkan keridhaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ?

Kepada orang-orang yang telah diberikan harta lebih dan berkecukupan, kita katakan, ‘Buat apa kalian bangga dengan kekayaan kalian ? Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ ...وَقُمْتُ عَلَى بَابِ النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ

Saya pernah berdiri di pintu surga, ternyata sebagian besar yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin…Dan saya pun pernah berdiri di pintu neraka, ternyata sebagian besar yang masuk ke dalamnya adalah para wanita [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Hadits yang mulia ini adalah peringatan untuk semua orang kaya dan berkecukupan. Dengan sangat jelas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa penghuni surga kebanyakan berasal dari orang-orang miskin. Lalu bagaimana dengan orang-orang kaya ? Oleh karena itu, kita memperhatikan harta-harta kita dengan lebih seksama lagi, dari mana diperoleh dan bagaimana penggunaannya ?

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda :

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ ، خَمْسِ مِئَةِ عَامٍ

Orang-orang fakir yang beriman akan masuk surga mendahului orang-orang kaya selama setengah hari (di akhirat), (yang setara) dengan lima ratus tahun (di dunia). [HR. an-Nasâi dan Ibnu Mâjah dengan sanad yang hasan]

Suatu ketika, sesaat setelah membaca ayat :

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu [At-Takâtsur/102:1]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَقُولُ ابْنُ آدَمَ : مَالِى مَالِى - قَالَ - : وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ, أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ, أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

Seorang anak Adam akan berkata, “Hartaku! Hartaku!” (Allâh pun) berfirman, “Wahai anak adam! Tidaklah engkau mendapatkan sesuatu apapun dari hartamu kecuali apa-apa yang kamu makan kemudian engkau buang serta apa-apa yang engkau kenakan kemudian engkau menjadikannya lusuh atau apa-apa yang engkau sedekahkan kemudian engkau lupakan

Orang kaya bisa saja membeli makanan yang sangat mahal sampai 100 porsi atau lebih. Tetapi, apakah dia sanggup menghabiskan semuanya dalam satu waktu ? Tentu tidak. Orang kaya bisa saja membeli pakaian yang sangat mahal sampai 1000 jenis pakaian atau lebih. Tetapi, apakah dia bisa memakai semuanya dalam satu waktu ? Tentu tidak.

Harta yang banyak ketika pemiliknya wafat, apakah akan dibawa mati pula ? Tidak ! Harta tersebut akan menjadi hak ahli warisnya. Jadi, apa yang sebenarnya yang dicari di dunia ini ?

Apakah ketenaran ? Apakah pujian ? Apakah kedudukan di dunia ?

Subhânallâh! Sungguh hina jika yang menjadi tujuan hidup adalah hal-hal tersebut.

Bersedekahlah! Ber-infaq-lah di jalan Allâh! Bukakanlah pintu-pintu kebaikan untuk orang lain. Sesungguhnya sedekah itu tidak akan mengurangi harta, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mudah-mudahan kita termasuk orang yang bisa mencari rezeki dengan cara yang halal dan baik serta dapat memanfaatkannya di jalan yang diridhai oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم

Demi Allâh! Bukanlah kemiskinan yang saya takutkan pada kalian. Akan tetapi yang saya takutkan pada kalian adalah dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, Sehingga kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka berlomba-lomba mengejarnya dan dunia akan menghancurkan kalian sebagaimana dia telah menghancurkan mereka. [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Dengan gamblang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terlalu mengkhawatirkan jika umatnya miskin. Justru yang beliau takutkan adalah keadaan umatnya yang berlomba-lomba mengejar dunia, sehingga melalaikan mereka dari akhirat.

Setelah kita mendengar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, mestinya kita mau mengaca diri dan menilai diri kita sejujurnya. Adakah kita termasuk orang-orang yang terlalaikan oleh keindahan dunia yang menipu ini ?

Kekayaan! Kekayaan apakah yang sebenarnya harus kita miliki ?

Coba perhatikan hadits dibawah ini.

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Bukanlah yang dinamakan kekayaan itu dengan banyaknya barang, akan tetapi kekayaan (yang sesungguhnya) adalah kekayaan jiwa/hati

Dalam hadits yang mulia ini menjelaskan bahwa kekayaan hakiki adalah kekayaan hati yang dimiliki oleh seorang Mukmin, yaitu rasa puas, ridha dan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla . Inilah yang dinamakan dengan qanâ’ah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan rasa qanâ’ah yang sangat tinggi.

Jika kita menginginkan dunia maka dunia tidak akan pernah ada habisnya. Jika seseorang memiliki satu gunung emas, niscaya dia akan menginginkan dua gunung emas atau lebih banyak lagi.

Sampai kapan orang-orang yang mengejar dunia akan puas ? Mereka tidak akan pernah puas kecuali kalau mulut-mulut mereka sudah dipenuhi dengan tanah, maksudhnya kematian telah menjemput.

Dunia bukan tujuan hidup kita. Oleh karena itu, marilah kita fokuskan diri kita untuk benar-benar beribadah kepada Allâh dan mengisi sisa-sisa hari kita ini dengan takwa kepada Allâh Azza wa Jalla.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


UNTUK MENGENAL KERABAT, BUKAN SOMBONG DENGAT MARTABAT

Oleh
Ustadz Abu Minhal, Lc


يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal [al-Hujurât/49:13]

PENJELASAN AYAT
Pada ayat mulia di atas, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan Dia Azza wa Jalla telah menciptakan anak Adam dari satu permulaan dan jenis yang sama, dari seorang lelaki dan perempuan, yaitu Adam dan Hawa. Kemudian dari keduanya, Allâh Azza wa Jalla memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan menyebarkan mereka ke tempat-tempat yang berbeda-beda.[1]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allâh menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allâh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allâh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allâh selalu menjaga dan mengawasi kamu [an-Nisâ/4:1]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya… [al-A’râf/7:189] [2]

Ini menunjukkan bahwa manusia pada asalnya sederajat satu sama lain. Sebab, asal ayah dan ibu mereka sama, Adam dan Hawa. Kesamaan asal ini menjadi faktor terpenting untuk menghalangi manusia dari membanggakan nasab dan menginjak-injak kehormatan orang lain.[3]

Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan hikmah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu dengan yang lain dan guna membedakan satu dengan yang lain, bukan supaya orang membanggakan diri di hadapan yang lain. Oleh karena itu, ayat ini datang setelah larangan bergunjing dan merendahkan sesama yang ada pada ayat sebelumnya untuk mempertegas kesamaan derajat mereka sebagai manusia agar terjadi proses saling mengenal di antara mereka.[4] Akhirnya, manusia mengetahui siapa saja yang dekat dengan garis nasabnya dan termasuk karib-kerabatnya.[5]

Dengan kata lain, itu menunjukkan bahwa keutamaan dan kemuliaan seseorang di atas orang lain hanya terjadi oleh faktor lain, bukan dengan nasab atau hubungan darah. Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskannya pada kelanjutan ayat:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling takwa di antara kamu

Melalui firman Allâh Azza wa Jalla ini, jelaslah bahwa keutamaan dan kemuliaan manusia hanya berdasarkan ketakwaan kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak dengan hubungan suku dan darah maupun besar kecilnya keluarga dan tempat tinggal.

“Maksud ketakwaan ialah memperhatikan rambu-rambu batas Allâh Azza wa Jalla baik berupa perintah atau larangan, dan menghiasi diri dengan apa yang Allâh perintahkan kepadamu”.[6]

Imam Ibnu Katsîr rahimaullah mengatakan, “Sesungguhnya kalian bertingkat-tingkat kedudukannya di sisi Allâh Azza wa Jalla dengan ketakwaan, bukan dengan status sosial”[7]

Sungguh benar ucapan orang yang melantunkan untaian bait syair berikut:

فَقَدْ رَفَعَ الْإِسْلَامُ سَلْمَانَ فَارِسٍ وَقَدْ وَضَعَ الْكُفْرُ الشَّرِيْفَ أَبَا لَهْبٍ

Sungguh Islam telah mengangkat derajat Salman Farisi
Dan sungguh kekufuran telah merendahkan orang mulia (yaitu) Abu Lahab

Salmân al-Fârisi radhiyallahu anhu pernah melantunkan:

أَبِيْ الْإِسْلاَمُ لاَ أَبَ لِيْ سِوَاهُ إِذَا افْتَخَرُوْا بِقَيْسٍ وَتَمِيْمٍ

Ayahku adalah Islam, aku tidak punya ayah selainnya
Saat mereka bangga dengan suku Qais dan Tamim

Ayat ini menunjukkan bahwa dinul Islam satu-satunya din samawi yang shahih. Agama ini tidak memandang warna kulit, ras maupun asal-muasal seseorang. Satu-satunya yang diperhitungkan hanyalah ketakwaan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Insan yang paling utama adalah orang yang paling bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla.[8] Berbeda dengan agama lain yang melakukan tindakan diskriminasi terhadap para penganutnya. Walillâhil hamdi ‘alâ minnatil Islâm (Segala puj bagi Allah atas karunia Islam). Semoga Allâh mewafatkan kita dalam keadaan Muslim.

Inilah keadilan, karena bisa dicapai oleh siapa saja yang mendapatkan taufik dari Allâh Azza wa Jalla. Tidak ada kemuliaan dan keutamaan bagi selain orang bertakwa, meski berdarah biru dan berstatus sosial tinggi. Tidak ada kasta rendah dan kasta tinggi.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إلِىَ صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلىَ أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allâh tidak melihat kepada fisik dan kekayaan kalian. Akan tetapi melihat hati dan amalan kalian [HR. Muslim no. 2564]

Hadits ini memuat kandungan yang sama dengan al-Qur’an surat. al-Hujurât:13.[9]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyatakan: “Orang yang paling mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla adalah yang paling bertakwa, yaitu orang yang paling banyak menjalankan ketaatan (kepada Allâh) dan paling menjauhi larangan maksiat-maksiat” [10].

“Tidak ada hubungan antara Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya kecuali dengan ketakwaan. Siapa saja yang lebih bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla niscaya akan lebih dekat dengan-Nya. Dia lebih mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla . Karena itu, orang tidak boleh membanggakan kekayaan, paras wajah, fisik, anak dan keturunan, istana ataupun dengan kendaraannya, serta apapun yang ada di dunia ini.“ [11]

Sejarah telah mencatat terjadinya pernikahan antara seorang yang berasal dari suku mulia dengan orang biasa. Sebagai contoh, Bilal Radhiyallahu anhu seorang budak yang dimerdekakan menikahi saudari Sahabat ‘Abdur Rahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu yang berasal dari suku Quraisy, Zainab binti Jahsy Radhiyallahu anha dperistri oleh Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu, seorang budak yang dimerdekakan.[12]

Pada penghujung ayat, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla Maha Tahu siapa saja yang bertakwa kepada-Nya secara lahir dan batin, dan siapa saja yang tidak bertakwa secara lahir dan batin. Kemudian Allâh Azza wa Jalla akan membalas setiap orang dengan apa yang ia berhak mendapatkannya.[13]

Allâh Azza wa Jalla Maha Mengetahui tentang kalian dan Maha Mengenal urusan-urusan kalian. Allâh memberikan hidayah bagi orang-orang yang Dia Azza wa Jalla kehendaki, menyesatkan orang-orang yang Dia Azza wa Jalla kehendaki, merahmati orang-orang yang Dia Azza wa Jalla kehendaki, dan menyiksa orang-orang yang Dia Azza wa Jalla kehendaki, serta menaikkan derajat orang yang Dia kehendaki di atas orang lain. Allâh Azza wa Jalla Maha Bijaksana, Maha Mengetahui dan Maha Mengenal dalam segala masalah ini.[14]

PELAJARAN DARI AYAT
1. Kesamaan asal seluruh manusia dari Adam dan Hawa.
2. Keadilan Islam.
3. Larangan menyombongkan diri.
4. Pentingnya mengetahui nasab [15] untuk memudahkan menyambung tali silaturahmi.
5. Ketakwaanlah unsur yang diperhitungkan di sisi Allâh dan Rasul-Nya, bukan derajat sosial ataupun garis keturunan.[16]
6. Jika seseorang mendapatkan taufik dari Allâh Azza wa Jalla sehingga menjadi orang yang bertakwa hendaklah bersyukur dan memuji Allâh Azza wa Jalla .
7. Fanatisme golongan dan suku telah dihapuskan oleh Islam. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


SYARAT-SYARAT WAJIB ZAKAT MAL

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc,


Masa melaksanakan zakat fithri sudah lewat seiring dengan berlalunya bulan Ramadhan. Semoga Allâh Azza wa Jalla menerima amal ibadah yang kita lakukan pada bulan tersebut. Namun selain zakat Fithri, masih ada zakat lain yang harus dikerjakan oleh kaum Muslimin yang sudah memenuhi syarat yaitu zakat mal (zakat harta). Zakat ini berbeda dengan zakat fithri dari sisi waktu pelaksanaannya, karena zakat ini tidak terikat dengan waktu tertentu, artinya bisa dikerjakan di semua bulan asalkan syaratnya sudah terpenuhi. Lalu, apakah syarat-syarat yang harus terpenuhi itu? Para Ulama menetapkan lima syarat, yaitu :

1. Islam.
Zakat mal ini hanya diambil dari kaum Muslimin dan tidak diambil dan tidak diterima dari kaum kafir[1] , baik kafir harbi maupun kafir dzimmi; karena firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. [at-Taubah/9:54].

Ini juga didukung oleh pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke Yaman untuk mendakwahi mereka agar memeluk Islam terlebih dahulu. Jika sudah memeluk Islam, baru setelah itu, mereka diperintahkan untuk menunaikan zakat. Dengan demikian jelas bahwa Islam merupakan syarat wajib zakat. [lihat Hâsyiah Ibnu Qâsim atas Raudh al-Murbi’, 3/166].

2. Merdeka.
Zakat mal ini tidak dibebankan kepada hamba sahaya; karena ia tidak memiliki harta. Semua hartanya adalah harta majikan atau tuannya. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ, وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْداً وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِيْ بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya milik penjual kecuali bila pembeli mensyaratkannya. Barangsiapa yang membeli budak yang memiliki harta maka hartanya milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. [Muttafaqun ‘Alaihi].

Ini juga dikuatkan dengan pernyataan sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :

لَيْسَ فِيْ مَالِ العَبْدِ زَكَاةٌ حَتَّى يُعْتَقَ

Tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang budak sampai dia dimerdekakan.[2]

3. Memiliki Nishâb
Seorang Muslim yang merdeka wajib menunaikan zakat mal, apabila memiliki harta yang mencapai nishâb. Nishâb adalah ukuran standar (minimal) yang ditetapkan syariat untuk dikenai kewajiban zakat. Nishâb ini berbeda-beda sesuai dengan jenis harta.

Syarat ini disimpulkan dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقِيَّ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat (pada harta) yang tidak mencapai lima wasaq; Juga pada harta yang tidak mencapai lima ekor onta; Serta yang tidak mencapai lima auqiyah [Muttafaqun ‘alaihi]

Apabila seorang Muslim tidak memiliki harta yang mencapai nishâb maka tidak diwajibkan berzakat.

4. Harta itu menjadi miliknya secara penuh
Maksudnya, harta itu dimiliki secara penuh oleh seseorang[3] sehingga ia bebas mengelolanya dan tidak ada hubungan dengan hak orang lain.[4]

Dengan demikian, tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang tuan yang masih dihutang atau belum diserahkan budaknya untuk membebaskan diri, karena harta ini masih belum menjadi milik tuan sepenuhnya.

Demikian juga tidak diwajibkan zakat pada harta wakaf yang tidak diberikan untuk individu tertentu, seperti wakaf harta untuk fakir miskin atau untuk masjid atau sekolahan. Sedangkan wakaf yang diserahkan untuk individu tertentu seperti wakaf untuk keluarga Fulan maka ia tetap kena kewajiban zakat selama memenuhi kreteria yang lainnya.[5]

5. Berlalu setahun lamanya
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh bersabda, "Tidak ada zakat pada harta sampai harta itu berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah rahimahullah , no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam shahih sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Juga hadits Ali Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, "Tidak ada zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya [HR Abu daud no. 1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346].

Demikian juga dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Rasûlullâh bersabda, "Barangsiapa memanfaatkan harta maka tidak ada zakat atasnya sampai harta itu berlalu setahun" [HR at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunannya no. 631 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi 1/348].

Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta sampai kepemilikannya terhadap harta itu berlalu selama dua belas bulan. Jika sudah berlalu setahun sejak awal masa kepemilikannya, maka dia wajib mengeluarkan dari zakat yang dimiliki tersebut.

Syarat ini hanya berlaku pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak yang digembalakan, emas dan perak (atsmân) dan zakat barang perdagangan.[6]

YANG TIDAK DISYARATKAN HAUL.
Dengan demikian ada beberapa harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun, yaitu:

a. al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % atau 5 %. Ini zakat pada hasil pertanian dan perkebunan; karena zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun. Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); [al-‘An’âm/6:141].

b. Anak hewan ternak[7] karena haul (ukuran setahun) bagi anak-anak hewan ternak itu mengikuti hitungan haul induknya. Anak hewan ternak ini dihitung dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya telah mencapai nishab.

Contohnya seorang memiliki empat puluh ekor kambing. Lalu dalam setahun, masing-masing kambing tersebut melahirkan dua ekor kecuali seekor saja yang melahirkan tiga ekor. Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah 121 ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah 81 ekor anak kambing. Berarti zakat yang harus dikeluarkan adalah dua ekor kambing, walaupun 81 kambing tersebut belum genap satu tahun.

Contoh lain : seorang memiliki 120 ekor kambing, seharusnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna haulnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor. Dalam hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun.

Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu melahirkan anak-anaknya sehingga mencapai nishab. Saat mencapai nishâb itulah permulaan haulnya. Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu kambing-kambing itu melahirkan sepuluh ekor, maka haul kambing-kambing tersebut dihitung sejak genap empat puluh ekor kambing.

c. Keuntungan perniagaan dari modal yang telah mencapai nishâb dan berlalu satu tahun. Seandainya, seorang memiliki uang mencapai nishâb dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan. Maka seluruh harta itu, modal dan keuntungannya terkena wajib zakat, meskipun keuntungannya belum mencapai setahun.

Contohnya, seorang memulai bisnis dengan modal 30 juta dibulan Muharram 1431 H , sementara nishâb untuk harta perniagaan adalah 85 gram emas dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000. Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia mendapat keuntungan Rp. 3.000.000; di bulan Shafar Rp. 2.000.000; dan seterusnya, sehingga di bulan Muharram 1432 H jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp. 75.000.000; Maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 75.000.000; yaitu Rp. 1.875.000.

Apabila modalnya belum mencapai nishâb kemudian mendapatkan keuntungan sampai mencapai nishab, maka hitungan haulnya mulai dihitung sejak nishâb sempurna.

d. Rikâz atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang itu ditemukan. Ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ

Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). [Muttafaqun ‘Alaihi].

Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya

e. Tambang (al-mi’dan) yaitu semua yang dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang selain tanah yang dibuat di dalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-yaqût), batu aqiq, aspal, minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila seorang mendapatkan barang tambang itu dan mencapai nishab, maka wajib ditunaikan zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya. Tidak dikeluarkan zakatnya sampai diolah dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 %.[9]

Imam al-Khiraqi menyatakan, "Apabila dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas duapuluh mitsqâl atau perak sejumlah duaratus dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang digali (ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya.[10]

TERPUTUSNYA HAUL
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
1. Apabila nishâb berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nishâb dalam setahun adalah syarat wajib zakat.

2. Apabila menjual sebagian dari nishabnya dengan syarat:
a. Pembayarnya tidak sejenis
b. Bukan karena takut terkena zakat
c. Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat. Cotohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.

3. Apabila harta yang sudah masuk nishâb diganti dengan jenis lain ditengah-tengah haul bukan untuk menghindari kewajiban zakat maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum setahun masa nishâb tersebut ia ganti dengan onta atau sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi itu dimulai pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nishâb.

Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nishâb (85 gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Ramadhan 1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H.

Memang dalam permasalahan pertukaran harta zakat yang sudah mencapai nishâb dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama. Perbedaan pendapat ini dapat dijelaskan berikut ini:

a. Apabila dijual atau ditukar dengan harta lain sejenis yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka haulnya dihitung berdasarkan nishâb yang pertama, sehingga tetap wajib dizakati apabila sempurna setahun (haul). Inilah pendapat imam Mâlik dan Ahmad. Pendapat ini sejalan dengan pendapat imam Abu Hînifah pada barang berharga (al-atsmaan). Sedangkan dalam komoditi perniagaan maka haulnya tidak terputus sama sekali dengan pertukaran dan jual beli.

b. Apabila harta zakat yang sudah mencapai nishâb ditukar atau dijual dengan harta zakat jenis lain yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka terputuslah perhitungan haul dari harta zakat pertama dan dimulai hitungan haul baru untuk harta zakat kedua; Kecuali pada emas dengan perak atau sebaliknya, ada dua riwayat dari madzhab Ahmad bin Hambal. Pendapat pertama menyatakan tidak terputus haulnya dan inilah yang dirâjihkan oleh penulis kitab Zâdul Mustaqni’, karena emas ddan perak adalah harta yang sama sehingga seperti satu harta. Pendapat kedua menyatakan haulnya terputus dan tidak disamakan antara emas dan perak, karena keduanya jenis yang berbeda sebagaimana disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam harus setara dan kontan. Apabila jenis-jenisnya berbeda maka juallah sesuka kalian dengan syarat kontan. [HR. Muslim, no. 1587].

Pendapat keduan ini dirâjihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/44.

c. Sedangkan imam asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat, haul satu harta yang telah mencapai nishâb tidak digabung dengan haul harta yang lain sama sekali. Beliau mendasarkan pendapatnya dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qudâmah rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan, "Pendapat kami adalah harta yang telah mencapai nishâb digabungkan dengan haul harta pertumbuhannya dalam hitungan Haul, sehingga haul penggantinya yang sejenis dibangun diatas haul tersebut, sama seperti komoditi perniagaan. Hadits ditas dikhususkan dengan pertumbuhan, hasil keuntungan dan barang komoditi perniagaan. Sehingga kita qiaskan (analogikan) permasalahan ini kepadanya.[12]

d. Ada satu riwayat dari imam Ahmad yang menyatakan apabila harta zakat yang telah mencapai nishab dijual atau ditukar dengan harta baru yang telah mencapai nishab, maka haul harta yang kedua melanjutkan perhitungan haul harta pertama secara mutlak, baik sejenis atau berlainan jenis. Pendapat ini dirâjihkan oleh syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, "Yang benar adalah pendapat madzhab Imam Ahmad yang menyatakan bahwa pertukaran nishâb harta zakat dengan nishâb harta zakat lainnya tidak menghalangi kewajiban zakat dan tidak pula memotongnya, baik keduanya sejenis atau berlainan jenis. Pembedaan antara barang yang sejenis dan tidak sejenis tidak ada dalilnya. Hakekatnya adalah tidak ada perbedaan antara keduanya. Juga karena pendapat yang menyatakan memutus perhitungan haul apabila ditukar dengan harta zakat jenis lainnya mengakibatkan terbukanya pintu rekayasa untuk menghindari zakat.[13]

Adapun hitungan haul barang komoditi perniagaan maka tidak terputus haulnya dengan sebab pertukaran dan jual beli.[14]

Apabila ada keuntungan dalam perniagaan tersebut maka hitungan haul keuntungan dihitung dengan dasar hitungan haul modalnya. Demikian juga apabila terjadi kenaikan harga barang tersebut, maka zakatnya diwajibkan pada semua nilainya dan bila ada penurunan harga maka dizakati nilai barang yang ada sesuai harga yang ada tersebut.[15]

Demikian beberapa masalah seputar perhitungan Haul dalam zakat semoga bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan kepada para wajib zakat dan amilnya.
Wabillahittaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



http://almanhaj.or.id/
_______

MENDAHULUKAN MASHLAHAT TERTINGGI DAN MENGUTAMAKAN KEBURUKAN TERKECIL


MENDAHULUKAN MASHLAHAT TERTINGGI DAN MENGUTAMAKAN KEBURUKAN TERKECIL


فِي الْقُرْآنِ عِدَّةُ آيَاتٍ فِي الْحَثِّ عَلَى أَعْلَى الْمَصْلَحَتَيْنِ وَتَقْدِيْمِ أَهْوَنِ الْمَفْسَدَتَيْنِ، وَمَنْعِ مَا كَانَتْ مَفْسَدَتُهُ أَرْجَحَ مِنْ مَصْلَحِتِهِ

Dalam beberapa ayat al-Qur'an ada anjuran agar (kaum Muslimin) mendahulukan mashlahat yang lebih besar atau mendahulukan mafsadah yang lebih kecil serta ada larangan dari (melakukan) sesuatu yang mafsadah (keburukan)nya lebih dominan dari pada mashlahatnya

Diantara pokok agama yang wajib diketahui oleh kaum Muslimin yaitu agama ini diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk merealisasikan dan memperbanyak kemaslahatan (kebaikan) serta untuk melenyapkannya atau meminimalisir keburukan. Oleh karena itu Islam memerintahkan bahkan mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan berbagai perbuatan baik, seperti shalat, puasa, zakat, menyambung silaturahmi dan lain sebagainya. Islam juga melarang bahkan mengharamkan semua keburukan. Adalah kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mentaati syari'at Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan semua kebaikan yang diperintahkan dan menjauhi semua keburukan yang dilarang. Namun terkadang dalam kondisi tertentu, seseorang tidak bisa melakukan semua kebaikan yang diketahuinya dan tidak bisa menghindari semua keburukan yang dilarang syari'at. Artinya dia harus memilih. Lalu mana yang harus dipilih ? Inilah yang maksud perkataan penyusun kitab al-Qawa'idul Hisan al-Muta'alliqah bi tafsiril Qur'an di atas.

Dari perkataan di atas kita simpulkan tiga point penting :

1. Apabila ada dua kebaikan atau lebih berbenturan, maksudnya, kebaikan-kebaikan itu tidak mungkin kita lakukan semuanya, karena suatu sebab, maka kita harus memilih. Mana yang harus dilakukan ? Yang harus kita pilih adalah yang terbaik dari berbagai kebaikan yang berbenturan itu. Ini menunjukkan bahwa nilai amal-amal shalih yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla itu tidak sama, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah).[al-Hadîd/57:10]

Dan firman-Nya :

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu anggap sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allâh ? [at-Taubah/9:19]

Dan juga firman-Nya :

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allâh dengan harta mereka dan jiwanya. Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allâh menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. [an-Nisâ/4:95]

2. Apabila dua keburukan atau lebih berbenturan, maksudnya karena suatu hal dan kondisi, berbagai keburukan itu tidak bisa dijauhi semuanya, namun kita harus melakukan salah satunya. Lalu mana yang kita lakukan ? Yang harus kita lakukan adalah yang paling ringan dampak buruknya.

Penerapan kaidah ini bisa kita temukan dalam banyak tempat, diantaranya :

a. Dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allâh, kafir kepada Allâh, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allâh [al-Baqarah/2:217]

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa pembalasan yang dituntut oleh kaum kafir terhadap kaum Muslimin atas peperangan di bulan-bulan yang terhormat- meski ada keburukannya namun apa yang dilakukan kafir Quraisy yang telah menghalangi manusia dari jalan Allâh, kafir kepada Allâh dan menghalangi manusia dari Masjid Haram serta mengusir penduduknya lebih besar keburukannya (dosanya) disisi Allâh dari pada berperang di bulan-bulan yang terhormat atau suci. Jadi disini terdapat dua mafsadah (keburukan), yaitu :

Pertama : Tetap eksisnya orang-orang kafir Quraisy yang menghalangi kaum Muslimin dari jalan Allâh Azza wa Jalla , mengusir dan menzhalimi kaum Muslimin di sana, serta kekufuran dan kesyirikan mereka.

Kedua : Menyerang mereka saat bulan haram.
Mana diantara dua mafsadah ini yang lebih buruk ? Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dengan gamblAng bahwa yang lebih buruk adalah yang pertama. Sehingga ketika harus memilih, maka yang kedualah yang dipilih, karena dampak buruknya lebih sedikit.

b. Dalam firman Allah Azza wa Jalla

وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan kalau bukanlah karena laki-laki Mukmin dan perempuan-perempuan Mukmin yang tidak kamu ketahui (keberadaan mereka, yang dikhawatirkan), kamu membunuh mereka sehingga menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allâh tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). [al-Fath/48:25]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menahan kaum Muslimin dari keinginan mereka untuk menyerang penduduk kuffar di Makkah yang telah menghalangi mereka memasuki Masjidil Haram. Ini untuk suatu tujuan yang lebih tinggi yaitu supaya kaum Muslimin dan Muslimat yang masih menyembunyikan keimanannya dan masih tinggal di Makkah tidak menjadi korban peperangan. Kalau mereka menjadi korban perang, maka tentu orang yang menyebabkannya akan merasa menyesal atau turut berdosa, sebagaimana dijelaskan para Ulama ahli tafsir. Oleh karena itulah, Allâh Azza wa Jalla melarang penyerangan itu, meski faktor pemicunya sudah ada yaitu perilaku kuffar yang telah menghalangi kaum Muslimin dari Masjidil Haram.

Jadi disini ada dua keburukan yaitu :

Pertama : Tidak memerangi atau membiarkan kaum kuffar yang telah menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Makkah

Kedua : Memerangi mereka dengan resiko ikut terbunuhnya kaum Muslimin yang masih tinggal di Makkah dan menyembunyikan keimanan mereka karena belum mampu hijrah ke Madinah. Mereka akan ikut terbunuh karena sulit membedakan antara penduduk Makkah yang sudah beriman dan masih kafir.

Dari kedua keburukan ini, yang paling sedikit dampak buruknya adalah tidak memerangi mereka.

Termasuk dalam pelaksanaan kaidah yang kedua ini yaitu semua kejadian-kejadian atau kesepakatan-kesepakatan dalam Shulh (perjanjian damai) Hudaibiyah, dimana tercantum butir-butir perdamaian yang harus dipatuhi, yang dzahirnya sangat merugikan kaum muslimin, akan tetapi itu ternyata berbuah kemenangan bagi kaum muslimin. Termasuk juga, larangan terhadap kaum Muslimin untuk berperang sebelum Rasûlullâh n hijrah ke Madinah. Karena berperang dalam kondisi seperti itu lebih besar dampak buruknya daripada tetap bersabar.

3. Jika ada kebaikan dan keburukan sekaligus, namun keburukannya lebih kuat atau lebih dominan, maka kita dilarang melakukannya.
Ini merupakan bagian terakhir yaitu apabila mashlahat dan mafsadah berkumpul, maka mashlahat harus didahulukan ketika mafsadah tidak mendominasi, jika sebaliknya, maka mafsadah harus diutamakan, meskipun harus meninggalkan atau menghiangkan maslahah. Misalnya dalam firman Allâh :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya." [Al-Baqarah/2:219]

Ini merupakan alasan umum yaitu segala sesuatu yang bahayanya (madharat) dan dosanya lebih besar daripada manfaatnya, maka dengan hikmah-Nya, Allâh melarang para hamba-Nya dan mengharamkannya.

Demikianlah kaidah-kaidah ini, disamping sebagai kaidah yang ditetapkan secara syar'i juga sesuai dengan logika manusia yang normal serta bisa diamalkan dalam masalah-masalah agama maupun dunia. Wallahu a'lam


(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

AJARAN TASAWUF MERUSAK AQIDAH ISLAM

Oleh
‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini


Imam Syafi'i rahimahullah : "Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zhuhur, engkau tidak dapati dirinya, kecuali menjadi orang bodoh". (al-Manâqib lil Baihaqi 2/207)


Wihdatul mashdar menjadi salah satu ciri Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan masaail aqidah, Mereka hanya berlandaskan misykâtun nubuwwah, wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , tidak memandang akal, qiyas dan kasyf sebagai bagian sandaran aqidah. Justru tiga hal tersebut akan bertentangan banyak dengan nash al-Kitab dan Sunnah. Sehingga amat aneh bila ada orang yang mendahulukannya di atas hujjah-hujjah al-Qur`an dan Hadits. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja pernah menegur ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu dari sekedar melihat-lihat lembar Taurat [1] yang sebelumnya merupakan kitab yang diturunkan dari langit meski tidak telah dimasuki oleh tahrif-tahrif hasil penyelewengan tangan para pemuka agama mereka. Dan tentunya Taurat dalam konteks ini lebih afdhal daripada hasil qiyas akal manusia dan kayalan kalangan Sufi.[2]

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh umat dari masa kenabian, muncullah berbagai keyakinan dan ideologi dari luar al-Qur`ân dan Sunnah yang mengintervensi aqidah Islamiyyah. Sufi dengan ajaran tasawufnya pun ikut menodai kejernihan dan keutuhan aqidah Islamiyyah. Masuknya ideologi ini di tengah masyarakat menyebabkan terjadinya kegoncangan akidah pada akidah kebanyakan umat Islam, pemikiran dan pandangan-pandangan mereka dan secara otomatis menjauhkan mereka dari aqidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Inilah salah satu dampak buruk yang harus dirasakan bila kekeliruan dan penyimpangan sangat dominan di masyarakat, akhirnya khalayak menganggapnya sebagai kebenaran. Pihak yang menentangnya dipandang keluar dari al-haq. Dan lebih menarik lagi, bangsa Barat memberikan atensi besar pada pengkajian khazanah ‘ilmiah’ Sufi, mencetak dan menyebarluaskannya serta menterjemahkannya ke berbagai bahasa. Tiada lain karena mereka sudah mengetahui bahaya Tasawuf bagi Islam dan umat Islam, bukan dalam rangka mendukung Islam. Wallâhul musta’ân.

DIBANGUN DI ATAS KEDUSTAAN
Kerusakan aqidah bila ditampakkan dengan terang-terangan, pasti akan ditolak oleh manusia-manusia yang berfitrah lurus dan berakal sehat. Maka, sebagian tokoh (tarekat Sufi) ajaran ini memperkenalkan tasawuf dengan slogan-slogan, visi dan misi yang menarik agar mudah menggandeng manusia sebanyak mungkin, menegaskan bahwa dakwah mereka sesuai dengan ajaran Islam , misi mereka untuk mensucikan kalbu, membina akhlak dst slogan-slogan menarik guna mengelabuhi umat.

Seorang pemuka tarekat di Mesir, Mahmûd as-Sathûhî menjelaskan bahwa Tasawuf merupakan inti sari pengamalan ajaran Islam, mengamalkan al-Qur`ân dan Sunnah, berjihad melawan musuh dan hawa nafsu. (!!). Sebagian pemuka aliran Tasawuf bahkan memandang bahwa seluruh Sahabat Nabi, generasi Tâbi’în dan Tâbi’ît Tâbi’în adalah pioner aliran Tasawuf karena sikap zuhud dan semangat berjihad mereka. (!?).

Ungkapan-ungkapan di atas hanyalah klaim kosong dan pernyataan yang tidak mendasar. Seorang Muslim yang berilmu akan merasa keheranan dengan klaim-klaim (kosong tanpa bukti). Bagaimana mungkin mereka disebut mengikut al-Qur’ân dan Sunnah, serta menjadi para pengikut dan penerus generasi terbaik umat?. Karena dari sisi aqidah terjadi perbedaan tajam antara aqidah para Sahabat dan kalangan Tasawuf, apalagi dengan aqidah tokoh besar Sufi, semisal Ibnu Arabi.

Namun keheranan ini akan segera sirna begitu mengetahui bahwa klaim-klaim palsu dan tuduhan-tuduhan asal-asalan merupakan salah satu uslub (metode) memasarkan ajaran mereka dan menjauhkan umat dari kebenaran.

BENAR-BENAR MERUSAK AQIDAH ISLAMIYAH
Kekhawatiran terhadap ideologi Sufi tidak hanya lantaran kandungan penyelewengan akidah yang ada padanya,. Akan tetapi, juga karena penyebarannya yang begitu luas di dunia Islam. Akibatnya, terbentuk semacam opini bahwa kebenaran adalah apa yang ada pada kaum Sufi (?!).

Seperti pepatah Arab, wabil mitsâl yattadhihul maqâl, dengan contoh, pernyataan akan bertambah jelas, maka di sini akan disebutkan beberapa contoh bagaimana ajaran tasawuf merubah kemurnian aqidah Islam:

1. Aqidah Islam telah menetapkan Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-makhluk-Nya dari 'adam (tidak ada sebelumnya), tidak dari Dzat-Nya dan bahwa semesta alam ini bukan khaliq (pencipta). Inilah aqidah yang dibawa al-Qur`an dan Hadits-hadits Nabi.

Sementara dalam kamus Sufi, diyakini bahwa segala yang ada di alam ini merupakan perwujudan Dzat Allâh Azza wa Jalla dengan aqidahnya yang dikenal dengan wihdatul wujud, kesatuan wujud.

2. Aqidah Islam berdasarkan nash-nash al-Qur`ân dan Hadits telah menentukan abahwa Allâh Azza wa Jalla berada di atas langit, bersemayam di atas Arsy sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

(Yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy [Thâhâ/20:5]

Sementara dalam ilmu Tasawuf diajarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada dimana-mana.

3. Aqidah Islam menyatakan bahwa kenabian mutlak merupakan keutamaan yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada insan yang Allâh kehendaki. Kenabian dan kerasulan tidak datang melalui keinginan nabi dan rasul yang bersangkutan atau atas permintaan mereka kepada Allah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat [al-Hajj/22:75]

Dalam hal ini, tokoh Sufi memandang kenabian dapat diraih melalui ketekunan melakukan riyadhah, sampai seorang tokoh Sufi, Ibnu Sab'in[3] mengatakan, "Ibnu Aminah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah membatasi sesuatu yang lingkupnya luas ketika mengatakan, "Tidak ada nabi sepeninggalku".

4. Aqidah Islam menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi serta rasul yang lain juga manusia-manusia seperti orang-orang yang lain dan masih berkewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla memilih mereka dan mengutamakan mereka di atas kebanyakan orang sebagai utusan-utusan-Nya.

Adapun golongan Sufi berpandangan bahwa Nabi Muhammad sumber terciptanya makhluk-makhluk yang lain (keyakinan ini dikenal dengan aqidah Nur Muhammadi). Mereka pun membawakan hadits-hadits palsu yang menyatakan jika tidak ada Muhammad maka alam semesta ini tidak akan pernah ada . Mereka pun memandang manusia bila sudah mencapai derajat tertentu tidak terkena kewajiban menjalankan syariat Islam.

5. Sumber hukum aqidah Islam hanya dua: al-Qur`ân dan Hadits shahih, tidak ada sumber ketiga atau keempat dan seterusnya…Sementara itu, kaum Sufi memiliki sumber aqidah yang lain yang dikenal dengan istilah al-kasyf dan al-faidh. Mereka secara nyata meyakininya sebagai landasan keyakinan.

6. Aqidah Islam menjunjung tinggi tauhîdullâh dan datang untuk memberantas syirik dengan seluruh jenisnya dan praktek penyembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan pada ajaran Tasawuf, praktek syirik sangat kentara dalam bentuk meminta kepada penghuni kubur, istighotsah kepada orang-orang yang telah mati, pengagungan kuburan dan lain-lain.

7. Aqidah Islam telah menetapkah hanya Allâh saja yang mengetahui alam gaib. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan [an-Naml/27:65]

Dalam hal ini, kaum Sufi menyatakan bahwa syaikh-syaikh tarekat memiliki kemampuan meneropong dan mengetahui alam gaib melalui jalan kasyf, dan menurut mereka lagi, mereka meemperoleh ilmu itu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Masih banyak keyakinan mereka lainnya yang jelas-jelas berseberangan dengan aqidah yang dibawa oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Pendek kata, ajaran Tasawuf berdiri di atas landasan-landasan berikut:
• Membagi agama menjadi lahir yang diketahui oleh orang-orang awam dan batin yang hanya dimengerti oleh kaum khos (orang-orang khusus saja)
• Memegangi kasyf dan dzauq dalam penetapan masalah-masalah aqidah dan ibadah
• Melegalkan praktek syirik dan bahkan melakukan pembelaan untuknya
• Menshahihkan hadits melalui jalan kasyf
• Beramal berdasarkan hasil mimpi
• Beribadah dengan dasar dzauq dan wajd
• Menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu dan mengamalkannya.
• Membiasakan dzikir jama'i dan beribadah dengan menari-nari diiringi oleh suara-suara alunan bunyi seruling dan alat-alat musik lainnya. Bahkan penulis kitab Ihya Ulumuddin menulis satu bab di dalamnya dukungannya terhadap ‘ibadah’ dengan tarian dan musik disertai penjelasan tentang adab-adab dan menetapkan bahwa musik lebih menggelorakan hati daripada al-Qur`ân dari tujuh aspek. [al-Ihyâ:2/325-328].

Demikian point-point prinsip aqidah yang diajarkan dalam ilmu Tasawuf dan diyakini kalangan Sufi. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala kerusakan dalam keyakinan kita. Wallâhu a’lam.

Dikutip dari at-Tauhîd fî Masîratil ‘Amalil Islami bainal Wâqi wal Ma`mûl, ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini, pengantar Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql, Cet I, Th. 1419H, Darul Qasim. hlm. 25-33.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

JIHAD MELAWAN SYAITHAN

Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari



Sadarkah kita, bahwa setiap diri ini memiliki musuh besar ? Musuh yang sangat menginginkan kita sesat dan celaka. Musuh yang tidak terlihat, tapi memiliki banyak tipu-daya dan cara untuk mencapai tujuannya. Itulah syaithan (setan).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan manusia agar tidak tergoda olehnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah berhasil mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. [al-A’râf/7: 27]

Oleh karena itu, dengan rahmat-Nya, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk menjadikan syaithan sebagai musuh. karena memang sebenarnya, syaithan musuh bagi manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. [Fâthir/35:6]

Bagaimana sepak terjang musuh terhadap lawannya ? Semua orang sudah tahu jawabannya yaitu berusaha sekuat tenaga agar lawannya ditimpa segala keburukan dan terlepas dari semua kebaikan.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ayat di atas, “Perintah Allâh untuk menjadikan syaithan sebagai musuh ini sebagai peringatan agar (manusia) mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi dan melawannya. Sehingga syaithan itu seolah-olah musuh yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah lalai”. [Zâdul Ma’âd, III/6]

Dalam menjalankan aksinya menyesatkan dan membinasakan manusia, syaithan memiliki dua senjata yaitu syubhat dan syahwat. Oleh karena itu, orang yang ingin selamat harus berjihad melawan syaithan dengan bersenjatakan ilmu dan mentazkiyah (membersihkan) jiwanya. Ilmu nafi’ (yang yang bermanfaat) akan membuahkan rasa yakin, yang akan menolak syubhat. Sedangkan tazkiyatun nafs akan melahirkan ketakwaan dan kesabaran, yang membuatnya mampu mengendalikan syahwat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jihad melawan syaithan memiliki dua tingkatan : Pertama, menolak syubhat dan keraguan yang dilemparkan syaithan kepada hamba; Kedua, menolak syahwat dan keinginan-keinginan jelek yang dilemparkan syaithan kepada hamba. Jihad yang pertama akan diakhiri dengan keyakinan, sedangkan jihad yang kedua akan diakhiri dengan kesabaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. [as-Sajdah/32:24]

Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa kepemimpinan agama hanya bisa diraih dengan kesabaran (dan keyakinaan), kesabaran akan menolak syahwat dan keinginan-keinginan jelek, dan keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.” [Zâdul Ma’âd III/10]

Jadi senjata manusia untuk melawan syaithan adalah ilmu dan kesabaran. Ilmu yang bersumber dari kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya. Kemudian mengamalkan ilmu tersebut sehingga jiwa menjadi bersih dan suci, dan menumbuhkan kesabaran.

Itulah cara menghadapi tipu daya syaitan secara global, sedangkan secara rinci adalah sebagai berikut :

1. Beriman Dan Mentauhidkan Allâh Dengan Benar
Sesungguhnya seluruh kekuatan, kekuasaan, kesempurnaan hanyalah milik Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu, seorang hamba yang ditolong dan dilindungi oleh Allâh, tidak akan ada yang mampu mencelakainya. Inilah senjata pertama dan utama seorang mukmin dalam menghadapi syaithan yaitu beriman dengan benar kepada Allâh, beribadah dengan ikhlas kepada-Nya, bertawakkal hanya kepadaNya dan beramal shalih sesuai aturan-Nya. Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa syaithan tidak memiliki daya terhadap hamba-hamba Allâh yang beriman dan mentauhidkan-Nya. Allâh berfirman.

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada memliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. [an-Nahl/16: 99]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ketika Iblis tahu bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ﴿٨٢﴾إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash [Shâd/38: 82-83]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلاَّ مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu (Iblis) terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti-mu, yaitu orang-orang yang sesat. [al-Hijr/15:42]

Maka ikhlas adalah jalan kebebasan, islam adalah kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [al-‘Ilmu, Fadhluhu Wa Syarafuhu, hlm. 72-74, tansiq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

2. Berpegang Teguh Kepada Al-Kitab Dan As-Sunnah Dengan Pemahaman As-Salafush Shalih
Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan manusia di muka bumi, sesungguhnya Dia menyertakan petunjuk untuk mereka. Sehingga manusia hidup di dunia ini tidak dibiarkan begitu saja, tanpa bimbingan, perintah dan larangan. Allâh Azza wa Jalla menurunkan kitab suci dan mengutus para Rasul yang membawa peringatan, penjelasan dan bukti-bukti. Barangsiapa berpaling dari peringatan Allâh, maka dia akan menjadi mangsa syaithan dan dijerumuskan ke dalam kecelakaan abadi. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb yang Maha Pemurah (al-Qur’ân), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. [az-Zukhruf/43: 36]

Oleh karena itu, jalan selamat dari tipu daya syaithan adalah dengan mengikuti jalan Allâh, mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman as-salafush shâlih. Allâh Azza wa Jalla berfirman

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min (yaitu jalan para sahabat), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [an-Nisâ’/4: 115]

3. Berlindung Kepada Allâh Dari Gangguan Syaithan.
Inilah sebaik-baik jalan untuk menyelamatkan diri dari syaithan dan tentaranya, memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla , karena Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Makna “aku berlindung kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat” yaitu aku meminta perlindungan kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat yang menggangguku pada agamaku atau pada duniaku, atau menghalangiku dari melakukan sesuatu yang diperintahkan (Allah Azza wa Jalla) kepadaku, atau mendorongku melakukan apa terlarang bagiku. Karena tidak ada yang bisa mencegah syaithan dari manusia kecuali Allâh.

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengambil hati dan bersikap lembut kepada syaithan manusia, dengan melakukan kebaikan kepadanya, agar tabi’atnya (yang baik) menolaknya dari gangguan (yang dia lakukan).

Dan Allâh memerintahkan agar (manusia) berlindung kepada-Nya dari syaithan jin, karena dia tidak menerima suap dan perbuatan kebaikan tidak akan mempengaruhinya, karena dia memiliki tabi’at yang jahat, dan tidak akan mencegahnya darimu kecuali Yang telah menciptakannya.” [Tafsir Ibnu Katsir, 1/14, penerbit: Darul Jiil, Beirut, tanpa tahun]

Memohon perlindungan ini dilakukan secara umum pada setiap waktu, pada setiap diganggu oleh syaithan, dan juga dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dituntunkan oleh Allâh dan Rasul-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allâh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-A’râf/7:200]

Adapun waktu-waktu tertentu yang dituntunkan untuk beristi’adzah antara lain yaitu saat diganggu syaithan; adanya bisikan jahat; gangguan dalam shalat; saat marah; mimpi buruk; akan membaca al-Qur’an; akan masuk masjid; akan masuk tempat buang hajat; saat mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai; ketika akan berjima’; waktu pagi dan petang; isti’adzah untuk anak-anak dan keluarga; ketika singgah di suatu tempat; ketika akan tidur; dan lain-lain. Perincian dalil-dalil ini semua terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih.

4. Membaca Al-Qur’an
Sesungguhnya syaithan akan lari menjauh dengan sebab bacaan Al-Qur’an, sebagaimana di dalam hadits sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, sesungguhnya syaithan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya”. [HR. Muslim, no: 780]

Syaithan telah membukakan salah satu rahasianya ini kepada Abu Hurairah, yang hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Syaithan mengatakan:

إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ

“Jika engkau menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi (Allohu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum) sampai engkau menyelesaikan ayat tersebut, maka sesungguhnya akan selalu ada padamu seorang penjaga dari Allâh, dan syaithan tidak akan mendekatimu sampai engkau masuk waktu pagi”. [HR. Bukhari]

5. Memperbanyak Dzikrulloh.
Dzikrullah adalah benteng yang sangat kokoh untuk melindungi diri dari gangguan syaithan. Hal ini diketahui dari pemberitaan Allâh Subhanahu wa Ta’alaewat para RasulNya, antara lain lewat lisan Nabi Yahya Alaihissallam, sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهَا وَيَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهَا...وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللَّهِ

Dari Al-Harits Al-Asy’ari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allâh memerintahkan Yahya bin Zakaria q dengan lima kalimat, agar beliau mengamalkannya dan memerintahkan Bani Israil agar mereka mengamalkannya (di antaranya)…”Aku perintahkan kamu untuk dzikrullah (mengingat/menyebut Allâh). Sesungguhnya perumpamaan itu seperti perumpamaan seorang laki-laki yang dikejar oleh musuhnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah mendatangi benteng yang kokoh, kemudian dia menyelamatkan dirinya dari mereka (dengan berlindung di dalam benteng tersebut). Demikianlah seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari syaithan kecuali dengan dzikrullah”. [HR.Ahmad]

Maka jika anda ingin selamat dari tipu-daya dan gangguan syaithan, hendaklah selalu membasahi lidah anda dengan dzikrullah disertai konsentrasi dengan hati.

6. Tetap Bersama Jama’ah umat Muslimin
Bergabung dengan jama’ah umat Islam dalam melaksanakan berbagai ibadah yang dituntunkan dengan berjama’ah, merupakan salah satu cara menyelamatkan diri dari incaran syaithan. Karena sesungguhnya syaithan merupakan serigala yang akan menerkam manusia, sebagaimana serigala akan menerkam domba yang menyempal dari kelompoknya.

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ قَالَ زَائِدَةُ قَالَ السَّائِبُ يَعْنِي بِالْجَمَاعَةِ الصَّلَاةَ فِي الْجَمَاعَةِ

Dari Abu Darda’, dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada tiga orang di suatu desa atau padang, tidak didirikan shalat jama’ah pada mereka, kecuali syaithan menguasai mereka. Maka bergabunglah dengan jama’ah, karena sesungguhnya srigala itu akan memakan kambing yang menyendiri”. [HR. Abu Dawud, no: 547]

7. Mengetahui Tipu-Daya Syaithan Sehingga Mewaspadainya.
Syaithan itu sangat berantusias menyesatkan manusia, ia habiskan waktunya dan segala kemampuannya dikerahkan untuk merusak manusia. Allâh Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hambaNya yang beriman dari musuh bebuyutan tersebut dengan firmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. [An-Nuur/24: 21]

Salah satu cara menghindari tipu daya syaithan yaitu mengetahui dan membongkar tipu-daya itu sehingga dapat dihindari. Karena orang yang tidak mengetahui keburukan, dia akan mudah terjerumus dalam keburukan tersebut tanpa disadari.

8. Menyelisihi Syaithan Dan Menjauhi Sarana-Sarananya Untuk Menyesatkan Manusia.
Syaithan adalah musuh manusia. Oleh karena itu, kita wajib memposisikannya sebagai musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغُرُورُ

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. [ Fathir: 5]

Diantara realisasi dari hal diatas yaitu dengan menyelisihi perbuatan syaithan. Misalnya:

• Syaithan makan dan minum dengan tangan kiri, maka selisihi dia dengan makan dan minum dengan tangan kanan.
• Syaithan tidak melakukan qoilulah (istirahat di tengah hari), maka kita selisihi dengan melakukan qoilulah.
• Tidak boros (tabdziir) karena orang yang berbuat tabdziir adalah saudarasyaithan.
• Melakukan sesuatu dengan tenang dan hati-hati, karena sikap tergesa-gesa dari syaithan.
• Hendaklah kita berusaha sekuat tenaga agar tidak menguap, karena itu dari syaithan.

Dalil-dalil yang kami sebutkan ini, terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih.

Diantara realisasi sikap permusuhan terhadap syaithan adalah adalah menjauhi sarana-sarana yang digunakan oleh syaithan untuk menyesatkan manusia, seperti: musik, lagu dan khamer.

9. Yakin Bahwa Tipu Daya Syaithan Itu Lemah
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. [An-Nisa’: 76]

Bagaimanapun lihainya syaithan dalam menebarkan perangkap-perangkapnya, kita harus yakin bahwa sebenarnya tipu daya syaithan itu lemah. Asalkan kita selalu mentaati Allâh Yang Maha Perkasa. Di antara kelemahan syaithan yaitu :

• Dia tidak bisa membuka pintu yang dikunci dengan disertai doa (menyebut nama Allâh).
• Dia juga tidak dapat makan bersama orang yang mengucapkan bismillah ketika hendak makan.
• Juga tidak dapat bermalam di rumah yang dimasuki oleh penghuninya sambil membaca doa

10. Taubat Dan Istighfar.
Selama masih hidup, manusia senantiasa perlu bertaubat dan istighfar kepada Allah Azza wa Jalla, diriwayatkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ إِبْلِيسَ قَالَ لِرَبِّهِ بِعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي بَنِي آدَمَ مَا دَامَتِ الْأَرْوَاحُ فِيهِمْ فَقَالَ اللَّهُ فَبِعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iblis berkata kepada Robbnya: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, aku senantiasa akan menyesatkan anak-anak Adam selama ruh masih ada pada mereka”. Maka Allâh berfirman: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, Aku senantiasa akan mengampuni mereka selama mereka mohon ampun kepadaKu”. [HR. Ahmad]

Inilah sedikit keterangan tentang syaithan dan tipu-dayanya, semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

ASY-SYAAFI, YANG MAHA PENYEMBUH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahîh. Yakni, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacakan doa perlindungan kepada salah seorang (anggota) keluarga beliau (dengan) mengusapkan tangan kanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya membaca (doa):

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِى ، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

Ya Allâh, Rabb (pencipta dan pelindung) semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit (lain)[1]

Juga dalam hadits shahîh yang lain, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu tentang ruqyah (doa/zikir perlindungan) yang dibaca oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas Radhiyallahu anhu menyebutkan doa yang mirip dengan doa di atas.

Berdasarkan hadits-hadits ini, para Ulama menetapkan nama asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) sebagai salah satu dari nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah. Di antara Ulama yang menetapkannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah[2] , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah[3] , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn [4] , Syaikh 'Abdur Razzâq al-Badr [5] dan lain-lain.

MAKNA ASY-SYAFI
Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti lepas (sembuh) dari penyakit [6] .

Sedangkan Imam Fairûz Abâdi rahimahullah mengatakan bahwa arti asal kata nama ini (asy-syifa’) adalah obat penyembuh [7] .

Sementara al-Halîmi rahimahullah menjelaskan bahwa maknanya secara bahasa adalah menghilangkan sesuatu yang menyakiti atau merusak pada badan manusia [8] .

Maka, nama Allâh Azza wa Jalla asy-Syâfi berarti Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir maupun batin. Dia Azza wa Jalla lah yang menyembuhkan hati manusia dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam), ketidakyakinan, iri, dengki dan penyakit-penyakit hati lainnya, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada satu pun yang mampu melakukan semua itu kecuali Allâh Azza wa Jalla semata, maka tidak ada kesembuhan penyakit selain kesembuhan dari-Nya dan tidak ada asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) kecuali Dia Azza wa Jalla, sebagaimana ucapan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam yang dinukil dalam al-Qur`ân:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku [asy-Syu’arâ/26:80]

Maksudnya, jika aku ditimpa suatu penyakit, maka tidak ada satu pun yang sanggup menyembuhkanku selain Allâh Azza wa Jalla , dengan sebab-sebab yang ditetapkan-Nya dapat mendatangkan kesembuhan bagiku[9] .

Makna inilah yang diisyaratkan dalam doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu” [10] .

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH ASY-SYAFI
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan makna doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dengan berkata: “Dalam ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini (terdapat) tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan kesempurnaan (sifat) rububiyah-Nya (pengaturan-Nya atas semua urusan makhluk-Nya) dan rahmat-Nya dalam menyembuhkan (penyakit manusia), dan bahwa Dialah satu-satunya asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya. Maka, ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini mengandung tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya alam beribadah), (sifat) ihsân (kebaikan) dan rububiyah-Nya”[11] .

Al-Halîmi rahimahullah berkata: “Dalam berdoa, diperbolehkan mengucapkan: “Wahai asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), wahai al-Kâfi (Yang Maha Pemberi kecukupan), karena Allâh Azza wa Jalla Dialah yang menyembuhkan dada (hati) manusia dari syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan, juga dari (sifat) dengki dan khianat, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu selain-Nya dan tidak ada yang (pantas) diseru dengan nama ini (asy-Syâfi) kecuali Dia”[12] .

Allâh Azza wa Jalla Dialah Yang Maha Menyembuhkan segala macam penyakit manusia, dan tidak ada kesembuhan bagi mereka kecuali kesembuhan (dari)-Nya.

Kesembuhan dari Allâh Azza wa Jalla ada dua macam:
1. Kesembuhan yang bersifat maknawi dan rohani, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit hati manusia
2. Kesembuhan fisik, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit fisik [13] .

Kedua macam penyembuhan ini tercakup dalam keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali Dia (juga) menurunkan obat (penyembuh) bagi penyakit tersebut”[14] .

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dua macam kesembuhan ini dalam al-Qur`ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Tentang penyembuhan yang pertama, yaitu penyembuhan penyakit hati manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Rabbmu (al-Qur`ân) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yûnus/10:57]

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah : “Allâh Azza wa Jalla menjadikan al-Qur`ân bagi kaum Mukminin sebagai penyembuh, (dengan) mereka mengambil pengobatan dari nasehat-nasehat (yang terkandung dalam) al-Qur’an untuk (menyembuhkan) penyakit-penyakit yang merasuk ke dalam dada (hati) mereka, (juga penyakit yang berupa) bisikan dan godaan setan (yang akan merusak hati dan keimanan manusia), maka Allâh mencukupi orang-orang yang beriman (melalui nasehat) dengan penjelasan ayat-ayat-Nya sehingga mereka tidak butuh lagi kepada nasehat yang lain”[15] .

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan pada al-Qur`ân suatu yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian [al-Isrâ/17:82]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menuturkan: “Arti ‘al-Qur`ân sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman’: al-Qur`ân akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di hati mereka, yang berupa keraguan (ketidakyakinan), kemunafikan, kesyirikan, penyelewengan dan penyimpangan, maka al-Qur`ân akan menyembuhkan semua (penyakit) tersebut…”[16] .

Akan tetapi perlu diingatkan di sini, bahwa fungsi al-Qur’ân sebagai petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla untuk menyembuhkan penyakit hati, hanyalah bisa diambil oleh orang-orang yang mengimani kebenaran al-Qur’an serta memahami kandungan makna dan artinya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “al-Qur`ân adalah penyembuh yang hakiki dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan (dalam keimanan), akan tetapi semua (manfaat al-Qur`ân) itu tergantung dari (sejauh mana) kita memahami (kandungan) artinya dan mengetahui maksud (penafsiran yang benar) darinya”[17] .

Adapun tentang penyembuhan yang kedua, yaitu penyembuhan pada fisik dan badan manusia, ini ditunjukkan dalam beberapa hadits yang shahih.

Misalnya, hadits riwayat Abu Sa'îd al-Khudri Radhiyallahu anhu tentang beberapa orang Sahabat Radhiyallahu anhum yang melakukan safar (perjalanan), lalu mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, kemudian kepala suku perkampungan tersebut sakit karena disengat binatang buas. Salah seorang Sahabat Radhiyallahu anhu mengobatinya dengan membaca surat al-Fâtihah, maka serta merta orang tersebut sembuh total, Lalu mereka diberi hadiah beberapa ekor kambing. Sepulang dari perjalanan tersebut, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun membenarkan perbuatan mereka seraya bersabda: "Dari mana kamu mengetahui bahwa surat al-Fâtihah adalah ruqyah (doa/zikir untuk penyembuhan)?", bahkan kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bagian dari hadiah kambing tersebut"[18] .

Juga hadits riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, jika ditimpa sakit, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al-mu'awwidzât (surat al-Falaq dan an-Nâs) untuk diri beliau sendiri dan meludah sedikit. Lalu, ketika sakit beliau sudah parah, akulah yang membacakannya untuk beliau dan aku mengusap dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya"[19] .

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH ASY-SYAFI
Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menjadikan seorang hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia memudahkan kesembuhan segala penyakit pada dirinya, utamanya penyakit-penyakit hatinya yang merupakan penghalang utama bagi manusia untuk mencapai ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Bersihnya hati manusia dari noda dan penyakit merupakan sumber utama kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, tapi jika itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[20] .

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima hamba yang datang menghadap-Nya pada hari Kiamat nanti, kecuali yang datang dengan hati yang bersih dari segala penyakit.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ﴿٨٨﴾إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Hari (Kiamat) yang (pada waktu itu) harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allâh dengan hati yang bersih [asy-Syu’arâ/26: 88-89].

Artinya, hati yang bersih dari syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla), keraguan, dan mencintai keburukan, serta lebih suka bertahan dengan perbuatan bid’ah dan maksiat[21] .

Semua penyakit hati bersumber dari buruknya hawa nafsu manusia, sehingga hati ini terhalang untuk mencapai kedekatan dengan Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allâh Azza wa Jalla , meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allâh Azza wa Jalla , (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus/pembersihan jiwa)”[22] .

Maka Allâh Azza wa Jalla Dialah satu-satunya yang maha mampu membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari segala penyakit tersebut, karena Dia Azza wa Jalla adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), dan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas.

Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau yang terkenal, mengisyaratkan bahwa kebersihan hati dan kesucian jiwa hanyalah semata-mata berasal dari Allâh Azza wa Jalla , yaitu doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللََّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَاوَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

Ya Allâh, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya [23]

PENUTUP
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Azza wa Jalla berkenan memberikan kesembuhan dari penyakit lahir dan batin bagi kita sehingga dapat mencapai kesempurnaan iman dan keridhaan-Nya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

MUTIARA INTROSPEKSI DIRI

Oleh
Ustadz Imam Wahyudi Lc.


Wahai Saudaraku, pernahkah Anda berusaha menghitung-hitung kebaikan dan keburukan diri anda ? Sebagaimana Anda menghitung rupiah dan dolar Anda?

Pernahkah Anda berusaha menyendiri, lalu mengingat-ingat kekurangan dan kwalitas ibadah Anda ?

Pernahkah Anda merenungkan amal ketaatan yang telah sekian lama Anda bangga-banggakan ? Bersihkah ia dari kotoran riya’, sum’ah serta dari ambisi-ambisi duniawi ?

Ketahuilah ! Wahai Saudaraku, waktu terus bergulir. Yang telah lewat tidak akan pernah kembali. Umur kita semakin berkurang dan ajal kian mendekat. Tiada daya yang bisa menolaknya. Oleh karena itu, orang yang menginginkan keselamatan, dia akan menyiapkan diri menghadapinya. Dia akan membekali diri untuk menempuh perjalanan panjang dan menakutkan. Dia akan terus berupaya memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan dan kesalahan. Allâh Azza wa Jalla telah mengingatkan kita :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.[al-Hasyr/59:18]

Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memberikan nasihat, "Hitung-hitunglah (amal) diri kalian sebelum kalian dihitung ! Timbanglah (amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang ! Perhitungan kalian kelak (di akherat) akan lebih ringan dikarenakan telah kalian perhitungkan diri kalian pada hari ini (di dunia). Berhiaslah (persiapkanlah) diri kalian demi menghadapi hari ditampakkannya amal. Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah). [HR. At-Tirmidzi].

Bahkan al-Hasan menjadikan introspeksi diri sebagai tanda keimanan seseorang, "Tidaklah anda jumpai seorang mukmin, kecuali dalam keadaan menghitung-hitung dirinya: Apa yang ingin engkau lakukan? Apa yang ingin engkau makan? Apa yang ingin engkau minum? Sebaliknya, orang fâjir akan terus berbuat tanpa memperhitungkan dirinya."

Sehingga introspeksi diri adalah salah satu tanda keimanan seseorang dan meninggalkannya merupakan tanda kefasikan. Lebih dari itu, introspeksi diri menggambarkan tingkat ketakwaan seseorang. Maimun bin Mahrân mengatakan, "Sesungguhnya orang yang bertakwa akan lebih kuat menghitung-hitung dirinya bila dibandingkan dengan penguasa zhalim dan sekutu dagang yang pelit."

Penguasa yang zhalim sangat teliti mengawasi kekurangan yang terjadi dalam kekayaan kerajaannya, bahkan melewati batas wewenangnya; Demikian juga relasi dan teman bisnis yang pelit, ia sangat teliti dalam menghitung keuntungannya, tidak rela sedikit pun keuntungannya dikurangi. Namun pengawasan ketat dua tipe manusia ini bila dibandingkan dengan pengawasan ketat yang dilakukan orang yang bertakwa kepada dirinya, maka didapati pengawasan orang yang bertakwa lebih ketat.

Introspeksi diri dilakukan sebelum dan sesudah beramal. Sebelum beramal, hendaklah seseorang berhenti sejenak dan merenungkan sampai nampak baginya pilihan terbaik, antara dilakukan atau ditinggalkan.

Al-Hasan menyatakan, "Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak ketika hendak melakukan suatu. Apabila dilihat amalan itu untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut dilakukannya. Apabila dipandang bukan untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut ditinggalkannya.

Ketahuilah, introspeksi diri setelah beramal itu ada tiga jenis :

1. Introspeksi diri atas ketaatan yang telah ia lakukan. Apakah ada kekurangannya ? Apakah sudah sesuai keinginan Allâh dan tuntunan rasul-Nya ?
Misalnya, apakah shalat yang kita lakukan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ? Baik lahir maupun batin. Ataukah hanya sebatas lahiriahnya saja ? Jauh dari kekhusyu'an bahkan ada unsur dunia di dalamnya ? Sejak takbiratul ihrâm sampai salam. Padahal kita diperintahkan shalat untuk mengingat Allâh !! Bukan mengingat yang lain. Sebagaimana firman-Nya :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thâhâ/20:14]

Apabila dalam shalat kita hanya ingat kepada Allâh, maka shalat kita akan bisa membimbing kita melakukan berbagai kebaikan dan menjauhkan kita dari kemungkaran. Sebagaimana firman Allâh.

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. [al-Ankabût/29: 45]

2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang sebaiknya ditinggalkan.
Sebagai permisalan adalah kebiasaan sebagian orang yang merayakan malam tahun baru dengan bergadang semalam suntuk, membuat gaduh dengan suara petasan, klakson serta knalpot, serta berbagai bentuk gangguan terhadap orang lain, sampai akhirnya tidak bisa melaksanakan shalat Shubuh, karena terlalu letih. Dengan perbuatan seperti ini, sang pelaku minimal melakukan dua jenis dosa. Pertama, dosa menzhalimi orang lain yaitu telah mengganggu orang lain. Dosa jenis ini tidak akan diampuni oleh Allâh sampai orang yang terzhalimi memaafkannya. Kedua, dosa kepada Allâh, karena meninggalkan suatu yang diwajibkan, yakni shalat Shubuh berjamaah pada waktunya.

3. Introspeksi diri atas setiap amalan yang mubah dan suatu kebiasaan. Kenapa dia melakukannya ? Apakah demi mencapai kesuksesan akhirat ? Kalau ya, berarti dia telah beruntung. Ataukah demi kenikmatan dunia yang sesaat ? kalau ini metovasinya, malah alangkah ruginya.

Misalnya, makan dan minum kita. Apakah hanya sekedar untuk memuaskan nafsu, ? Ataukah supaya berbadan kekar lalu bangga dan sombong karenanya ? Semua ini akan sirna bersama dengan datangnya ajal. Ataukah makan dan minum itu kita lakukan demi menjaga stamina tubuh kita agar bisa beribadah dengan kuat dan khusyu' ? Apabila yang pertama motivasi kita, niscaya yang kita dapatkan hanya secuil kenikmatan dunia yang tidak berarti sama sekali bila dibandingkan dengan kenikmatan akherat. Namun, jika yang kedua yang menjadi niat kita, maka dengan idzin Allâh Azza wa Jalla, kita akan meraih kenikmatan dunia dan kesempurnaanya di akherat, alias sukses dunia dan akherat.

Bertahap kita lakukan introspeksi diri atas kewajiban kita. Jika kita dapati ada kekurangannya, maka segera kita tutupi dengan memperbaiki atau menggantinya. Inilah salah satu fungsi shalat sunnah rawâtib yang mengiringi shalat wajib lima waktu.

Selanjutnya, kita introspeksi diri atas larangan-larangan Allâh. Jika kita dapati diri kita sudah terjerumus kedalamnya, maka segera diiringi dengan taubat, isthighfâr serta berbagai amal ketaatan. Rasûlullâh bersabda :

أَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا

Iringilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskan yang buruk. [HR. Abu Dâwud, Ahmad dan lain-lain]

Selanjutnya, kita juga introspeksi diri atas kelalaian kita. Jika kita dapati diri ini sering melupakan Allâh Azza wa Jalla, maka segera mengingat dan menyebut nama-Nya dengan berbagai lafadz dzikir yang diajarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena dzikir akan menjadikan hidup tenteram dan bahagia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [ar-Ra'du/13:28]

Yang tidak kalah pentingnya adalah introspeksi diri atas pendengaran, pengelihatan, tangan dan kaki kita. Organ-organ ini kita pergunakan untuk apa ? Karena siapa ? Dan dengan cara apa ? Karena Allâh Azaza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ'/17:36]

Introspeksi diri paling tidak akan mendatangkan dua manfaat. Pertama, tahu aib diri sendiri. Sehingga tergerak untuk memperbaiki diri, karena ada rasa malu. Muhammad ibn Waasi' memberikan sebuah perumpamaan tentang dosa-dosa yang patut kita camkan :

لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ يَجْلِسُ إِلَيَّ

Seandainya dosa itu ada baunya, niscaya tidak ada seorang pun sanggup duduk dan mendekat kepadaku.

Manfaat introspeksi diri yang kedua yaitu bisa mengenal hak Allâh. Orang yang tidak mengenal Allâh Azza wa Jalla , maka ibadahnya tidak bermanfaat baginya. Kalaupun bermanfaat, maka sangat sedikit. Ketika seorang merenungi anugerah dan kenikmatan Allâh yang tidak terhitung ini, lalu ia bandingkan dengan ibadah yang dilakukannya, tentu ia sedih dan menyesal. Karena semua ibadahnya sangat tidak sebanding sedikitpun dengan nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan. Selanjutnya dia akan sadar betapa tidak pantasnya menyombongkan ibadahnya selama ini. Dia juga akan bersedih karena banyak dosa. Kesadaran seperti akan menuntunnya untuk menyakini bahwa tiada jalan selamat kecuali mengharapkan ampunan dan rahmat-Nya. Dari sini, ia akan bangkit dan bersemangat untuk senantiasa mentaati Allâh bukan memaksiati-Nya, senantiasa mengingat-Nya bukan melupakan-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya bukan mengkufuri-Nya.

Semoga kita dimudahkan menjadi hamba-hamba Allâh yang pandai mengintrospeksi diri dan sibuk mencari aib sendiri, sehingga akan semakin sibuk untuk bertaubat dan istighfar kepada-Nya serta terus berusaha memperbaiki ibadahMENDAHULUKAN MASHLAHAT TERTINGGI DAN MENGUTAMAKAN KEBURUKAN TERKECIL


فِي الْقُرْآنِ عِدَّةُ آيَاتٍ فِي الْحَثِّ عَلَى أَعْلَى الْمَصْلَحَتَيْنِ وَتَقْدِيْمِ أَهْوَنِ الْمَفْسَدَتَيْنِ، وَمَنْعِ مَا كَانَتْ مَفْسَدَتُهُ أَرْجَحَ مِنْ مَصْلَحِتِهِ

Dalam beberapa ayat al-Qur'an ada anjuran agar (kaum Muslimin) mendahulukan mashlahat yang lebih besar atau mendahulukan mafsadah yang lebih kecil serta ada larangan dari (melakukan) sesuatu yang mafsadah (keburukan)nya lebih dominan dari pada mashlahatnya

Diantara pokok agama yang wajib diketahui oleh kaum Muslimin yaitu agama ini diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk merealisasikan dan memperbanyak kemaslahatan (kebaikan) serta untuk melenyapkannya atau meminimalisir keburukan. Oleh karena itu Islam memerintahkan bahkan mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan berbagai perbuatan baik, seperti shalat, puasa, zakat, menyambung silaturahmi dan lain sebagainya. Islam juga melarang bahkan mengharamkan semua keburukan. Adalah kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mentaati syari'at Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan semua kebaikan yang diperintahkan dan menjauhi semua keburukan yang dilarang. Namun terkadang dalam kondisi tertentu, seseorang tidak bisa melakukan semua kebaikan yang diketahuinya dan tidak bisa menghindari semua keburukan yang dilarang syari'at. Artinya dia harus memilih. Lalu mana yang harus dipilih ? Inilah yang maksud perkataan penyusun kitab al-Qawa'idul Hisan al-Muta'alliqah bi tafsiril Qur'an di atas.

Dari perkataan di atas kita simpulkan tiga point penting :

1. Apabila ada dua kebaikan atau lebih berbenturan, maksudnya, kebaikan-kebaikan itu tidak mungkin kita lakukan semuanya, karena suatu sebab, maka kita harus memilih. Mana yang harus dilakukan ? Yang harus kita pilih adalah yang terbaik dari berbagai kebaikan yang berbenturan itu. Ini menunjukkan bahwa nilai amal-amal shalih yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla itu tidak sama, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah).[al-Hadîd/57:10]

Dan firman-Nya :

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu anggap sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allâh ? [at-Taubah/9:19]

Dan juga firman-Nya :

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allâh dengan harta mereka dan jiwanya. Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allâh menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. [an-Nisâ/4:95]

2. Apabila dua keburukan atau lebih berbenturan, maksudnya karena suatu hal dan kondisi, berbagai keburukan itu tidak bisa dijauhi semuanya, namun kita harus melakukan salah satunya. Lalu mana yang kita lakukan ? Yang harus kita lakukan adalah yang paling ringan dampak buruknya.

Penerapan kaidah ini bisa kita temukan dalam banyak tempat, diantaranya :

a. Dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allâh, kafir kepada Allâh, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allâh [al-Baqarah/2:217]

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa pembalasan yang dituntut oleh kaum kafir terhadap kaum Muslimin atas peperangan di bulan-bulan yang terhormat- meski ada keburukannya namun apa yang dilakukan kafir Quraisy yang telah menghalangi manusia dari jalan Allâh, kafir kepada Allâh dan menghalangi manusia dari Masjid Haram serta mengusir penduduknya lebih besar keburukannya (dosanya) disisi Allâh dari pada berperang di bulan-bulan yang terhormat atau suci. Jadi disini terdapat dua mafsadah (keburukan), yaitu :

Pertama : Tetap eksisnya orang-orang kafir Quraisy yang menghalangi kaum Muslimin dari jalan Allâh Azza wa Jalla , mengusir dan menzhalimi kaum Muslimin di sana, serta kekufuran dan kesyirikan mereka.

Kedua : Menyerang mereka saat bulan haram.
Mana diantara dua mafsadah ini yang lebih buruk ? Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dengan gamblAng bahwa yang lebih buruk adalah yang pertama. Sehingga ketika harus memilih, maka yang kedualah yang dipilih, karena dampak buruknya lebih sedikit.

b. Dalam firman Allah Azza wa Jalla

وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan kalau bukanlah karena laki-laki Mukmin dan perempuan-perempuan Mukmin yang tidak kamu ketahui (keberadaan mereka, yang dikhawatirkan), kamu membunuh mereka sehingga menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allâh tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). [al-Fath/48:25]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menahan kaum Muslimin dari keinginan mereka untuk menyerang penduduk kuffar di Makkah yang telah menghalangi mereka memasuki Masjidil Haram. Ini untuk suatu tujuan yang lebih tinggi yaitu supaya kaum Muslimin dan Muslimat yang masih menyembunyikan keimanannya dan masih tinggal di Makkah tidak menjadi korban peperangan. Kalau mereka menjadi korban perang, maka tentu orang yang menyebabkannya akan merasa menyesal atau turut berdosa, sebagaimana dijelaskan para Ulama ahli tafsir. Oleh karena itulah, Allâh Azza wa Jalla melarang penyerangan itu, meski faktor pemicunya sudah ada yaitu perilaku kuffar yang telah menghalangi kaum Muslimin dari Masjidil Haram.

Jadi disini ada dua keburukan yaitu :

Pertama : Tidak memerangi atau membiarkan kaum kuffar yang telah menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Makkah

Kedua : Memerangi mereka dengan resiko ikut terbunuhnya kaum Muslimin yang masih tinggal di Makkah dan menyembunyikan keimanan mereka karena belum mampu hijrah ke Madinah. Mereka akan ikut terbunuh karena sulit membedakan antara penduduk Makkah yang sudah beriman dan masih kafir.

Dari kedua keburukan ini, yang paling sedikit dampak buruknya adalah tidak memerangi mereka.

Termasuk dalam pelaksanaan kaidah yang kedua ini yaitu semua kejadian-kejadian atau kesepakatan-kesepakatan dalam Shulh (perjanjian damai) Hudaibiyah, dimana tercantum butir-butir perdamaian yang harus dipatuhi, yang dzahirnya sangat merugikan kaum muslimin, akan tetapi itu ternyata berbuah kemenangan bagi kaum muslimin. Termasuk juga, larangan terhadap kaum Muslimin untuk berperang sebelum Rasûlullâh n hijrah ke Madinah. Karena berperang dalam kondisi seperti itu lebih besar dampak buruknya daripada tetap bersabar.

3. Jika ada kebaikan dan keburukan sekaligus, namun keburukannya lebih kuat atau lebih dominan, maka kita dilarang melakukannya.
Ini merupakan bagian terakhir yaitu apabila mashlahat dan mafsadah berkumpul, maka mashlahat harus didahulukan ketika mafsadah tidak mendominasi, jika sebaliknya, maka mafsadah harus diutamakan, meskipun harus meninggalkan atau menghiangkan maslahah. Misalnya dalam firman Allâh :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya." [Al-Baqarah/2:219]

Ini merupakan alasan umum yaitu segala sesuatu yang bahayanya (madharat) dan dosanya lebih besar daripada manfaatnya, maka dengan hikmah-Nya, Allâh melarang para hamba-Nya dan mengharamkannya.

Demikianlah kaidah-kaidah ini, disamping sebagai kaidah yang ditetapkan secara syar'i juga sesuai dengan logika manusia yang normal serta bisa diamalkan dalam masalah-masalah agama maupun dunia. Wallahu a'lam


(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

AJARAN TASAWUF MERUSAK AQIDAH ISLAM

Oleh
‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini


Imam Syafi'i rahimahullah : "Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zhuhur, engkau tidak dapati dirinya, kecuali menjadi orang bodoh". (al-Manâqib lil Baihaqi 2/207)


Wihdatul mashdar menjadi salah satu ciri Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan masaail aqidah, Mereka hanya berlandaskan misykâtun nubuwwah, wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , tidak memandang akal, qiyas dan kasyf sebagai bagian sandaran aqidah. Justru tiga hal tersebut akan bertentangan banyak dengan nash al-Kitab dan Sunnah. Sehingga amat aneh bila ada orang yang mendahulukannya di atas hujjah-hujjah al-Qur`an dan Hadits. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja pernah menegur ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu dari sekedar melihat-lihat lembar Taurat [1] yang sebelumnya merupakan kitab yang diturunkan dari langit meski tidak telah dimasuki oleh tahrif-tahrif hasil penyelewengan tangan para pemuka agama mereka. Dan tentunya Taurat dalam konteks ini lebih afdhal daripada hasil qiyas akal manusia dan kayalan kalangan Sufi.[2]

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh umat dari masa kenabian, muncullah berbagai keyakinan dan ideologi dari luar al-Qur`ân dan Sunnah yang mengintervensi aqidah Islamiyyah. Sufi dengan ajaran tasawufnya pun ikut menodai kejernihan dan keutuhan aqidah Islamiyyah. Masuknya ideologi ini di tengah masyarakat menyebabkan terjadinya kegoncangan akidah pada akidah kebanyakan umat Islam, pemikiran dan pandangan-pandangan mereka dan secara otomatis menjauhkan mereka dari aqidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Inilah salah satu dampak buruk yang harus dirasakan bila kekeliruan dan penyimpangan sangat dominan di masyarakat, akhirnya khalayak menganggapnya sebagai kebenaran. Pihak yang menentangnya dipandang keluar dari al-haq. Dan lebih menarik lagi, bangsa Barat memberikan atensi besar pada pengkajian khazanah ‘ilmiah’ Sufi, mencetak dan menyebarluaskannya serta menterjemahkannya ke berbagai bahasa. Tiada lain karena mereka sudah mengetahui bahaya Tasawuf bagi Islam dan umat Islam, bukan dalam rangka mendukung Islam. Wallâhul musta’ân.

DIBANGUN DI ATAS KEDUSTAAN
Kerusakan aqidah bila ditampakkan dengan terang-terangan, pasti akan ditolak oleh manusia-manusia yang berfitrah lurus dan berakal sehat. Maka, sebagian tokoh (tarekat Sufi) ajaran ini memperkenalkan tasawuf dengan slogan-slogan, visi dan misi yang menarik agar mudah menggandeng manusia sebanyak mungkin, menegaskan bahwa dakwah mereka sesuai dengan ajaran Islam , misi mereka untuk mensucikan kalbu, membina akhlak dst slogan-slogan menarik guna mengelabuhi umat.

Seorang pemuka tarekat di Mesir, Mahmûd as-Sathûhî menjelaskan bahwa Tasawuf merupakan inti sari pengamalan ajaran Islam, mengamalkan al-Qur`ân dan Sunnah, berjihad melawan musuh dan hawa nafsu. (!!). Sebagian pemuka aliran Tasawuf bahkan memandang bahwa seluruh Sahabat Nabi, generasi Tâbi’în dan Tâbi’ît Tâbi’în adalah pioner aliran Tasawuf karena sikap zuhud dan semangat berjihad mereka. (!?).

Ungkapan-ungkapan di atas hanyalah klaim kosong dan pernyataan yang tidak mendasar. Seorang Muslim yang berilmu akan merasa keheranan dengan klaim-klaim (kosong tanpa bukti). Bagaimana mungkin mereka disebut mengikut al-Qur’ân dan Sunnah, serta menjadi para pengikut dan penerus generasi terbaik umat?. Karena dari sisi aqidah terjadi perbedaan tajam antara aqidah para Sahabat dan kalangan Tasawuf, apalagi dengan aqidah tokoh besar Sufi, semisal Ibnu Arabi.

Namun keheranan ini akan segera sirna begitu mengetahui bahwa klaim-klaim palsu dan tuduhan-tuduhan asal-asalan merupakan salah satu uslub (metode) memasarkan ajaran mereka dan menjauhkan umat dari kebenaran.

BENAR-BENAR MERUSAK AQIDAH ISLAMIYAH
Kekhawatiran terhadap ideologi Sufi tidak hanya lantaran kandungan penyelewengan akidah yang ada padanya,. Akan tetapi, juga karena penyebarannya yang begitu luas di dunia Islam. Akibatnya, terbentuk semacam opini bahwa kebenaran adalah apa yang ada pada kaum Sufi (?!).

Seperti pepatah Arab, wabil mitsâl yattadhihul maqâl, dengan contoh, pernyataan akan bertambah jelas, maka di sini akan disebutkan beberapa contoh bagaimana ajaran tasawuf merubah kemurnian aqidah Islam:

1. Aqidah Islam telah menetapkan Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-makhluk-Nya dari 'adam (tidak ada sebelumnya), tidak dari Dzat-Nya dan bahwa semesta alam ini bukan khaliq (pencipta). Inilah aqidah yang dibawa al-Qur`an dan Hadits-hadits Nabi.

Sementara dalam kamus Sufi, diyakini bahwa segala yang ada di alam ini merupakan perwujudan Dzat Allâh Azza wa Jalla dengan aqidahnya yang dikenal dengan wihdatul wujud, kesatuan wujud.

2. Aqidah Islam berdasarkan nash-nash al-Qur`ân dan Hadits telah menentukan abahwa Allâh Azza wa Jalla berada di atas langit, bersemayam di atas Arsy sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

(Yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy [Thâhâ/20:5]

Sementara dalam ilmu Tasawuf diajarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada dimana-mana.

3. Aqidah Islam menyatakan bahwa kenabian mutlak merupakan keutamaan yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada insan yang Allâh kehendaki. Kenabian dan kerasulan tidak datang melalui keinginan nabi dan rasul yang bersangkutan atau atas permintaan mereka kepada Allah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat [al-Hajj/22:75]

Dalam hal ini, tokoh Sufi memandang kenabian dapat diraih melalui ketekunan melakukan riyadhah, sampai seorang tokoh Sufi, Ibnu Sab'in[3] mengatakan, "Ibnu Aminah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah membatasi sesuatu yang lingkupnya luas ketika mengatakan, "Tidak ada nabi sepeninggalku".

4. Aqidah Islam menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi serta rasul yang lain juga manusia-manusia seperti orang-orang yang lain dan masih berkewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla memilih mereka dan mengutamakan mereka di atas kebanyakan orang sebagai utusan-utusan-Nya.

Adapun golongan Sufi berpandangan bahwa Nabi Muhammad sumber terciptanya makhluk-makhluk yang lain (keyakinan ini dikenal dengan aqidah Nur Muhammadi). Mereka pun membawakan hadits-hadits palsu yang menyatakan jika tidak ada Muhammad maka alam semesta ini tidak akan pernah ada . Mereka pun memandang manusia bila sudah mencapai derajat tertentu tidak terkena kewajiban menjalankan syariat Islam.

5. Sumber hukum aqidah Islam hanya dua: al-Qur`ân dan Hadits shahih, tidak ada sumber ketiga atau keempat dan seterusnya…Sementara itu, kaum Sufi memiliki sumber aqidah yang lain yang dikenal dengan istilah al-kasyf dan al-faidh. Mereka secara nyata meyakininya sebagai landasan keyakinan.

6. Aqidah Islam menjunjung tinggi tauhîdullâh dan datang untuk memberantas syirik dengan seluruh jenisnya dan praktek penyembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan pada ajaran Tasawuf, praktek syirik sangat kentara dalam bentuk meminta kepada penghuni kubur, istighotsah kepada orang-orang yang telah mati, pengagungan kuburan dan lain-lain.

7. Aqidah Islam telah menetapkah hanya Allâh saja yang mengetahui alam gaib. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan [an-Naml/27:65]

Dalam hal ini, kaum Sufi menyatakan bahwa syaikh-syaikh tarekat memiliki kemampuan meneropong dan mengetahui alam gaib melalui jalan kasyf, dan menurut mereka lagi, mereka meemperoleh ilmu itu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Masih banyak keyakinan mereka lainnya yang jelas-jelas berseberangan dengan aqidah yang dibawa oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Pendek kata, ajaran Tasawuf berdiri di atas landasan-landasan berikut:
• Membagi agama menjadi lahir yang diketahui oleh orang-orang awam dan batin yang hanya dimengerti oleh kaum khos (orang-orang khusus saja)
• Memegangi kasyf dan dzauq dalam penetapan masalah-masalah aqidah dan ibadah
• Melegalkan praktek syirik dan bahkan melakukan pembelaan untuknya
• Menshahihkan hadits melalui jalan kasyf
• Beramal berdasarkan hasil mimpi
• Beribadah dengan dasar dzauq dan wajd
• Menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu dan mengamalkannya.
• Membiasakan dzikir jama'i dan beribadah dengan menari-nari diiringi oleh suara-suara alunan bunyi seruling dan alat-alat musik lainnya. Bahkan penulis kitab Ihya Ulumuddin menulis satu bab di dalamnya dukungannya terhadap ‘ibadah’ dengan tarian dan musik disertai penjelasan tentang adab-adab dan menetapkan bahwa musik lebih menggelorakan hati daripada al-Qur`ân dari tujuh aspek. [al-Ihyâ:2/325-328].

Demikian point-point prinsip aqidah yang diajarkan dalam ilmu Tasawuf dan diyakini kalangan Sufi. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala kerusakan dalam keyakinan kita. Wallâhu a’lam.

Dikutip dari at-Tauhîd fî Masîratil ‘Amalil Islami bainal Wâqi wal Ma`mûl, ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini, pengantar Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql, Cet I, Th. 1419H, Darul Qasim. hlm. 25-33.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

JIHAD MELAWAN SYAITHAN

Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari



Sadarkah kita, bahwa setiap diri ini memiliki musuh besar ? Musuh yang sangat menginginkan kita sesat dan celaka. Musuh yang tidak terlihat, tapi memiliki banyak tipu-daya dan cara untuk mencapai tujuannya. Itulah syaithan (setan).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan manusia agar tidak tergoda olehnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah berhasil mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. [al-A’râf/7: 27]

Oleh karena itu, dengan rahmat-Nya, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk menjadikan syaithan sebagai musuh. karena memang sebenarnya, syaithan musuh bagi manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. [Fâthir/35:6]

Bagaimana sepak terjang musuh terhadap lawannya ? Semua orang sudah tahu jawabannya yaitu berusaha sekuat tenaga agar lawannya ditimpa segala keburukan dan terlepas dari semua kebaikan.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ayat di atas, “Perintah Allâh untuk menjadikan syaithan sebagai musuh ini sebagai peringatan agar (manusia) mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi dan melawannya. Sehingga syaithan itu seolah-olah musuh yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah lalai”. [Zâdul Ma’âd, III/6]

Dalam menjalankan aksinya menyesatkan dan membinasakan manusia, syaithan memiliki dua senjata yaitu syubhat dan syahwat. Oleh karena itu, orang yang ingin selamat harus berjihad melawan syaithan dengan bersenjatakan ilmu dan mentazkiyah (membersihkan) jiwanya. Ilmu nafi’ (yang yang bermanfaat) akan membuahkan rasa yakin, yang akan menolak syubhat. Sedangkan tazkiyatun nafs akan melahirkan ketakwaan dan kesabaran, yang membuatnya mampu mengendalikan syahwat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jihad melawan syaithan memiliki dua tingkatan : Pertama, menolak syubhat dan keraguan yang dilemparkan syaithan kepada hamba; Kedua, menolak syahwat dan keinginan-keinginan jelek yang dilemparkan syaithan kepada hamba. Jihad yang pertama akan diakhiri dengan keyakinan, sedangkan jihad yang kedua akan diakhiri dengan kesabaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. [as-Sajdah/32:24]

Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa kepemimpinan agama hanya bisa diraih dengan kesabaran (dan keyakinaan), kesabaran akan menolak syahwat dan keinginan-keinginan jelek, dan keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.” [Zâdul Ma’âd III/10]

Jadi senjata manusia untuk melawan syaithan adalah ilmu dan kesabaran. Ilmu yang bersumber dari kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya. Kemudian mengamalkan ilmu tersebut sehingga jiwa menjadi bersih dan suci, dan menumbuhkan kesabaran.

Itulah cara menghadapi tipu daya syaitan secara global, sedangkan secara rinci adalah sebagai berikut :

1. Beriman Dan Mentauhidkan Allâh Dengan Benar
Sesungguhnya seluruh kekuatan, kekuasaan, kesempurnaan hanyalah milik Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu, seorang hamba yang ditolong dan dilindungi oleh Allâh, tidak akan ada yang mampu mencelakainya. Inilah senjata pertama dan utama seorang mukmin dalam menghadapi syaithan yaitu beriman dengan benar kepada Allâh, beribadah dengan ikhlas kepada-Nya, bertawakkal hanya kepadaNya dan beramal shalih sesuai aturan-Nya. Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa syaithan tidak memiliki daya terhadap hamba-hamba Allâh yang beriman dan mentauhidkan-Nya. Allâh berfirman.

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada memliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. [an-Nahl/16: 99]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ketika Iblis tahu bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ﴿٨٢﴾إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash [Shâd/38: 82-83]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلاَّ مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu (Iblis) terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti-mu, yaitu orang-orang yang sesat. [al-Hijr/15:42]

Maka ikhlas adalah jalan kebebasan, islam adalah kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [al-‘Ilmu, Fadhluhu Wa Syarafuhu, hlm. 72-74, tansiq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

2. Berpegang Teguh Kepada Al-Kitab Dan As-Sunnah Dengan Pemahaman As-Salafush Shalih
Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan manusia di muka bumi, sesungguhnya Dia menyertakan petunjuk untuk mereka. Sehingga manusia hidup di dunia ini tidak dibiarkan begitu saja, tanpa bimbingan, perintah dan larangan. Allâh Azza wa Jalla menurunkan kitab suci dan mengutus para Rasul yang membawa peringatan, penjelasan dan bukti-bukti. Barangsiapa berpaling dari peringatan Allâh, maka dia akan menjadi mangsa syaithan dan dijerumuskan ke dalam kecelakaan abadi. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb yang Maha Pemurah (al-Qur’ân), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. [az-Zukhruf/43: 36]

Oleh karena itu, jalan selamat dari tipu daya syaithan adalah dengan mengikuti jalan Allâh, mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman as-salafush shâlih. Allâh Azza wa Jalla berfirman

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min (yaitu jalan para sahabat), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [an-Nisâ’/4: 115]

3. Berlindung Kepada Allâh Dari Gangguan Syaithan.
Inilah sebaik-baik jalan untuk menyelamatkan diri dari syaithan dan tentaranya, memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla , karena Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Makna “aku berlindung kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat” yaitu aku meminta perlindungan kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat yang menggangguku pada agamaku atau pada duniaku, atau menghalangiku dari melakukan sesuatu yang diperintahkan (Allah Azza wa Jalla) kepadaku, atau mendorongku melakukan apa terlarang bagiku. Karena tidak ada yang bisa mencegah syaithan dari manusia kecuali Allâh.

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengambil hati dan bersikap lembut kepada syaithan manusia, dengan melakukan kebaikan kepadanya, agar tabi’atnya (yang baik) menolaknya dari gangguan (yang dia lakukan).

Dan Allâh memerintahkan agar (manusia) berlindung kepada-Nya dari syaithan jin, karena dia tidak menerima suap dan perbuatan kebaikan tidak akan mempengaruhinya, karena dia memiliki tabi’at yang jahat, dan tidak akan mencegahnya darimu kecuali Yang telah menciptakannya.” [Tafsir Ibnu Katsir, 1/14, penerbit: Darul Jiil, Beirut, tanpa tahun]

Memohon perlindungan ini dilakukan secara umum pada setiap waktu, pada setiap diganggu oleh syaithan, dan juga dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dituntunkan oleh Allâh dan Rasul-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allâh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-A’râf/7:200]

Adapun waktu-waktu tertentu yang dituntunkan untuk beristi’adzah antara lain yaitu saat diganggu syaithan; adanya bisikan jahat; gangguan dalam shalat; saat marah; mimpi buruk; akan membaca al-Qur’an; akan masuk masjid; akan masuk tempat buang hajat; saat mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai; ketika akan berjima’; waktu pagi dan petang; isti’adzah untuk anak-anak dan keluarga; ketika singgah di suatu tempat; ketika akan tidur; dan lain-lain. Perincian dalil-dalil ini semua terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih.

4. Membaca Al-Qur’an
Sesungguhnya syaithan akan lari menjauh dengan sebab bacaan Al-Qur’an, sebagaimana di dalam hadits sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, sesungguhnya syaithan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya”. [HR. Muslim, no: 780]

Syaithan telah membukakan salah satu rahasianya ini kepada Abu Hurairah, yang hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Syaithan mengatakan:

إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ

“Jika engkau menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi (Allohu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum) sampai engkau menyelesaikan ayat tersebut, maka sesungguhnya akan selalu ada padamu seorang penjaga dari Allâh, dan syaithan tidak akan mendekatimu sampai engkau masuk waktu pagi”. [HR. Bukhari]

5. Memperbanyak Dzikrulloh.
Dzikrullah adalah benteng yang sangat kokoh untuk melindungi diri dari gangguan syaithan. Hal ini diketahui dari pemberitaan Allâh Subhanahu wa Ta’alaewat para RasulNya, antara lain lewat lisan Nabi Yahya Alaihissallam, sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهَا وَيَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهَا...وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللَّهِ

Dari Al-Harits Al-Asy’ari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allâh memerintahkan Yahya bin Zakaria q dengan lima kalimat, agar beliau mengamalkannya dan memerintahkan Bani Israil agar mereka mengamalkannya (di antaranya)…”Aku perintahkan kamu untuk dzikrullah (mengingat/menyebut Allâh). Sesungguhnya perumpamaan itu seperti perumpamaan seorang laki-laki yang dikejar oleh musuhnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah mendatangi benteng yang kokoh, kemudian dia menyelamatkan dirinya dari mereka (dengan berlindung di dalam benteng tersebut). Demikianlah seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari syaithan kecuali dengan dzikrullah”. [HR.Ahmad]

Maka jika anda ingin selamat dari tipu-daya dan gangguan syaithan, hendaklah selalu membasahi lidah anda dengan dzikrullah disertai konsentrasi dengan hati.

6. Tetap Bersama Jama’ah umat Muslimin
Bergabung dengan jama’ah umat Islam dalam melaksanakan berbagai ibadah yang dituntunkan dengan berjama’ah, merupakan salah satu cara menyelamatkan diri dari incaran syaithan. Karena sesungguhnya syaithan merupakan serigala yang akan menerkam manusia, sebagaimana serigala akan menerkam domba yang menyempal dari kelompoknya.

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ قَالَ زَائِدَةُ قَالَ السَّائِبُ يَعْنِي بِالْجَمَاعَةِ الصَّلَاةَ فِي الْجَمَاعَةِ

Dari Abu Darda’, dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada tiga orang di suatu desa atau padang, tidak didirikan shalat jama’ah pada mereka, kecuali syaithan menguasai mereka. Maka bergabunglah dengan jama’ah, karena sesungguhnya srigala itu akan memakan kambing yang menyendiri”. [HR. Abu Dawud, no: 547]

7. Mengetahui Tipu-Daya Syaithan Sehingga Mewaspadainya.
Syaithan itu sangat berantusias menyesatkan manusia, ia habiskan waktunya dan segala kemampuannya dikerahkan untuk merusak manusia. Allâh Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hambaNya yang beriman dari musuh bebuyutan tersebut dengan firmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. [An-Nuur/24: 21]

Salah satu cara menghindari tipu daya syaithan yaitu mengetahui dan membongkar tipu-daya itu sehingga dapat dihindari. Karena orang yang tidak mengetahui keburukan, dia akan mudah terjerumus dalam keburukan tersebut tanpa disadari.

8. Menyelisihi Syaithan Dan Menjauhi Sarana-Sarananya Untuk Menyesatkan Manusia.
Syaithan adalah musuh manusia. Oleh karena itu, kita wajib memposisikannya sebagai musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغُرُورُ

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. [ Fathir: 5]

Diantara realisasi dari hal diatas yaitu dengan menyelisihi perbuatan syaithan. Misalnya:

• Syaithan makan dan minum dengan tangan kiri, maka selisihi dia dengan makan dan minum dengan tangan kanan.
• Syaithan tidak melakukan qoilulah (istirahat di tengah hari), maka kita selisihi dengan melakukan qoilulah.
• Tidak boros (tabdziir) karena orang yang berbuat tabdziir adalah saudarasyaithan.
• Melakukan sesuatu dengan tenang dan hati-hati, karena sikap tergesa-gesa dari syaithan.
• Hendaklah kita berusaha sekuat tenaga agar tidak menguap, karena itu dari syaithan.

Dalil-dalil yang kami sebutkan ini, terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih.

Diantara realisasi sikap permusuhan terhadap syaithan adalah adalah menjauhi sarana-sarana yang digunakan oleh syaithan untuk menyesatkan manusia, seperti: musik, lagu dan khamer.

9. Yakin Bahwa Tipu Daya Syaithan Itu Lemah
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. [An-Nisa’: 76]

Bagaimanapun lihainya syaithan dalam menebarkan perangkap-perangkapnya, kita harus yakin bahwa sebenarnya tipu daya syaithan itu lemah. Asalkan kita selalu mentaati Allâh Yang Maha Perkasa. Di antara kelemahan syaithan yaitu :

• Dia tidak bisa membuka pintu yang dikunci dengan disertai doa (menyebut nama Allâh).
• Dia juga tidak dapat makan bersama orang yang mengucapkan bismillah ketika hendak makan.
• Juga tidak dapat bermalam di rumah yang dimasuki oleh penghuninya sambil membaca doa

10. Taubat Dan Istighfar.
Selama masih hidup, manusia senantiasa perlu bertaubat dan istighfar kepada Allah Azza wa Jalla, diriwayatkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ إِبْلِيسَ قَالَ لِرَبِّهِ بِعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي بَنِي آدَمَ مَا دَامَتِ الْأَرْوَاحُ فِيهِمْ فَقَالَ اللَّهُ فَبِعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iblis berkata kepada Robbnya: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, aku senantiasa akan menyesatkan anak-anak Adam selama ruh masih ada pada mereka”. Maka Allâh berfirman: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, Aku senantiasa akan mengampuni mereka selama mereka mohon ampun kepadaKu”. [HR. Ahmad]

Inilah sedikit keterangan tentang syaithan dan tipu-dayanya, semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

ASY-SYAAFI, YANG MAHA PENYEMBUH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahîh. Yakni, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacakan doa perlindungan kepada salah seorang (anggota) keluarga beliau (dengan) mengusapkan tangan kanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya membaca (doa):

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِى ، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

Ya Allâh, Rabb (pencipta dan pelindung) semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit (lain)[1]

Juga dalam hadits shahîh yang lain, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu tentang ruqyah (doa/zikir perlindungan) yang dibaca oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas Radhiyallahu anhu menyebutkan doa yang mirip dengan doa di atas.

Berdasarkan hadits-hadits ini, para Ulama menetapkan nama asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) sebagai salah satu dari nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah. Di antara Ulama yang menetapkannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah[2] , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah[3] , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn [4] , Syaikh 'Abdur Razzâq al-Badr [5] dan lain-lain.

MAKNA ASY-SYAFI
Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti lepas (sembuh) dari penyakit [6] .

Sedangkan Imam Fairûz Abâdi rahimahullah mengatakan bahwa arti asal kata nama ini (asy-syifa’) adalah obat penyembuh [7] .

Sementara al-Halîmi rahimahullah menjelaskan bahwa maknanya secara bahasa adalah menghilangkan sesuatu yang menyakiti atau merusak pada badan manusia [8] .

Maka, nama Allâh Azza wa Jalla asy-Syâfi berarti Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir maupun batin. Dia Azza wa Jalla lah yang menyembuhkan hati manusia dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam), ketidakyakinan, iri, dengki dan penyakit-penyakit hati lainnya, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada satu pun yang mampu melakukan semua itu kecuali Allâh Azza wa Jalla semata, maka tidak ada kesembuhan penyakit selain kesembuhan dari-Nya dan tidak ada asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) kecuali Dia Azza wa Jalla, sebagaimana ucapan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam yang dinukil dalam al-Qur`ân:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku [asy-Syu’arâ/26:80]

Maksudnya, jika aku ditimpa suatu penyakit, maka tidak ada satu pun yang sanggup menyembuhkanku selain Allâh Azza wa Jalla , dengan sebab-sebab yang ditetapkan-Nya dapat mendatangkan kesembuhan bagiku[9] .

Makna inilah yang diisyaratkan dalam doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu” [10] .

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH ASY-SYAFI
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan makna doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dengan berkata: “Dalam ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini (terdapat) tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan kesempurnaan (sifat) rububiyah-Nya (pengaturan-Nya atas semua urusan makhluk-Nya) dan rahmat-Nya dalam menyembuhkan (penyakit manusia), dan bahwa Dialah satu-satunya asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya. Maka, ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini mengandung tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya alam beribadah), (sifat) ihsân (kebaikan) dan rububiyah-Nya”[11] .

Al-Halîmi rahimahullah berkata: “Dalam berdoa, diperbolehkan mengucapkan: “Wahai asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), wahai al-Kâfi (Yang Maha Pemberi kecukupan), karena Allâh Azza wa Jalla Dialah yang menyembuhkan dada (hati) manusia dari syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan, juga dari (sifat) dengki dan khianat, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu selain-Nya dan tidak ada yang (pantas) diseru dengan nama ini (asy-Syâfi) kecuali Dia”[12] .

Allâh Azza wa Jalla Dialah Yang Maha Menyembuhkan segala macam penyakit manusia, dan tidak ada kesembuhan bagi mereka kecuali kesembuhan (dari)-Nya.

Kesembuhan dari Allâh Azza wa Jalla ada dua macam:
1. Kesembuhan yang bersifat maknawi dan rohani, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit hati manusia
2. Kesembuhan fisik, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit fisik [13] .

Kedua macam penyembuhan ini tercakup dalam keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali Dia (juga) menurunkan obat (penyembuh) bagi penyakit tersebut”[14] .

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dua macam kesembuhan ini dalam al-Qur`ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Tentang penyembuhan yang pertama, yaitu penyembuhan penyakit hati manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Rabbmu (al-Qur`ân) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yûnus/10:57]

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah : “Allâh Azza wa Jalla menjadikan al-Qur`ân bagi kaum Mukminin sebagai penyembuh, (dengan) mereka mengambil pengobatan dari nasehat-nasehat (yang terkandung dalam) al-Qur’an untuk (menyembuhkan) penyakit-penyakit yang merasuk ke dalam dada (hati) mereka, (juga penyakit yang berupa) bisikan dan godaan setan (yang akan merusak hati dan keimanan manusia), maka Allâh mencukupi orang-orang yang beriman (melalui nasehat) dengan penjelasan ayat-ayat-Nya sehingga mereka tidak butuh lagi kepada nasehat yang lain”[15] .

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan pada al-Qur`ân suatu yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian [al-Isrâ/17:82]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menuturkan: “Arti ‘al-Qur`ân sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman’: al-Qur`ân akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di hati mereka, yang berupa keraguan (ketidakyakinan), kemunafikan, kesyirikan, penyelewengan dan penyimpangan, maka al-Qur`ân akan menyembuhkan semua (penyakit) tersebut…”[16] .

Akan tetapi perlu diingatkan di sini, bahwa fungsi al-Qur’ân sebagai petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla untuk menyembuhkan penyakit hati, hanyalah bisa diambil oleh orang-orang yang mengimani kebenaran al-Qur’an serta memahami kandungan makna dan artinya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “al-Qur`ân adalah penyembuh yang hakiki dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan (dalam keimanan), akan tetapi semua (manfaat al-Qur`ân) itu tergantung dari (sejauh mana) kita memahami (kandungan) artinya dan mengetahui maksud (penafsiran yang benar) darinya”[17] .

Adapun tentang penyembuhan yang kedua, yaitu penyembuhan pada fisik dan badan manusia, ini ditunjukkan dalam beberapa hadits yang shahih.

Misalnya, hadits riwayat Abu Sa'îd al-Khudri Radhiyallahu anhu tentang beberapa orang Sahabat Radhiyallahu anhum yang melakukan safar (perjalanan), lalu mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, kemudian kepala suku perkampungan tersebut sakit karena disengat binatang buas. Salah seorang Sahabat Radhiyallahu anhu mengobatinya dengan membaca surat al-Fâtihah, maka serta merta orang tersebut sembuh total, Lalu mereka diberi hadiah beberapa ekor kambing. Sepulang dari perjalanan tersebut, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun membenarkan perbuatan mereka seraya bersabda: "Dari mana kamu mengetahui bahwa surat al-Fâtihah adalah ruqyah (doa/zikir untuk penyembuhan)?", bahkan kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bagian dari hadiah kambing tersebut"[18] .

Juga hadits riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, jika ditimpa sakit, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al-mu'awwidzât (surat al-Falaq dan an-Nâs) untuk diri beliau sendiri dan meludah sedikit. Lalu, ketika sakit beliau sudah parah, akulah yang membacakannya untuk beliau dan aku mengusap dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya"[19] .

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH ASY-SYAFI
Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menjadikan seorang hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia memudahkan kesembuhan segala penyakit pada dirinya, utamanya penyakit-penyakit hatinya yang merupakan penghalang utama bagi manusia untuk mencapai ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Bersihnya hati manusia dari noda dan penyakit merupakan sumber utama kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, tapi jika itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[20] .

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima hamba yang datang menghadap-Nya pada hari Kiamat nanti, kecuali yang datang dengan hati yang bersih dari segala penyakit.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ﴿٨٨﴾إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Hari (Kiamat) yang (pada waktu itu) harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allâh dengan hati yang bersih [asy-Syu’arâ/26: 88-89].

Artinya, hati yang bersih dari syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla), keraguan, dan mencintai keburukan, serta lebih suka bertahan dengan perbuatan bid’ah dan maksiat[21] .

Semua penyakit hati bersumber dari buruknya hawa nafsu manusia, sehingga hati ini terhalang untuk mencapai kedekatan dengan Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allâh Azza wa Jalla , meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allâh Azza wa Jalla , (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus/pembersihan jiwa)”[22] .

Maka Allâh Azza wa Jalla Dialah satu-satunya yang maha mampu membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari segala penyakit tersebut, karena Dia Azza wa Jalla adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), dan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas.

Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau yang terkenal, mengisyaratkan bahwa kebersihan hati dan kesucian jiwa hanyalah semata-mata berasal dari Allâh Azza wa Jalla , yaitu doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللََّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَاوَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

Ya Allâh, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya [23]

PENUTUP
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Azza wa Jalla berkenan memberikan kesembuhan dari penyakit lahir dan batin bagi kita sehingga dapat mencapai kesempurnaan iman dan keridhaan-Nya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

MUTIARA INTROSPEKSI DIRI

Oleh
Ustadz Imam Wahyudi Lc.


Wahai Saudaraku, pernahkah Anda berusaha menghitung-hitung kebaikan dan keburukan diri anda ? Sebagaimana Anda menghitung rupiah dan dolar Anda?

Pernahkah Anda berusaha menyendiri, lalu mengingat-ingat kekurangan dan kwalitas ibadah Anda ?

Pernahkah Anda merenungkan amal ketaatan yang telah sekian lama Anda bangga-banggakan ? Bersihkah ia dari kotoran riya’, sum’ah serta dari ambisi-ambisi duniawi ?

Ketahuilah ! Wahai Saudaraku, waktu terus bergulir. Yang telah lewat tidak akan pernah kembali. Umur kita semakin berkurang dan ajal kian mendekat. Tiada daya yang bisa menolaknya. Oleh karena itu, orang yang menginginkan keselamatan, dia akan menyiapkan diri menghadapinya. Dia akan membekali diri untuk menempuh perjalanan panjang dan menakutkan. Dia akan terus berupaya memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan dan kesalahan. Allâh Azza wa Jalla telah mengingatkan kita :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.[al-Hasyr/59:18]

Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memberikan nasihat, "Hitung-hitunglah (amal) diri kalian sebelum kalian dihitung ! Timbanglah (amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang ! Perhitungan kalian kelak (di akherat) akan lebih ringan dikarenakan telah kalian perhitungkan diri kalian pada hari ini (di dunia). Berhiaslah (persiapkanlah) diri kalian demi menghadapi hari ditampakkannya amal. Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah). [HR. At-Tirmidzi].

Bahkan al-Hasan menjadikan introspeksi diri sebagai tanda keimanan seseorang, "Tidaklah anda jumpai seorang mukmin, kecuali dalam keadaan menghitung-hitung dirinya: Apa yang ingin engkau lakukan? Apa yang ingin engkau makan? Apa yang ingin engkau minum? Sebaliknya, orang fâjir akan terus berbuat tanpa memperhitungkan dirinya."

Sehingga introspeksi diri adalah salah satu tanda keimanan seseorang dan meninggalkannya merupakan tanda kefasikan. Lebih dari itu, introspeksi diri menggambarkan tingkat ketakwaan seseorang. Maimun bin Mahrân mengatakan, "Sesungguhnya orang yang bertakwa akan lebih kuat menghitung-hitung dirinya bila dibandingkan dengan penguasa zhalim dan sekutu dagang yang pelit."

Penguasa yang zhalim sangat teliti mengawasi kekurangan yang terjadi dalam kekayaan kerajaannya, bahkan melewati batas wewenangnya; Demikian juga relasi dan teman bisnis yang pelit, ia sangat teliti dalam menghitung keuntungannya, tidak rela sedikit pun keuntungannya dikurangi. Namun pengawasan ketat dua tipe manusia ini bila dibandingkan dengan pengawasan ketat yang dilakukan orang yang bertakwa kepada dirinya, maka didapati pengawasan orang yang bertakwa lebih ketat.

Introspeksi diri dilakukan sebelum dan sesudah beramal. Sebelum beramal, hendaklah seseorang berhenti sejenak dan merenungkan sampai nampak baginya pilihan terbaik, antara dilakukan atau ditinggalkan.

Al-Hasan menyatakan, "Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak ketika hendak melakukan suatu. Apabila dilihat amalan itu untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut dilakukannya. Apabila dipandang bukan untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut ditinggalkannya.

Ketahuilah, introspeksi diri setelah beramal itu ada tiga jenis :

1. Introspeksi diri atas ketaatan yang telah ia lakukan. Apakah ada kekurangannya ? Apakah sudah sesuai keinginan Allâh dan tuntunan rasul-Nya ?
Misalnya, apakah shalat yang kita lakukan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ? Baik lahir maupun batin. Ataukah hanya sebatas lahiriahnya saja ? Jauh dari kekhusyu'an bahkan ada unsur dunia di dalamnya ? Sejak takbiratul ihrâm sampai salam. Padahal kita diperintahkan shalat untuk mengingat Allâh !! Bukan mengingat yang lain. Sebagaimana firman-Nya :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thâhâ/20:14]

Apabila dalam shalat kita hanya ingat kepada Allâh, maka shalat kita akan bisa membimbing kita melakukan berbagai kebaikan dan menjauhkan kita dari kemungkaran. Sebagaimana firman Allâh.

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. [al-Ankabût/29: 45]

2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang sebaiknya ditinggalkan.
Sebagai permisalan adalah kebiasaan sebagian orang yang merayakan malam tahun baru dengan bergadang semalam suntuk, membuat gaduh dengan suara petasan, klakson serta knalpot, serta berbagai bentuk gangguan terhadap orang lain, sampai akhirnya tidak bisa melaksanakan shalat Shubuh, karena terlalu letih. Dengan perbuatan seperti ini, sang pelaku minimal melakukan dua jenis dosa. Pertama, dosa menzhalimi orang lain yaitu telah mengganggu orang lain. Dosa jenis ini tidak akan diampuni oleh Allâh sampai orang yang terzhalimi memaafkannya. Kedua, dosa kepada Allâh, karena meninggalkan suatu yang diwajibkan, yakni shalat Shubuh berjamaah pada waktunya.

3. Introspeksi diri atas setiap amalan yang mubah dan suatu kebiasaan. Kenapa dia melakukannya ? Apakah demi mencapai kesuksesan akhirat ? Kalau ya, berarti dia telah beruntung. Ataukah demi kenikmatan dunia yang sesaat ? kalau ini metovasinya, malah alangkah ruginya.

Misalnya, makan dan minum kita. Apakah hanya sekedar untuk memuaskan nafsu, ? Ataukah supaya berbadan kekar lalu bangga dan sombong karenanya ? Semua ini akan sirna bersama dengan datangnya ajal. Ataukah makan dan minum itu kita lakukan demi menjaga stamina tubuh kita agar bisa beribadah dengan kuat dan khusyu' ? Apabila yang pertama motivasi kita, niscaya yang kita dapatkan hanya secuil kenikmatan dunia yang tidak berarti sama sekali bila dibandingkan dengan kenikmatan akherat. Namun, jika yang kedua yang menjadi niat kita, maka dengan idzin Allâh Azza wa Jalla, kita akan meraih kenikmatan dunia dan kesempurnaanya di akherat, alias sukses dunia dan akherat.

Bertahap kita lakukan introspeksi diri atas kewajiban kita. Jika kita dapati ada kekurangannya, maka segera kita tutupi dengan memperbaiki atau menggantinya. Inilah salah satu fungsi shalat sunnah rawâtib yang mengiringi shalat wajib lima waktu.

Selanjutnya, kita introspeksi diri atas larangan-larangan Allâh. Jika kita dapati diri kita sudah terjerumus kedalamnya, maka segera diiringi dengan taubat, isthighfâr serta berbagai amal ketaatan. Rasûlullâh bersabda :

أَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا

Iringilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskan yang buruk. [HR. Abu Dâwud, Ahmad dan lain-lain]

Selanjutnya, kita juga introspeksi diri atas kelalaian kita. Jika kita dapati diri ini sering melupakan Allâh Azza wa Jalla, maka segera mengingat dan menyebut nama-Nya dengan berbagai lafadz dzikir yang diajarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena dzikir akan menjadikan hidup tenteram dan bahagia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [ar-Ra'du/13:28]

Yang tidak kalah pentingnya adalah introspeksi diri atas pendengaran, pengelihatan, tangan dan kaki kita. Organ-organ ini kita pergunakan untuk apa ? Karena siapa ? Dan dengan cara apa ? Karena Allâh Azaza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ'/17:36]

Introspeksi diri paling tidak akan mendatangkan dua manfaat. Pertama, tahu aib diri sendiri. Sehingga tergerak untuk memperbaiki diri, karena ada rasa malu. Muhammad ibn Waasi' memberikan sebuah perumpamaan tentang dosa-dosa yang patut kita camkan :

لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ يَجْلِسُ إِلَيَّ

Seandainya dosa itu ada baunya, niscaya tidak ada seorang pun sanggup duduk dan mendekat kepadaku.

Manfaat introspeksi diri yang kedua yaitu bisa mengenal hak Allâh. Orang yang tidak mengenal Allâh Azza wa Jalla , maka ibadahnya tidak bermanfaat baginya. Kalaupun bermanfaat, maka sangat sedikit. Ketika seorang merenungi anugerah dan kenikmatan Allâh yang tidak terhitung ini, lalu ia bandingkan dengan ibadah yang dilakukannya, tentu ia sedih dan menyesal. Karena semua ibadahnya sangat tidak sebanding sedikitpun dengan nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan. Selanjutnya dia akan sadar betapa tidak pantasnya menyombongkan ibadahnya selama ini. Dia juga akan bersedih karena banyak dosa. Kesadaran seperti akan menuntunnya untuk menyakini bahwa tiada jalan selamat kecuali mengharapkan ampunan dan rahmat-Nya. Dari sini, ia akan bangkit dan bersemangat untuk senantiasa mentaati Allâh bukan memaksiati-Nya, senantiasa mengingat-Nya bukan melupakan-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya bukan mengkufuri-Nya.

Semoga kita dimudahkan menjadi hamba-hamba Allâh yang pandai mengintrospeksi diri dan sibuk mencari aib sendiri, sehingga akan semakin sibuk untuk bertaubat dan istighfar kepada-Nya serta terus berusaha memperbaiki ibadahnya yang banyak kekurangan didalamnya. Amiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

http://almanhaj.or.id/

MENDAHULUKAN MASHLAHAT TERTINGGI DAN MENGUTAMAKAN KEBURUKAN TERKECIL


فِي الْقُرْآنِ عِدَّةُ آيَاتٍ فِي الْحَثِّ عَلَى أَعْلَى الْمَصْلَحَتَيْنِ وَتَقْدِيْمِ أَهْوَنِ الْمَفْسَدَتَيْنِ، وَمَنْعِ مَا كَانَتْ مَفْسَدَتُهُ أَرْجَحَ مِنْ مَصْلَحِتِهِ

Dalam beberapa ayat al-Qur'an ada anjuran agar (kaum Muslimin) mendahulukan mashlahat yang lebih besar atau mendahulukan mafsadah yang lebih kecil serta ada larangan dari (melakukan) sesuatu yang mafsadah (keburukan)nya lebih dominan dari pada mashlahatnya

Diantara pokok agama yang wajib diketahui oleh kaum Muslimin yaitu agama ini diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk merealisasikan dan memperbanyak kemaslahatan (kebaikan) serta untuk melenyapkannya atau meminimalisir keburukan. Oleh karena itu Islam memerintahkan bahkan mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan berbagai perbuatan baik, seperti shalat, puasa, zakat, menyambung silaturahmi dan lain sebagainya. Islam juga melarang bahkan mengharamkan semua keburukan. Adalah kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mentaati syari'at Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan semua kebaikan yang diperintahkan dan menjauhi semua keburukan yang dilarang. Namun terkadang dalam kondisi tertentu, seseorang tidak bisa melakukan semua kebaikan yang diketahuinya dan tidak bisa menghindari semua keburukan yang dilarang syari'at. Artinya dia harus memilih. Lalu mana yang harus dipilih ? Inilah yang maksud perkataan penyusun kitab al-Qawa'idul Hisan al-Muta'alliqah bi tafsiril Qur'an di atas.

Dari perkataan di atas kita simpulkan tiga point penting :

1. Apabila ada dua kebaikan atau lebih berbenturan, maksudnya, kebaikan-kebaikan itu tidak mungkin kita lakukan semuanya, karena suatu sebab, maka kita harus memilih. Mana yang harus dilakukan ? Yang harus kita pilih adalah yang terbaik dari berbagai kebaikan yang berbenturan itu. Ini menunjukkan bahwa nilai amal-amal shalih yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla itu tidak sama, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah).[al-Hadîd/57:10]

Dan firman-Nya :

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu anggap sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allâh ? [at-Taubah/9:19]

Dan juga firman-Nya :

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allâh dengan harta mereka dan jiwanya. Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allâh menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. [an-Nisâ/4:95]

2. Apabila dua keburukan atau lebih berbenturan, maksudnya karena suatu hal dan kondisi, berbagai keburukan itu tidak bisa dijauhi semuanya, namun kita harus melakukan salah satunya. Lalu mana yang kita lakukan ? Yang harus kita lakukan adalah yang paling ringan dampak buruknya.

Penerapan kaidah ini bisa kita temukan dalam banyak tempat, diantaranya :

a. Dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allâh, kafir kepada Allâh, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allâh [al-Baqarah/2:217]

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa pembalasan yang dituntut oleh kaum kafir terhadap kaum Muslimin atas peperangan di bulan-bulan yang terhormat- meski ada keburukannya namun apa yang dilakukan kafir Quraisy yang telah menghalangi manusia dari jalan Allâh, kafir kepada Allâh dan menghalangi manusia dari Masjid Haram serta mengusir penduduknya lebih besar keburukannya (dosanya) disisi Allâh dari pada berperang di bulan-bulan yang terhormat atau suci. Jadi disini terdapat dua mafsadah (keburukan), yaitu :

Pertama : Tetap eksisnya orang-orang kafir Quraisy yang menghalangi kaum Muslimin dari jalan Allâh Azza wa Jalla , mengusir dan menzhalimi kaum Muslimin di sana, serta kekufuran dan kesyirikan mereka.

Kedua : Menyerang mereka saat bulan haram.
Mana diantara dua mafsadah ini yang lebih buruk ? Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dengan gamblAng bahwa yang lebih buruk adalah yang pertama. Sehingga ketika harus memilih, maka yang kedualah yang dipilih, karena dampak buruknya lebih sedikit.

b. Dalam firman Allah Azza wa Jalla

وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan kalau bukanlah karena laki-laki Mukmin dan perempuan-perempuan Mukmin yang tidak kamu ketahui (keberadaan mereka, yang dikhawatirkan), kamu membunuh mereka sehingga menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allâh tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). [al-Fath/48:25]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menahan kaum Muslimin dari keinginan mereka untuk menyerang penduduk kuffar di Makkah yang telah menghalangi mereka memasuki Masjidil Haram. Ini untuk suatu tujuan yang lebih tinggi yaitu supaya kaum Muslimin dan Muslimat yang masih menyembunyikan keimanannya dan masih tinggal di Makkah tidak menjadi korban peperangan. Kalau mereka menjadi korban perang, maka tentu orang yang menyebabkannya akan merasa menyesal atau turut berdosa, sebagaimana dijelaskan para Ulama ahli tafsir. Oleh karena itulah, Allâh Azza wa Jalla melarang penyerangan itu, meski faktor pemicunya sudah ada yaitu perilaku kuffar yang telah menghalangi kaum Muslimin dari Masjidil Haram.

Jadi disini ada dua keburukan yaitu :

Pertama : Tidak memerangi atau membiarkan kaum kuffar yang telah menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Makkah

Kedua : Memerangi mereka dengan resiko ikut terbunuhnya kaum Muslimin yang masih tinggal di Makkah dan menyembunyikan keimanan mereka karena belum mampu hijrah ke Madinah. Mereka akan ikut terbunuh karena sulit membedakan antara penduduk Makkah yang sudah beriman dan masih kafir.

Dari kedua keburukan ini, yang paling sedikit dampak buruknya adalah tidak memerangi mereka.

Termasuk dalam pelaksanaan kaidah yang kedua ini yaitu semua kejadian-kejadian atau kesepakatan-kesepakatan dalam Shulh (perjanjian damai) Hudaibiyah, dimana tercantum butir-butir perdamaian yang harus dipatuhi, yang dzahirnya sangat merugikan kaum muslimin, akan tetapi itu ternyata berbuah kemenangan bagi kaum muslimin. Termasuk juga, larangan terhadap kaum Muslimin untuk berperang sebelum Rasûlullâh n hijrah ke Madinah. Karena berperang dalam kondisi seperti itu lebih besar dampak buruknya daripada tetap bersabar.

3. Jika ada kebaikan dan keburukan sekaligus, namun keburukannya lebih kuat atau lebih dominan, maka kita dilarang melakukannya.
Ini merupakan bagian terakhir yaitu apabila mashlahat dan mafsadah berkumpul, maka mashlahat harus didahulukan ketika mafsadah tidak mendominasi, jika sebaliknya, maka mafsadah harus diutamakan, meskipun harus meninggalkan atau menghiangkan maslahah. Misalnya dalam firman Allâh :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya." [Al-Baqarah/2:219]

Ini merupakan alasan umum yaitu segala sesuatu yang bahayanya (madharat) dan dosanya lebih besar daripada manfaatnya, maka dengan hikmah-Nya, Allâh melarang para hamba-Nya dan mengharamkannya.

Demikianlah kaidah-kaidah ini, disamping sebagai kaidah yang ditetapkan secara syar'i juga sesuai dengan logika manusia yang normal serta bisa diamalkan dalam masalah-masalah agama maupun dunia. Wallahu a'lam


(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

AJARAN TASAWUF MERUSAK AQIDAH ISLAM

Oleh
‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini


Imam Syafi'i rahimahullah : "Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zhuhur, engkau tidak dapati dirinya, kecuali menjadi orang bodoh". (al-Manâqib lil Baihaqi 2/207)


Wihdatul mashdar menjadi salah satu ciri Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan masaail aqidah, Mereka hanya berlandaskan misykâtun nubuwwah, wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , tidak memandang akal, qiyas dan kasyf sebagai bagian sandaran aqidah. Justru tiga hal tersebut akan bertentangan banyak dengan nash al-Kitab dan Sunnah. Sehingga amat aneh bila ada orang yang mendahulukannya di atas hujjah-hujjah al-Qur`an dan Hadits. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja pernah menegur ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu dari sekedar melihat-lihat lembar Taurat [1] yang sebelumnya merupakan kitab yang diturunkan dari langit meski tidak telah dimasuki oleh tahrif-tahrif hasil penyelewengan tangan para pemuka agama mereka. Dan tentunya Taurat dalam konteks ini lebih afdhal daripada hasil qiyas akal manusia dan kayalan kalangan Sufi.[2]

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh umat dari masa kenabian, muncullah berbagai keyakinan dan ideologi dari luar al-Qur`ân dan Sunnah yang mengintervensi aqidah Islamiyyah. Sufi dengan ajaran tasawufnya pun ikut menodai kejernihan dan keutuhan aqidah Islamiyyah. Masuknya ideologi ini di tengah masyarakat menyebabkan terjadinya kegoncangan akidah pada akidah kebanyakan umat Islam, pemikiran dan pandangan-pandangan mereka dan secara otomatis menjauhkan mereka dari aqidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Inilah salah satu dampak buruk yang harus dirasakan bila kekeliruan dan penyimpangan sangat dominan di masyarakat, akhirnya khalayak menganggapnya sebagai kebenaran. Pihak yang menentangnya dipandang keluar dari al-haq. Dan lebih menarik lagi, bangsa Barat memberikan atensi besar pada pengkajian khazanah ‘ilmiah’ Sufi, mencetak dan menyebarluaskannya serta menterjemahkannya ke berbagai bahasa. Tiada lain karena mereka sudah mengetahui bahaya Tasawuf bagi Islam dan umat Islam, bukan dalam rangka mendukung Islam. Wallâhul musta’ân.

DIBANGUN DI ATAS KEDUSTAAN
Kerusakan aqidah bila ditampakkan dengan terang-terangan, pasti akan ditolak oleh manusia-manusia yang berfitrah lurus dan berakal sehat. Maka, sebagian tokoh (tarekat Sufi) ajaran ini memperkenalkan tasawuf dengan slogan-slogan, visi dan misi yang menarik agar mudah menggandeng manusia sebanyak mungkin, menegaskan bahwa dakwah mereka sesuai dengan ajaran Islam , misi mereka untuk mensucikan kalbu, membina akhlak dst slogan-slogan menarik guna mengelabuhi umat.

Seorang pemuka tarekat di Mesir, Mahmûd as-Sathûhî menjelaskan bahwa Tasawuf merupakan inti sari pengamalan ajaran Islam, mengamalkan al-Qur`ân dan Sunnah, berjihad melawan musuh dan hawa nafsu. (!!). Sebagian pemuka aliran Tasawuf bahkan memandang bahwa seluruh Sahabat Nabi, generasi Tâbi’în dan Tâbi’ît Tâbi’în adalah pioner aliran Tasawuf karena sikap zuhud dan semangat berjihad mereka. (!?).

Ungkapan-ungkapan di atas hanyalah klaim kosong dan pernyataan yang tidak mendasar. Seorang Muslim yang berilmu akan merasa keheranan dengan klaim-klaim (kosong tanpa bukti). Bagaimana mungkin mereka disebut mengikut al-Qur’ân dan Sunnah, serta menjadi para pengikut dan penerus generasi terbaik umat?. Karena dari sisi aqidah terjadi perbedaan tajam antara aqidah para Sahabat dan kalangan Tasawuf, apalagi dengan aqidah tokoh besar Sufi, semisal Ibnu Arabi.

Namun keheranan ini akan segera sirna begitu mengetahui bahwa klaim-klaim palsu dan tuduhan-tuduhan asal-asalan merupakan salah satu uslub (metode) memasarkan ajaran mereka dan menjauhkan umat dari kebenaran.

BENAR-BENAR MERUSAK AQIDAH ISLAMIYAH
Kekhawatiran terhadap ideologi Sufi tidak hanya lantaran kandungan penyelewengan akidah yang ada padanya,. Akan tetapi, juga karena penyebarannya yang begitu luas di dunia Islam. Akibatnya, terbentuk semacam opini bahwa kebenaran adalah apa yang ada pada kaum Sufi (?!).

Seperti pepatah Arab, wabil mitsâl yattadhihul maqâl, dengan contoh, pernyataan akan bertambah jelas, maka di sini akan disebutkan beberapa contoh bagaimana ajaran tasawuf merubah kemurnian aqidah Islam:

1. Aqidah Islam telah menetapkan Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-makhluk-Nya dari 'adam (tidak ada sebelumnya), tidak dari Dzat-Nya dan bahwa semesta alam ini bukan khaliq (pencipta). Inilah aqidah yang dibawa al-Qur`an dan Hadits-hadits Nabi.

Sementara dalam kamus Sufi, diyakini bahwa segala yang ada di alam ini merupakan perwujudan Dzat Allâh Azza wa Jalla dengan aqidahnya yang dikenal dengan wihdatul wujud, kesatuan wujud.

2. Aqidah Islam berdasarkan nash-nash al-Qur`ân dan Hadits telah menentukan abahwa Allâh Azza wa Jalla berada di atas langit, bersemayam di atas Arsy sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

(Yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy [Thâhâ/20:5]

Sementara dalam ilmu Tasawuf diajarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada dimana-mana.

3. Aqidah Islam menyatakan bahwa kenabian mutlak merupakan keutamaan yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada insan yang Allâh kehendaki. Kenabian dan kerasulan tidak datang melalui keinginan nabi dan rasul yang bersangkutan atau atas permintaan mereka kepada Allah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat [al-Hajj/22:75]

Dalam hal ini, tokoh Sufi memandang kenabian dapat diraih melalui ketekunan melakukan riyadhah, sampai seorang tokoh Sufi, Ibnu Sab'in[3] mengatakan, "Ibnu Aminah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah membatasi sesuatu yang lingkupnya luas ketika mengatakan, "Tidak ada nabi sepeninggalku".

4. Aqidah Islam menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi serta rasul yang lain juga manusia-manusia seperti orang-orang yang lain dan masih berkewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla memilih mereka dan mengutamakan mereka di atas kebanyakan orang sebagai utusan-utusan-Nya.

Adapun golongan Sufi berpandangan bahwa Nabi Muhammad sumber terciptanya makhluk-makhluk yang lain (keyakinan ini dikenal dengan aqidah Nur Muhammadi). Mereka pun membawakan hadits-hadits palsu yang menyatakan jika tidak ada Muhammad maka alam semesta ini tidak akan pernah ada . Mereka pun memandang manusia bila sudah mencapai derajat tertentu tidak terkena kewajiban menjalankan syariat Islam.

5. Sumber hukum aqidah Islam hanya dua: al-Qur`ân dan Hadits shahih, tidak ada sumber ketiga atau keempat dan seterusnya…Sementara itu, kaum Sufi memiliki sumber aqidah yang lain yang dikenal dengan istilah al-kasyf dan al-faidh. Mereka secara nyata meyakininya sebagai landasan keyakinan.

6. Aqidah Islam menjunjung tinggi tauhîdullâh dan datang untuk memberantas syirik dengan seluruh jenisnya dan praktek penyembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan pada ajaran Tasawuf, praktek syirik sangat kentara dalam bentuk meminta kepada penghuni kubur, istighotsah kepada orang-orang yang telah mati, pengagungan kuburan dan lain-lain.

7. Aqidah Islam telah menetapkah hanya Allâh saja yang mengetahui alam gaib. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan [an-Naml/27:65]

Dalam hal ini, kaum Sufi menyatakan bahwa syaikh-syaikh tarekat memiliki kemampuan meneropong dan mengetahui alam gaib melalui jalan kasyf, dan menurut mereka lagi, mereka meemperoleh ilmu itu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Masih banyak keyakinan mereka lainnya yang jelas-jelas berseberangan dengan aqidah yang dibawa oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Pendek kata, ajaran Tasawuf berdiri di atas landasan-landasan berikut:
• Membagi agama menjadi lahir yang diketahui oleh orang-orang awam dan batin yang hanya dimengerti oleh kaum khos (orang-orang khusus saja)
• Memegangi kasyf dan dzauq dalam penetapan masalah-masalah aqidah dan ibadah
• Melegalkan praktek syirik dan bahkan melakukan pembelaan untuknya
• Menshahihkan hadits melalui jalan kasyf
• Beramal berdasarkan hasil mimpi
• Beribadah dengan dasar dzauq dan wajd
• Menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu dan mengamalkannya.
• Membiasakan dzikir jama'i dan beribadah dengan menari-nari diiringi oleh suara-suara alunan bunyi seruling dan alat-alat musik lainnya. Bahkan penulis kitab Ihya Ulumuddin menulis satu bab di dalamnya dukungannya terhadap ‘ibadah’ dengan tarian dan musik disertai penjelasan tentang adab-adab dan menetapkan bahwa musik lebih menggelorakan hati daripada al-Qur`ân dari tujuh aspek. [al-Ihyâ:2/325-328].

Demikian point-point prinsip aqidah yang diajarkan dalam ilmu Tasawuf dan diyakini kalangan Sufi. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala kerusakan dalam keyakinan kita. Wallâhu a’lam.

Dikutip dari at-Tauhîd fî Masîratil ‘Amalil Islami bainal Wâqi wal Ma`mûl, ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini, pengantar Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql, Cet I, Th. 1419H, Darul Qasim. hlm. 25-33.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

JIHAD MELAWAN SYAITHAN

Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari



Sadarkah kita, bahwa setiap diri ini memiliki musuh besar ? Musuh yang sangat menginginkan kita sesat dan celaka. Musuh yang tidak terlihat, tapi memiliki banyak tipu-daya dan cara untuk mencapai tujuannya. Itulah syaithan (setan).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan manusia agar tidak tergoda olehnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah berhasil mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. [al-A’râf/7: 27]

Oleh karena itu, dengan rahmat-Nya, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk menjadikan syaithan sebagai musuh. karena memang sebenarnya, syaithan musuh bagi manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. [Fâthir/35:6]

Bagaimana sepak terjang musuh terhadap lawannya ? Semua orang sudah tahu jawabannya yaitu berusaha sekuat tenaga agar lawannya ditimpa segala keburukan dan terlepas dari semua kebaikan.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ayat di atas, “Perintah Allâh untuk menjadikan syaithan sebagai musuh ini sebagai peringatan agar (manusia) mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi dan melawannya. Sehingga syaithan itu seolah-olah musuh yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah lalai”. [Zâdul Ma’âd, III/6]

Dalam menjalankan aksinya menyesatkan dan membinasakan manusia, syaithan memiliki dua senjata yaitu syubhat dan syahwat. Oleh karena itu, orang yang ingin selamat harus berjihad melawan syaithan dengan bersenjatakan ilmu dan mentazkiyah (membersihkan) jiwanya. Ilmu nafi’ (yang yang bermanfaat) akan membuahkan rasa yakin, yang akan menolak syubhat. Sedangkan tazkiyatun nafs akan melahirkan ketakwaan dan kesabaran, yang membuatnya mampu mengendalikan syahwat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jihad melawan syaithan memiliki dua tingkatan : Pertama, menolak syubhat dan keraguan yang dilemparkan syaithan kepada hamba; Kedua, menolak syahwat dan keinginan-keinginan jelek yang dilemparkan syaithan kepada hamba. Jihad yang pertama akan diakhiri dengan keyakinan, sedangkan jihad yang kedua akan diakhiri dengan kesabaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. [as-Sajdah/32:24]

Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa kepemimpinan agama hanya bisa diraih dengan kesabaran (dan keyakinaan), kesabaran akan menolak syahwat dan keinginan-keinginan jelek, dan keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.” [Zâdul Ma’âd III/10]

Jadi senjata manusia untuk melawan syaithan adalah ilmu dan kesabaran. Ilmu yang bersumber dari kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya. Kemudian mengamalkan ilmu tersebut sehingga jiwa menjadi bersih dan suci, dan menumbuhkan kesabaran.

Itulah cara menghadapi tipu daya syaitan secara global, sedangkan secara rinci adalah sebagai berikut :

1. Beriman Dan Mentauhidkan Allâh Dengan Benar
Sesungguhnya seluruh kekuatan, kekuasaan, kesempurnaan hanyalah milik Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu, seorang hamba yang ditolong dan dilindungi oleh Allâh, tidak akan ada yang mampu mencelakainya. Inilah senjata pertama dan utama seorang mukmin dalam menghadapi syaithan yaitu beriman dengan benar kepada Allâh, beribadah dengan ikhlas kepada-Nya, bertawakkal hanya kepadaNya dan beramal shalih sesuai aturan-Nya. Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa syaithan tidak memiliki daya terhadap hamba-hamba Allâh yang beriman dan mentauhidkan-Nya. Allâh berfirman.

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada memliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. [an-Nahl/16: 99]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ketika Iblis tahu bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ﴿٨٢﴾إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash [Shâd/38: 82-83]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلاَّ مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu (Iblis) terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti-mu, yaitu orang-orang yang sesat. [al-Hijr/15:42]

Maka ikhlas adalah jalan kebebasan, islam adalah kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [al-‘Ilmu, Fadhluhu Wa Syarafuhu, hlm. 72-74, tansiq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

2. Berpegang Teguh Kepada Al-Kitab Dan As-Sunnah Dengan Pemahaman As-Salafush Shalih
Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan manusia di muka bumi, sesungguhnya Dia menyertakan petunjuk untuk mereka. Sehingga manusia hidup di dunia ini tidak dibiarkan begitu saja, tanpa bimbingan, perintah dan larangan. Allâh Azza wa Jalla menurunkan kitab suci dan mengutus para Rasul yang membawa peringatan, penjelasan dan bukti-bukti. Barangsiapa berpaling dari peringatan Allâh, maka dia akan menjadi mangsa syaithan dan dijerumuskan ke dalam kecelakaan abadi. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb yang Maha Pemurah (al-Qur’ân), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. [az-Zukhruf/43: 36]

Oleh karena itu, jalan selamat dari tipu daya syaithan adalah dengan mengikuti jalan Allâh, mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman as-salafush shâlih. Allâh Azza wa Jalla berfirman

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min (yaitu jalan para sahabat), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [an-Nisâ’/4: 115]

3. Berlindung Kepada Allâh Dari Gangguan Syaithan.
Inilah sebaik-baik jalan untuk menyelamatkan diri dari syaithan dan tentaranya, memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla , karena Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Makna “aku berlindung kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat” yaitu aku meminta perlindungan kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat yang menggangguku pada agamaku atau pada duniaku, atau menghalangiku dari melakukan sesuatu yang diperintahkan (Allah Azza wa Jalla) kepadaku, atau mendorongku melakukan apa terlarang bagiku. Karena tidak ada yang bisa mencegah syaithan dari manusia kecuali Allâh.

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengambil hati dan bersikap lembut kepada syaithan manusia, dengan melakukan kebaikan kepadanya, agar tabi’atnya (yang baik) menolaknya dari gangguan (yang dia lakukan).

Dan Allâh memerintahkan agar (manusia) berlindung kepada-Nya dari syaithan jin, karena dia tidak menerima suap dan perbuatan kebaikan tidak akan mempengaruhinya, karena dia memiliki tabi’at yang jahat, dan tidak akan mencegahnya darimu kecuali Yang telah menciptakannya.” [Tafsir Ibnu Katsir, 1/14, penerbit: Darul Jiil, Beirut, tanpa tahun]

Memohon perlindungan ini dilakukan secara umum pada setiap waktu, pada setiap diganggu oleh syaithan, dan juga dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dituntunkan oleh Allâh dan Rasul-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allâh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-A’râf/7:200]

Adapun waktu-waktu tertentu yang dituntunkan untuk beristi’adzah antara lain yaitu saat diganggu syaithan; adanya bisikan jahat; gangguan dalam shalat; saat marah; mimpi buruk; akan membaca al-Qur’an; akan masuk masjid; akan masuk tempat buang hajat; saat mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai; ketika akan berjima’; waktu pagi dan petang; isti’adzah untuk anak-anak dan keluarga; ketika singgah di suatu tempat; ketika akan tidur; dan lain-lain. Perincian dalil-dalil ini semua terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih.

4. Membaca Al-Qur’an
Sesungguhnya syaithan akan lari menjauh dengan sebab bacaan Al-Qur’an, sebagaimana di dalam hadits sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, sesungguhnya syaithan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya”. [HR. Muslim, no: 780]

Syaithan telah membukakan salah satu rahasianya ini kepada Abu Hurairah, yang hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Syaithan mengatakan:

إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ

“Jika engkau menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi (Allohu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum) sampai engkau menyelesaikan ayat tersebut, maka sesungguhnya akan selalu ada padamu seorang penjaga dari Allâh, dan syaithan tidak akan mendekatimu sampai engkau masuk waktu pagi”. [HR. Bukhari]

5. Memperbanyak Dzikrulloh.
Dzikrullah adalah benteng yang sangat kokoh untuk melindungi diri dari gangguan syaithan. Hal ini diketahui dari pemberitaan Allâh Subhanahu wa Ta’alaewat para RasulNya, antara lain lewat lisan Nabi Yahya Alaihissallam, sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهَا وَيَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهَا...وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللَّهِ

Dari Al-Harits Al-Asy’ari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allâh memerintahkan Yahya bin Zakaria q dengan lima kalimat, agar beliau mengamalkannya dan memerintahkan Bani Israil agar mereka mengamalkannya (di antaranya)…”Aku perintahkan kamu untuk dzikrullah (mengingat/menyebut Allâh). Sesungguhnya perumpamaan itu seperti perumpamaan seorang laki-laki yang dikejar oleh musuhnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah mendatangi benteng yang kokoh, kemudian dia menyelamatkan dirinya dari mereka (dengan berlindung di dalam benteng tersebut). Demikianlah seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari syaithan kecuali dengan dzikrullah”. [HR.Ahmad]

Maka jika anda ingin selamat dari tipu-daya dan gangguan syaithan, hendaklah selalu membasahi lidah anda dengan dzikrullah disertai konsentrasi dengan hati.

6. Tetap Bersama Jama’ah umat Muslimin
Bergabung dengan jama’ah umat Islam dalam melaksanakan berbagai ibadah yang dituntunkan dengan berjama’ah, merupakan salah satu cara menyelamatkan diri dari incaran syaithan. Karena sesungguhnya syaithan merupakan serigala yang akan menerkam manusia, sebagaimana serigala akan menerkam domba yang menyempal dari kelompoknya.

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ قَالَ زَائِدَةُ قَالَ السَّائِبُ يَعْنِي بِالْجَمَاعَةِ الصَّلَاةَ فِي الْجَمَاعَةِ

Dari Abu Darda’, dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada tiga orang di suatu desa atau padang, tidak didirikan shalat jama’ah pada mereka, kecuali syaithan menguasai mereka. Maka bergabunglah dengan jama’ah, karena sesungguhnya srigala itu akan memakan kambing yang menyendiri”. [HR. Abu Dawud, no: 547]

7. Mengetahui Tipu-Daya Syaithan Sehingga Mewaspadainya.
Syaithan itu sangat berantusias menyesatkan manusia, ia habiskan waktunya dan segala kemampuannya dikerahkan untuk merusak manusia. Allâh Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hambaNya yang beriman dari musuh bebuyutan tersebut dengan firmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. [An-Nuur/24: 21]

Salah satu cara menghindari tipu daya syaithan yaitu mengetahui dan membongkar tipu-daya itu sehingga dapat dihindari. Karena orang yang tidak mengetahui keburukan, dia akan mudah terjerumus dalam keburukan tersebut tanpa disadari.

8. Menyelisihi Syaithan Dan Menjauhi Sarana-Sarananya Untuk Menyesatkan Manusia.
Syaithan adalah musuh manusia. Oleh karena itu, kita wajib memposisikannya sebagai musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغُرُورُ

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. [ Fathir: 5]

Diantara realisasi dari hal diatas yaitu dengan menyelisihi perbuatan syaithan. Misalnya:

• Syaithan makan dan minum dengan tangan kiri, maka selisihi dia dengan makan dan minum dengan tangan kanan.
• Syaithan tidak melakukan qoilulah (istirahat di tengah hari), maka kita selisihi dengan melakukan qoilulah.
• Tidak boros (tabdziir) karena orang yang berbuat tabdziir adalah saudarasyaithan.
• Melakukan sesuatu dengan tenang dan hati-hati, karena sikap tergesa-gesa dari syaithan.
• Hendaklah kita berusaha sekuat tenaga agar tidak menguap, karena itu dari syaithan.

Dalil-dalil yang kami sebutkan ini, terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih.

Diantara realisasi sikap permusuhan terhadap syaithan adalah adalah menjauhi sarana-sarana yang digunakan oleh syaithan untuk menyesatkan manusia, seperti: musik, lagu dan khamer.

9. Yakin Bahwa Tipu Daya Syaithan Itu Lemah
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. [An-Nisa’: 76]

Bagaimanapun lihainya syaithan dalam menebarkan perangkap-perangkapnya, kita harus yakin bahwa sebenarnya tipu daya syaithan itu lemah. Asalkan kita selalu mentaati Allâh Yang Maha Perkasa. Di antara kelemahan syaithan yaitu :

• Dia tidak bisa membuka pintu yang dikunci dengan disertai doa (menyebut nama Allâh).
• Dia juga tidak dapat makan bersama orang yang mengucapkan bismillah ketika hendak makan.
• Juga tidak dapat bermalam di rumah yang dimasuki oleh penghuninya sambil membaca doa

10. Taubat Dan Istighfar.
Selama masih hidup, manusia senantiasa perlu bertaubat dan istighfar kepada Allah Azza wa Jalla, diriwayatkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ إِبْلِيسَ قَالَ لِرَبِّهِ بِعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي بَنِي آدَمَ مَا دَامَتِ الْأَرْوَاحُ فِيهِمْ فَقَالَ اللَّهُ فَبِعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iblis berkata kepada Robbnya: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, aku senantiasa akan menyesatkan anak-anak Adam selama ruh masih ada pada mereka”. Maka Allâh berfirman: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, Aku senantiasa akan mengampuni mereka selama mereka mohon ampun kepadaKu”. [HR. Ahmad]

Inilah sedikit keterangan tentang syaithan dan tipu-dayanya, semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

ASY-SYAAFI, YANG MAHA PENYEMBUH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahîh. Yakni, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacakan doa perlindungan kepada salah seorang (anggota) keluarga beliau (dengan) mengusapkan tangan kanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya membaca (doa):

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِى ، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

Ya Allâh, Rabb (pencipta dan pelindung) semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit (lain)[1]

Juga dalam hadits shahîh yang lain, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu tentang ruqyah (doa/zikir perlindungan) yang dibaca oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas Radhiyallahu anhu menyebutkan doa yang mirip dengan doa di atas.

Berdasarkan hadits-hadits ini, para Ulama menetapkan nama asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) sebagai salah satu dari nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah. Di antara Ulama yang menetapkannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah[2] , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah[3] , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn [4] , Syaikh 'Abdur Razzâq al-Badr [5] dan lain-lain.

MAKNA ASY-SYAFI
Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti lepas (sembuh) dari penyakit [6] .

Sedangkan Imam Fairûz Abâdi rahimahullah mengatakan bahwa arti asal kata nama ini (asy-syifa’) adalah obat penyembuh [7] .

Sementara al-Halîmi rahimahullah menjelaskan bahwa maknanya secara bahasa adalah menghilangkan sesuatu yang menyakiti atau merusak pada badan manusia [8] .

Maka, nama Allâh Azza wa Jalla asy-Syâfi berarti Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir maupun batin. Dia Azza wa Jalla lah yang menyembuhkan hati manusia dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam), ketidakyakinan, iri, dengki dan penyakit-penyakit hati lainnya, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada satu pun yang mampu melakukan semua itu kecuali Allâh Azza wa Jalla semata, maka tidak ada kesembuhan penyakit selain kesembuhan dari-Nya dan tidak ada asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) kecuali Dia Azza wa Jalla, sebagaimana ucapan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam yang dinukil dalam al-Qur`ân:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku [asy-Syu’arâ/26:80]

Maksudnya, jika aku ditimpa suatu penyakit, maka tidak ada satu pun yang sanggup menyembuhkanku selain Allâh Azza wa Jalla , dengan sebab-sebab yang ditetapkan-Nya dapat mendatangkan kesembuhan bagiku[9] .

Makna inilah yang diisyaratkan dalam doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu” [10] .

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH ASY-SYAFI
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan makna doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dengan berkata: “Dalam ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini (terdapat) tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan kesempurnaan (sifat) rububiyah-Nya (pengaturan-Nya atas semua urusan makhluk-Nya) dan rahmat-Nya dalam menyembuhkan (penyakit manusia), dan bahwa Dialah satu-satunya asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya. Maka, ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini mengandung tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya alam beribadah), (sifat) ihsân (kebaikan) dan rububiyah-Nya”[11] .

Al-Halîmi rahimahullah berkata: “Dalam berdoa, diperbolehkan mengucapkan: “Wahai asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), wahai al-Kâfi (Yang Maha Pemberi kecukupan), karena Allâh Azza wa Jalla Dialah yang menyembuhkan dada (hati) manusia dari syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan, juga dari (sifat) dengki dan khianat, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu selain-Nya dan tidak ada yang (pantas) diseru dengan nama ini (asy-Syâfi) kecuali Dia”[12] .

Allâh Azza wa Jalla Dialah Yang Maha Menyembuhkan segala macam penyakit manusia, dan tidak ada kesembuhan bagi mereka kecuali kesembuhan (dari)-Nya.

Kesembuhan dari Allâh Azza wa Jalla ada dua macam:
1. Kesembuhan yang bersifat maknawi dan rohani, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit hati manusia
2. Kesembuhan fisik, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit fisik [13] .

Kedua macam penyembuhan ini tercakup dalam keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali Dia (juga) menurunkan obat (penyembuh) bagi penyakit tersebut”[14] .

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dua macam kesembuhan ini dalam al-Qur`ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Tentang penyembuhan yang pertama, yaitu penyembuhan penyakit hati manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Rabbmu (al-Qur`ân) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yûnus/10:57]

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah : “Allâh Azza wa Jalla menjadikan al-Qur`ân bagi kaum Mukminin sebagai penyembuh, (dengan) mereka mengambil pengobatan dari nasehat-nasehat (yang terkandung dalam) al-Qur’an untuk (menyembuhkan) penyakit-penyakit yang merasuk ke dalam dada (hati) mereka, (juga penyakit yang berupa) bisikan dan godaan setan (yang akan merusak hati dan keimanan manusia), maka Allâh mencukupi orang-orang yang beriman (melalui nasehat) dengan penjelasan ayat-ayat-Nya sehingga mereka tidak butuh lagi kepada nasehat yang lain”[15] .

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan pada al-Qur`ân suatu yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian [al-Isrâ/17:82]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menuturkan: “Arti ‘al-Qur`ân sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman’: al-Qur`ân akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di hati mereka, yang berupa keraguan (ketidakyakinan), kemunafikan, kesyirikan, penyelewengan dan penyimpangan, maka al-Qur`ân akan menyembuhkan semua (penyakit) tersebut…”[16] .

Akan tetapi perlu diingatkan di sini, bahwa fungsi al-Qur’ân sebagai petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla untuk menyembuhkan penyakit hati, hanyalah bisa diambil oleh orang-orang yang mengimani kebenaran al-Qur’an serta memahami kandungan makna dan artinya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “al-Qur`ân adalah penyembuh yang hakiki dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan (dalam keimanan), akan tetapi semua (manfaat al-Qur`ân) itu tergantung dari (sejauh mana) kita memahami (kandungan) artinya dan mengetahui maksud (penafsiran yang benar) darinya”[17] .

Adapun tentang penyembuhan yang kedua, yaitu penyembuhan pada fisik dan badan manusia, ini ditunjukkan dalam beberapa hadits yang shahih.

Misalnya, hadits riwayat Abu Sa'îd al-Khudri Radhiyallahu anhu tentang beberapa orang Sahabat Radhiyallahu anhum yang melakukan safar (perjalanan), lalu mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, kemudian kepala suku perkampungan tersebut sakit karena disengat binatang buas. Salah seorang Sahabat Radhiyallahu anhu mengobatinya dengan membaca surat al-Fâtihah, maka serta merta orang tersebut sembuh total, Lalu mereka diberi hadiah beberapa ekor kambing. Sepulang dari perjalanan tersebut, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun membenarkan perbuatan mereka seraya bersabda: "Dari mana kamu mengetahui bahwa surat al-Fâtihah adalah ruqyah (doa/zikir untuk penyembuhan)?", bahkan kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bagian dari hadiah kambing tersebut"[18] .

Juga hadits riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, jika ditimpa sakit, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al-mu'awwidzât (surat al-Falaq dan an-Nâs) untuk diri beliau sendiri dan meludah sedikit. Lalu, ketika sakit beliau sudah parah, akulah yang membacakannya untuk beliau dan aku mengusap dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya"[19] .

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH ASY-SYAFI
Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menjadikan seorang hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia memudahkan kesembuhan segala penyakit pada dirinya, utamanya penyakit-penyakit hatinya yang merupakan penghalang utama bagi manusia untuk mencapai ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Bersihnya hati manusia dari noda dan penyakit merupakan sumber utama kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, tapi jika itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[20] .

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima hamba yang datang menghadap-Nya pada hari Kiamat nanti, kecuali yang datang dengan hati yang bersih dari segala penyakit.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ﴿٨٨﴾إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Hari (Kiamat) yang (pada waktu itu) harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allâh dengan hati yang bersih [asy-Syu’arâ/26: 88-89].

Artinya, hati yang bersih dari syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla), keraguan, dan mencintai keburukan, serta lebih suka bertahan dengan perbuatan bid’ah dan maksiat[21] .

Semua penyakit hati bersumber dari buruknya hawa nafsu manusia, sehingga hati ini terhalang untuk mencapai kedekatan dengan Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allâh Azza wa Jalla , meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allâh Azza wa Jalla , (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus/pembersihan jiwa)”[22] .

Maka Allâh Azza wa Jalla Dialah satu-satunya yang maha mampu membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari segala penyakit tersebut, karena Dia Azza wa Jalla adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), dan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas.

Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau yang terkenal, mengisyaratkan bahwa kebersihan hati dan kesucian jiwa hanyalah semata-mata berasal dari Allâh Azza wa Jalla , yaitu doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللََّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَاوَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

Ya Allâh, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya [23]

PENUTUP
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Azza wa Jalla berkenan memberikan kesembuhan dari penyakit lahir dan batin bagi kita sehingga dapat mencapai kesempurnaan iman dan keridhaan-Nya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

MUTIARA INTROSPEKSI DIRI

Oleh
Ustadz Imam Wahyudi Lc.


Wahai Saudaraku, pernahkah Anda berusaha menghitung-hitung kebaikan dan keburukan diri anda ? Sebagaimana Anda menghitung rupiah dan dolar Anda?

Pernahkah Anda berusaha menyendiri, lalu mengingat-ingat kekurangan dan kwalitas ibadah Anda ?

Pernahkah Anda merenungkan amal ketaatan yang telah sekian lama Anda bangga-banggakan ? Bersihkah ia dari kotoran riya’, sum’ah serta dari ambisi-ambisi duniawi ?

Ketahuilah ! Wahai Saudaraku, waktu terus bergulir. Yang telah lewat tidak akan pernah kembali. Umur kita semakin berkurang dan ajal kian mendekat. Tiada daya yang bisa menolaknya. Oleh karena itu, orang yang menginginkan keselamatan, dia akan menyiapkan diri menghadapinya. Dia akan membekali diri untuk menempuh perjalanan panjang dan menakutkan. Dia akan terus berupaya memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan dan kesalahan. Allâh Azza wa Jalla telah mengingatkan kita :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.[al-Hasyr/59:18]

Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memberikan nasihat, "Hitung-hitunglah (amal) diri kalian sebelum kalian dihitung ! Timbanglah (amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang ! Perhitungan kalian kelak (di akherat) akan lebih ringan dikarenakan telah kalian perhitungkan diri kalian pada hari ini (di dunia). Berhiaslah (persiapkanlah) diri kalian demi menghadapi hari ditampakkannya amal. Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah). [HR. At-Tirmidzi].

Bahkan al-Hasan menjadikan introspeksi diri sebagai tanda keimanan seseorang, "Tidaklah anda jumpai seorang mukmin, kecuali dalam keadaan menghitung-hitung dirinya: Apa yang ingin engkau lakukan? Apa yang ingin engkau makan? Apa yang ingin engkau minum? Sebaliknya, orang fâjir akan terus berbuat tanpa memperhitungkan dirinya."

Sehingga introspeksi diri adalah salah satu tanda keimanan seseorang dan meninggalkannya merupakan tanda kefasikan. Lebih dari itu, introspeksi diri menggambarkan tingkat ketakwaan seseorang. Maimun bin Mahrân mengatakan, "Sesungguhnya orang yang bertakwa akan lebih kuat menghitung-hitung dirinya bila dibandingkan dengan penguasa zhalim dan sekutu dagang yang pelit."

Penguasa yang zhalim sangat teliti mengawasi kekurangan yang terjadi dalam kekayaan kerajaannya, bahkan melewati batas wewenangnya; Demikian juga relasi dan teman bisnis yang pelit, ia sangat teliti dalam menghitung keuntungannya, tidak rela sedikit pun keuntungannya dikurangi. Namun pengawasan ketat dua tipe manusia ini bila dibandingkan dengan pengawasan ketat yang dilakukan orang yang bertakwa kepada dirinya, maka didapati pengawasan orang yang bertakwa lebih ketat.

Introspeksi diri dilakukan sebelum dan sesudah beramal. Sebelum beramal, hendaklah seseorang berhenti sejenak dan merenungkan sampai nampak baginya pilihan terbaik, antara dilakukan atau ditinggalkan.

Al-Hasan menyatakan, "Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak ketika hendak melakukan suatu. Apabila dilihat amalan itu untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut dilakukannya. Apabila dipandang bukan untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut ditinggalkannya.

Ketahuilah, introspeksi diri setelah beramal itu ada tiga jenis :

1. Introspeksi diri atas ketaatan yang telah ia lakukan. Apakah ada kekurangannya ? Apakah sudah sesuai keinginan Allâh dan tuntunan rasul-Nya ?
Misalnya, apakah shalat yang kita lakukan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ? Baik lahir maupun batin. Ataukah hanya sebatas lahiriahnya saja ? Jauh dari kekhusyu'an bahkan ada unsur dunia di dalamnya ? Sejak takbiratul ihrâm sampai salam. Padahal kita diperintahkan shalat untuk mengingat Allâh !! Bukan mengingat yang lain. Sebagaimana firman-Nya :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thâhâ/20:14]

Apabila dalam shalat kita hanya ingat kepada Allâh, maka shalat kita akan bisa membimbing kita melakukan berbagai kebaikan dan menjauhkan kita dari kemungkaran. Sebagaimana firman Allâh.

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. [al-Ankabût/29: 45]

2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang sebaiknya ditinggalkan.
Sebagai permisalan adalah kebiasaan sebagian orang yang merayakan malam tahun baru dengan bergadang semalam suntuk, membuat gaduh dengan suara petasan, klakson serta knalpot, serta berbagai bentuk gangguan terhadap orang lain, sampai akhirnya tidak bisa melaksanakan shalat Shubuh, karena terlalu letih. Dengan perbuatan seperti ini, sang pelaku minimal melakukan dua jenis dosa. Pertama, dosa menzhalimi orang lain yaitu telah mengganggu orang lain. Dosa jenis ini tidak akan diampuni oleh Allâh sampai orang yang terzhalimi memaafkannya. Kedua, dosa kepada Allâh, karena meninggalkan suatu yang diwajibkan, yakni shalat Shubuh berjamaah pada waktunya.

3. Introspeksi diri atas setiap amalan yang mubah dan suatu kebiasaan. Kenapa dia melakukannya ? Apakah demi mencapai kesuksesan akhirat ? Kalau ya, berarti dia telah beruntung. Ataukah demi kenikmatan dunia yang sesaat ? kalau ini metovasinya, malah alangkah ruginya.

Misalnya, makan dan minum kita. Apakah hanya sekedar untuk memuaskan nafsu, ? Ataukah supaya berbadan kekar lalu bangga dan sombong karenanya ? Semua ini akan sirna bersama dengan datangnya ajal. Ataukah makan dan minum itu kita lakukan demi menjaga stamina tubuh kita agar bisa beribadah dengan kuat dan khusyu' ? Apabila yang pertama motivasi kita, niscaya yang kita dapatkan hanya secuil kenikmatan dunia yang tidak berarti sama sekali bila dibandingkan dengan kenikmatan akherat. Namun, jika yang kedua yang menjadi niat kita, maka dengan idzin Allâh Azza wa Jalla, kita akan meraih kenikmatan dunia dan kesempurnaanya di akherat, alias sukses dunia dan akherat.

Bertahap kita lakukan introspeksi diri atas kewajiban kita. Jika kita dapati ada kekurangannya, maka segera kita tutupi dengan memperbaiki atau menggantinya. Inilah salah satu fungsi shalat sunnah rawâtib yang mengiringi shalat wajib lima waktu.

Selanjutnya, kita introspeksi diri atas larangan-larangan Allâh. Jika kita dapati diri kita sudah terjerumus kedalamnya, maka segera diiringi dengan taubat, isthighfâr serta berbagai amal ketaatan. Rasûlullâh bersabda :

أَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا

Iringilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskan yang buruk. [HR. Abu Dâwud, Ahmad dan lain-lain]

Selanjutnya, kita juga introspeksi diri atas kelalaian kita. Jika kita dapati diri ini sering melupakan Allâh Azza wa Jalla, maka segera mengingat dan menyebut nama-Nya dengan berbagai lafadz dzikir yang diajarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena dzikir akan menjadikan hidup tenteram dan bahagia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [ar-Ra'du/13:28]

Yang tidak kalah pentingnya adalah introspeksi diri atas pendengaran, pengelihatan, tangan dan kaki kita. Organ-organ ini kita pergunakan untuk apa ? Karena siapa ? Dan dengan cara apa ? Karena Allâh Azaza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ'/17:36]

Introspeksi diri paling tidak akan mendatangkan dua manfaat. Pertama, tahu aib diri sendiri. Sehingga tergerak untuk memperbaiki diri, karena ada rasa malu. Muhammad ibn Waasi' memberikan sebuah perumpamaan tentang dosa-dosa yang patut kita camkan :

لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ يَجْلِسُ إِلَيَّ

Seandainya dosa itu ada baunya, niscaya tidak ada seorang pun sanggup duduk dan mendekat kepadaku.

Manfaat introspeksi diri yang kedua yaitu bisa mengenal hak Allâh. Orang yang tidak mengenal Allâh Azza wa Jalla , maka ibadahnya tidak bermanfaat baginya. Kalaupun bermanfaat, maka sangat sedikit. Ketika seorang merenungi anugerah dan kenikmatan Allâh yang tidak terhitung ini, lalu ia bandingkan dengan ibadah yang dilakukannya, tentu ia sedih dan menyesal. Karena semua ibadahnya sangat tidak sebanding sedikitpun dengan nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan. Selanjutnya dia akan sadar betapa tidak pantasnya menyombongkan ibadahnya selama ini. Dia juga akan bersedih karena banyak dosa. Kesadaran seperti akan menuntunnya untuk menyakini bahwa tiada jalan selamat kecuali mengharapkan ampunan dan rahmat-Nya. Dari sini, ia akan bangkit dan bersemangat untuk senantiasa mentaati Allâh bukan memaksiati-Nya, senantiasa mengingat-Nya bukan melupakan-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya bukan mengkufuri-Nya.

Semoga kita dimudahkan menjadi hamba-hamba Allâh yang pandai mengintrospeksi diri dan sibuk mencari aib sendiri, sehingga akan semakin sibuk untuk bertaubat dan istighfar kepada-Nya serta terus berusaha memperbaiki ibadahnya yang banyak kekurangan didalamnya. Amiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

http://almanhaj.or.id/

nya yang banyak kekurangan didalamnya. Amiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

http://almanhaj.or.id/